Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cuaca cukup bagus untuk keluar rumah. Ketimbang langit biru tanpa awan, matahari bersinar di ufuk timur, dan burung yang beterbangan, ada dorongan yang mengharuskan memulai aktivitas pagi.

Terkait hal itu, Krista mengusap seragam roknya. Poni dia sisir rapi seraya bergaya di depan cermin, berputar satu kali ke kanan, sekali ke kiri, melihat rumbai-rumbai seakan mengembang. Ada hal penting yang selama ini seharusnya dilakukan, yaitu berangkat pagi ke sekolah.

Tas dia cangklong, pamit menutup pintu. Agak bergegas lari. Di jalan, dia bertemu Bram. Laki-laki pendek yang memakai kupluk itu tampak bermuram wajahnya. Krista lebih memilih asyik memainkan rok dan ujung rambut di poni ketimbang memulai pembicaraan, menunggu duduk dan satu berdiri di spot yang terdapat tanda bergambar bus.

Walaupun, pada kenyataannya yang tiba ialah angkot berwarna cat hijau. Keduanya naik angkutan umum tersebut yang sudah ramai akan remaja sekolahan sama seperti mereka, juga ibu-ibu yang membawa keranjang beserta belanjaan. Krista dan Bram hanya berdiam-diaman duduk berseberangan.

Tatkala oto sampai di depan sekolah dengan plakat besar bertuliskan SMA, Krista turun dahulu berbarengan sejumlah remaja berseragam almamater sama.

Di depan gerbang, si perempuan bertubuh kecil beradu sejenak, memandang ke langit biru, lalu beranjak.

Sudah banyak hal terjadi selama dia menjadi bawahan di Ruang Iblis. Sejak Mas Seng mengajaknya bergabung, suka maupun duka dilalui. Apalagi akhir-akhir ini begitu banyak kemalangan menyertai mereka, rentetan pertanyaan muncul tanpa henti dan tidak ada satu pun yang bisa terjawab.

Sebenarnya bukan pertama kali kasus ini menimpa. Dahulu pernah satu bawahan Ruang Iblis membangkang, disuruh bekerja dia tak mau, selalu beralasan ini dan itu, rupa-rupanya penyebab dia enggan ialah salah seorang kawannya pernah diculik Ala, entitas misterius yang meneror seisi sekolah, sampai kini tak ada kabarnya. Oleh karena itulah, bawahan dahulu itu tak percaya lagi pada Ruang Iblis lalu keluar. Sekarang dia pula turut menghilang tanpa suara.

Sementara pada kejadian Fina. Krista teringat kala itu Mas Seng napasnya terengah-engah, dengan raut kelelahan dia bertelut, telapak menumpu tanah. Pemuda itu menatap tubuh Fina yang seakan-akan bersinar, seolah-olah suci kembali di balik seragamnya. Bahkan ketika membuka mata, Fina tak seperti dahulu, lupa akan segalanya, memulai dari nol lagi. Sementara itu, Ala berwujud menyerupai kerangka berjubah sudah dikembalikan lewat pintu berukir, saat memelesat diarahkan tepat memasuki daun terbuka. Para remaja di sana masih terpaku, memandang Fina yang juga terheran-heran mendapat tatapan semacam itu.

Erika paling tercengang, matanya membeliak seakan-akan kedua bola mata hampir copot dari lubangnya.

Mata Krista membulat, lingkaran pada irisnya menyala biru, bagaikan hendak membakar habis semua pandangan yang dia tangkap. Mas Seng penuh penyesalan. Erika penuh kesengsaraan. Para bawahan menyayangkan.

Krista menyadari itu.

Suatu tempat di sekolah yang berbeda, adalah bagian belakang gedung yang jauh dari keramaian, tampak terbengkalai ditandai penuh akan benda rongsokan yang meliputi tongkat besi berkarat dan patah, kursi serta meja lapuk, daun pintu dilahap rayap, balok-balok kayu nan lapuk.

Di antara semua itu, di bawah naungan pohon penghijau, terdapat sebuah kandang yang pada dasarnya tidak layak dijadikan kurungan, ruang seukuran satu kali satu kali satu meter kubik, dilingkupi pagar kawat dibentuk kubus, diberi kaki dari kayu yang tidak seragam, ditambah atap dari seng yang agak berkarat.

Seorang remaja laki-laki berseragam putih abu-abu selayaknya murid di sekolah situ, ialah Ren. Dia berdiri di depan, mengurus kandang burung tersebut. Tangan memegang sekarung kecil berisi biji-bijian aneka rupa, tampak lezat lagi bergizi dari warnanya seperti suplemen diperkaya nutrisi tambahan, segenggam demi segenggam dimasukkan ke wadah setengah batok kepala. Berikutnya dia isi kotak di samping dengan cairan jernih dari mata air pengunungan alami.

Di dalamnya, beberapa ekor tekukur  menampakkan diri, awalnya buram karena gelap dari naungan pohon, setelah dihitung mereka adalah susunan keluarga: ibu tekukur, bapak tekukur, kakak tekukur, adik, paman, bibi, sepupu, ipar, anak-anak mungil.

Suara yang merdu, dari jantan berkicau di setiap tempat dan waktu, yang dapat diikuti oleh orang nadanya. Dimulai dari nama burungnya, sebanyak tiga kali, lalu tambahan di akhir.

Kadang-kadang, seseorang datang berkunjung, yang ketahuan mengikuti iramanya. Dia adalah William, menemani Ren. Lelaki itu berkunjung kali ini seperti biasa, tetapi ada bahasan tertentu yang ingin dibicarakan.

Untuk membedakan, Ren memiliki model rambut cepak dengan bagian belakang dicukur gundul, berponi kecil di depan. William selayaknya siswa biasa model rambut pendek menyerupai ketua teladan serta panutan kelas. Lagi pula, pin bintang di saku kemeja putih tak bisa berbohong, dia bersinar, adalah sosok yang disegani.

"Apa kabarmu?" tanya William.

"Tidak baik. Katanya bawahan baru terkena imbasnya lagi?" Ren meletakkan karung ke bawah kandang.

William tidak membalas baik jawaban maupun pertanyaan.

"Hati-hati nanti kamu yang jadi incaran selanjutnya," ujar William.

"Kamu itu yang hati-hati di ngomongnya," balas Ren.

"Ini salahku," William yang seharusnya memberi keceriaan mendadak murung, "Dua orang."

Ren menghadapnya menentang menaruh perhatian penuh.

"Walau aku sudah memberi tahu mereka konsekuensi, ternyata setelah melihat langsung, tentu semuanya bakal ketakutan dan memilih meninggalkan."

"Tidak ada bawahan yang bisa meninggalkan Ruang Iblis setelah mereka terikat kontrak," sahut Ren. Dia mengikuti gerak William yang duduk jongkok di bawah pohon.

"Itu mereka juga sudah tahu."

Tak ada lanjutan lagi di obrolan mereka. Hanya kicau burung dan suara angin yang menemani.

Daripada hening tak ada kemajuan, salah satu bangkit lalu berkata waktu istirahat hampir habis.

"Jadi sementara bakal kusuruh mereka diam saja, jalani hidup sehari-hari seperti biasa. Kalau ada tugas bakal kubilang mereka MIA--missing in action."

"Bukannya ghosting?" sahut Ren, yang dibalas bahwa itu sama saja.

"Berhati-hatilah. Ruang Iblis dan Ala, masing-masing dari dua sisi itu memiliki maksud dan tujuan yang berbeda. Tidak ada satu pun yang memihak manusia."

Keduanya beranjak dari halaman belakang gedung sekolah, sudut yang terbengkalai.

Tak ada yang menyadari, dari dalam kandang, keluar tangan raksasa, bayangan hitam legam seakan-akan hendak mencengkeram kuat-kuat udara kosong, lalu mata merah memelotot di situ. Burung-burung tekukur hilang dan muncul berganti-gantian laksana dilahap dimuntahkan berulang kali.

Makhluk itu meronta-ronta mengepakkan sayap untuk kemudian hanya menabrak pagar kawat di bangun kubus tersebut, berebut ingin keluar walau tak bisa, saling melukai, berdarah-darah. Mengeluarkan cairan merah yang mengalir deras.

###

Sleman, 25 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro