Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dentum terdengar dari arah dekat. Mendadak tanah bergetar dan langit memendarkan cahaya menyilaukan. Krista beserta Bram bergegas berlari menuju sumbernya.

Di jalan, mereka bertemu seorang remaja dengan penampilan serampangan yang berjalan terseok-seok. Baju koyak-moyak. Alas kaki hilang sebelah. Sekujur tubuh berlumur darah kering dan lumpur.

"Ah, ada orang gila!" seru Krista.

"Sembarangan! Aku Erika," sahut remaja yang kasihan itu.

"Erika!" Krista dan Bram terkejut. "Kamu kenapa, habis jatuh?" tanya keduanya berbarengan.

Erika bingung menatap yang mana untuk menjawab, jadi melirik ke arah lain. "Aku tidak apa-apa," katanya. "Yang terpenting, di mana Kak Fina? Mas Seng menyuruh untuk menjaga dia, tapi saat berpencar aku enggak bisa menemukan dia."

Krista dan Bram sama-sama menjawab tak tahu. Namun, yang terpenting, gempa dan kilatan barusan sangat mengerikan. Mereka harus mengecek untuk memastikan keadaan genting. Siapa tahu itu adalah ulah Ala yang mereka cari.

"Apa? Ala yang mengamuk?" Erika ikut berlari, membawa sebelah sepatunya.

"Iya, dulu pernah terjadi, untung Mas Seng langsung menenangkannya," balas Krista. Bram yang lebih baru daripada dia, baru mendengar hal ini.

Ketiganya sampai di tepi tanah lapang. Mereka begitu terkejut menyaksikan pepohonan rubuh, dahan dan ranting berjatuhan. Daun-daun berserakan di mana-mana. Daratan seakan terbelah, menghasilkan retakan, tampak pecah-pecah. Terlebih ketika memandang sebuah benda raksasa yang menjulang tinggi, berbentuk bulat dan terlihat pecah. Dari dalamnya keluar tubuh-tubuh mirip manusia bersimbah darah yang menggeliat berebut keluar, merayap menuruni jalanan.

Erika bergidik ketakutan, matanya terbelalak saat satu tubuh mirip manusia itu mendekat. Bram segera maju, melempar makhluk tersebut dengan dahan yang agak besar. Si makhluk ganjil tampak ketakutan lalu berbalik, merayap menjauh.

Entah makhluk macam apa itu, mereka berkeliaran di gang-gang, walau hanya menggoyangkan tubuh dan menjulurkan lidah, tak melakukan apa pun yang dianggap berbahaya. Lagi pula, pada jam sekian ini tidak ada orang di permukiman yang keluar rumah.

Krista lantas berseru. Dia melihat Mas Seng dengan pakaian beskap berjasnya dan beberapa teman yang lain. Terlebih, perempuan itu merasa ngeri tatkala seorang remaja rekan mereka berdiri sendirian, perlahan berjalan menuju sesuatu mirip tengkorak berjubah. Krista langsung tahu dia terkena pengaruh Ala.

"Stop!" sergahnya seraya berlari. Di tengah jalan, rupanya ada seorang laki-laki tinggi yang mematung seakan kesadarannya hampir hilang.

"Krista?" Dia langsung tersadar melihat Krista datang.

"Zain! Apa yang terjadi?" tanya Krista. Erika dan Bram menyusul di belakang.

Zain menceritakan bagaimana mereka bertemu Ala yang sangat berbahaya, sebagai akibat perbuatan orang-orang biadab di daerah sekitar yang memesan jasa praktik aborsi. Terpicunya kebangkitan Ala yang mencari pembalasan dendam. Mas Seng harus melawan dia seorang diri, amat kewalahan hingga terkena sayatan sana-sini dan kehilangan banyak darah. Kini sang Master Ruang Iblis harus menjalankan tugasnya dalam mengembalikan Ala yang seharusnya tidak berada di dunia manusia, mengirim kembali ke Dunia Bawah tempat Ala seharusnya berada.

"Di mana Mas Seng?" tanya Erika.

"Sekarang Mas Seng melawan Ala itu sendirian, dan menyelamatkan Fina yang dalam bahaya," jawab Zain dengan napas terengah-engah saking terkuras tenaga akibat pertarungan sebelumnya.

Tanpa berkata-kata lagi, mereka menuju tempat Mas Seng berada.

Di kejauhan, Mas Seng merapal mantra, seketika dari dalam tanah keluar daun pintu setinggi dua meteran dengan ukir tradisional berupa bunga dan motif khas. Setelah melakukan gerakan khusus dengan jari dan menyebut kata tertentu, dua daun pintu terlipat dan terbuka ke arah berlawanan.

Tampak di hadapannya Ala berwujud mirip tengkorak berjubah tengah merayu Fina, remaja yang menjadi incarannya selama ini. Mas Seng harus menghentikannya.

Krista menyaksikan Mas Seng memelesatkan kain panjang, tetapi memeleset. Kemudian dia menciptakan dua bola cahaya biru, sayang langsung ditangkis lawan. Ala di hadapan amat berkuasa, ia tertawa terbahak-bahak.

"Kita harus membantu Mas Seng! Erika, kamu selamatkan Fina!" perintah Bram.

"Baik!"

Erika bergerak menghampiri Fina yang berdiri melamun, saat digoyang pundak tak ada respons. Dia seperti boneka, tatapan kosong, lengan lemas.

Sementara Krista dan Bram, satu hantaman angin dari musuh langsung menerbangkan mereka, menabrak pohon lalu jatuh ke tanah. Sekujur badan berdenyut seketika.

Mas Seng masih bertahan dari serangan. Namun, jurus yang bertubi-tubi mengenai tak ayal membuat pemuda itu ambruk.

Ala tertawa puas mengalahkan mereka semua. Ia yang melihat incarannya dibawa pergi kemudian menargetkan Erika. Pukulan angin dilancarkan dalam sekejap mata.

Target menjerit ngeri dihadapkan serangan ke arahnya. Zain bergegas memblokir dengan tubuh, alhasil jatuh berguling.

Erika terbelalak, dia maju untuk melindungi incaran musuh.  "Tidak akan kuserahkan dia kepadamu!" ujarnya merentangkan tangan di antara Ala dan Fina.

Sayang Fina yang dirasuki berada di pihak musuh sekarang, dia mencekik Erika dari belakang, membuat si ketua bawahan tercengang, melawan dengan menarik tangan, sayang kuasa manusia yang dirasuki Ala begitu kuat. Erika berakhir lemas lalu ambruk.

Fina berjalan menghampir Ala. Kini mereka berada di depan telur raksasa yang hancur. Banyak tubuh manusia yang menggeliat.

Mas Seng tergerak untuk maju kembali. Dia menarik Fina dengan kain panjang yang memelesat, sayang gagal. Fina masih terpaku kuat di sana.

Mas Seng kesulitan menghadapi Ala. Tak mungkin dia berhasil mengalahkan dengan cepat. Satu-satunya yang bisa dilakukan sekarang adalah memprioritaskan rekan yang jadi tawanan.

"Semuanya, panggil Fina agar kita bisa menyelamatkannya!" seru Bram.

"Fina! Kembali!" teriak Krista.

"Fina!" panggil Zain.

"Fina! Sadarlah!" pinta Bram.

"Kak Fina, tolong buka matamu!" Erika berseru seraya memejam mata.

Fina sekilas bergidik. Sorot matanya kembali diliputi cahaya. Dia tampak kebingungan, lalu setelah melihat sesosok mirip tengkorak berjubah begitu dekat, dia berteriak ketakutan. Kepalanya menekuk ke belakang dan tubuhnya seakan melayang. Fina kerasukan lagi.

Dalam sekejap keduanya masuk ke dalam isi telur.

Mas Seng kehabisan waktu. Dia kerahkan tenaga melompat ke dalamnya. Menembus tubuh-tubuh manusia bersimbah darah, dia terus mencari sosok Fina. Di antara ratusan bahkan ribuan gumpalan daging, Mas Seng menembus. Teriakan, tangisan bayi, memenuhi kepala hingga telinga hampir pekak. Mas Seng masih bergerak hingga terlihat seragam.

Saat ketemu, langsung dia tarik dan bawa ke permukaan.

Semua yang menyaksikan menahan napas melihat aksi Mas Seng. Mereka bernapas lega Fina berhasil diselamatkan.

Ternyata, jimat yang dibawa Fina menyelamatkan tubuhnya. Benda liontin tanpa kalung itu berpendar kekuningan.

Namun, ada yang aneh.

Rupanya, hanya fisik Fina, tidak jiwanya. Arwah itu hilang dibawa ke Dunia Bawah. Jiwanya digantikan bayi nan tak berdosa--entah siapa, mungkin calon buah hatinya yang telah digugurkan dahulu.

Tak ada yang tahu sudah berapa lama sejak insiden terakhir yang melibatkan Ala. Tak seorang pun berani menghitung hari.

Fina dibawa ke bangsal rumah sakit jiwa. Di sana dia dibina untuk menjadi remaja seumurannya. Para pelatih memuji dia tipe yang cepat belajar. Baru sebentar sudah bisa memahami cara bergerak, berjalan, memecahkan masalah, walau masih sulit berbicara.

Di lain sisi, sebuah kamar yang gelap. Benda-benda berantakan. Di depan cermin, seorang remaja perempuan mengacak rambutnya dengan ekspresi frustrasi. Erika jadi stres berat.

"Aku salah. Aku salah. Aku yang salah. Ini salahku. Ini salahku. Ini aku yang salah? Tidak ...."

Akhirnya Erika menerima. Dia menyadari bahwa setiap kegagalan pasti terjadi, yang harus dilakukan adalah membereskan hal-hal yang tertinggal.

Erika mengunjungi bangsal tempat Fina dirawat. Saat bertemu dia merasa canggung seperti berbicara dengan orang baru.

Setelah selesai, dia berbicara kepada perawat. Katanya, apakah dia teman pemuda yang sering datang. Erika terkejut ternyata ada yang rutin memeriksa kondisi Fina, pasti dari Ruang Iblis. Erika tahu.

"Ah, iya, Dik. Katanya kalau ada yang berkunjung, ini ada barang yang tertinggal, dan mau dia kembalikan, tapi tidak sempat ketemu langsung."

Erika menerima barang itu.

Sebuah liontin.

Seketika Erika terisak terharu, air mata menetes dari pelupuk. Dia remas liontin itu di dada. Dalam dorongan tanpa ucapan, sebuah dukungan untuk Erika.

Dia harus terus melangkah maju.

###

Sleman, 14 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro