Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ke mana pun mata menandang hanya tampak genangan darah. Potongan tubuh berserakan di mana-mana. Tangan yang putus menekuk kaku, penuh luka dan kaki dengan tulang betis mencuat. Isi perut menyebar membentuk gumpalan-gumpalan berlendir. Gundukan kepala manusia diselimuti ceceran daging dan disiram cairan merah di dalam kolam darah.

Napasnya tersengal-sengal, mata terbeliak, pupil menyempit. Dia menengadahkan kedua telapak yang gemetar. Kulit mengelupas yang bersimbah darah bukan miliknya.

Tubuh-tubuh yang sudah hancur itu bangkit, menampakkan lubang menganga di perut, tengkorak yang hancur sebagian, berjalan pincang. Kesemua itu menatap penuh amarah kepadanya, yang menuding seraya berteriak, 'Ini salahmu ....'

Laki-laki itu terbangun. Kepala diangkat mendadak dan ekspresinya ngeri, mata membelalak dan napas terengah-engah, peluh membasahi dahi. Perempuan yang memanggilnya, sama-sama terkejut, lalu bersikap biasa.

"Will, kamu suka hal-hal berbau supernatural, kan?" tanya perempuan yang juga memakai seragam satu almamater dengannya.

William, laki-laki yang disapa, mengangkat wajah, untuk mengenali siapa perempuan itu. Setelah beberapa saat, ingatannya terhubung, dan diambil jawaban bahwa seingatnya dia adalah anggota ekstrakurikuler peramal.

Perempuan yang dikenalnya itu melanjutkan, "Setelah insiden teroris bulan lalu, banyak murid yang datang ke tempat kami untuk meminta terapi. Padahal kami itu ekskul peramal, tapi berhubung anggotanya berpengalaman dalam pemulihan, jadi kami terima. Tapi lagi, kami kekurangan tenaga, jadi kami ingin meminta bantuanmu--eh, Will, kamu dengar tidak?"

"Insiden teroris ...."

Will ingat itu adalah kejadian yang dimulai ketika ada seorang remaja sebaya dia, yang pada dasarnya diwajibkan menuntut ilmu di sekolah, tetapi justru membawa senjata api. Dia menembaki para murid malang yang langsung meregang nyawa, termasuk sahabat Will sendiri. Histeria masal berlangsung, orang-orang berebut berlarian keluar. Pada akhirnya pelaku menghilang dan para bawahan Ruang Iblis mengendus jejak-jejak Ala, bersamanya Will menghentikan pelaku penembakan itu.

"Aku akan membantu, dengan satu syarat." Will mengacungkan jari telunjuk.

Perempuan yang diajak berunding menatap heran. Baru Will menjelaskan bahwa tawaran ini menarik dan menjadi solusi menguntungkan bagi kedua pihak. Will membantu klubnya, dan perempuan itu bersama satu perempuan lagi bergabung menjadi orang-orang yang bertugas mengembalikan sesuatu mirip hantu kembali ke dunia asalnya. Ini semua tentang legenda urban.

"Menjadi bawahan Ruang Iblis?"

Memori itu kembali dan pudar layaknya gelembung di permukaan air.

"Will, kamu yang dulu mengajak dua anggota ekskul peramal itu, kan?"

Saat ini dua siswi yang berbeda, tetapi satu kelas, di waktu istirahat sekolah.

"Kalau tidak salah, menjadi bawahan Ruang Iblis," lanjut mereka.

Will terkesiap dan matanya membuka lebar, itu ditangkap sebagai isyarat mengiakan bagi kedua perempuan.

"Kami juga mau bergabung!" seru mereka.

Ujung-ujungnya Will harus menolak, tetapi sebelum itu dia ingin tahu alasan mereka tertarik. Keduanya saling tatap ketika ditanya, lalu seperti satu suara.

"Bukannya terdengar keren? Menangkap siluman lalu mengembalikan mereka ke asalnya!"

"Kalian tidak tahu jika Nia dan Fae absen sekolah?"

Keduanya heran dan tidak paham dengan maksud ucapan Will. Pada kenyataannya, mereka memang tidak tahu soal itu.

"Aku sedang tidak bisa merekrut anggota baru. Coba tanya lagi kapan-kapan," tolak laki-laki itu.

Yang ditolak merasa kecewa, tetapi agak maklum karena Will tampak lelah. Kejadian terbaru, sebagai bawahan, membuat Will merasa tidak berguna.

Tanpa dia sadari ada yang memperhatikan dari seberang luar kelas.

Waktu pulang yang didambakan, orang-orang berebut untuk dahulu mencapai gerbang. Will tidak seperti itu, dia tinggal di kelas untuk sementara waktu, melamunkan hal acak selama memejam mata.

Laki-laki itu lalu berdiri, membawa tas lalu keluar. Di suatu taman seseorang melambai, dia balas dengan senyuman.

Setelah itu, Will mesem sendiri sambil berjalan. Menuju ke belakang gedun sekolah yang terbengkalai. Tak ada siapa-siapa bahkan kandang burung seperti belum disentuh. Tanpa dia ketahui ada laki-laki yang mencegat di balik tembok.

"Habis dari mana?" Dia terkejut. Ternyata itu Ren.

"Biasa, ketemuan sama pacar," jawab Will.

Ren seketika kaget. "Bukannya kalian sudah putus?"

Yang ditanya tampak malu-malu, mengusap belakang kepala. "Kami ... balikan ...."

Sungguh di luar prediksi Ren. Dia pikir Will jomlo dan karena itulah sebagai kawan senasib saling mendukung, tetapi ternyata dia dikhianati.

Daripada memikirkan itu, Ren ingin membahas hal lain yang lebih serius.

"Kenapa kamu tolak mereka?"

Will langsung menoleh dan membalas, "Hah?" Itu sebagai minta dijelaskan maksud pertanyaannya.

"Aku baru saja mengajak Theo," ujar Ren.

"Kamu baru saja menambah bawahan lagi? Bukankah kamu bilang itu bahaya?"

"Aku hanya memenuhi kuota bulan ini. Kamu tahu, kita tidak bisa mengakses Ruang Iblis kalau tidak mengajak teman. Begitu 'kan kata Mas Seng," alasan Ren.

Will seketika lemas, beralih posisi ke merosot. "Benar juga," katanya.

"Hei, jangan murung. Aku tahu aku salah. Setelah kontrak akan kusuruh dia diam tidak ikut kegiatan Ruang Iblis." Itu seperti Ren meniru ucapan Will silam.

"Oh!"

"Kenapa?"

Will mendadak berdiri, menggenggam gawai dengan tatapan serius. Ren ikut tegang juga.

"Krista menelepon. Jarang-jarang ...."

Ren membulatkan mulut. "Ada yang aneh," pikirnya.

Hari Minggu, orang-orang berkumpul. Berbaju santai, ekspresi mereka menikmati liburan. Remaja-remaja yang bangun dan memiliki energi penuh di pagi hari manakala matahari bersinar cerah.

Sebagian besar dari mereka mengendarai sepeda, mengelilingi simpang tujuh dengan senang hati.

Rupa-rupanya, Krista mengajak olahraga pada hari itu, dan juga bermain gim menyenangkan.

Pertama, setelah bersepeda pagi, sebagian berpartisipasi estafet kelereng. Alat-alat sudah disiapkan ketua, Erika. Tak tampak Mas Seng, katanya datang terlambat. Pemenangnya yang paling dahulu mencapai garis finis.

Selanjutnya adalah badminton, Bram dengan kupluknya melawan Ren yang tinggi.

"Aku tidak akan kalah darimu walau aku pendek!" tantang Bram.

Ren mengedik bahu melirik ke arah lain. "Iya, iya."

Bram bermain dengan lihai juga gesit memelesat menangkis kok. Tiap serangan langsung dia balas, bahkan smes pun bisa diterima.

Sayangnya, hasilnya beda tipis.

"Kenapa .... ?" Bram berteriak kecewa.

"Kamu hebat, Bram. Lengah sedikit saja, aku kalah." Ren maju mengajak jabat tangan.

Bram bersikap tenang, lalu menjabat tangan yang terulur. "Lain waktu aku yang akan menang!"

Selanjutnya olahraga sepeda, bedanya kayuhan harus dilakukan seminimal mungkin, peserta harus menjaga keseimbangan. Yang paling terakhir mencapai garis akhir sejauh dua puluh meter ialah pemenangnya. Dalam hal keseimbangan, banyak yang jago. Mereka bersaing ketat. Juara baru bisa didapat setelah semua menyerah mempertahankan posisi selama hampir setengah jam.

Akhirnya puncak acara yang ditunggu-tunggu, ialah makan-makan. Menu utama kali ini ada dua, bandeng duri lunak bakar dan es campur semangka tanpa biji. Erika dan Krista yang bertugas mengipasi di atas tungku arang, keduanya kewalahan akan asap yang terus membuat batuk dan mata perih, akhirnya memakai kacamata renang dan masker. Sedangkan yang membuat minuman adalah Zain, ternyata diam-diam dia ahli dalam hal itu, diketahui dari pujian perempuan-perempuan yang mencoba esnya.

Setelah siap, beberapa tikar digelar. Lanjut para remaja itu mengobrolkan persoalan sehari-hari, baik sekolah maupun di rumah.

Ren duduk sendirian di bangku taman ketika Will menghampirinya sambil senyum-senyum aneh. "Sama pacarmu lagi?" tanya Ren.

Will tersipu malu dan mengusap belakang kepala sambil terkekeh-kekeh. "Hehe, iya ...."

Ren memasang ekspresi jijik. "Putus saja sana," ejeknya.

Dia mengalihkan pandangan ke arah teman-temannya yang duduk di atas tikar. Ternyata ada orang itu di antara mereka. Lirikan Ren tertuju pada Mas Seng. Seakan Ren mengerti, sang pemuda dengan air muka penuh teka-teki telah berfirasat setelah ini bakal terjadi kekacauan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

###

Sleman, 4 Februari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro