꒰ 20 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w  p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻
Tonight You Belong to Me - Christina Perri

ʚ ɞ

Orang tuaku datang hari Jum'at malam, tanpa sepengetahuanku sebelumnya. Kedua orang tuaku dan kakakku datang ke rumah malam-malam sambil membawa kue tar dan kado lainnya.

Waktu itu aku tengah duduk-duduk di ruang tamu, dan tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah. Tante dan Om sudah mengetahui kedatangan mereka, tapi enggan memberi tahu aku—tentu saja.

Aku dapat tas sekolah, sepatu, dan kakakku memberikanku seperangkat alat make up—tidak lengkap juga sih—yang sebagiannya diberikan kepadaku karena itu brand mahal dan dia tidak cocok memakainya. "Daripada dibuang, sayang," begitu katanya.

Kemarin kami berpiknik ria di pantai. Jadi, terpaksa aku bilang kepada Abinaya bahwa ia harus memanfaatkan promo tiketnya di hari terakhir, hari Minggu. Dengan kata lain, aku mengiakan ajakannya.

Aku juga sudah bilang kepada seluruh keluarga besarku bahwa aku diajak—ekhem—teman cowokku untuk pergi ke taman bermain bersama, sebagai hadiah ulang tahunku. Tanpa hambatan berarti, seluruh keluarga besarku merestuinya. Aku tak pernah menutup-nutupi perihal cowok yang kusukai, dekat denganku, atau yang suka denganku.

Sepulangnya kawan-kawanku dari rumahku kala itu, Tante langsung menanyaiku seribu satu pertanyaan tentang dua cowok yang baru pertama kali datang ke rumahku. Dan tentu saja, Abinaya yang sudah beberapa kali cuma singgah sebentar di depan pagar rumah menjadi yang paling banyak ditanyakan. Aku jujur bahwa aku suka padanya. Tante merestui karena katanya Abinaya itu ganteng.

Hari ini make up yang diberikan kakakku terpakai. Aku bahkan meminta saran kakakku untuk apa saja yang harus kukenakan hari ini. Atas saran darinya, aku mengenakan kaus warna-warni lengan pendek dengan boyfriend jeans yang mengatung, serta kaus kaki dan sepatu yang mendukung.

"Ais," kakakku memanggil dari dalam rumah dan aku menoleh, "semangat!" Ia mengepalkan kedua tangannya di udara.

Aku yang tengah duduk di teras rumah tersenyum lebar.

Aku bolak-balik mengecek ponselku, mewanti-wanti kabar terbaru dari Abinaya, jika ada. Dia bilang kami sebaiknya naik taksi online, berkendara naik motor lintas kota terlalu berisiko untuk Anak Baru Gede seperti kami, dan Abinaya belum bisa mengendarai mobil.

Dia mengirimkan foto dirinya yang tengah berada di dalam mobil. Oh, berarti dia sudah menuju ke sini. Yah, mungkin agak merepotkan kalau sang sopir harus masuk dulu ke blokku kemudian ke luar lagi, tapi tak apalah.

Aku membalas pesannya, bertanya apalah mobilnya baru datang. Tak perlu waktu lama baginya untuk membalas bahwa ia sudah ada di depan gerbang blokku.

Senyum yang sudah sejak tadi terukir manis di bibirku makin melebar, akhirnya aku kesampaian untuk punya quality time bersama orang yang aku sukai.

Tak lama kemudian aku mendengar suara mobil mendekat, melaju di jalanan depan rumahku. Mobil silver itu berhenti tepat di depan pagar rumahku.

Aku tak langsung menghampirinya, aku masuk ke dalam lagi untuk berpamitan pada keluargaku. Aku sebetulnya agak menyayangi kenapa aku harus pergi ketika keluargaku tengah berkumpul.

Setelah berpamitan, aku membuka pintu mobil bagian belakang. Abinaya yang ada di kursi samping sopir menoleh ke belakang dan tersenyum tipis. Aku yang sudah tersenyum dari tadi tak perlu repot-repot membalas senyumannya.

Oh, aku baru sadar sesuatu!

Dia baru potong rambut!

Kemarin Jum'at dia datang ke sekolah dengan wajah amat murung, lalu beberapa temannya datang kepadanya dan meledeknya dengan puas. Kusimak baik-baik obrolan mereka, rupanya klub sepak bola yang dibela Abinaya kalah dan ia terlanjur janji akan potong rambut kalau klub yang dibelanya kalah.

Gaya rambutnya tak beda jauh, masih belah tengah, tapi lebih pendek dan rapi.

***

Meski terpanggang di bawah teriknya matahari, kami tetap giat mencari wahana yang hendak kami naiki, jajan-jajan, dan tentu saja, foto-foto.

Ayah dan Ibu memberiku uang saku tambahan, sementara kakakku bilang bahwa "cowokku" harusnya mentraktirku. Yah, aku bisa masuk ke sini 'kan gara-gara dia, meskipun dia memang cuma bayar satu tiket untuk dirinya, dan aku yang gratis.

Kalau sudah bayar—meski dapat gratisan—rasanya tidak afdol jika tidak mencoba semua wahana.

Aku benar-benar menikmati hari ini. Rasanya sudah lama aku tak pergi ke sini bersama temanku. Memang baru sekali sih.

Rumah kaca menjadi perhentian pertama kami. Kami menghabiskan sekiranya satu jam di dalam sana, yang sebagian besarnya untuk antre di luar, kemudian sebagian lagi untuk foto-foto dan tersesat di dalam.

Sambil mengumpulkan nyali untuk menaiki wahana-wahana yang ekstrem, aku membujuknya untuk ke istana boneka dulu. Untungnya Abinaya lelaki penurut, maka dia tak menolak sedikit pun saat aku mengajak ke sini.

Memang agak cupu, tapi aku merindukan tempat ini.

Bisa dibilang itu tempat kencan pertamaku, saat TK. Jadi waktu itu aku mesra-mesraan bersama pacarku di atas kapal saat keliling istana boneka. Namun, bukan itu alasanku rindu tempat ini, memori itu agak menggelikan kalau diingat-ingat, aku bahkan belum tahu apa itu cinta.

Mungkin lebih tepatnya aku rindu karena sejak kecil aku selalu minta masuk ke istana boneka tiap ke sini, dan kebanyakan aku ke sini bersama keluarga lengkapku.

Wahana ketiga yang kami naiki adalah bianglala. Durasi bianglala cukup lama sehingga kami terlarut dalam percakapan kami.

Namun, tiba-tiba Abinaya terdiam sejenak, menatap langit yang terhampar di depan kami.

"Anais ..., kalo gue cerita soal Virgitta nggak apa-apa 'kan?" Dengan wajah yang masih menghadap ke langit, ia bertanya sambil menurunkan intonasinya.

Aku refleks meneguk ludah, butuh beberapa saat untuk menjawab, "Nggak apa-apa kok, emangnya kenapa?" Aku bertanya balik.

"Kalau misalnya nggak nyaman nggak apa-apa, An ...," ujarnya.

"Aku nggak apa-apa kok, lagipula aku malah seneng kalo kamu mau cerita apa aja ke aku, itu artinya kamu percaya ...," ujarku dengan suara pelan.

Ia tersenyum tipis dengan mata yang masih diarahkan ke pemandangan yang ada di depan kami.

"Makasih ya ..., nggak banyak yang gue kasih tau kalo gue emang suka sama dia—Rizella, Kanya juga nggak pernah gue kasih tau—yah, paling mereka tau sendiri—tapi ... gimana ya? Gue nggak enak aja gitu, kalo lo mau cerita sesuatu ke gue nggak apa-apa, cerita aja."

"Virgitta juga nggak pernah gue kasih tau soal ini, gue nggak enak, soalnya kayak ... selalu aja lagi deket sama cowok lain."

Aku membiarkannya berkeluh kesah sepuasnya sambil menimbang-nimbang apa hari ini hari yang tepat untukku menyatakan perasaanku?

Mungkin banyak orang berkata aku kurang peka, tapi aku bisa melihat bahwa ia masih menaruh harapan pada Virgitta. Tapi ... apa maksudnya ia menanyakan hal itu? Apa dia takut aku cemburu. Jika dilihat dari sisi itu, mungkin memang sebaiknya aku bilang yang sejujurnya.

Setelah itu kami berdua terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Menikmati pemandangan naik-turunnya bianglala yang kami tumpangi.

Setelah beberapa putaran terakhir, kami turun untuk bergantian dengan penumpang lain.

"Naik apa lagi?" tanyaku, memecah sunyi di antara kami.

"Maunya apa?" Ia malah balik bertanya.

Aku membutuhkan beberapa saat untuk berpikir. Karena sepertinya nyaliku belum cukup untuk naik roller coaster, maka aku memutuskan, "Kora-kora?"

***

Diriku memang dilingkupi adrenalin yang tinggi oleh orang-orang di sekitar kami. Orang-orang berteriak, mengangkat tangannya, penuh semangat, bergembira, sedang hatiku masih kalut, masih memikirkan percakapan kami kala itu. Aku memang ikut berteriak tegang, ikut mengangkat tanganku seperti kumpulan manusia yang lain, tapi suasana hatiku seakan menolak untuk melepaskan bimbangnya.

Aku berusaha menaikkan mood dengan merekam video-video senang-senang untuk kuunggah di akun Instagram-ku, tapi rasanya masih sama saja.

Setelah turun dari wahana, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil makan.

Sesungguhnya ini sudah jam tiga sore. Agaknya kami kesiangan saat berangkat. Tanpa memperkirakan bakal macet di jalan karena akhir pekan, kami baru berangkat jam sepuluh. Belum lagi antrean-antrean panjang yang ada di tiap wahana. Alhasil kami baru masuk di empat wahana sejauh ini. Tapi yah, lumayan.

"Bagus nggak?" tanyaku sambil menunjukkan foto yang terpampang di layar ponselku.

"Hmmm ... bagus," jawabnya sambil memerhatikan mirror selfie kami saat ada di rumah kaca, "mau di-post?"

Aku mengangguk. "Iya."

"First apa second?" tanya Abinaya lagi.

"First ... boleh?" izinku.

Ia tampak menimbang sejenak. "Hmmm ... ya udah, nggak apa-apa," jawabnya.

Aku menarik kembali lenganku, lalu memencet post untuk memasukkannya ke dalam instastory akun pertamaku.

"Guenya ganteng," ucapnya lagi dengan   nada datar, membuatku menahan senyum dan tawa geli.

Namun, aku tak tahan untuk tak melepaskan sebuah tawa geli. Sampai hampir tersedak saat meneguk milk tea boba milikku.

"Eh, nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Aku melambaikan tangan sebagai tanda aku tidak apa-apa sedangkan tangan lainnya menutup mulutku.

"Tapi emang iya 'kan?" Ia memaksaku untuk mengakui hal itu.

Aku terbatuk-batuk kecil sejenak. "Iya ..., iya ...," akuku pada akhirnya.

Ia tertawa kecil. "Kirimin dong, yang tadi," pintanya.

"Di WA ya," ujarku sambil menyeleksi foto yang hendak kukirimkan.

Sinyal di sini parah sekali sejak tadi. Bahkan aku perlu beberapa kali mem-post ulang instastory hingga akhirnya bisa terunggah. Kini ada sekitar tujuh belas foto yang menunggu untuk dikirim.

"Sini pinjem deh, Bi, HP kamu," ujarku sambil menjulurkan tangan. Gerak tangannya yang tengah memelintir mi ayam dengan sumpit terhenti, lantas memberikan ponselnya yang tergeletak di atas meja.

Aku menyandingkannya dengan ponselku, membandingkan ukurannya dan memerhatikan detail bagian belakangnya.

"Sama ya?" tanyaku.

"Hm?" gumamnya dengan mulut dipenuhi mi ayam.

Lalu aku melepas casing ponselku dan miliknya juga. Hanya beda warna. Aku memasangkan casing-ku ke ponselnya. Saat ponsel hitam itu masih ada dalam genggamanku, sebuah notifikasi WhatsApp muncul secara terus menerus.

Kubaca nama sang pengirim.

anais🧚🏻‍♀️

Itu foto-foto yang kukirim, baru sampai setelah beberapa menit.

Dan, oh, astaga! Nama kontakku!

Aku menamai kontaknya dengan nama "abi" beserta emoji peri laki-laki.

Setelah terpaku melihat layar ponselnya, aku menatapnya. Ia balik menatapku, maka aku mengembalikan ponselnya.

"Yang tadi baru kekirim," ujarku.

"Oh, iya," balasnya.

Aku terdiam. Seingatku waktu itu ia pernah meminjam ponselku, lalu tak lama mengembalikannya. Lalu setelah itu ia mengetik sesuatu di ponselnya, tetapi itu bukan dikirim padaku.

"An, casing-nya," ujarnya membuyarkan lamunanku.

Aku baru ingat. "Oh iya." Aku segera menyerahkan casing miliknya dan ia mengembalikan punyaku.

Aku mengambil sebuah kentang goreng milikku, lalu memakannya, kemudian kembali larut dalam pikiranku.

Kenapa belakangan ini ia sangat aneh? Dia beberapa kali melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuatku tersedak seketika. Memberikanku hadiah ulang tahun yang tidak murah. Maksudku, dia bisa saja 'kan mengajak kakaknya untuk ke sini dan tiket akan dibiayai kakaknya, atau dibagi dua.

Mungkin orang akan mengira aku ke-geer-an, tapi bukan itu. Apa dia tahu aku suka padanya?

Jika kupikir-pikir, jika dia bisa tahu di mana dompetku yang hilang itu berada, maka bisa jadi ia tahu apa isi pikiranku.

Kalau begitu, haruskah aku bilang padanya? Sekarang?

Dengan pertimbangan panjang, aku akhirnya memanggilnya, "Bi ...."

"Kenapa?" tanyanya.

Aku menarik napas panjang. "Aku sebenernya nggak terlalu suka kalo bahas Virgitta ....," ucapku sambil menunduk dan menusuk-nusuk boba yang tersisa di dalam gelas, aku sungguh tak berani menatapnya.

Ia tak langsung membalas ucapanku, membuatku berpikir keras soal apakah ada yang salah dari perkataanku barusan.

"Maaf ya ...," ujarnya pelan.

"Aku juga maaf ...," ucapku demikian karena tadi berbohong padanya soal aku tak apa-apa jika dia bercerita tentang Virgitta.

"Aku suka kalo kamu percaya sama aku, tapi ...—" perkataanku terputus. Aku bisa merasakan tatapan mata itu tak berhenti mengarah padaku sejak tadi.

"Aku cemburu," ucapku pelan dan cepat. Mataku makin enggan menatapnya barang sekejap.

Tiba-tiba sunyi singgah di antara kami berdua. Di tengah riuh rendah orang-orang di sekitar kami, kami berdua terdiam dalam suasana yang kurang mengenakkan. Aku tak berharap pengakuanku akan sedrama itu. Cemburu? Siapa aku?

"Aku ... suka sama kamu," ujarku lagi, lebih mantap.

Jantungku berdebar sedemikian kencang seakan ada palu yang menempanya. Meski demikian, kepalaku lega, hal yang selama ini paling ingin kuutarakan telah berhasil keluar dengan mulus—tidak juga—dari mulutku.

"Gue juga ...."

Aku terpaku sejenak. A- apanya yang juga?!

"Maksudnya?!" tanyaku pelan tapi cepat, kali ini berusaha menatap matanya.

Ia tersenyum tipis. "Gue juga suka sama lu," ucapnya sambil setengah menunduk.

Jantungku seakan berhenti seketika. Aku berusaha mengatur napasku. Untuk beberapa saat, kepalaku terasa kosong.

"Makasih ya, lo itu baik, baik banget, mau dengerin apa aja yang gue ceritain," ujarnya.

Kali ini aku tersipu malu, wajahku panas, senyumku mengembang. Agar tak ketahuan kalau aku sedang salah tingkah, aku membenamkan wajahku.

"Makasih, kamu juga baik sama aku," balasku malu-malu.

Selanjutnya suasana menjadi sunyi, hanya menyisakan suara desir angin dan suara riuh rendah orang-orang di sekitar kami yang tengah menikmati harinya di sini. Kecanggungan menyelimuti suasana di antara kami berdua. Aku terus menunduk. Namun, ketika akhirnya aku mendongakkan kepala mataku langsung bertemu dengan matanya yang juga tengah menatapku. Ia pun langsung memalingkan wajah tepat saat aku kembali menunduk.

"An ...," panggilnya lirih.

"Hm ...?" sahutku.

"Mau nggak ...—"

Aku otomatis menatap matanya, menunggu kelanjutan kalimatnya. Tenggorokannya seperti tercekat, seakan kalimat yang sudah ia persiapkan tersebut enggan keluar.

"Mau nggak kalo kita pacaran?"

Aku membuka mata lebar-lebar.

Apa barusan?

D- dia menembakku?!

Jantungku berasa dipompa lebih cepat dua kali lipat dari biasanya. Aku berusaha mengatur napas. Pipiku panas bukan main, bahkan rasa panas itu kini seakan menyengat sekujur tubuhku. Aku lemas, rasanya tubuhku hendak roboh. Tapi aku juga bersemangat. Rasanya seperti menjadi juara satu lomba lari. Ah, aku tidak pernah juara lomba lari. Lomba cheerleader? Pokoknya euforia yang sama.


Aku menatapnya, masih dengan ekspresi kebingungan. Ia terlihat menunduk. Karena takut ia menyesali keputusannya untuk menyatakan perasaan, aku pun tersenyum dan memanggilnya, "Abi ...."

"Hm?" responsnya.

"Aku ...." Ah, susah sekali bilangnya.

"Aku mau!"

Saat itu juga senyumnya mengembang. Kami saling bertatapan. Binar yang kerap menyilaukan pandanganku kembali tampak. Abinaya, sosok yang belakangan ini mengisi seluruh sudut pikiranku, pertemuan-pertemuan kami yang secara tiba-tiba, hingga akhirnya kami dekat sebagai teman, dan saat ini ... kami berpacaran. Rasanya aneh. Tapi aku senang. Senang sekali.

Lama bertatapan, aku memecah hening di antara kami dengan berkata, "Eh, kita belum foto di situ loh." Aku menunjuk komedi putar yang merupakan ikon dari tempat ini. Belum afdol rasanya jika berkunjung ke sini tapi belum foto-foto di sana.


"Foto pertama kita setelah jadian ...," ucapku.

"Ayo! Habis ini pulang ya," balasnya.

Aku mengangguk.

Kami lantas mengambil sampah-sampah yang ada di meja kami dan membuangnya ke tempat sampah.

Kemudian dengan mood yang jauh lebih baik, aku berganti-ganti pose di depan komedi putar dengan Abinaya yang memotretku, begitu sebaliknya, aku juga memotret Abinaya.

Lalu sebagai permintaan terakhirku sebelum pulang, aku ingin naik komedi putar. Karena Abinaya sebenarnya sejak tadi hanya manut-manut saja ke mana pun aku pergi, maka ia juga ikut naik di komedi putar.

Kali ini kami benar-benar bersenang-senang. Rasanya seperti seisi komedi putar adalah milik kami. Selalu ada hal yang memancing tawa kami dan kami tak peduli bila ada yang menganggap kami aneh. Sepasang muda-mudi kasmaran, tak heran bila tingkahnya dianggap aneh.

Kami berhasil menghabiskan sisa waktu libur kami dengan hal yang berkesan. Aku bahkan sempat lupa kalau besok aku harus masuk sekolah, yang ada di pikiranku saat ini hanyalah gebetanku suka padaku, kami berpacaran, dan kami saat ini sedang mengukir memori berharga di masa remaja kami.

Aku lebih dari lega ketika akhirnya aku dapat mengungkapkan perasaanku, dan amat berbahagia ketika mengetahui bahwa ia merasakan hal yang sama padaku.

"Abi ...," panggilku.

Ia menghentikan langkahnya.

"Kenapa, Anais?"

"Aku harus bilang ke temen-temenku nggak ya, kalo kita pacaran?" tanyaku.

Di satu sisi aku masih ingin merahasiakan bahwa kami sudah berpacaran, tapi teman-temanku pasti sudah menduganya.

"Terserah ke kamu, tapi aku nggak akan sembunyi-sembunyi buat nyariin kamu ke kelas," jawabnya.

Aku pun terkekeh pelan. Sepertinya lebih baik kalau aku bilang saja.


──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

IYA ITU ENDING!

Akhirnya ada juga ceritaku yang tamat <()>

Maaf karena aku butuh 2 minggu lebih buat ngetik satu chapter ini, kejeda PTS dulu, dan malas, buntu, dsb dsb.

Mungkin bukan ending yang sempurna. Nanti kalau aku kepikiran cara menyempurnakannya—sebetulnya ini udah sesuai keinginan, tapi narasinya mungkin yang agak pengen disempurnakan—bakal aku edit lagi mungkin.

Selasa, 19 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro