#24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya gara-gara perkara ini Kim Mingyu dibuat berpikir. Dahinya terlipat. Bibir bagian bawah digigit. Lalu alisnya yang tebal digaruk kecil. Nama target yang dikirimkan Wonwoo bukanlah seseorang yang pantas dibunuh begitu saja hanya karena diperintahkan seperti itu. Baiklah, itu memang tugasnya. Tapi sisi kemanusiaannya menolak dengan tegas. Dapat bayaran mahal bukan satu-satunya hal yang bisa membuat segala urusan selesai dalam sekali kedip. Dulu dia juga pernah menolak misi dengan bayaran fantastis, lalu apakah dia akan mati kelaparan karena hal itu? Tentu tidak. Dan laki-laki yang wajahnya terpampang di layar ponsel itu tidak berhak menerima lesatan peluru yang membuat dadanya berlubang seketika.

"Aku tidak mungkin membunuhnya." Mingyu masih menimbang-nimbang sejak setengah jam yang lalu. Jemarinya mengetuk pinggiran meja yang dia duduki. Di depan sana, lemari berisi amunisi dan berbagai macam persenjataan berjejer rapi. Salah satunya sudah ditaruh di meja—yang sebetulnya disiapkan untuk misi kali ini.

"Jadi, kau tidak ingin melakukannya?"

Mingyu menggeleng. "Dia tidak terlihat seperti orang yang pantas dibunuh begitu saja," jelasnya. Terdengar napas Wonwoo dihela. Pria Jeon itu tampaknya juga sepakat setelah mempertimbangkan jawaban Mingyu yang ragu-ragu.

"Aku tidak akan memaksamu. Kau tahu apa yang baik untuk dirimu. Tapi Mingyu-ya, klien kita yang satu ini kurasa punya masalah. Dia tidak memberi alasan jelas kenapa harus membunuh penyanyi itu. Dia hanya mengatakan, dia takut kalau orang itu pergi dan dimiliki orang lain. Bukankah dia penyanyi yang sedang dicari-cari itu?" Wonwoo memberikan jeda pada kalimat panjangnya sebentar. Mingyu memilih menunggu pria Jeon itu kembali bersuara. Fokusnya masih terarah pada potret Yoon Sanha yang pernah dibicarakan Jung Chaeyeon.

Ah, jadi ini yang namanya Yoon Sanha.

Mingyu mengamati laki-laki muda itu makin lekat. Sekarang dia bisa mengerti mengapa Chaeyeon menjadi galau hanya karena melihat berita soal hilangnya pemuda tersebut. Penyanyi itu memiliki aura cerah yang menyenangkan. Pun sebetulnya dia juga mendengar saat lelaki itu melakukan siaran bersama Chaeyeon. Dan di sini, di tempat yang penerangannya tak terlalu jelas, dia mendapat tugas untuk melenyapkan orang itu. Dia bisa saja langsung menyetujui, tetapi penyanyi itu punya mimpi besar yang perlu diteruskan. Perjalanannya masih terlalu panjang untuk dihancurkan hanya karena seseorang menginginkannya—yang hidupnya mengacau kalau laki-laki muda itu hanya diperuntukkan padanya.

"Kurasa memang benar bahwa dia adalah sasaeng fan yang sempat beberapa kali diberitakan. Aku tidak bisa menilik identitas dan latar belakangnya karena ini bagian dari etika kerja kita. Bukankah zaman sekarang benar-benar gila?" Wonwoo mencoba menunjukkan kengerian dari nadanya bicara. "Mencintai seseorang sambil meninggalkan kewarasan hidup memang mengerikan," imbuhnya.

"Aku akan melakukannya." Mingyu tiba-tiba bicara.

"Mwo?" Wonwoo terkejut. Mungkin lebih tepatnya bingung, kalau tidak ingin dibilang terkejut.

"Aku akan melakukannya. Sebagai gantinya, kau kembalikan saja uang itu. Atau kalau kau mau, ambil saja uangnya, lalu menghilang." Mingyu meraih pistol, mengelus bagian moncongnya pelan. Sisa butir debu di meja yang menempel di sana ditiup. "Aku punya rencana, dan aku sudah memutuskan."

"Kaubilang, kau tidak bisa membunuhnya." Wonwoo sama sekali tidak mengerti apa yang tengah mengerubungi isi otak Mingyu saat ini. "Dan, oh, aku tidak bisa melakukan hal kotor itu atau dia akan melapor. Setelah itu, matilah kita."

"Sudah kubilang, aku punya rencana," timpal Mingyu. Agak kesal. "Dan kita—kau bisa melaporkannya kembali." Dia menambahkan untuk merespons pernyataan Wonwoo yang terakhir.

"Jadi, apa rencanamu?" Wonwoo memilih mengabaikan ocehan Mingyu sebelum dia juga ikut-ikutan kesal. Sekarang bukan saatnya mengekspresikan segala bentuk kekesalan.

Mendengar itu, sudut bibir Mingyu ditarik sedikit. Netranya bergantian melirik foto Yoon Sanha, lalu pistol, lalu bayangan tentang apa yang akan dia lakukan sebentar lagi. Sekilas wajah Jung Chaeyeon melintas di pikiran. Baru kali ini dia menjalankan sebuah misi sambil mempertimbangkan apakah orang lain bakal terluka karena tindakannya. Dia tidak ingin membuat gadis Jung itu menyesal, sedih—bahkan menangis—atau semacamnya ketika mengetahui penyanyi muda itu mati sia-sia. Apalagi bila kenyataan mengatakan bahwa orang yang membuat pemuda itu demikian adalah dirinya. Tidak tahu mengapa, tapi dia takut membayangkan bila Jung Chaeyeon membencinya setelah tahu bagaimana dia yang sebenar-benarnya.

"Ikuti saja permainanku, Jeon."

•ㅅ•

Mingyu menurunkan topi ketika kakinya mulai melangkah melewati pagar pembatas pada bangunan kotak yang kanan kirinya ditanami banyak pinus yang pohonnya tinggi-tinggi. Terdapat jalan setapak dengan permukaan yang telah rusak—satu-satunya jalan utama untuk menuju bagian depan bangunan tersebut. Hampir separuh dari pelataran lumayan luas yang ada di sana ditumbuhi rumput-rumput liar. Satu-dua bunga yang warnanya tidak menarik mekar. Sedikit mematahkan imej kusam dan suram yang memagari bangunan tersebut.

Mingyu merapatkan diri di dinding, lalu mengambil langkah cepat untuk masuk dari pintu belakang yang menurutnya jauh lebih aman dan meyakinkan. Dipikir hingga ke sekian kali pun, dia merasa tempat ini terlalu mudah. Dan atas alasan itulah, dia tidak ingin gegabah. Bisa saja ada jebakan yang datangnya tak terduga.

Pintu mengeluarkan derit ketika Mingyu berhasil menarik kenop yang terasa tak nyaman saat disentuh. Terlalu berkarat dan banyak debu. Bahkan gagangnya nyaris terlepas bila Mingyu tak menarik dengan teramat hati-hati.

Hal pertama yang dapat Mingyu lihat hanyalah rak-rak kayu yang menjulang hingga nyaris menyentuh langit-langit. Semua rak itu kosong—tidak ada bekas buku, perabotan kecil seperti vas bunga, atau benda-benda lain yang memiliki kemungkinan untuk ditaruh di sana. Yah, lagipula Mingyu tidak akan ambil pusing, apalagi sampai menerka tempat macam apa yang kini dipijaki. Tujuannya kali ini cuma satu: segera menemukan Yoon Sanha dan membawa laki-laki itu keluar dari sana dalam keadaan hidup.

"Sudah datang?"

Mingyu seketika berhenti. Dari ekor mata dia mencoba menilik siapa yang datang. Seorang wanita, tentu saja. Dia bisa memastikan dari suaranya. Selain itu, dia tidak punya gambaran. Mungkinkah itu orangnya? Orang yang membuat penyanyi muda itu dicari banyak orang.

"K?" Orang yang berdiri di belakang Mingyu melanjutkan. Daripada bertanya, nada bicara itu lebih terdengar seperti memastikan. "Jadi, kau adalah K yang namanya sering disebut-sebut itu?"

Mingyu tidak menoleh. Dia hanya diam sambil bersiap-siap bila ada serangan tiba-tiba—dia masih tidak mengerti mengapa punya firasat demikian. Yang jelas, tangan yang bersembunyi di balik jaket sudah menggenggam gagang pistol.

Ketukan sepatu di lantai semen membuat Mingyu makin siaga. Langkah itu kian mendekat, lalu bisa Mingyu rasakan kalau orang itu benar-benar tepat berdiri di belakangnya dengan jarak paling pendek. Embusan napas lembutnya mengenai kulit leher.

"Sebagai gantinya, kau kembalikan saja uang itu. Atau kalau kau mau, ambil saja uangnya, lalu menghilang." Orang itu mendekatkan mulut, berbisik sambil menirukan bagaimana Mingyu mengatakannya beberapa saat lalu. "Jadi, apa rencanamu? Kim. Min. Gyu. Ssi?" Dia menegaskan bicaranya ketika menyebut nama Kim Mingyu.

Tubuh Mingyu seketika tegang. Gerakan tangan yang hendak menarik pistol keluar segera terhenti beberapa saat sebelum dia memutuskan berbalik, lalu menodongkan pucuknya di muka orang tersebut. Meski ada riak terkejut yang ditunjukkan oleh perempuan muda itu, tetapi air mukanya segera dinetralkan, dan kini malah ganti menatap Kim Mingyu secara terang-terangan dan menantang.

"Kau menghancurkan kepercayaanku. Dan aku sudah berfirasat akan hal itu," katanya. Mingyu masih diam. Pistol masih di posisi yang sama. "Aku malas mengotori tanganku untuk membereskan Oppaku. Jadi kupikir membayar orang lain dengan reputasi yang bagus adalah pilihan tepat. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bukankah ini menarik? Kim. Min. Gyu. Ssi? Sekarang aku jadi memikirkan bagaimana kalau identitasmu bocor hingga ke kantor polisi."

"Tutup mulutmu." Untuk pertama kalinya, Mingyu memberi respons. Meski mukanya tertutup masker dan topi yang diturunkan nyaris menutupi dahi, kilatan yang terpancar di manik beningnya tetap terlihat tajam dan menyala-nyala. Dia geram.

"Sekarang aku jadi memikirkan bagaimana kalau identitasmu juga bocor hingga ke kantor polisi." Mingyu menambahkan sambil tersenyum miring diam-diam dari balik maskernya. Nyatanya, dia tidak mengetahui apa pun soal perempuan di depannya ini selain penggemar gila yang terobsesi terhadap Yoon Sanha.

"Aku seharusnya membunuhmu sejak kau menginjakkan kaki di sini." Orang itu menggeram. Kedua tangannya terkepal, tetapi tidak bisa melakukan banyak hal atau moncong pistol yang ditodongkan di mukanya itu melesatkan peluru tanpa aba-aba.

"Jadi, di mana kau menyembunyikan dia?" Mingyu bertanya. Telunjuknya sudah bersiap menarik pelatuk. Tentu saja orang di depannya ini tahu siapa 'dia' yang dimaksud.

"Aku sudah tahu hal ini akan terjadi," ujar si perempuan. Ada senyum sinis yang berpendar dari bibirnya. Sedetik kemudian—usai menjentikkan jari di udara tiga kali—sekumpulan orang muncul dari setiap sekat dinding yang dihalangi rak-rak kayu. Semuanya mengenakan pakaian hitam dengan masker menutupi wajah. Sementara di tangan masing-masing menggenggam balok-balok kayu yang siap mematahkan tulang kapan saja.

Mingyu cuma bisa meloloskan dengkusan. "Kau menyiapkan semuanya dengan baik," ungkapnya. Entah itu diterima sebagai tantangan atau sindiran, Mingyu tidak peduli.

Tanpa menunggu lama, orang-orang itu segera maju, menyerang beramai-ramai. Mingyu otomatis bergerak. Pistol di tangan sudah melesatkan butir timah beberapa kali, membuat beberapa orang langsung tumbang. Perempuan tadi memanfaatkan kesempatan untuk menjauh dan menonton di pinggir dengan kedua tangan menyilang di dada.

"Ya, apa-apaan ini? Dari mana dia tahu identitasku?" Mingyu bertanya ketika earphone yang dari tadi menempel di telinga mengeluarkan bunyi gemeresak. Wonwoo ada di sana.

Mingyu bergerak lebih gesit ketika salah satu dari mereka tanpa diduga-duga mengeluarkan pistol, dan kini berusaha menembakkan peluru-peluru itu ke arahnya. Dia mengintip dari balik dinding, lalu balas menembak dengan cepat dan tepat sasaran. Sekarang hampir dua lusin orang sudah terkapar. Dia harus menyelesaikan ini dengan segera. Perempuan tadi sudah tidak ada di sana. Dia khawatir Yoon Sanha akan dibawa ke suatu tempat sebelum dia sempat mengejarnya. Jadi, tidak ada waktu lagi.

"Dia pasti benar-benar orang gila." Wonwoo sama frustrasinya dengan Mingyu. Dalam sekejap, dia sudah tahu bagaimana situasi dan kondisi yang kini dihadapi rekannya tersebut. "Apa aku perlu mengirimkan bantuan? Kau baik-baik saja, 'kan?" tanyanya memastikan ketika mendengar bunyi tembakan bersahut-sahutan.

Napas Mingyu berderu sehabis membanting tubuhnya sendiri di antara deretan rak kayu hingga roboh demi menghindari tembakan yang nyaris melubangi lengannya. Cepat-cepat dia bangkit. Tangannya teracung. Beberapa peluru yang tersisa segera dilesatkan.

"Sial!" Mingyu mengumpat pelan ketika menyadari pelurunya telah habis sedangkan di hadapannya masih ada sekitar sepuluh orang yang bersiap menyerbunya. Dan untuk pertama kalinya, Mingyu lengah. Lengan sebelah kanannya seketika seperti mati rasa. Satu peluru berhasil membuatnya ambruk. Erangan di mulut refleks terdengar.

"Hei, kau tidak apa-apa? Mingyu-ya!" Wonwoo di seberang berusaha mengendalikan diri. Nada bicaranya terlampau khawatir. Pria Jeon itu pasti sedang berdiri dari kursinya sambil memasang raut cemas. Setelah agak reda, barulah dia kembali bertanya, "Kau tidak apa-apa? Kau terluka?"

Tidak ada jawaban dari Mingyu. Dan itu sukses membuatnya menggila. Dari balik layar komputer, rambutnya diacak-acak frustrasi.

"Hei, Kim Mingyu! Setidaknya keluarkan suara supaya aku tidak khawatir, Saekki-ya!" seru Wonwoo di seberang.

Mendengar Wonwoo panik, Mingyu meloloskan tawa kecil. Earphone-nya sempat terlepas. Benda itu baru kembali dipasang ketika semua lawannya tidak ada yang berkutik lagi, terkapar dengan darah bercecer di mana-mana. Untungnya dia berhasil merebut pistol lawannya, dan melakukan serangan balik sambil menahan luka di lengan.

"Aku tidak apa-apa, Jeon," ujarnya santai. Wonwoo di seberang nyaris mengumpat, tetapi ditahan mati-matian. Setelah itu sambungan terputus. Mingyu kembali menyusuri sisi lain dari bangunan besar ini. Dia berharap perempuan tadi belum bergerak atau setidaknya merencanakan sesuatu yang lain.

Mingyu memilih untuk naik ke lantai dua setelah sampai di ruangan yang menghubungkan pintu depan, tapi tidak menemukan apa pun selain barang-barang berserak di sana. Kakinya melangkah cepat, mengabaikan nyeri di lengan. Di lantai dua, dia melihat lebih banyak ruangan dengan pintu-pintu cokelat pudar yang tertutup. Dia membuka satu demi satu, memeriksa dalamnya dengan teliti. Hingga pintu ke-20, Mingyu sama sekali tidak menemukan apa yang dia cari.

"Di mana dia menyembunyikan laki-laki itu?" gumamnya. Kepalanya kembali diputar, menyisir ruangan besar tersebut dengan napas terengah-engah. Keringat mendominasi mukanya yang kotor terkena debu. Kecuali luka tembak di lengan kanan, Mingyu tak memiliki luka yang berarti.

Mingyu menajamkan telinga ketika dia mendengar benda berat digeser dari salah satu ruangan yang tadi sudah dicek satu per satu. Spontan kakinya mendekati dinding, mengendap di sana seraya mencoba mendengarkan sekali lagi dengan saksama. Instingnya ditajamkan. Dengan keyakinan penuh, dia segera melesat ke sebuah pintu yang setelah dilihat-lihat memiliki warna sedikit berbeda dengan lainnya. Pintu ini berwarna lebih cokelat dan kayunya masih cukup kukuh. Tidak ada sarang laba-laba yang menghiasi seperti pada pintu sebelum-sebelumnya.

Mingyu masuk perlahan. Suara langkahnya dibuat sehalus mungkin dengan kedua tangan memasang gerakan defensif. Dahinya bertaut kala menyadari ada tirai di belakang sebuah papan besar tinggi yang menutupi sesuatu di sana. Dia melihat papan itu sebelumnya, tapi tak memeriksa lebih detail. Menghitung sampai tiga dalam hati, tangannya membuka tirai tersebut. Dan di sanalah dia menemukan sebuah ranjang, sedang seseorang berbaring di atasnya dengan mata terpejam.

Tanpa berpikir lebih banyak, Mingyu segera mendekat. Untuk memastikan ingatannya, dia merogoh potret Yoon Sanha, lalu membandingkan dengan laki-laki muda di depannya. Sama. Orang itu memang Yoon Sanha. Hanya saja, yang berbaring ini kondisinya jauh dari kata baik. Bibir pucat, wajahnya terdapat luka-luka gores yang belum mengering, kedua tangan dan kaki terikat kuat. Dia beringsut melepas tali-tali itu secepatnya.

"Dasar gila," umpat Mingyu ketika melingkis lengan kemeja pemuda Yoon tersebut. Lebih banyak goresan di sana. Bukan goresan benda tajam. Ini lebih seperti benda berujung tumpul yang dipaksa digoreskan di sana hingga meninggalkan luka seperti itu.

Tatapan Mingyu beralih pada baju laki-laki muda tersebut. Masih bersih, rapi, dan terlihat baru untuk ukuran orang yang sudah menghilang berhari-hari. Perempuan tadi pasti yang memberikan baju tersebut. Namun Mingyu sadar, semuanya tidak akan semudah ini. Tepat saat tangannya bergerak untuk menyandarkan tubuh pemuda itu, sesuatu menyentuh lehernya.

"Jangan sentuh dia." Suara itu terdengar gemetar. "Dia milikku, dan akan jadi milikku selamanya!" Lalu berubah histeris tanpa sebab. Benda mengkilat yang ada di dekat lehernya ikut bergetar. Mingyu tersenyum miring. Bersamaan dengan itu, mata Yoon Sanha tiba-tiba terbuka. Netra sayunya melirik ke arah Mingyu, lalu perempuan di belakangnya. Sebelum kepalanya berhasil mencerna, perempuan tadi segera berpindah, menghalangi Mingyu yang masih belum mengeluarkan suara.

"Kalau kau berani menyentuhnya, aku akan memastikan benda ini menembus jantungnya." Perempuan itu mengancam. Pisau yang digenggam diarahkan ke tubuh Yoon Sanha yang mukanya terkejut.

Mingyu masih belum bereaksi banyak. Dia menatap Yoon Sanha intens, seperti tengah mengirimkan sinyal agar pemuda itu bergerak kabur di waktu yang sudah diperhitungkan. Dan untungnya, Sanha menangkap dengan baik kode dari Mingyu lewat tatapan mata.

Ruangan itu hening. Rasanya lebih senyap dari sebelumnya. Hanya napas yang berembus tak teratur yang berhasil tertangkap pendengaran.

Diam-diam Mingyu mengeluarkan pistol yang diambil dari lawannya tadi dari saku celana. Si perempuan masih menatapnya nyalang dengan ujung pisau yang makin dekat dengan laki-laki Yoon. Mingyu menggerakkan kepala sedikit, menyuruh Sanha untuk menjauh perlahan, dan dia yang akan mengalihkan perhatian. Meski gemetaran, Yoon Sanha tetap melakukannya dengan hati-hati. Sayangnya gelagat itu berhasil ditangkap dengan cepat. Sebelum Yoon Sanha mampu berdiri dan menjauh dari ranjang, perempuan itu menengok, dan benda tajam di tangannya segera berpindah, menembus, mengenai perut pemuda itu.

"Akkh!"

Mingyu spontan melesatkan sebutir timah panas ke arah perempuan tadi. Darah langsung merembas keluar dari kaki jenjang yang dibalut stoking hitam tersebut. Suara jeritannya memekakan telinga. Tubuh rampingnya segera luruh.

Sigap Mingyu mendekati Yoon Sanha, menopang tubuh lelaki itu yang sudah tergeletak dengan darah mengucur deras. Kemeja bersih yang terlihat masih baru langsung berubah menjadi merah gelap. Mingyu berusaha menekan luka tersebut dan membuat laki-laki itu tetap sadar. Namun karena kondisi sebelumnya sudah buruk, laki-laki itu tak bisa memenuhi perintah Mingyu. Matanya segera terkatup saat Mingyu berusaha memindahkannya di gendongan.

"Hentikan! Jangan bawa dia!" Perempuan tadi berteriak lebih histeris. Namun Mingyu makin bergegas. Yoon Sanha telah berada di punggungnya. Dia segera merogoh ponsel, mendial nomor Jeon Wonwoo.

"Jeon, aku butuh bantuanmu."

•ㅅ•

2021년 11월 18일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro