⏺️ 34 ⏺️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hee Young ketiduran hingga pagi. Saat bangun, Haes-sal sudah menghilang dari sisinya. Kamar besar itu kosong melompong.

“Jam berapa ini?” serunya panik. Ada jam kecil di nakas yang langsung disambarnya. Matanya melotot setelah melihat posisi jarum panjang dan pendek. Dia tidur seharian penuh seperti orang mati.

Hee Young meloncat turun ranjang. “Haes-sal, di mana kau?”

Langkahnya terarah ke kamar mandi, tapi tak menemukan makhluk yang dicari. Sebaliknya, dia justru mendapatkan hadiah manis terbungkus kotak putih besar dengan pita hitam cantik.

“Kau memang licik, Haes-sal.” Hee Young meraih kartu kecil di atas kotak. “Setelah kemarin mengalihkan pikiranku, kini kau mencoba menyogokku?”

Matanya membaca tulisan tangan Haes-sal di kartu. Dia mengenali garis lengkung dan panjang yang indah itu. Di Bumi, kartu yang dipegangnya sekarang akan berharga sangat mahal jika masuk bursa penggemar. Hee Young menyeringai teringat sekeping kenangan masa lalu.

Haes-sal memintanya memakai gaun dalam kotak dan mengikuti arah peta di balik kartu. Bak diingatkan, perutnya bergemuruh kencang. Gara-gara tidur yang terlalu pulas, dia melewatkan tiga jam makan berturut-turut.

Saat jemari lentiknya membuka kotak persegi putih, kesiap napasnya terdengar keras. Sehelai gaun hitam berpotongan sederhana teronggok di dasar kotak. Satu-satunya hiasan di gaun adalah kancing mutiara yang berkilauan bak pendar bintang malam.

“Kau masih ingat warna kesukaanku.” Hee Young bersiul riang.

Cepat-cepat dia membersihkan diri di kamar mandi, lalu mengenakan gaun pemberian Haes-sal. Warna gelapnya kontras dengan kulit putih Hee Young. Panjang gaunnya menyapu lantai, berlengan panjang, dilengkapi jaket bertudung yang serasi.

Sesuai instruksi sang kekasih, Hee Young mengikuti arah peta. Butuh beberapa menit—dan berkali-kali anggukan sopan pada tiap sosok yang ditemuinya—hingga perjalanannya berakhir di sebuah balairung luas.
Hee Young bersembunyi di balik tiang selebar tubuh. Dia mengintip suasana balairung yang terlihat sangat resmi. Apa mereka malaikat juga? Dia tak yakin, tapi memutuskan menganggap makhluk-makhluk tampan yang duduk di sana adalah sejenis dengan Haes-sal.

Pandangannya menyapu penjuru ruangan. Ada selusin lebih malaikat duduk di kursi-kursi yang berderet membentuk huruf U. Mereka semua menghadap satu meja besar dengan tiga malaikat di sana. Dua malaikat berdiri mengapit sosok yang memancarkan wibawa luar biasa.
Bola mata Hee Young membesar melihat ketampanan makhluk yang berdiri di balik meja kayu raksasa. Dia bisa menebak bahwa makhluk itu adalah sosok yang disegani. Tampak dari malaikat-malaikat yang memberikan gestur tubuh hormat.

Mereka berbicara dalam bahasa yang aneh, terdengar seperti nyanyian merdu. Hee Young menyunggingkan senyum. Matanya mencari-cari keberadaan kekasih hati dan senyumnya memudar.

Berdiri di samping sosok berwibawa itu, Haes-sal menatapnya sangat tajam. Hee Young tersentak mengenali kilat di netra emas milik prianya. Gairah berkobar tergambar jelas, seterang matahari musim panas. Hee Young menggigit bibir dan bergerak gelisah. Jantungnya berdebar-debar. Perutnya kembali bergemuruh hingga dia harus memeluk pinggangnya kuat-kuat.

Mendadak, perhatian semua malaikat di ruangan itu teralihkan. Bukan karena melodi kelaparan Hee Young. Melainkan tawa tertahan Haes-sal. Perempuan itu memelototi sang kekasih yang menutup mulut geli.

“Sepertinya perhatian jenderal kita teralihkan.”

Telinga Hee Young berdiri tegak. Sosok luar biasa tampan di balik meja raksasa berbicara dalam bahasanya. Dia menengok ke arah malaikat lain yang berdiri di samping kirinya.

“Byeol, kapan terakhir kali kita mendengar Haes-sal tertawa?”

“Saya tidak ingat, Yang Mulia.” Balam menjawab spontan.

“Nah, aku juga tak ingat. Tapi Haes-sal sekarang tertawa.”

Wajah Hee Young semerah kepiting rebus. Apa lagi saat sosok yang dipanggil Yang Mulia memaku pandangannya ke arah Hee Young. Refleks perempuan itu bersembunyi ke balik tiang.

“Keluarlah, Gadis Kecil. Kami tahu kau ada di sini.”

Tersipu-sipu malu, Hee Young beringsut muncul. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Leher dan wajahnya sangat panas merasakan tatapan banyak mata tertuju padanya.

Lalu rengkuhan kokoh yang sangat dikenalnya hinggap di bahu. Hee Young menoleh. Prianya tersenyum lebar.

“Kenapa lama sekali?”

“Haes-sal?” Hee Young mengedikkan bahu malu. “Dilihat banyak orang.”

“Mereka bukan orang,” balas Haes-sal kalem. “Ayo, kukenalkan pada Yang Mulia Hwanung.”

“Hwa—siapa?”

Hee Young tak sempat mempersiapkan diri saat tubuhnya ditarik Haes-sal. Dia nyaris terhuyung ke depan. Kali ini tawa malaikat itu pecah berderai.

“Kenapa kau kikuk sekali? Ini hanya Yang Mulia Hwanung. Beliau putra mahkota dari Kekaisaran Langit. Kau tak perlu sungkan padanya.”

Hee Young melemparkan tatapan kesal. Dia sempat melirik ke sekitar. Hatinya mencelus demi mendapati ekspresi kaget tercetak di wajah para malaikat itu.

Apa Haes-sal benar-benar tak pernah tertawa? Hee Young bertanya-tanya. Mengapa reaksi semuanya terlihat terkejut alih-alih ikut tertawa bersama?

Semakin banyak pertanyaan bermunculan di benak Hee Young. Suaminya di bumi sepertinya punya karakter jauh berbeda dengan di Dunia Atas. Perbedaan itu sontak membuat Hee Young mempertanyakan jati diri Haes-sal.

“Yang Mulia, ini Kim Hee Young. Istriku.” Malaikat itu
memperkenalkan perempuan cantik yang dirangkulnya.

Hee Young tertegun. Suasana di balairung itu berubah tegang. Semua mata memusatkan perhatian pada Haes-sal dan Hwanung. Perempuan itu berdiri gelisah. Merasa tak nyaman dengan suasana canggung yang memerangkap.

“Dia manusia?” Hwanung menautkan jari-jemari di depan bibir. Dewa itu mengamati seksama pasangan yang berdiri di hadapannya. Satu penuh percaya diri. Lainnya terlihat jelas kikuk dan kebingungan.

“Bukan. Hee Young sama dengan Aeri. Dia spirit keluarga kami.”

Hwanung tak berkomentar. Aliran udara di ruangan besar itu terasa sesak. Wajah tampannya tak menampilkan emosi apapun. Sangat datar hingga meresahkan malaikat-malaikat di balairung.

“Itu keputusanmu, Jenderal?” Hwanung memecah kesunyian. “Atau keputusan kalian berdua?”

Hee Young tersentak mendengar pertanyaan Hwanung. Sepertinya dewa satu ini mengetahui kejadian yang sudah dialaminya. Ekor mata Hee Young melirik penampakan sang suami. Rengkuhan Haes-sal di bahu Hee Young menguat. Suaranya mantap menjawab pertanyaan sang dewa.

“Ini keputusan kami berdua. Kuharap Anda bersedia meresmikan pernikahan kami di sini.”

Bibir Hee Young menipis dan sinis. Dalam hati dia merutuki kebohongan Haes-sal. Malaikat itu bicara tanpa rasa bersalah. Tangannya gemetar menahan diri dari prospek mencekik sang malaikat.

“Dan kapan rencananya aku harus menjadi penghulu?” Hwanung mengetuk-ngetuk sandaran kursi. “Kau tahu jadwalku sangat padat.”

“Akhir musim gugur ini, Yang Mulia.”

“Secepat itu? Bukankah tinggal beberapa hari lagi?”

Haes-sal menatap kekasihnya. “Aku jatuh cinta dengan wanita ini dan tak ingin kehilangan dia.”

Hee Young menoleh. Dunia serasa membeku. Matanya terbeliak lebar. Mulutnya ternganga. Perempuan itu terkejut.

Apa Haes-sal baru saja menyatakan cintanya?


~💓~💓~💓~💓~💓~💓~


Hee Young syok berat. Tangannya gatal ingin melemparkan kursi berbobot berat ke kepala Haes-sal. Otak pria itu benar-benar sudah tak waras.

Parahnya lagi, Dewa Hwanung menerima begitu saja alasan Haes-sal. Bahkan dia menyuruh Balam membantu persiapan pernikahan jenderal kesayangannya.

“Gembira sedikit, Chagiya.” Haes-sal mencubit pipi Hee Young.

Perempuan itu balas menusuk rusuk si malaikat dengan sumpit. Diabaikannya desisan kesal Haes-sal yang langsung membersihkan noda minyak di bajunya. Seakan didera dendam, Hee Young melampiaskan kekesalannya dengan meraih sepiring penuh makanan serupa nakji bokkeum, tapi berbahan akar teratai yang dibumbui saus merah. Mulutnya mendesis kepedasan begitu suapan ketiga masuk mulut.

“Kau tak menghargai lamaranku,” gerutu Haes-sal.

Hee Young menggebrak meja. Tatapannya nyalang tertuju pada Haes-sal. Di sekitarnya, pengunjung restoran menatap penasaran ke arahnya.

“Lamaran macam apa itu, hah?” bentaknya galak. “Kau membuatku nyaris mati berdiri. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba kau meminta Hwanung meresmikan pernikahan kita? Kau bahkan tak menepati janjimu memberi penjelasan padaku.”

Napas Hee Young tersengal-sengal. Ditenggaknya air minum. Emosinya masih tinggi teringat peristiwa beberapa jam lalu. Lamaran mengejutkan Haes-sal yang dilakukan di hadapan selusin lebih malaikat membuatnya terkaget-kaget. Lalu pria itu membawanya keluar rumah, menggendongnya dan terbang entah ke arah mana. Tahu-tahu mereka tiba di depan restoran padat pengunjung yang dikunjunginya sekarang.

Hee Young menyadari kehadiran mereka memancing kasak-kusuk. Haes-sal memang bukan malaikat sembarangan karena pemilik restoran megah itu sendiri yang menyambut kedatangan mereka. Para pengunjung lain juga menyingkir ketakutan saat Haes-sal lewat.

“Kenapa kau mengubahku jadi makhluk astral, Haes-sal?” Hee Young tak memberi kesempatan pria itu berdalih. Dia harus mendapat jawaban untuk semua hal yang membingungkannya.

“Kau tak lapar? Mau kusuapi?”

Hee Young mendesah keras. Dia menunjuk tumpukan piring di ujung meja. “Aku sudah menghabiskan tujuh makanan. Mau kau isi apa lagi perutku?”

Bossam?” Haes-sal mengangkat piring berisi bahan makanan warna-warni.

Hee Young sebenarnya masih lapar. Sistem metabolisme tubuhnya bekerja sangat aktif sejak tiba di dunia ini. Apa lagi hidangan yang disajikan restoran Dunia Atas tak jauh beda dengan makanan Korea Selatan. Hanya beberapa bahan yang tak sama. Dunia Atas lebih berkonsep vegetarian daripada Bumi. Selebihnya mereka memiliki bumbu identik.

“Jangan mengalihkan topik pembicaraan, Haes-sal,” keluh Hee Young. “Aku tak punya kesabaran menunggu.”

“Kau tak bisa kabur ke Bumi.” Haes-sal mengingatkan.

“Memang tidak. Tapi malaikat tak mengintimidasiku. Di sini juga tak ada pers. Aku bebas membuat kekacauan apapun jika kau tak segera memberi penjelasan.”

“Sudah berani mengancam, Hee Young?”

“Aku belajar dari ahlinya.” Hee Young menunjuk Haes-sal.

Haes-sal menaikkan alis. Ujung bibirnya berkedut. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik di telinga wanitanya.

“Jika tak sedang berada di tempat umum, sudah kubungkam mulut manismu dengan ciuman, Hee Young.”

Sumpit yang dipegang Hee Young jatuh berkelotak di atas meja. Wajahnya memerah. Haes-sal mengacak rambut kekasihnya.

"Waktu kau hilang, aku tak bisa menemukanmu. Keberadaanmu setelah tertutup tabir yang sangat pekat.” Haes-sal memulai penjelasannya.

“Tak bisa merasakanku?”

“Kita terkoneksi, ingat?” Haes-sal mengusap lembut jari manis Hee Young. Tempat cincin keluarganya tertanam.

Perempuan itu mengangguk mengerti. Dia meminta Haes-sal melanjutkan ceritanya dengan isyarat kedikan dagu.

“Lalu Nakai datang. Dia salah satu agma terkuat di bawah Gaemu, sang pemimpin Dunia Bawah."

Hee Young memucat. Tanpa sadar dia bergeser merapat ke arah suaminya.

"Dulu kakakku berhasil menyegel Gaemu kembali ke Dunia Bawah. Nakai juga berhasil kukalahkan. Seharusnya dia tak muncul ke Bumi. Namun, sesuatu yang sangat kuat telah melepaskannya. Angae harus terluka karena ulah Nakai."

"Manajer terluka?" Hee Young terperanjat kaget. Dia sudah tahu nama asli Taehyung setelah memergoki wujud asli suaminya.

"Angae bukan prajurit. Dia tak punya kemampuan mempertahankan diri. Bagiku serangan Nakai tak akan berakibat fatal. Namun, untuk Angae beda perkara. Sekarang dia dirawat di tempat kakakku."

"Siapa yang melakukan ini, Haes-sal?" Hee Young gemetar.

"Jung Sora terlibat."

Tubuh Hee Young terkesiap. Mulutnya melongo. "Sora juga makhluk astral?"

"Dia seorang dewi, selir Yang Mulia Dangun." Haes-sal buru-buru mengganti topik. Enggan menjelaskan lebih jauh soal identitas Song-he.

"Ada yang memberiku peringatan. Nakai dan Sora menyasar dirimu. Jika masih berentitas manusia, aku tak bisa melindungimu secara maksimal, Hee Young. Karena itu, aku membawamu ke sini.”

Hee Young tak bisa bergerak. Dua hari dihantam sederet fakta mulai meruntuhkan pertahanan dirinya. Dia merasa terjebak dalam konspirasi yang memusingkan. Entah siapa yang menjadi dalang dan target, yang jelas Hee Young serasa jadi bidak catur yang digerakkan ke sana-kemari.

“Dirimu tak akan terlindungi dengan baik di Bumi.” Haes-sal mengulang penjelasannya. “Tapi di sini, kau mendapat perlindungan penuh dari tanah Prunos.”

Gaenari milikmu tak berfungsi di Bumi?”

“Proses pembakaran dirimu tak bisa dilakukan di Bumi.” Haes-sal mengoreksi tebakan Hee Young. Dia memergoki perubahan raut muka istrinya. Ditariknya Hee Young ke dalam pelukan. Pameran kemesraan itu langsung menjadi santapan pengunjung restoran.

“Aku minta maaf karena tak minta persetujuanmu dulu, Chagiya. Percayalah, aku melakukannya karena terpaksa.”

Hee Young mematung di pelukan Haes-sal. Diremasnya kelepak mantel sang malaikat. Dia sudah mendapat jawaban. Namun, perasaannya belum juga lega. Tak sadar dia menyuarakan kegelisahannya.

"Apakah perlu hanya demi menolongku, kau mengubahku jadi makluk lain?" Suara Hee Young terdengar sedih.

Chagiya, dengarkan aku,” pinta Haes-sal sungguh-sungguh. "Jiwamu masih tetap ada, Hee Young. Aku hanya menambahkan api gaenari ke dirimu.”

“Tapi Ibu bilang ....”

“Kau tak mati, Hee Young. Aku membakar dirimu untuk memasukkan bagian gaenari. Prosesnya akan menghilangkan jiwa manusiamu, tapi kau tetap hidup. Jiwamu hanya berbagi tempat dengan spirit Prunos. Sekarang kau terkoneksi denganku secara permanen. Itu artinya, tak ada aturan dua dunia yang dilanggar saat aku ingin menikahimu. Kau juga mendapat perlindungan penuh dari klan Prunos.”

"Kenapa, Haes-sal?"

Malaikat itu menatap dalam-dalam wajah cantik istrinya. Hanya dirinya dan Sang Pencipta yang tahu betapa dia sangat ketakutan dengan prospek kehilangan Hee Young.

"Karena aku ingin memilikimu seutuhnya, Hee Young," bisik Haes-sal tak berdaya. "Aku ingin melindungi istriku, juga calon anak kita."


~💓~💓~💓~💓~💓~💓~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro