⏺️ 32 ⏺️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hee Young gelagapan. Dia mengalami disorientasi ruang, kebingungan dengan lokasi tempatnya terbangun.

“Di mana aku?” Matanya mengerjap heran.

Ruangan yang ditempatinya sangat luas dengan langit-langit tinggi. Palet warna hitam dan cokelat mendominasi interior. Hee Young ternganga kala pandangannya bersirobok dengan kandelar megah di tengah ruangan.

Itu bukan lampu biasa. Hee Young membatin setelah mengamati lebih seksama. Tak ada kabel terhubung, tak ada bohlam. Dengan syok, Hee Young menyadari kandelar itu adalah kumpulan kelopak mawar berwarna emas yang melayang pelan, bolak-balik atas ke bawah.

“Ini kamar siapa?” Dirinya mulai diserang kepanikan. Kakinya menggeser sesuatu yang halus dan nyaris meloncat kaget.

Dia tengah duduk di ranjang megah. Empat tiang tinggi menyangga vitrase transparan yang melambai-lambai tertiup angin. Dan penutup tempat tidurnya, Hee Young mendesah penuh damba, adalah kain terhalus yang pernah dia sentuh.

“Kau sudah bangun?”

Hee Young terlonjak kaget. Haes-sal datang dari arah balkon berpintu kaca lebar. Pria itu melangkah anggun serupa singa berjalan. Tak sadar Hee Young beringsut mundur. Aura yang dipancarkan suaminya kali ini sangat berbeda dengan biasanya.

“Shou?”

“Haes-sal.” Pria itu mengoreksi panggilannya. “Semalam kau sangat merdu menyebut namaku.”

“Semalam?” Hee Young linglung.

Saat ingatan itu muncul, kulit muka perempuan itu merona parah. Percintaan panas, agresifnya dia menggoda pria itu, dan ucapan-ucapan cabul penuh semangat yang meluncur dari bibirnya.

Mata Hee Young membulat lebar. Refleks diangkatnya tangan menutupi pipi.

“Aku ... itu ....” Suara Hee Young melemah. Dia menarik selimut, tapi Haes-sal menahan pergerakannya.

“Shou ....”

“Haes-sal,” kata pria itu lembut.

“Haes-sal.” Perempuan itu nyaris menangis. “Aku malu sekali.”

Tawa lepas malaikat itu melumerkan ketegangan di tempat tidur. Haes-sal merenggut selimut dan melemparnya ke lantai. Tangannya sigap mengangkat tubuh mungil Hee Young ke pangkuan.

“Kau menggemaskan.” Malaikat itu mencium puncak kepala Hee Young. “Rasanya tak sabar mengenalkanmu dengan Ibu.”

“I—Ibu apa?”

“Siapa.” Haes-sal menjawil puncak hidung istrinya. “Ibu mertuamu. Beliau ....”

Suara pintu menjeblak terbuka menghentikan percakapan intim itu. Serombongan wanita memasuki kamar megah Haes-sal. Hee Young terkesiap teringat kondisinya yang masih telanjang. Namun, sang malaikat sigap membuka sayapnya untuk menutupi tubuh mungil sang istri.

“Mana calon menantuku?” Suara sedingin es menyapa gendang telinga Hee Young.

Perempuan itu memucat. Takut-takut dia melongok dari balik sayap Haes-sal. Suara dengan intensitas membekukan yang sama seperti iparnya di Prunos terdengar mengintimidasi.

“Ibu, jangan menakuti istriku,” balas Haes-sal tak kalah dingin.

Hee Young terperanjat mendengar nada bicara suaminya. Selama kebersamaan mereka, belum pernah prianya mengeluarkan nada sekejam itu. Hee Young bergidik ngeri. Tubuhnya bergerak sedikit, menghindar. Namun, lengan kokoh Haes-sal menariknya lagi.

Wanita yang dipanggil Ibu oleh sang malaikat berderap ke tepi ranjang. Tubuhnya membungkuk ke depan sangat rendah. Hidung mancungnya nyaris bertemu dengan hidung Hee Young.

“Jadi kau manusia yang berhasil membuat anakku tertawa?”

Hee Young spontan menoleh pada Haes-sal. Ekspresinya kebingungan. Detik itu juga tawa keras meluncur dari bibir tipis malaikatnya. Perempuan mungil itu melirik takut-takut ke sekitar dan terperangah.

Mimik muka identik diperlihatkan oleh Ibu dan setengah lusin dayang. Beliak lebar mata mereka menunjukkan kekagetan yang tak ditutup-tutupi.

“Astaga, Haes-sal. Kau yakin tak pernah tertawa di sini?” celetuk Hee Young.


~~oOo~~


Jauh di Bumi, wanita cantik berwajah pucat merapat ke kegelapan Gunung Jiri. Sangat berhati-hati menutupi auranya agar tak terdeteksi oleh para makhluk astral. Namun, sapaan feminin nyaris menghentikan detak jantung wanita itu.

“Bersembunyi, Sora?”

Wanita itu mendongak. Jejak-jejak ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Rona yang menghilang, mata yang kehilangan sinar, dan suara mencicit saat berusaha tampil percaya diri meruntuhkan citra seorang Jung Sora.

“Siapa kau?” bentaknya kasar. Sementara itu, matanya terus melirik ke kanan dan ke kiri. Seolah tengah mengantisipasi kedatangan sesuatu yang tak diharapkan.

“Kau lupa aku?” Hana mendekat pelan. “Aku yang menggagas fandom Kim Shou untuk menghujatmu.”

Sora terbelalak. “Manusia sialan!”

“Mungkin, jika aku masih bisa disebut manusia.” Hana terkekeh. Dia mengedikkan dagu ke arah kanan. “Apa itu yang kau cari?”

Sora menghadap ke arah yang ditunjuk Hana. Wajahnya makin memucat. Sosok tanpa muka dengan tubuh tertutup kobaran api biru mengggedor-gedor kurungan dari sulur-sulur perak. Refleks wanita itu mundur sejauh mungkin.

“Kurungan Langit?” Sora terbelalak tak percaya. “Bagaimana ... bisa ....”

Hana terkikik geli, “Ternyata nyali Selir Song-he sangat buruk.”

“Siapa kau?” Sora membentak.

Senyum di wajah Hana menghilang. “Tak penting siapa aku. Yang jelas, aku di sini untuk menghukummu, Dewi Song-he.”

“Tidak! Tidak!” Sora menggeleng kuat-kuat. “Aku hanya melaksanakan perintah. Semua ke—kejadian ini bu—bukan kesalahanku.” Wanita itu tergagap panik.

Hana menelengkan kepala. “Menjalankan perintah? Apakah kau sedang menjadi tameng atau ingin memfitnah dewi yang lain?”

“Aku bersumpah! Aku hanya melaksanakan perintah.” Air mata merebak di pelupuk mata Sora.

“Perintah sekeji apa yang mengharuskanmu membuka segel Nakai dan membawanya ke Bumi?” Hana bertanya dingin.

“Kau salah satu dewi agung tahu persis peliknya suasana di kayangan. Membebaskan satu agma—apa lagi salah satu yang terkuat—adalah kejahatan besar. Yang Mulia Hwanung bisa saja melenyapkan entitasmu hingga tak bisa reinkarnasi.”

Air mata Sora berderai. Dia berlutut, mengiba sangat keras pada Hana yang berdiri di sebatang cabang pohon besar. Agma memang seharusnya tetap tersegel di Dunia Bawah, tak boleh keluar dari tempatnya. Tugas mereka hanyalah menghukum para pendosa dua dunia sebelum menuju neraka siksaan terakhir.

Gumpalan pahit menyumpal tenggorokan Sora, teringat kelakuannya yang justru sengaja membawa Nakai ke Bumi. Wanita itu membungkuk hingga nyaris mencium tanah. “Kumohon, selamatkan aku. Akan kulakukan apa saja untukmu, asalkan jangan membiarkan Nakai mencabik-cabikku.”

Hana meloncat turun dari pohon. Dia mendarat lembut di depan Sora. Suara dengkusannya terdengar geli, tak percaya bahwa dewi yang sok membebaskan agma justru ketakutan setengah mati pada makhluk itu.

“Beritahu aku di mana Cheong-he. Aku sudah mencarinya ke setiap sudut bumi, tapi tak kutemukan juga.”

Sora terduduk tegak. Air mata berkilauan di wajah pucat itu, tapi tak mampu menahan keterkejutan di netra berlapis lensa kontak. “Siapa kau? Kenapa kau mencari Dewi Cheong-he?”

“Jawab saja atau kulemparkan tubuhmu pada Nakai.”

“Kau tak akan bisa menemukannya!” Sora nyaris menjerit. Bayangan satu kurungan dengan Nakai sontak melunturkan kesetiaannya.

“Mengapa begitu?” Hana mengernyit.

“Karena Dewi Cheong-he dilindungi oleh Yang Mulia Dangun.”


~~oOo~~


“Ibu, tolong jangan menggangguku dan Hee Young.”

Wanita secantik bidadari dengan wajah awet muda itu menggusah anak bungsunya. Tatapan tajam terlontar menusuk sang putra yang masih bersikeras tinggal di kamar.

“Jangan seperti kakakmu. Setiap kali Aeri datang ke sini, Yoseong selalu memonopolinya. Ibu hanya ingin mengobrol dengan calon menantu Ibu.”

Calon menantu. Frasa itu mengusik pikiran Hee Young. Dia mengangguk singkat pada setengah lusin dayang-dayang yang membantunya berpakaian. Setelah direnggut paksa dari perlindungan sayap Haes-sal, Ibu memaksa Hee Young memakai pakaian pemberiannya.

Gaun semata kaki berwarna merah muda pucat, berbahan ringan dan melayang. Meski sempat ragu pakaian itu mampu menahan hawa dingin di luar, nyatanya Hee Young dibuat terkesima dengan kehangatan yang seolah memeluk tubuh.

Apa industri tekstil Dunia Atas punya mekanisme penghangat badan otomatis? Hee Young tersenyum geli memikirkan hal konyol yang melintas di kepala. Ditatapnya pantulan diri di cermin. Hiasan sirkam mutiara tampak berpendar lembut di rambut hitamnya.

“Ibu, aku mau membicarakan sesuatu dengan istriku.”

“Istri, eh?” Mata emas wanita yang dipanggil Ibu itu berkedip. “Kalian belum resmi menikah, tapi sudah saling memanggil sapaan suami dan istri?”

“Ibu!”

Hee Young menangkap jelas nada peringatan di suara Haes-sal. Tak ada kelembutan, tak ada welas kasih seperti Shou yang dikenalnya. Suara Haes-sal saat ini bahkan mampu mendirikan bulu roma.

Wanita itu mengamati putranya cukup lama, lalu beralih pada Hee Young. Senyumnya tersungging. “Sepertinya kau tak banyak bercerita pada perempuan ini.”

“Ibu!” Haes-sal melontarkan tatapan tajam.

Hee Young menelengkan kepala. Ganti dia yang menatap tajam Haes-sal. Sang Ibu terkekeh geli mendapat konfrontasi dari putranya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Hee Young memberanikan diri bertanya.

“Hee Young ....”

“Mari Anakku, kita minum teh.”

Dua mulut yang mengeluarkan suara bersamaan memantik kecurigaan Hee Young. Perempuan itu mulai jengkel. Dia melipat lengan depan dada dan memberi senyum masam untuk Haes-sal.

“Aku akan ikut ibumu.” Hee Young mengambil pilihan.

Sang Ibu tak dapat membendung tawa. Dia menghampiri Hee Young dan menggandeng lembut. “Mari, Anakku. Kuperkenalkan dengan rumah keluarga kami.”

Hee Young mengekor patuh. Saat melewati Haes-sal—yang anehnya berubah pucat—Hee Young sempat menjulurkan lidah. Malaikat itu ternganga dengan tingkah kocak istrinya. Beberapa dayang di belakang Hee Young turut menyembunyikan senyum geli memergoki ekspresi lucu sang jenderal besar.

Ibu membawa Hee Young menyusuri selasar berlantai kayu. Jendela-jendela sebesar dinding terbuka lebar-lebar, menampilkan interior ruangan di dalamnya yang bergaya serba minimalis. Kemudian mereka melewati jembatan dari susunan balok kayu yang mengambang di atas kolam ikan besar, penghubung antara rumah induk dengan paviliun tempat Haes-sal tinggal.

Di jembatan itu, Hee Young dibuat terkesima oleh fasad bangunan rumah. Atap serupa rumah hanok tradisional Korea memantulkan cahaya matahari. Namun, material kaca transparan memberi sentuhan segar dan tidak kuno. Lantai-lantainya dibuat dari kayu mengilap, kecuali beberapa bagian rumah yang menggunakan lantai bebatuan. Tiang-tiang penyangga bangunan sangat tinggi. Lagi-lagi menggunakan bahan kayu yang menegaskan atmosfer alam.

Namun, itu belum seberapa bagi Hee Young. Begitu perempuan bumi itu melewati gerbang besar bercat merah darah, dia langsung dibuat terkesima.

Bunga di mana-mana. Warna-warna cerah memanjakan mata. Gemericik air yang mengalir di tiap sudut rumah bagai musik alam. Hee Young ternganga lebar saat Ibu membawanya masuk ke rumah induk.

Yang disebut rumah induk adalah bangunan luar biasa besar berlantai tiga dengan dominasi kayu dan kaca. Hee Young serasa berada di Istana Changdeok, tapi dalam ukuran sepuluh kali lebih besar dan tampilan yang sangat modern.

Bangunan itu makin luar biasa karena berdiri di atas air sebiru langit. Seolah mengapung di danau raksasa. Saat mendongak pun Hee Young dibuat terperangah karena langit-langit rumah yang tinggi dipenuhi kelopak bunga yang melayang-layang. Hiasan ajaib itu menguarkan aroma harum ke penjuru rumah.

“Ke mari, Anakku.” Ibu membimbing Hee Young melewati pintu kaca depan yang terarah langsung ke teras. Lantai kayu serambinya ibarat bingkai dari kolam renang raksasa yang menghadap langsung ke perkebunan dengan aneka tanaman.

Hee Young menampar-nampar pipi. Apa dia tak salah lihat? Bukankah tadi rumahnya berada di atas air? Apa kebun ini juga sama-sama berada di atas air?

Dia masih pening dengan pemandangan fantastis yang baru sekali ini ditemuinya, hingga tak sadar Ibu sudah duduk. Tersipu malu, Hee Young mendaratkan bokong di salah satu bantalan duduk tebal yang mengitari meja pendek.

Begitu nyonya rumah dan tamunya mengistirahatkan kaki, deretan pelayan bermunculan. Sangat cepat mereka menurunkan piring-piring kudapan dan teko elegan beraroma teh bunga. Dalam hati Hee Young berjanji akan menanyakan pada Haes-sal tentang rumah seluas istananya ini.

“Semalam aku merasakan kehadiranmu.” Ibu menuang minuman ke dua cangkir, lalu menyerahkan salah satunya pada Hee Young. Cairan merah jambu menggoda untuk diminum. “Aku tahu kau sangat menyukai teh. Semoga minuman ini sesuai seleramu.”

Hee Young mengangguk sopan. Tak menanyakan dari mana wanita itu mengetahui kesukaannya pada teh. Satu tegukan dan dia tertegun.

“Nyonya, ini menakjubkan.” Hee Young menghirup aroma mawar yang kental dari cangkirnya.

“Panggil aku Ibu. Sebentar lagi kau akan resmi menjadi menantu kami.”

Her Young mengerjap-ngerjap bingung. “Tapi aku sudah menikah dengan Haes-sal.”

“Oh, Anakku. Bungsuku itu memang sangat susah bicara terus-terang. Sepertinya kau telah membuatnya jatuh cinta hingga dia enggan menyakitimu.”

“Apa maksud Ibu?” Hee Young mengernyit. Perasaan tak enak muncul. Satu dugaan menyeruak bahwa pernikahannya di bumi masih belum dianggap sah di Dunia Atas.

“Tapi anak itu sudah membereskan semua urusan. Tak ada masalah. Aku bisa memanggil Yang Mulia Hwanung untuk menikahkan kalian.”

“Nyo—Nyonya, ada apa ini sebenarnya? Tolong, beri penjelasan padaku.” Hee Young dicekam ketakutan. “Apa ada perbedaan aturan di sini dengan di Bumi soal pernikahan?” tebaknya.

Ibu tertawa kecil. “Ah, kau sangat cerdas. Hee Young, kau memang pantas bersanding dengan putraku.

Wanita itu mencomot sepotong kudapan. Lalu mengalirlah cerita dari bibir yang masih segar tak termakan usia.

“Ribuan tahun silam, manusia dan cheonsa—kaum kami—bisa saling jatuh cinta dan menikah. Namun, karena suatu sebab akhirnya Sang Pencipta melarang pernikahan dua makhluk berbeda dunia ini.”

Wajah Hee Young memucat. Tubuhnya meremang. Benaknya berhasil merumuskan kesimpulan dari awal cerita Ibu.

“Manusia dan malaikat tak boleh menikah. Itu hukum dua alam yang kami pegang teguh selama ini. Namun, ada pengecualian agar pernikahan itu bisa tetap terjadi.”

Ibu menarik napas panjang. Netra emasnya terhunjam lurus ke manik kecokelatan Hee Young.

“Salah satu dari pasangan itu harus mati. Alam akan menyucikan jiwanya dan mengembalikan roh dalam entitas lain yang sama dengan pasangan yang masih hidup.”

“Tunggu, maksud Anda dalam konteks ini malaikat harus mati terlebih dahulu agar dia bisa menjadi manusia? Lalu menikahi manusia tersebut?” Hee Young berusaha mencerna penjelasan wanita cantik di depannya.

Ibu mengangguk. “Kesimpulan yang tepat, Anakku. Namun, untuk kasusmu Haes-sal terlalu egois melepas kehidupannya sebagai cheonsa.”

Hee Young membeku. Ucapan selanjutnya dari sang Ibu membuat dunianya runtuh.

“Haes-sal memiliki posisi penting di Dunia Atas. Keberadaannya sangat dibutuhkan oleh Langit. Dia tak mungkin mengubah dirinya menjadi makhluk fana yang lemah dan rapuh.”

Lemah dan rapuh. Hee Young tak sadar mencengkeram pinggiran tempat duduk. Ego manusianya terusik mengetahui penilaian para makhluk astral ini pada kaumnya.

“Semalam aku merasakan kehadiranmu.” Ibu mengulang perkataannya. “Tapi pagi ini, auramu sebagai manusia menghilang.”

Keringat dingin mengaliri telapak tangannya. “Apa maksud Anda?”

“Kau, Hee Young, telah kehilangan status manusiamu. Haes-sal telah mengubahmu menjadi sosok lain. Dia membakarmu dengan api gaenari. Sekarang kau terlahir sebagai spirit Prunos.”

Wanita itu mengangkat cangkir tehnya. Senyumnya terkembang lebar. “Sekarang tak ada masalah jika kalian harus menikah. Kalian bisa bersatu tanpa hambatan.”


~~oOo~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro