Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hari ini kita akan menentukan ketua bawahan dari Ruang Iblis."

Krista yang sedang fokus meletakkan potongan terakhir dari menara kartu segitiga pola kelima, teralihkan tatkala Mas Seng mengatakan demikian. Ruangan yang mirip kamar hotel bintang lima nan dijuluki "Ruang Iblis" menjadi hening seketika, mengesampingkan dua puluhan penghuninya.

Bram yang di sofa menyikut rusuk perempuan itu. "Heh! Kau dengar itu, Krista?"

Laki-laki dengan kupluk, wajah garang tersebut, jikalau sudah menantang berkompetisi pasti tak mau kalah. Mereka mempertanyakan siapa yang bakal jadi ketuanya.

"Pasti aku, lah!" ucapnya percaya diri.

Krista berdeceh. "Apa? Aku tidak tahu kalau akan dipilih ulang," cibirnya, sudah menyelesaikan menara segitiga.

"Krista, jangan berbohong ...." Bram menatap tak percaya.

Mas Seng geleng-geleng. Para bawahannya yang lain juga terheran-heran.

Pemuda yang merupakan Master dari Ruang Iblis itu lalu melanjutkan penjelasan.

"Peraturannya simpel. Hari ini kita mendapatkan permintaan dari taman bermain dekat SMA 14 Desember. Pak Theo, ketua penyelenggara, mendapat keluhan gangguan yang tidak dapat dijelaskan. Tugas kita mencari penyebab kejadian itu. Berikut dokumentasi yang beliau ambil."

Mas Seng mengganti salindia yang ditampilkan oleh proyektor pada layar. Tampak beberapa tangkapan spot-spot taman bermain: komidi putar, bianglala, mandi bola, rumah hantu, dan wahana lainnya. Terdapat kesan kelabu agak suram, mungkin karena saat itu sepi pengunjung.

Areola pupil pada mata Krista berubah kebiru-biruan. Tatkala pada salindia tertentu memunculkan suatu bayang-bayang berwarna dengan bentuk familier.

" 'Ala' ...," gumamnya.

Sesuatu mirip krustasea bertubuh panjang, terbang agak kabur. Ikan-ikan tanpa sirip di langit. Kerang dan terumbu pada lapangan rumput. Mas Seng menargetkan bahwa itu semua harus mereka kembalikan ke asalnya, begitulah tugas Ruang Iblis.

"Orang yang menangkap 'Ala' terbanyak yang terpilih jadi ketua, kan, Mas Seng?" sahut Bram bersemangat.

Mas Seng hanya tersenyum. "Operasi dimulai besok setelah jam pulang sekolah kalian. Saya juga akan ikut."

Mas Seng menyibak seragam khususnya, kain jarik panjang yang dililit dari pinggang hingga mata kaki.

"Di mana ada fenomena supernatural, di situ Ruang Iblis bertugas."

Para bawahan menyahut serempak, "Ruang Iblis, pergi!"

Pintu kuno dengan ukiran motif unik terlipat dan membuka. Semua orang bergerak mengarah sana.

Keesokan harinya manakala matahari meluncur dari titik kulminasi, Krista turun dari angkutan kota berwarna hijau. Perempuan berambut bob itu memakai kemeja putih dan rok abu-abu. Bram juga bersamanya, mengenakan seragam sekolah baju putih dan celana kelabu, tetapi berbeda simbol lencana almamater.

Kedua siswa itu beradu di depan sebuah lapangan rumput yang menyerupai ladang penggembalaan. Tampaknya pihak penyelenggara pandai memanfaatkan sebagai taman bermain, mengingat lokasi yang strategis. Begitu kata sopir angkot--buka mulut sebab Krista menunda berikan ongkos transportasi.

"Kau sudah menyiapkan alat-alatnya?" tanya Bram, mencangklong tas.

"Alat?" Krista bahkan tak bawa satu pun barang.

"Apa? Anak SD tidak boleh masuk."

Seorang pria penjaga stan menghentikan langkah mereka. Hal tersebut membuat Krista dan Bram memasang wajah tidak terima.

"Lo, Pak, kalau anak-anak tidak boleh masuk, pendapatannya dari mana?" protes Krista.

"Nih, lihat, Dek." Pria tersebut menunjuk ke arah papan setinggi dua meter.

Isinya tulisan mengenai aturan taman bermain, figur remaja yang garis luarnya saja, harus memenuhi 155 sentimeter jika ingin lewat--untuk Krista itu terlewat jauh, tetapi sayang bagi Bram nyaris hanya butuh satu senti.

Selain itu, terdapat imbauan batasan usia dalam uji coba pembukaan tempat wisata di daerah.

"Kami pengelola taman bermain banyak menolak pengunjung karena bawa anak di bawah usia 12 tahun, Dek."

Dua kepala ekspresi membersut mirip gumpalan moci, satunya dengan hiasan jeli cokelat, yang harus mendongak ke arah stan--hampir meledak kalau tak ada yang menghentikan.

Beruntung segera detik itu, datang pemuda berpakaian baju polo berkerah warna putih dan celana bahan panjang yang longgar, memiliki rambut cepak disemir emas kecokelatan, iris mata biru secerah langit. Adalah Mas Seng khas dengan tatapan teduh nan ramahnya.

"Maaf, Pak. Ini teman-teman saya. Tolong izinkan masuk," pintanya.

"Oh, oh! Mas Seng! Lama tidak bertemu." Pria penjaga stan jadi gugup.

Bram bertanya, memangnya itu siapa. Krista membisikinya, dahulu orang itu pernah jadi klien Ruang Iblis dan Mas Seng yang membantu menyelesaikan.

Bram ikut memberi kisikan. "Apa itu baju yang biasa dipakai Mas Seng? Polo dan training--"

"Mas Seng bolos sekolah!"

"Bukannya Mas Seng anak SMA juga!"

Kedua anak itu begitu heboh sampai Mas Seng tidak bisa berkata-kata.

Setelah semua berkumpul di depan air mancur, Mas Seng membagikan sejumlah ember berdiameter tiga puluh sentimeter, satu orang mendapat satu. Katanya, barang-barang itu disewa dari kenalan dari dunia bawah, mempunyai fungsi istimewa untuk menampung sementara 'Ala' sebelum dikirim kembali ke dunia asalnya.

Setelah memberikan instruksi dan arahan, Mas Seng menyuruh mereka memulai pencarian ke komidi putar, naik bianglala, bahkan memasuki rumah hantu. Iris biru menyala serta senyum tipis terulas, kata-kata mutiara tercipta dari otak sang Master.

"Legenda urban itu tidak sekadar mitos, melainkan sesuatu yang fantastis, bukan?"

Sementara Krista dan Bram, keduanya bersembunyi di balik semak-semak. Mereka tampak bekerja sama. Walau tidak diketahui maksud masing-masing. Bisa saja Krista menusuk Bram. Mungkin juga Bram menendang Krista (kekuatan laki-laki jangan ditanya).

"Itu 'Ala'. Sesuatu yang bukan hantu, siluman yang mengambil wujud campuran hewan, tumbuhan, ataupun manusia itu sendiri," bisik Bram.

"Kali ini hewan, bukan?" ujar Krista.

"Seperti dari laut. Kalau tidak salah, Erika dari SMP 19 benci laut, kan?"

"Ada apa dengan saya?"

Tahu-tahu seorang perempuan berseragam putih biru lewat di belakang mereka. Rambut panjang tergerai lengkap dengan wajah cantiknya. Sebuah ember berisi sesuatu mirip kerang dan kepiting dijinjingnya.

"Eh, enggak," balas Krista dan Bram berbarengan.

"Mari lanjutkan tugasnya, Kakak-kakak," pamit perempuan itu dengan sopan.

Singkat cerita sudah banyak para bawahan yang mengumpulkan sesuatu mirip krustasea itu. Tak terkecuali Krista dan Bram. Namun, mereka merasa ada yang ganjal.

"Bukankah saat aku bilang yang menangkap terbanyak, Mas Seng tidak mengiakan ataupun menyangkal, kan, ya?" mulai Bram.

"Benar juga. Apa jangan-jangan ada maksud terselubung?" Krista menempel jari ke dagu, tampak berpikir.

"Aku ada usul ide." Krista bertanya, ide apa itu. Bram melirik ke belakang. "Sungai."

"Sungai?"

"Iya. Kamu lihat juga, bukan? Di foto-foto dokumentasi. Hanya sungai yang tidak ada 'Ala'-nya. Tapi, kalau kamu perhatikan, ada ekor naga yang bersembunyi di balik salah satu batu besar." Krista tercengang.

Mereka memutuskan ke arah sungai. Tempat itu sangat sepi, terdapat tanggul yang membatasi, alirannya lumayan deras. Saat itulah Krista dan Bram menyadari, ada kalanya kecurigaan akan sesuatu sebaiknya jangan campur tangan tanpa rencana yang matang.

Di sana, Mas Seng menghadapi naga seukuran kereta yang memelesat dari angkasa, menukik siap melahap pemuda itu.

###

Klaten, 26 Desember 2023

Forwistree

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro