⏺️ 29 ⏺️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shou menyipitkan mata. Badai yang bergulung-gulung berangsur-angsur lenyap, lalu menampilkan sosok makhluk dalam wujud kobaran api yang menyerupai malaikat. Sayap birunya menggelegak. Hawa panas terasa membakar, tapi seolah tak mempan pada dua malaikat yang mengambang di udara.

“Nakai,” gumam Shou dingin.

Suara mendeguk keras terdengar membalas sapaan sang malaikat. “Jenderal Haes-sal, sang Pedang Langit.”

Kemudian sosok semampai lain muncul. Tanpa sayap, dia terbang menyandingi agma. Lengannya bersedekap menantang. Gaun panjangnya berkibar lembut tertiup hembusan angin.

“Apa yang kau lakukan di sini, Sora?” Tatapan tajam Shou melesat seolah hendak mencabik tubuh ramping di hadapannya.

“Hanya membuatmu sedikit sibuk.” Sora tersenyum kecil. “Selagi membiarkan istrimu bersenang-senang dengan sahabatnya.”

Shou secara tiba-tiba dan sangat cepat mengayunkan gaenari. Pedang legendaris dengan kelenturan serupa cambuk dan rantai api. Yang disasar berkelit lincah dalam satu lentingan indah menjauhi ujung gaenari.

“Istriku tak bersenang-senang dengan siapapun,” Shou berkata dingin.
Sora, alih-alih ketakutan, justru tertawa kering. “Kenapa kau membela manusia lemah itu, Jenderal?”

“Di mana dia?” Shou mengabaikan pertanyaan lawan bicaranya.

Alis Sora terangkat tinggi. “Kau benar-benar tak tahu? Yang benar saja! Malaikat sepertimu mana mungkin tak mengetahui di mana keberadaan istrimu sendiri.”

“Cepat katakan di mana Hee Young, Sora!” Shou terbang mendekat. Matanya nyalang menatap wanita yang terus berdiri di sebelah agma berwujud api. “Ah, atau perlu kupanggil kau Dewi Song-he? Selir Yang Mulia Dangun?”

Sora memucat. Cara terbang wanita itu terhuyung. “Ba ... Bagaimana kau bisa tahu?”

“Katakan di mana istriku sekarang, Dewi.” Shou merentangkan pedangnya hingga tegang kaku. Dia mendekati sang dewi tanpa takut.
Sora berteriak murka. “Kenapa kau tak memilihku, Haes-sal?”

“Katakan pada Dewi Cheong-he, sampai mati pun aku tak akan pernah memilihmu.” Haes-sal menghunus pedang gaenari di tangannya. “Jadi katakan, di mana kalian menyembunyikan Hee Young?”

Di sampingnya Taehyung menatap terkejut sang sepupu. Namun, dia tak sempat bertanya karena Nakai sudah melancarkan serangan. Sabit api biru terayun ke arah mereka. Hempasannya membuat Taehyung oleng, tapi Shou bergeming.

Malaikat itu seolah tak terpengaruh badai angin yang tercipta dari senjata agma. Dia membalas serangan dengan mengayunkan gaenari. Pedang panjang itu berubah lentur seperti rantai yang terbentuk dari deretan bola cahaya dengan kekuatan meremukkan tingkat tinggi.

Gaenari melilit tubuh api Nakai. Agma itu meraung keras. Dalam gerakan sangat cepat, tangannya yang mencengkeram sabit terayun pendek ke arah rantai cahaya gaenari.

Lilitan pedang Shou jadi longgar. Kesempatan yang tak disia-siakan Nakai dengan mengecilkan dirinya dan meleleh turun dari lingkaran rantai cahaya. Agma itu lalu melesat cepat ke arah sang jenderal.

“Angae!” Shou berteriak keras memperingatkan.

Terlambat. Taehyung yang tak memiliki respon segegas Shou berdiri mematung. Hunjaman rasa panas luar biasa menggantikan perih yang menyerang. Malaikat itu menunduk. Pandangannya hampa terarah ke sabit api yang menancap di dada.

“Sial!”

Taehyung mendengar makian Jenderal Langit. Namun, pikirannya tak bisa fokus. Nakai memutar sabitnya dan luka makin tertoreh dalam. Terdengar suara berdeguk sebelum Taehyung memuntahkan darah segar.

Shou terbang menuju ke arah sepupunya. Tapi kalah cepat dengan Nakai yang menarik senjata. Tubuh Taehyung ikut tertarik karena sabit yang masih menempel. Malaikat itu kini berada di genggaman agma yang mencekik lehernya kuat-kuat.

“Dia mangsa yang lezat.” Nakai mengolok.

Di sampingnya wajah Sora pucat pasi. Rencana yang disusunnya berantakan. Agma kejam itu lebih liar dibanding dugaannya. Dia segera menjauh bersamaan dengan Shou yang terbang cepat ke agma.

“Lepaskan dia, Nakai!” geram malaikat itu.

Taehyung mencengkeram lengan api Nakai yang masih mencekiknya. Namun, luka akibat tusukan sabit membuatnya kehilangan tenaga. Telapaknya mulai melepuh akibat bersentuhan langsung dengan kulit api agma.

Shou kembali mengangkat gaenari. Dia menebas lengan Nakai. Pegangan agma terlepas dari tubuh Taehyung, disusul raungan murka dan kesakitan. Sigap malaikat itu menerima Taehyung dan membawa serta sabit api bersamanya.

“Haes-sal ....” Suara Taehyung melemah.

“Jangan banyak bicara. Api Nakai akan menyerap energimu.” Dengan ketenangan luar biasa, Shou menggenggam senjata yang masih menancap di dada sepupunya. Sinar perak menyelubungi tangannya, melindunginya dari api biru yang merusak.

“Tahan, Angae,” perintah Shou.

Taehyung tersenyum lemah. “Pantas saja kau dijuluki Pedang Langit.”

Shou membuat kubah perisai yang melindunginya dari serangan Nakai. Sementara dia berkonsentrasi mencabut sabit mematikan di tubuh sepupunya. Meski begitu, telinganya masih awas menanggapi ocehan Taehyung.

“Kenapa memangnya?”

Taehyung mengernyit. Hentakan rasa sakit muncul saat sabit itu mulai bergerak perlahan.

“Tak punya nurani,” kekeh Taehyung.

“Menghadapi agma tak perlu nurani.” Shou menjawab tanpa emosi.

“Kau—” Taehyung kembali mengernyit, berusaha keras tak mengerang kesakitan akibat senjata agma. “Kau pantas menggantikan kakakmu.”

“Aku sudah tahu.”

“Kalian ... kakak beradik yang ... yang menakutkan.” Napas Taehyung terputus-putus.

“Dan kau dewan penasihat yang mengerikan.” Shou mengembangkan sedikit senyum. “Maaf telah menyeretmu ke kekacauan ini, Angae.”

“Aku merasa terhormat.” Malaikat itu memejamkan mata. Api dari sabit Nakai serasa membakar paru-parunya. “Bisa menemani jenderal hebat sepertimu berduel de—dengan agma. Mes—meski aku hanya ... merepotkan.”

“Sepertinya aku perlu lebih sering membuatmu terluka.”

“Ke—kenapa?”

“Kau jadi cerewet saat kesakitan. Aku suka itu.”

Taehyung ingin tertawa, tapi Shou tengah menarik keras sabit di dadanya. Akhirnya dia melenguh panjang, tak tahan dengan rasa sakit yang menghunjam.

“Bagaimana prajurit seperti kalian bisa tahan dengan semua ini?” Wajah Taehyung pucat pasi.

“Kapan-kapan kuceritakan.” Nada tegas milik Shou kembali lagi. “Sekarang ada masalah yang lebih genting.”

“Ada apa?”

“Nakai kabur.” Mata emas Shou berkilat. “Song-he juga menghilang.”

Taehyung bersusah payah mengamati keadaan sekitar. Langit di bumi sama heningnya seperti sebelum kedatangan mereka berdua.

“Angae, diam di sini. Aku sudah memberi tahu kakakku untuk menjemput.”

“Kau mau ke mana?” Taehyung cukup bijak untuk menolak ikut. Racun dari api Nakai mulai menyebar. Dia hanya akan memperlambat pergerakan Shou jika terus mengekor.

“Menjemput kekasihku.” Pandangan tajam Shou melihat ke arah barat. “Siapapun yang telah menutupi keberadaan Hee Young, dia telah membuka tabirnya.”


~~oOo~~


Hee Young tertegun. Yong Jin mencengkerat erat bahunya.

“Aku mencintaimu, Hee Young.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kita sekolah. Sejak pertama kali bertemu denganmu.”

Hee Young terperangah. Tubuhnya limbung. Dia terhuyung, tapi ditahan pelukan Yong Jin. Dia sekaku papan. Telinganya yang menempel di dada sang sahabat mendengar detak jantung yang menggedor keras. Anehnya, Hee Young tak merasa nyaman dengan kedekatan itu.

“Aku hanya bisa memendam cemburu saat kau menceritakan tentang Seo Joon.” Yong Jin mengecup puncak kepala Hee Young.

Perempuan itu secara insting menghindar. Namun, dia tertahan pelukan Yong Jin.

“Aku sudah tercemar, Yong Jin.”

“Aku tak peduli,” timpal lelaki itu cepat. “Di mataku, kau masih semurni tetesan embun.”

“Aku sudah menikah.”

“Pernikahan tak akan menghalangiku mendekatimu.”

Hee Young menegang di pelukan Yong Jin. Lelaki itu tak melepaskannya. Suasana di sekitar mereka yang sangat sepi membuat Yong Jin bertindak berani. Tanpa melepas pelukannya, dia menarik dagu Hee Young agar mendongak dan melumat keras bibir ranum itu.

Hee Young berontak, tapi sia-sia. Tenaganya kalah kuat dibanding lelaki itu. Bibir Yong Jin mulai bergeser ke kiri, menggigiti ujung bibir perempuan itu, menggelitik halus bagian tempat dua bibir itu bertemu. Lidahnya mempelajari kontur bibir mungil yang berada di bawahnya, mencecap esensi manis-asin milik Hee Young.

Suara teredam perempuan itu membangkitkan semangat Yong Jin. Bibirnya semakin menuntut, lidahnya mendesak, dan mulai mendorong hingga bibir Hee Young terbuka. Erangan perempuan itu diterimanya dengan sukacita, meski dia juga merasakan sepasang tinju mungil berusaha keras mendorong tubuhnya.

Yong Jin mulai memperdalam ciumannya. Namun, makian kerasnya sontak terdengar saat Hee Young menggigit bibirnya.

“Sialan! Hee Young, apa yang kau lakukan?”

Pelukannya terlepas. Hee Young buru-buru bergerak menjauh. Kelopak matanya terbuka lebar. “Kau sudah gila?”

“Apanya yang gila?” Lelaki itu mendesis kesal. “Karena status persahabatan kita? Atau karena kau sudah menikahi si berengsek itu?”

“Yong Jin!” tegur Hee Young kaget.

“Dari semua pria di dunia ini, kenapa kau menikahi Kim Shou? Aku sudah bersamamu sejak lama, tapi kau malah memilih orang asing. Apa kau tahu bagaimana sakitnya hatiku?”

Hee Young terhuyung mundur. “Aku sudah menganggapmu saudara.”

“Tapi aku tidak.” Lelaki itu membalas ketus.

Mata Hee Young mengerjap. “Tato itu ... tato namaku yang kau buat, itu ungkapan perasaanmu?”

“Ya!” bentaknya keras. “Dan jika kau ingin tahu, aku punya tato lain yang tak pernah kutunjukkan padamu. Tato namamu dan namaku.”

Hee Young terkesiap saat Yong Jin maju dan mencekal pergelangannya.

“Tinggalkan Kim Shou. Aku bisa memberimu ribuan kebahagiaan lain.”

“Tidak!” Penolakan yang dilontarkan Hee Young adalah kejujuran perasaannya. Sorotnya penuh permohonan maaf. “Aku tak bisa, Yong Jin.”

Lelaki itu tertawa pahit. Getarannya menjalari tubuh. “Karena kau mencintai Kim Shou?”

“Ya.” Sekali lagi jawaban bernada maaf keluar dari bibirnya. “Aku tak bisa meninggalkannya, Yong Jin. Tidak setelah apa yang sudah dilakukannya padaku.”

“Aku juga melakukan banyak hal padamu.” Lelaki itu memprotes.

Hee Young menggigit bibir. Netranya menyorot sendu. “Aku tahu dan berterima kasih untuk itu. Namun, perasaanku padamu tak lebih dari saudara.”

Yong Jin menatapnya sangat tajam hingga membuat Hee Young gelisah. Kebisuan di antara mereka menekan dada Hee Young sangat kuat. Dia ingin melangkah pergi, tapi kakinya seolah menolak keinginannya. Tungkai itu terpancang erat di lantai Aquaplanet. Hingga menit-menit mencekam itu dipecahkan oleh perkataan aneh Yong Jin.

“Kau di sini rupanya.”

“Apa?” Hee Young bingung. “Aku sejak tadi di sini, Yong Jin.”

Lelaki itu berjalan mendekat. Langkahnya serupa serigala yang mendatangi mangsa. Tatapan laparnya tak dikenali Hee Young. Sahabatnya seolah melihatnya seperti kelinci korban persembahan yang terjebak.

“Jadi, sudah tak ada kesempatan untukku?” Yong Jin mendesak perempuan itu merapat ke dinding.

“Yong Jin, aku benar-benar minta maaf. Aku tak berniat mengkhianati pernikahanku.”

“Sayang sekali kalau begitu.”

“Apa maksudmu?” Hee Young mengernyit. Lagi-lagi perasaannya tak enak. Lelaki di hadapannya ini seolah menjelma jadi orang lain yang tak dikenalnya.

“Padahal aku bisa memberimu banyak kenikmatan jika mau meninggalkan suami berengsek itu.”

“Yong Jin, kau kenapa, sih?”

“Kukira rencana diam-diam bisa berhasil.” Yong Jin merogoh saku bajunya dan mengeluarkan botol kaca kecil berwarna gelap.

Mata Hee Young memelototi benda di tangan Yong Jin. Sepertinya sudah tak tersegel karena lelaki itu sangat mudah membukanya.

“Nyatanya tak berhasil. Jadi aku harus memaksamu.”

“Yong Jin?”

“Minum ini, Hee Young.”

“Tak mau!” Hee Young bergerak menjauh, tapi tarikan Yong Jin membuat langkahnya terhenti. “Lepaskan aku, Yong Jin!”

“Jika tidak, apa kau akan berteriak?” Lelaki itu terkekeh keras. “Kau lihat sekitarmu? Tak ada orang di sini.”

Hee Young membeku. Baru disadarinya ruangan yang sangat sepi pengunjung. Satu-satunya penonton hanyalah ikan-ikan yang berenang di akuarium raksasa.

“Aku sudah meminta petugas untuk menutup area ini. Tentu saja dengan alasan yang tepat.”

“Alasan apa?” hardik Hee Young galak.

“Sedang melamar kekasih adalah hal yang sangat bisa diterima siapapun di dunia ini.” Yong Jin mengabaikan rontaan Hee Young.

“Ada kamera pengawas.”

“Oh, tenang saja. Tak ada yang akan mencurigai sepasang kekasih yang tengah bercumbu.”

Hee Young terbelalak. Baru disadarinya lelaki itu menjebaknya dalam posisi yang sangat mudah disalah artikan orang lain. Dari kamera pengawas, yang terlihat pasti Yong Jin tengah bermesraan dengan dirinya.

“Lepaskan aku, Yong Jin.” Hee Young membentak.

“Aku sudah melepasmu sekali. Kali ini tak akan lagi.”

Hee Young merengut. Dia beruntung telah mendapat pelatihan singkat dari Hana. Teman barunya itu tak sungkan berbagi pengalaman.

“Tapi aku tak mau dijebak.” Hee Young berhenti meronta. Tangannya dicekal Yong Jin, tapi masih menyisakan ruang untuk manuver bebas. Dia mencengkeram pinggang lelaki itu. Kakinya terbuka lebar dalam posisi siaga.

“Jangan pernah memaksakan kehendakmu pada orang lain.” Hee Young berujar tegas. “Aku sudah cukup mendapat perundungan. Kuharap kau tak melakukan hal yang sama.”

“Maka ikuti perintahku, Hee Young. Aku tak akan memaksamu lagi.”

“Satu paksaan tak akan menghentikan paksaan yang lain.” Mata kecokelatan Hee Young. “Aku tak selemah yang kau kira, Yong Jin.”

Hee Young mengangkat satu lututnya dan menghantamkan ke pangkal paha Yong Jin. Lelaki itu meraung keras, penuh amarah dan kesakitan. Cekalannya di tangan Hee Young terlepas. Dia berusaha meraih perempuan itu yang berlari menjauh. Namun, usahanya gagal.

Sementara Hee Young berusaha secepat mungkin meninggalkan tempat itu hingga tak memperhatikan penyusup yang bersembunyi di sudut gelap lorong. Dia memekik kaget terlempar ke depan akibat jegalan kaki seseorang. Udara seolah terlempar dari paru-parunya saat tubuhnya menghantam lantai.

Masih berusaha mengatur pernapasan, Hee Young kembali memekik merasakan tindihan seseorang. Kakinya mendepak-depak liar.

Hal terakhir yang diingatnya hanyalah seseorang mencengkeram rahangnya, memaksanya membuka mulut, dan menggelontorkan cairan tak berasa ke kerongkongannya. Lalu sebuah pukulan di kepala menghilangkan kesadaran Hee Young.


~~oOo~~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro