⏺️ 35 ⏺️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Calon anak apa?" Hee Young kebingungan.

Haes-sal mengusap perut wanita di depannya yang masih rata. Bibirnya menyunggingkan senyum.

"Aku masih heran mengapa kekuatanku tak berlaku untukmu. Namun, di janin kecil ini kami bisa berkomunikasi."

"Janin apa?"

"Ada yang bertumbuh di tubuhmu, Hee Young." Haes-sal mencium punggung tangan istrinya. "Kau sedang mengandung."

Hee Young mengerjapkan mata. Tatapannya kosong. Ekspresi keheranan tergambar jelas di wajah berdagu lancip itu.

“Kau bukan dokter, Haes-sal. Bagaimana bisa kau memutuskan aku sedang hamil atau tidak?” kekeh Hee Young. “Kau tak perlu membual dengan menjadikan kehamilan sebagai alasan menahanku di sini. Penjelasanmu tadi sudah cukup, kok. Aku akan selalu mengekor dirimu ke manapun pergi.”

“Aku tidak bercanda, Chagiya.”

Suara Haes-sal yang sangat serius mengubah pendirian Hee Young. Mulut perempuan itu terbuka lebar. Dia berkata gagap.

“Ba—bagaimana bisa .... Kau .... Itu ....”

“Tentu saja bisa.” Haes-sal mengusap sudut bibir istrinya yang belepotan saus merah. “Gairahmu sangat besar. Aku sampai kewalahan. Dengan semangat seperti itu, bagaimana aktivitas kita tak akan menghasilkan anak?”

Hee Young terbelalak. Buru-buru dibekapnya mulut si malaikat. Matanya melotot galak, memperingatkan Haes-sal agar tak mengucapkan selorohan mesum di tempat umum.

“Bisa tidak, kau tak terlalu jujur?” Hee Young mendesis.

Haes-sal menurunkan tangan halus Hee Young. Dia mencondongkan badan ke depan dan mencuri ciuman kilat istrinya. Dinikmatinya wajah merona Hee Young yang tersipu.

“Aku sangat jujur, Hee Young.”

“Apa di dunia ini menjual ala pengetes kehamilan? Kita bisa ....”

“Aku bisa merasakannya, Chagiya.” Haes-sal memotong kepanikan Hee Young. “Sulit menjelaskannya, tapi aku tahu keberadaan anakku. Karena itu kita berdua harus menjaganya baik-baik.”

“Haes-sal ....”

“Terima gaenari dan jangan pergi dariku.”

Hee Young yang masih terkesima hanya mampu mengangguk. Tak ada suara keluar. Telapaknya memeluk perut, mengelus lembut. Ada naluri baru yang secara ajaib menyeruak muncul.

“Bagus. Kalau begitu, hari ini kita berkencan.”

Hee Young membeo heran. “Kencan?”

“Selama di Bumi kita tak pernah berkencan, Chagiya. Ini kesalahanku karena status artis konyol itu.”

Hee Young tertawa. Dia meraih piring bossam, lalu melipat sayuran yang sudah terisi irisan daging. Potongan itu disuapkannya ke mulut Haes-sal.

“Setelah ini kita kencan?”

“Tidak capek?”

Hee Young menggeleng. “Aku tak tahu kapan kita bisa bersenang-senang bersama, Haes-sal. Aku takut ini waktu terakhir kita.”

Malaikat itu mencium kening Hee Young. “Tidak, Chagiya. Tak akan pernah ada akhir bagi kita.”


~~oOo~~


Haes-sal menepati janjinya. Seusai menghabiskan makanan di restoran, dia membawa Hee Young berkeliling Prunos. Bak pemandu wisata profesional, jenderal berjuluk Pedang Langit itu menjelaskan sejarah kota Prunos yang menawan.

“Jadi Prunos adalah wilayah yang dihadiahkan Kaisar Langit pada nenek moyangmu ribuan tahun silam?” Hee Young meniti jembatan pelangi yang menggantung indah di atas air terjun.

“Ya, ini bentuk penghargaan pada loyalitas dan kemampuan klan Prunos yang legendaris.”

“Katamu tadi, klan Prunos terkenal dengan keahlian militernya?” Hee Young berhenti di tengah jembatan. Buih-buih air seputih salju berserak di bawah. Percikannya menyiram tubuh. Senyumnya terkembang merasakan kesejukan air.

“Hampir seluruh garis keturunan kami adalah petinggi militer. Sisanya para botanis handal. Bahkan taman Prunos satu-satunya taman di Dunia Atas yang memiliki koleksi botani paling lengkap. Taman kekaisaran saja masih kalah jauh.” Malaikat itu menggamit lembut lengan Hee Young.

Sepanjang perjalanan, malaikat-malaikat yang berpapasan dengan mereka membungkuk hormat. Hee Young tersenyum simpul menyadari besarnya dominasi Haes-sal. Diam-diam dia penasaran dengan reaksi penduduk Prunos jika mengetahui kehidupan sehari-hari junjungan mereka di Bumi. Haes-sal sangat jauh berbeda dengan Kim Shou.

“Berapa luas kota ini?”

“100 kilometer persegi,” jawab Haes-sal. “Kami menyuplai kebutuhan pangan dan tanaman obat di Dunia Atas. Meski luas wilayah kami relatif kecil, tapi Prunos mampu menyediakan separuh lebih kebutuhan pangan para dewa.”

“Tunggu dulu.” Hee Young menghentikan langkah. Mereka kini berada di tengah kubah kaca dengan lantai berkilauan serupa air. “Sejak tadi kau bilang dewa dan malaikat. Apa kalian tak sama?”

Haes-sal menarik tangan Hee Young, memberi isyarat agar mereka meneruskan langkah. Cukup lama keduanya membisu. Malaikat tampan itu membawa istrinya melewati beberapa belokan dan koridor lebar. Hingga mereka tiba di sebuah lapangan terbuka berumput hijau. Banyak gazebo dari marmer putih berjajar dalam bentuk setengah lingkaran. Semuanya menghadap ke arah danau luas dengan air berwarna emas.

“Selamat datang di Danau Sagsim. Ini danau kebanggaan kota Prunos.”

Hee Young terkesima oleh keindahan pemandangan di hadapannya. Membentang luas sejauh mata memandang, air keemasan danau memantulkan cahaya matahari. Emas bertemu dengan kuning menghasilkan sinar menyilaukan.

“Ini luar biasa,” desahnya penuh kekaguman.

Haes-sal membimbing Hee Young duduk di salah satu gazebo. Dia memulai penuturan panjangnya.

“Kau sudah tahu tadi bahwa Prunos adalah salah satu kota di Dunia Atas. Jika di Bumi, wilayah ini bisa diibaratkan sebuah distrik besar dengan pusat pemerintahan berada di Kyongsaen.”

“Apa itu Kyongsaen?”

“Wilayah kediaman para dewa. Jaraknya dari sini ratusan kilometer.”

Hee Young manggut-manggut. “Kalian juga punya tiga bahasa. Bahasa dewa, bahasa cheonsa, dan bahasa amgani.” Hee Young mengulang pengetahuan singkat yang diperolehnya selama perjalanan tadi.

“Bahasa dewa untuk kaum dewa, bahasa cheonsa bagi kalian para malaikat, dan amgani untuk para agma. Sangat langka satu kaum menguasai tiga bahasa sekaligus. Namun, klan kalian dianugerahi kemampuan khusus tersebut.” Hee Young menambahkan.

“Kau benar.” Haes-sal tersenyum. “Namun, kehebatan yang klan kami miliki tak serta-merta memberikan keuntungan. Justru hal itu dimanfaatkan oleh kaum dewa untuk menguasai Prunos.”

“Apa maksudnya itu, Haes-sal?”

Haes-sal memperbaiki posisi duduknya. Pandangannya menyapu sekeliling. Tak ada siapapun di sekitar mereka. Gazebo lain kosong. Jarak mereka dengan bangunan berkubah kaca juga sangat jauh. Tak akan ada telinga-telinga usil yang bisa menguping.

“Zaman dahulu, para dewa berseteru dengan agma. Mereka terus berperang. Di sisi lain, dewa-dewa juga harus menjaga harmonisasi tiga dunia. Langit, Bumi, dan Dunia Bawah. Tugas yang berat di saat para agma semakin kuat dan beringas.”

Haes-sal meringkas penjelasannya tanpa bertele-tele. Dia akan menjelaskan detailnya suatu hari kelak. Saat Hee Young sudah mampu beradaptasi dengan kehidupan barunya.

“Lalu mereka menciptakan cheonsa—para malaikat—untuk menggantikan tugas membasmi agma. Para dewa mengumpulkan spirit mereka dan melahirkan malaikat tangguh dengan kekuatan masing-masing. Merekalah nenek moyang pertama kami. Dari awal penciptaan hingga sekarang, kedudukan cheonsa selalu berada di bawah para dewa. Kami bertugas melakukan pekerjaan kotor mereka, membunuh agma-agma berengsek itu.”

Hee Young meremang. Dia menggerakkan bahu untuk meredakan ketegangan yang terkumpul di sana. Punggungnya serasa dialiri hawa dingin. Tugas yang berat dan tidak adil diwariskan para malaikat kepada setiap keturunannya. Hee Young tak sadar menggigil ketakutan.

“Kurasa tugas kami di Dunia Atas sama dengan militer negaramu di Bumi,” kata Haes-sal santai. “Kau tak perlu mencemaskan apapun, Hee Young.”

“Tapi kau bisa terbunuh.”

“Mungkin saja. Tapi aku salah satu dari lima belas jenderal terkuat. Posisi lima belas malaikat dari lima belas klan cheonsa dilestarikan hingga saat ini. Kemampuanku cukup tinggi untuk terbunuh oleh agma. Kecuali ....”

“Kecuali apa?” desak Hee Young.

“Kecuali jika para dewa sendiri yang turun tangan membunuh kami. Meski bisa terluka oleh agma, tapi kaumku masih lebih unggul dibanding makhluk Dunia Bawah itu. Namun, kami tak ada apa-apanya di hadapan para dewa. Dari kekuatan jelas cheonsa kalah jauh.”

Hee Young menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia berusaha tersenyum meski pahit. Perempuan itu mengalihkan pembicaraan dengan sangat mencolok. Kentara jelas Hee Young mulai tak nyaman dengan kemungkinan perpisahan oleh kematian.

“Yang Mulia Hwanung ... siapa dia?”

“Anak dari Kaisar Hwanin. Saat ini statusnya putra mahkota karena kaisar masih bertahta.”

“Kau kenal akrab dengannya?”

“Dia sahabat kakakku.”

Hee Young terperanjat kaget. “Putra mahkota tampan itu?”

“Hee Young, kenapa kau memuji pria lain di hadapan suamimu?” Haes-sal sewot.

“Oh, akui saja, Haes-sal. Yang Mulia Hwanung memang jauh lebih tampan darimu.” Hee Young bersikeras. Senyumannya menggoda melihat rajukan Haes-sal. “Aku seorang make up artist. Aku terbiasa melihat fisik orang lain dengan obyektif.”

“Untung saja Hwanung tidak turun ke Bumi,” gerutu Haes-sal.

Hee Young menyilangkan kaki kanan di atas lutut kaki kiri. Punggungnya bersandar santai di tiang gazebo. Netra kecokelatannya mengamati sosok Haes-sal yang masih cemberut.
Prianya yang segagah singa itu tampak menggemaskan saat cemburu. Hee Young makin tergoda untuk memanas-manasi hati Haes-sal.

“Sepertinya Hwanung juga ramah,” kata Hee Young menanggalkan embel-embel Yang Mulia. Dia makhluk bumi yang dibesarkan secara demokratis. Penamaan seseorang dengan gelar bangsawannya tak biasa diucapkan lidah mungil Hee Young.

“Jika dia sahabat kakakmu, maka keluarga kalian pasti cukup akrab dengannya. Apa kau tak ingin mengundang Hwanung makan malam di rumah?”

“Kim Hee Young!” seru Haes-sal gusar.

“Ada apa, Jenderalku? Apa kau cemburu?”

Haes-sal terbelalak. Hee Young terkikik geli. Dia beringsut mendekati suaminya, lalu merangkul pinggang ramping Haes-sal. Dadanya menekan lembut perut berotot si malaikat. Saat perempuan itu mendongak, dia memergoki kilat gairah di mata emas Haes-sal.

“Apa kau cemburu pada Hwanung, Jenderal?” desah Hee Young manja. “Padahal kau tak perlu melakukan itu. Aku selalu jadi milikmu, Malaikatku.”

Haes-sal menarik Hee Young merapat padanya. Ditelannya kesiap lirih perempuan itu dengan lumatan keras di bibir. Saat mereka akhirnya memisahkan diri, napas keduanya tersengal-sengal.

“Jangan memancingku, Chagiya,” kata Haes-sal serak. “Kau tahu aku benci saat dirimu terpesona pada pria lain.”

“Bagaimana, ya? Aku sangat menunggu kesempatan bertemu lagi dengan Hwanung. Kontur wajahnya sangat sempurna. Jika aku bisa menyentuh ....”

“Jangan coba-coba lakukan itu!” geram Haes-sal.

“Ya, jangan coba-coba menyentuh suamiku, Hee Young.”

Dua kepala menoleh. Hee Young dan Haes-sal terperanjat kaget.

“Hana?”

“Dewi Hea?”


~~oOo~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro