꒰ 19 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄   ◃◃   ⅠⅠ   ▹▹   ↻

Cheerleader - OMI

ʚ ɞ

Hadiah yang ada di kardus kemarin isinya botol minum dan itu dari Oliv. Hari ini aku dapat hadiah serum wajah—baru sekali pakai katanya dan sudah kuincar sejak ia bilang tak cocok—dari Rizella dan tote bag dari Kayla. Sementara itu Kanya memberikanku kipas angin mini portable . Zaky juga memberikanku hadiah, yaitu tiga bungkus permen kopi.

Sementara itu Abinaya—sesuai janjinya, ia memberi tahu lewat chat hari ini, pada jam pelajaran terakhir, persisnya satu jam yang lalu. Karena guru mata pelajaran terakhir masuk, maka aku harus menyimpan ponselku dan membiarkan diriku dilanda penasaran. Setelah guru itu mengumumkan sebuah tugas kelompok dan ke luar kelas, aku kembali mengeluarkan ponselku dan mendapati sebuah pesan ambigu. Kali ini aku masih bingung merangkai kata-kata untuk membalas pertanyaannya.

abi🧚‍♂️
an
anais 

kenapa bii

abi🧚‍♂️
mau ikut ngga?

Meski hanya lewat chat, hal itu sukses membuatku kepayahan dalam mengatur napas, aku sampai menjauhkan layar ponselku dan memegangi tempat yang kuyakin di situ jantungku berada.

Atas reaksi lebayku, Kayla bertanya, "Kenapa sih, An?" Bahkan Kayla yang masih mencoba untuk tidur di tengah lantangnya speaker yang sedang memutar lagu dangdut koplo yang mengiringi huru-hara reog ponorogo yang tampil di depan kelas saat ini.

"Eh, nggak papa, Kay," jawabku—yang tentu saja bohong adanya.

Tentu saja aku bingung menjawab pertanyaan itu. Ikut? Ikut ke mana?

Dengan gerak jari yang masih tak pasti, akhirnya kubalas saja seadanya.

hah?
ikut apaa

Aku menunggu setidaknya lima menit baginya untuk membalas. Dari notifikasi yang muncul, aku dapat membaca kalau ada promo beli satu gratis satu khusus di sebuah taman hiburan.

abi🧚‍♂️
mau nggak?
cuma sampe tanggal 21 soalnya

Aku tak langsung membalas pesannya. Aku butuh menjawab pertanyaan ini dengan pikiran yang jernih.

Oliv menengok pada kami yang duduk di belakangnya. "Eh, nanti kita nari Jali-Jali aja mau nggak?" tanya Oliv.

"Buat apa?" tanyaku kebingungan.

"Ya buat tugas seni budaya lah," jawabnya jengkel terhadap kelemotanku.

"Oh ...," gumamku pelan.

"Manuk Dadali aja gimana?" tawar Kayla.

"Gue nggak pernah nari Manuk Dadali, Kay," jawab Oliv.

"Ya liat YouTube lah, gampang kok," balas Kayla.

Oke, akan kubiarkan mereka berdua mendiskusikan tarian apa yang harus kami tampilkan dua minggu ke depan. Saat ini aku punya urusan yang lebih penting.

abi🧚‍♂️
abis ini pulang bareng kan?

nanti ke kantin dulu ya bii

abi🧚‍♂️
okee
sekalian nanti tungguin ya
laper nih

sip sipp

Oke, urusan selesai. Tapi aku masih belum menjawab pertanyaan pentingnya. Apa aku mau menerima "hadiah" darinya atau tidak.

***

"Jangan mi lagi," ucapku mengingatkan.

"Kenapa emang?" tanya Abinaya.

"Usus buntu," jawabku singkat.

"Udah pernah," balasnya.

Mendengar ucapannya, aku mengerutkan dahi dan juga merasa sedikit bersalah.

"Nanti ususnya keriting."

Eh, aku ngomong apa sih?

"Sejak kapan usus lurus?"

Aku terdiam, masih mencerna omonganku barusan.

"Terus enaknya makan apa?" tanya Abinaya.

Aku berpikir sejenak, sebagian besar kantin sudah tutup atau dagangannya habis. "Bakso?" usulku.

Ia kelihatan menimbang-nimbang. "Kemaren udah sih, tapi ya udah deh," putusnya.

Akhirnya ia memesan bakso dan aku hanya memesan minuman.

"Makan, An," ucapnya sambil menaruh mangkuk bakso di meja.

"Iya, nggak apa-apa," balasku.

Aku mengeluarkan ponselku. Karena baru tahu kalau ada pesan dari Abinaya yang belum kubalas, maka aku membalasnya, meskipun sekarang orangnya ada di depanku.

Sebuah tanda notifikasi masuk berbunyi dari ponsel Abinaya. Ia menghentikan gerak tangannya yang sedang menusuk bakso dengan garpu dan menatap layar ponselnya lamat-lamat.

"Ngapain dibales?" Ia memencet kata sandi ponselnya.

Aku tertawa kecil. "Nggak apa-apa."

Aku melihat layar ponselku nyala, tanda ada notifikasi masuk. "Kok dibales lagi?"

"Ya nggak apa-apa," jawabnya, meniru jawabanku tadi.

"Boleh pinjem sebentar?" tanyanya.

"HP? Buat apa? Nih." Belum sempat ia menjawab, aku sudah menyodorkan ponselku.

Hanya sebentar ia melihat layarku, lalu mengembalikannya lagi. "Makasih," ujarnya.

"Buat apa?" Aku mengulangi pertanyaanku.

"Nggak apa-apa." Ia kembali meniru jawabanku.

"Jangan 'nggak apa-apa' terus dong," balasku kesal.

"Ya terus apa dong?" Setelah mengembalikan ponselku, ia mengetik sesuatu di ponselnya. Jaga-jaga ia akan mengirimkan pesan tak penting kepadaku, aku memperhatikan notifikasi yang masuk.

Nyatanya, selama satu menit lebih aku menunggu, tak ada satu pun notifikasi yang masuk. Tampaknya aku ke-geer-an.

"Anais, boleh nanya nggak?"

Aku yang tengah memainkan game di ponselku tersentak. "Tanya aja. Kenapa?"

"Hmm ..., pernah suka sama orang nggak?" Ia merendahkan intonasinya.

Aku seperti tersedak bakso, padahal bukan aku yang sedang makan bakso. Aku mendadak merasa tersipu. Terbayang-bayang tiap detik di mana aku memujanya dalam kepalaku.

Aku meneguk ludah. "P- pernah," jawabku pelan.

Ia menatapku lamat-lamat, membuat degup jantungku makin tak beraturan.

"Biasanya cewek kalo suka sama cowok kayak gimana sih?" Ia makin memelankan suaranya.

Aku mencoba menenangkan pikiranku, tapi berbagai prasangka malah makin mencuat. Seperti ... apakah dia tahu? Atau gerak-gerikku selama ini kelewat mencurigakan?

"Ya ... paling kalo aku sih suka ngeliatin orangnya ..., suka salting gitu deh," jawabku malu-malu.

"Oh ...." Ia memalingkan wajahnya dan mengangguk-angguk pelan.

Melihat raut wajahnya yang mencurigakan, suasana hatiku makin kacau.

"Anais kenal Virgitta 'kan?" Ia bertanya lagi.

"Kenal ..., baru kenalan kemarin sih, gara-gara event kemarin." Kenapa dia tiba-tiba membahas Virgitta?

"Virgitta temen SMP kamu?" tanyaku.

"Iya, sekelas, sama Rizella juga, sama Kanya juga," jawabnya, "Temen deket sih dulu, satu circle lah," jelasnya lagi.

"Temen apa temen?" godaku.

"Temen kok, temen. Dia udah punya cowok juga lagian." Ada sedikit nada nelangsa yang kutemukan di akhir kalimatnya.

"Dulu gue pernah suka sih sama dia, tapi sekarang biasa aja," curhatnya, "kayaknya dia juga nggak masuk kriteria yang lo sebut," tambahnya lagi.

Rasanya agak aneh mendengar curhatan orang yang kusuka tentang cewek lain yang pernah ia sukai.

Aku mengangguk-angguk pelan. "Sekarang udah ada yang lain?"

Cowok yang tengah mengaduk-aduk kuah baksonya itu memasang cengiran tipis. "Udah, kali," ujarnya yakin tak yakin.

"Oh iya, jadinya mau ikut nggak?" Abinaya mengganti topik. Sayangnya, aku masih bimbang.

"Hm ..., nanti deh, aku tanya sama Tante dulu, soalnya katanya orang tuaku mau dateng besok Sabtu," ujarku jujur.

Di satu sisi aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tapi di sisi lain, aku sudah lama tak melepas rindu dengan keluargaku dan merayakan ulang tahun bersama keluargaku adalah agenda tahunan kami.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

InsyaAllah limerence bakal kelar di chapter 20, yang artinya habis ini! Aku senang tapi agak sedih juga karena aku udah telanjur sayang sama mereka :,D

Chapter ini sebenarnya udah kelar diketik beberapa hari lalu dan chapter 20 udah diketik. Mudah-mudahan cukup satu chapter.

Sabtu, 2 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro