꒰ 12 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w  p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

Mariposa - Peach Tree Rascals

ʚ ɞ

Menemukan kamar mandi tak semudah yang aku kira. Dan ketika kami sampai, ada sekumpulan cewek yang memenuhi kamar mandi tersebut. Di dalam kamar mandi perempuan tempatku kini berada ada tiga bilik, dan tiga-tiganya terisi penuh—tak hanya diisi satu orang. Saat mereka keluar dari bilik masing-masing, kulihat sekiranya ada 10 orang dari geng yang sama. Mereka agak berisik.

Lalu aku menunggu mereka benar-benar keluar dari kamar mandi untuk aku masuk ke salah satu biliknya. Aku sebetulnya tidak kebelet-kebelet amat.

Setelah selesai, aku merenung sejenak dan menghela napas panjang. Lalu setelah merasa siap untuk kembali menghadapi dunia luar, aku membuka pintu, mendapati seorang gadis dengan mata sipit dan rambut panjang lurusnya yang kecokelatan.

"An ...."

"Kamu ... kamu cemburu?" Suaranya memelan.

Dadaku kembali sesak dan entah kenapa mataku berkaca-kaca. Aku ... tak ingin membahas hal ini sekarang, atau mungkin tak akan pernah. Aku hanya bingung kenapa aku cupu sekali. Dikit-dikit cemburu.

Apa semua orang yang jatuh cinta seperti ini?

Aku lupa rasanya jatuh cinta. Terakhir, aku jatuh cinta saat SMP dan tidak pernah merasakannya lagi—hingga sekarang. Saat itu aku naksir hanya beberapa bulan, dan aku tak mengenal orang itu secara personal jadi aku tak masalah mendengar dia dekat dengan siapapun.

Tapi kali ini ... aku seperti enggan membaginya untuk orang lain. Dia terlalu sempurna di mataku saat ini. Aku tak ingin ia dimiliki orang lain. Namun, aku juga merasa tak siap untuk memilikinya sepenuhnya. Aku bingung sendiri apa mauku.

"An ..., nggak apa-apa,"—Oliv menyentuh pundakku, mencoba menyalurkan rasa nyaman—"mungkin, menurut aku kamu mendingan bilang sama yang lain deh," ujarnya dengan intonasi lembut dan tatapan yang penuh pengertian.

"Lama-lama mereka pasti tau, kita juga nggak bakalan ngeledekin kamu, malah support." Ia meyakinkanku.

"Tapi ... aku masih malu," ujarku terus terang dengan suara agak bergetar. Aku menunduk sejenak, menatap sepatu sneakers putihku.

"Daripada mereka tahu dari orang lain?"

Aku mulai berpikir. Bagaimana jika teman-teman ekskulku mengira teman-temanku itu sudah tahu dan mereka keceplosan bilang. Pasalnya kami memang sering mengobrol jika berpapasan. Mereka juga kenal Kayla, Rizella, dan Kanya.

Kami mengetahui rahasia satu sama lain, mantan-mantannya Rizella, gebetannya Kanya, orang yang sedang PDKT dengan Kayla, dan cinta pertamanya Oliv. Sedangkan aku ... aku merasa paling tidak pernah bercerita tentang kisah cintaku yang sesungguhnya. Hanya tentang cinta monyet, naksir orang, tak ada yang begitu menarik dalam kisah cintaku.

"Menurut kamu kalo aku kasih tau mereka, mereka nggak bakal bilang ke Abi?" tanyaku gamang.

Ia mengembuskan napas malas. "Yah, nggak tahu sih, coba aja dulu," jawabnya.

Jika Oliv saja tidak yakin, maka aku akan lebih tidak yakin.

Aku memulai kalimat dengan pasti. "Nanti deh ..., kapan-kapan ..., kalo inget ..., kalo pengen," ujarku. Akhirnya aku belum mantap untuk memberi tahu teman-temanku.

"Keluar yuk," ajak Oliv pada akhirnya.

"Yuk." Aku langsung jalan ke luar dari kamar mandi dengan Oliv yang mengikutiku.

Kami mencari kawan-kawan kami yang rupanya sudah tidak berada di dekat pohon tempat berteduh para pemain futsal. Bahkan anak-anak futsal tersebut tak lagi ada di sana.

Kami menyusuri tiga lapangan yang ada. Lalu aku melihat seorang perempuan dengan atasan warna hitam, celana warna putih garis-garis hitam, dan rambut panjang terurai tengah bersama kerumunan yang ada di lapangan voli.

"Eh, itu, Liv, ayo!"

Aku melepaskan pegangan tanganku pada Oliv dan berlari ke arah gadis itu.

"Permisi ..., permisi ...," ujarku pelan saat kami menyelinap di antara kerumunan.

"Zela!" Aku meloncat ke arahnya, lalu berseru sambil menepuk kedua pundaknya.

Ia terperanjat, lalu melirik ke arahku dengan tatapan tajamnya dengan tangannya yang menepuk-nepuk dada—kaget.

"Kalian lama banget," ujarnya.

"Antri, Zel." Kali ini Oliv yang menjawab.

Kawan-kawanku yang lain tengah fokus menonton pertandingan voli perempuan tersebut meski bukan tim sekolah kami.

Aku celingukan ke segala arah. Oh, rupanya Virgitta masih ada di ujung sana, di samping Kanya, mereka tengah mengobrol.

Kini aku mencoba fokus pada sesuatu di depanku, pertandingan bola voli yang meskipun aku sendiri tak tahu peraturannya, kapan mereka dapat poin, dan dari sekolah mana saja mereka.

Makin lama menonton, kayaknya aku mulai tahu yang mana dari sekolah mana dan kapan saat poin itu tercetak.

Mataku tertuju pada salah satu pemain yang berambut pendek dan berponi, ia berhasil mencetak poin tiga kali berturut-turut. Tubuhnya tak terlalu tinggi sebenarnya kalau dibandingkan dengan teman-temannya, tapi dia keren!

Saat ini supporter sekolah dari gadis itu—aku tahu dari sebuah papan bertulisan yang mereka bawa— bersorak-sorak, menyanyikan lagu yel-yel yang dipimpin oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi, dia pede sekali.

"Dia 'kan temen SMP-ku." Oliv menunjuk perempuan yang tadi kubilang. Kali ini ia tengah memegang bola.

"Serius?" ujarku.

"Iya, satu angkatan, beda kelas," jawabnya, "dari dulu emang jago olahraga sih."

Aku ber-oh panjang. Sebagai orang yang gampang keseleo, kayaknya aku patut kagum.

Aku percaya apa kata Oliv soal dia yang jago olahraga. Betis dan lengannya kelihatan kencang layaknya orang yang rajin olahraga pada umumnya. Tolong jangan bayangkan binaragawan bertubuh kekar dan berambut seperti Dora, dia cantik kok.

"Virgitta, Rabu pulang sekolah, ya."

Suara itu ditangkap oleh telingaku dan langsung membuatku kontan melirik.

"Iya, jadi ya? Awas enggak," balas Virgitta.

Cowok itu telah mengganti bajunya, ia mengenakan kaus warna biru, sementara bawahannya masih celana futsal. Poninya tak lagi dikucir, melainkan dibiarkan jatuh menghiasi dahinya.

"Eh, abis gue latihan lah, sorean," ujarnya lagi.

"Nggak bisa cabut?" tanya Virgitta dengan suara dan mimik wajah memohon.

Ia mendecak. "Gue 'kan anak rajin, Jita." Seringai tipis terulas di bibirnya.

Virgitta mencebik.

"Dadah." Tiba-tiba ia berjalan meninggalkan kami semua dengan agak tergesa.

"Eh eh, mau ke mana lo?" Kanya memutar balik badannya, bertanya lantang.

"Gue capek, Kanya Geraldine!" ucapnya sambil masih berjalan.

Lalu sekejap kemudian ia berhenti, lantas berbalik kembali ke arah kami.

Entah geer atau bagaimana, aku merasa ia berjalan ke arahku.

Sebuah dentum dari jantungku cukup untuk menggambarkan betapa terkejutnya aku ketika ia benar-benar berdiri di hadapanku dan menatap mataku. Tak mungkin salah lagi.

"Anais," panggilnya, "Udah mau pulang belum?"

"Eh, Abi ...." Aku tak langsung menjawab, masih menimbang jawabanku.

"Kalo mau sekarang, bareng aja yuk," ujarnya lagi.

Aku meneguk ludah. "Boleh, Bi."

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

So far masih so good yah, belum ada kendala berarti meskipun udah mulai pusing bagaimana mengakhiri cerita ini. Dikit lagi tapi kayaknya masih banyak (loh gimana).

Anyway happy late Independence Day! 🇮🇩

Rabu, 18 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro