Epilog: BUKAN TITIK. TAPI KOMA,

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mamaak! Mamaak! Maen yuuk!"

Aku tahu Archi adalah pemilik suara itu. Namun, aku tetap enggan untuk menanggapi. Materi-materi kocak para komika membuatku ingin terus menatap layar .

"MAMAAK! MAMAAK! MAMAAK! MAEN, YUK! MAMAAK! MAMAAK! MAEN, YUK! MAMAAK! MAMAAK! MAEN, YUK!"

Kali ini suara tadi lebih nyaring. Dilantunkan berulang-ulang kali hingga membuat aku bosan.

Terganggu dengan suara-suara dari luar, aku mengintip dari jendela dan melihat tiga murid SMA sedang berdiri di depan pagar sambil melongok ke dalam area pekarangan rumahku. Mereka bahkan belum mengganti baju seragam. Aku yakin sekali, begitu bel pulang berdering, mereka buru-buru datang ke rumahku.

Beranjak malas, aku membuka pintu. Bukan karena ingin memenuhi panggilan mereka, tapi karena aku tahu, tetangga kanan kiri akan melayangkan protes jika anak-anak itu terus membuat kebisingan.

"Kalian mau ngapain ke sini?" tanyaku setelah tiba di hadapan mereka.

Aku memilih tetap berada di dalam pagar putih setinggi satu meter, sedangkan mereka di luar. Aku sengaja tidak membukakan pagar agar mereka cukup tahu diri untuk segera pergi.

"Kami mau ajak Mamak maen bola basket." Seorang siswi perempuan menjawab. Aku tahu namanya Malahayati.

"Halaman rumahku tidak besar." Aku menengok ke arah belakang, mengisyaratkan agar mereka melihat area yang aku maksud. "Jadi kalian enggak bisa maen di sini."

"Kita kagak bakal maen di sini, kok, Mak. Tapi di lapangan RW."

Aku melirik ke arah siswa laki-laki yang mengatakan itu. Ibib namanya. "Saya malas buat jalan ke lapangan. Panas," ucapku sambil melirik matahari yang masih bersinar terik meski sudah pukul 3 sore.

Lapangan RW memang tidak jauh dari rumahku. Hanya sekitar 200 meter. Namun, aku bukan orang iseng yang sengaja berjalan kaki hanya untuk bermain dengan bocah-bocah remaja ini. Bisa-bisa aku dikira pengasuh mereka.

"Tenang, Mak Thor. Pak De bawa mobil, kok." Kali ini Archi yang menjawab sambil menunjuk ke arah mobil SUV warna biru yang etrparkir di seberang. Di balik kemudi, ada seseorang yang sedang melambai sambil tersenyum lebar kepadaku.

Baiklah. Aku tidak punya alasan. Maka, aku pun segera mengikuti kemauan mereka.

***

"Keren!"

"Amazing!"

"Magnifico!"

Aku berpaling ke pinggir lapangan. Ketiga murid SMA yang tadi berdiri di dapan pagar rumahku, sekarang sedang bersorak dengan heboh. Salah satunya bahkan bersiul-siul dengan nyaring. Mereka begitu bersemangat seakan-akan aku baru saja menjadi MVP atau Most Valuable Player, pemain dengan performa terbaik sepanjang musim. Padahal, aku hanya mencetak dua poin pertamaku setelah 30 menit bermain one on one melawan Dexa.

Meski begitu, aku harus bangga dengan skor 2-0. Kemenangan yang tipis memang, tapi aku berhasil mengalahkan Dexa. Legenda di SMA 514.

Merasa cukup puas dengan hasil yang didapat, aku pun berjalan ke pinggir lapangan, lalu duduk sambil menyelonjorkan kaki.

"Mamak ternyata sangat berbakat," ucap Malahayati sambil mulai memijat-mijat punggungku. Aku tidak tahu kalo ternyata murid Perempuan itu punya bakat dalam memijat.

Aku pun tersenyum dengan kata-kata Malahayati. Mau bagaimana lagi? Mungkin itu salah satu bakat terpendamku.

"Saya kagak nyangka, Mamak ternyata lebih jago dari Pak Dexa." Kali ini Ibib yang memuji sambil mengipas-ngipasiku dengan buku matematika yang dari tadi dibawa-bawanya.

Lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Aku masih kelelahan hingga belum semangat untuk memberikan sepatah dua patah kata-kata kemenangan.

"Kalo sampe Mak Thor maen di SMA 514, saya yakin sekali, Pak Arya pasti langsung ngerekrut Mak Thor buat jadi pelatih ekskul basket Elexfour." Sambil mengulurkan sebotol air mineral, Archi yang mengungkapkan pendapat.

Meski kata-kata itu diucapkan oleh kapten tim basket, aku cuma tersenyum sambil melambaikan tangan. Aku tahu ia jujur. Namun, aku hanya mau sesekali main basket. Kalo harus melatih setiap minggu, aku tidak mau. Kalian pasti tahu kalo sekarang ini harga skincare dan bodycare sungguh tidak sopan di dompet.

"Benar sekali! Saya saja sampe kewalahan ngelawan Mamak." Kali ini Dexa yang memberikan komentar. "Jika begini terus, gelar legenda saya bisa direbut Mamak sewaktu-waktu."

Aku sontak terbahak, tak mampu lagi menahan tawa. "Oke, oke. Aku tahu kalian minta ditraktir. Jadi, kita mau kemana?"

"Kafe Kenangan!" jawab keempatnya serempak.

Raut wajahku berubah. Perasaanku tiba-tiba langsung tidak enak.

***

"Gilang Negara. Menurut Mamak cocok enggak itu dijadiin judul novel?" tanya Dexa ketika kami berempat sudah duduk di salah satu sudut Kafe Kenangan.

Aku berpaling pada pria yang duduk di hadapanku itu. Di samping kananya duduk Archi, sedangkan di kirinya ada Ibib dan Malahayati. Mereka bertiga duduk berjajar di satu kursi panjang, sementara aku duduk sendiri.

Aku memikirkan pertanyaan Dexa. Namun belum sempat menjawab, Malahayati sudah menyerobot,

"Kalo menurut saya, sih, enggak cocok, Mak! Saya suka baca novel, termasuk novel-novel di wattpad. Kayaknya kalo ada cerita dengan judul itu, saya enggak akan tertarik untuk baca. Soalnya kurang cocok aja judulnya."

"Bener, Mak. Gilang itu artinya terang. Jadi kalo ada judul Negara Terang, orang pasti akan mikir kalo cerita Mamak mau ngikut-ngikutin cerita Avatar, Negara Api. Emang Mamak mau dibilang ngikut-ngikut cerita orang?"

Selama beberapa detik Aku memikirkan pertanyaan Ibib. Namun lagi-lagi juga sempat aku menjawab, Archi sudah menyambar,

"Emang Abdi Negara udah jadi judul yang paling cocok, Mak Thor. Tapi, kan, Abdi itu nama Pak De." Siswa laki-laki itu melirik ke arah Dexa. Aku ikut-ikutan melirik ke arah pria tersebut.

"Jadi, gimana kalo tokoh utamanya tetap Pak De aja?" sambung Archi.

"Betul!"

"Setuju!"

"Iya!"

Yang lain berseru-seru. Sekarang aku akhirnya tahu kenapa mereka tiba-tiba mengajakku bermain. Juga kenapa Dexa tidak mencetak three points shoot sepanjang permainan tadi. Termasuk kenapa mereka tiba-tiba membahas judul ceritaku. Ternyata mereka menjebakku.

"Selama 28 bab, isinya kan cerita tentang saya dan Farah, sedangkan Gilang cuma nongol di satu bab. Masa tiba-tiba endingnya Farah sama Gilang, Mak?" tanya Dexa.

"Tapi, kan, cerita ini masih sesuai tema. Mantan. Mantan calon suami," sanggahku. "Saya yakin, pembaca paham."

"Mamak harusnya konsisten di mantan musuh bebuyutan," rajuk Ibib. "Seru, tahu, Mak. Baca kisah cinta masa SMA."

Aku mengerling ke arah Malahayati yang wajahnya mulai bersemu merah. Ah! Anak-anak amatir ini. Mereka bahkan tidak tahu caranya menutupi kisah mereka.

"Bener, Mak Thor! Apa gunanya saya ngalah sama Pak De kalo ujung-ujungnya Bu Miss sama Gilang?" Archi ikut-ikutan merajak.

Astaga! Anak-anak muda ini. Kenapa mereka sok mengatur-atur? Tidakkah mereka puas menjalani peran masing-masing?

"Saya enggak bisa menahan kaki Farah untuk melangkah ke arah Gilang. Itu sudah terjadi, enggak bisa saya mundurin lagi," elakku.

"Tapi, harusnya Mamak bisa bikin percakapan selanjutnya sesuai dengan request kita, kan?" tantang Dexa. "Mamak harusnya bisa dengan mudah membuat alur sesuai keinginan. Mamak penulisnya, kan?"

Kali ini ucapan laki-laki itu tepat menyinggung egoku. Tentu saja aku yang menulis cerita ini! Meski sulit mengubah hal yang sudah dibaca oleh pembaca, tapi tentu saja aku masih bisa mengubah hal yang belum kejadian.

"Bab 28 di wattpad, buat itu berakhir dengan koma. Tanda titiknya di novel atau e-book. Gimana?"

Aku menghela napas. Dexa memang keras kepala.

"Apa yang bisa saya dapat dengan mengabulkan permintaan kalian?" Aku menatap satu persatu mata keempat orang di hadapanku.

"Kami akan menjalani peran dengan sangat baik hingga Mamak bangga dengan keberadaan kami. Iya, kan, Anak-anak?" Dexa menoleh pada tiga muridnya demi meminta persetujuan.

Malahayati, Ibib, dan Archi sontak mengiyakan dengan penuh semangat.

"Baiklah!" kataku akhirnya.

Sepertinya event marathon menulis ini belum berakhir bagiku. Aku masih harus berlari sedikit lagi bersama mereka. Tak apalah. Toh, mereka sudah berjanji akan membuatku bangga.

Jadi, Teman-teman Pembaca, kisah Farah dan Dexa kita lanjut di novel atau e-book, ya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro