꒰ 18 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w  p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

Birthday - Somi

ʚ ɞ

Sejak pagi tadi teman-temanku agak aneh. Kami baik-baik saja di kelas, tapi aku tak diajak ke kantin, aku sebenarnya sudah mengikuti mereka, tapi sepertinya mereka menghindar dariku, jadi aku balik saja ke kelas. Padahal hari ini aku bawa uang banyak buat memberi traktiran.

Apa lagi hari ini hari ulang tahunku. Bisa-bisanya mereka tidak merayakannya bersamaku. Mereka ingat nggak yah?

"Ocha, Risa, mau ke kantin? Aku ikut yah." Aku menghampiri salah dua teman sekelasku yang hendak ke luar kelas.

"Ayo, ikut aja!" jawab Ocha.

Kami bertiga akhirnya jalan ke kantin.

"Kok tumben sih lu nggak bareng Zella dan kawan-kawan?" tanya Risa di perjalanan.

"Nggak tau," jawabku sambil mengedikkan bahu.

"Btw kamu lagi ulang tahun ya?" tanya Ocha.

Aku tertawa kecil. "Iya."

"Happy birthday, Anais! Happy Birthday, Anais!" Ocha bernyanyi sambil bertepuk tangan, Risa juga ikut bertepuk-tepuk tangan.

Aku tersenyum lebar. "Makasih ...."

Sesampainya di kantin, kami segera pergi ke kedai yang kami ingin tuju. Suasana kantin masih penuh, tapi sudah tidak sesak.

Dari kursi yang kutempati, aku dapat melihat kawan-kawanku beserta Abinaya dan Zaky tengah berada di tempat favorit kami—uhuk, mereka.

Mereka tengah berbincang-bincang asyik sambil tertawa cekikikan. Sudah sejak bel istirahat pertama tadi mereka pergi ke kantin, sampai sekarang belum kembali ke kelas juga.

Aku mencoba melupakan mereka untuk sejenak. Aku lapar, aku akan makan dan bukannya gundah gulana karena merasa dikucilkan.

Selepas makan kami langsung beranjak dari meja dan merapikan mangkok-mangkok kami.

"Risa, Ocha, aku aja yang bayar," ujarku yang berhasil menghentikan gerakan mereka yang tengah merogoh saku.

"Serius nih, An?" tanya Risa tak percaya.

"Eh, nggak usah ...." Ocha hendak menolak, tapi aku keburu menyerahkan sejumlah uangku pada ibu-ibu penjualnya.

"Nggak papa, aku 'kan lagi ulang tahun," ucapku.

"Ya ampun, makasih banget loh, An," ujar Ocha.

***

Aku berjalan bersama Ocha, Risa, Nida, Farhana, dan Shafa menuju lantai satu. Nasib baik teman-teman sekelasku yang lain masih mau menampungku.

"Pulang naik apa, An?" tanya Farhana.

"Kayaknya sih ojek," jawabku. Farhana ber-oh pelan.

"Eh, gue duluan ya, ibu gue udah jemput," ujar Shafa. Lalu dirinya berjalan menjauh dan melambaikan tangan. Kami membalas ucapan pamitnya dan juga lambaian tangannya.

Satu per satu teman-temanku sudah pulang, hingga akhirnya aku sendirian, masih menunggu ojek pesanan yang tak kunjung datang.

Aku benci menunggu sendirian.

Aku menengok kanan dan kiri, siapa tahu masih ada teman yang bisa kuhampiri.

Oh, masih ada Gita dan Clarissa.

Aku menepuk lengan Clarissa.

"Kalian nungguin apa?"

Mereka serentak menoleh padaku dengan agak kaget.

"Nggak tau tuh Gita." Clarissa menunjuk perempuan di sebelahnya.

"Nungguin orang lewat lah," ucap Gita semringah. Aku ber-oh pelan sambil menyeringai, aku tahu siapa yang dia tunggu.

"Lu nungguin apa?" tanya Clarissa.

"Ojek," jawabku. Lalu aku kembali membuka layar ponselku untuk memantau ojek yang kupesan. "Eh, udah deket nih."

Sekitar semenit kemudian motor beserta tukang ojeknya—tentu saja—yang berjaket hijau masuk ke gerbang sekolahku. Kucocokkan plat nomornya dengan plat nomor yang tertera di ponselku. Sama.

"Itu udah dateng, aku duluan ya, Git, Clar!" Aku beranjak.

"Dadah, Anais!" balas Gita sambil melambaikan tangannya. "Eh, lo lagi ulang tahun ya? Happy Birthday!Ditunggu traktirannya!" serunya lantang, membuat beberapa orang menoleh pada kami.

"Makasih, Gita! Nanti ya!" ucapku di atas motor yang baru saja melaju meninggalkan sekolah.

"Lagi ulang tahun, Mbak?" tanya sang tukang ojek.

Aku tertawa kecil. "Iya, Pak."

"Wah, selamat ulang tahun ya!" ucapnya.

"Makasih, Pak," balasku.

***

Agendaku di rumah saat ini adalah tidur-tiduran sambil mencari tontonan di YouTube agar aku tambah betah mendekam di dalam kamar.

Padahal aku belum bertemu 'teman rebahan' yang cocok, tiba-tiba deru suara motor terdengar di depan rumahku.

Aku menyibak gorden kamarku. Rupanya motor itu tak berhenti di depan rumahku, melainkan di rumah tetangga. Kukira paketku yang datang. Maka dari itu aku kembali menutup gorden dan memfokuskan diri pada layar ponsel.

Sebentar ....

Kembali kusibak gorden Hello Kitty yang ada di sampingku. Aku sepertinya familier dengan motornya. Motor abu-abu itu ....

Aku ke luar rumah untuk mengecek dugaanku. Aku mengintip dari sela-sela pagar.

Itu benar-benar dia .... Abinaya membonceng Oliv yang masih duduk di atas motornya. Lalu mereka berdua turun.

"Ada siapa?" bisik Tante Lulu di belakangku.

Aku memasang ekspresi seperti tertangkap basah, lalu meletakkan telunjukku di depan bibir. Tante pengertian—atau ngambek, aku tidak tahu—dia segera berbalik badan dan kembali ke dalam rumah.

Oliv menyerahkan helm yang baru saja ia pakai. Mereka berdiri berhadapan, kemudian tampak berbincang-bincang.

Helm itu ... yang kukira dibawakan untukku. Yang rupanya dibawa untuk Virgitta. Kukira saat itu dia berpakaian rapi khusus untukku, nyatanya ia hendak menepati janjinya dengan Virgitta yang belum sempat terlaksana.

Dan ... Oliv. Bukankah dia yang paling sering menenangkan hatiku, membangkitkan percaya diriku, dan mencoba mencari solusi atas tiap permasalahan hati yang kuutarakan. Aku amat percaya padanya.

Astaga, kenapa aku jadi berburuk sangka begini?

Abinaya mengeluarkan sebuah kotak—balok—berwarna cokelat, lalu Oliv menerimanya dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya. Mereka masih tampak membicarakan sesuatu yang kelihatannya serius.

Tiba-tiba dua motor dengan masing-masing dua penumpang melaju menuju rumahku dengan celotehan-celotehan hebohnya. Mereka adalah Kayla yang membonceng Rizella, serta Kanya yang membonceng Zaky.

Mereka masih mengenakan seragam, sementara aku hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Maka aku pergi ke kamar untuk mengganti baju.

Kenapa main ke sini tidak bilang-bilang aku dulu?

Saat aku baru mengambil celana panjang, kudengar seseorang membuka pagar. Aku panik dan buru-buru mengganti celana.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku pelan. Untungnya aku sudah selesai.

"Kenapa?" tanyaku pada sang pengetuk pintu.

Sesaat kemudian aku membuka pintu. Kukira tadi tanteku yang mengetuk pintu. Rupanya Abinaya.

"Eh ... Abi, kenapa?" tanyaku malu-malu—tentu saja, aku digrebek dalam keadaan berantakan, rambutku masih awut-awutan.

"Itu ... keluar yuk!" Dia tiba-tiba menyambar tanganku dan menarikku ke luar. Aku tentu saja syok. Rasanya seakan jantungku turun ke perut, kini sekujur tubuhku merinding, dan wajahku panas.

Kupikir semua teman-temanku masuk, rupanya semuanya—kecuali Abinaya—ada di luar pagar, ada Tante juga, astaga!

Abinaya menuntunku ke depan teman-temanku yang lain. Aku langsung dihadapkan dengan kue tar tiramisu beserta lilin berbentuk angka enam belas—umurku saat ini—yang dibawa Rizella.

Zaky mulai bernyanyi lagu ulang tahun sambil bertepuk tangan, diikuti yang lainnya termasuk Tante Lulu. Aku senang tapi masih malu dan aku bingung harus apa.

Sambil bernyanyi, Kanya menyemprotan party string dan Kayla meledakkan party popper dan mengarahkannya kepadaku. Aku refleks menutupi wajahku meski kutahu badanku sudah bertaburan confetti dan berselimut party string.

Ya ampun! Jadi seharian ini mereka menghindariku untuk menyiapkan kejutan ini? Aw, manis sekali.

Oh, kenapa aku bisa tidak tahu dan malah berburuk sangka kepada mereka? Ini 'kan hari ulang tahunku! Lebih aneh jika hari berjalan normal dan mereka tidak menyiapkan apa-apa.

"Happy birthday, Anais!" ucap Rizella setelah bernyanyi sambil mencolek krim kue tar dan mencoreng wajahku.

Aku masih tak berkutik di tempatku. Perasaanku campur aduk. Tapi rasa malu yang mendominasi. Malu karena aku sudah berburuk sangka. Malu karena penampilanku berantakan. Dan malu karena tanteku ikut menyemarakkan acara kejutan ini dan melihat keponakannya dibuat cemong dan kotor.

Yang lain ikut melakukan apa yang Rizella lakukan secara bergantian, mengucapi sambil mencoreng wajahku dengan krim rasa tiramisu. Yah, kecuali Tante.

"Selamat ulang tahun ya, Anais! Semoga makin pinter, makin berbakti sama tante, om, orang tua kamu, terus makin rajin sekolahnya, cita-citanya tercapai, pokoknya semua doa yang baik-baik." Tante menyodorkan tangannya.

Aku menyambarnya dan menyaliminya. "Makasih, Tante."

"Udah, Tante masuk dulu, kalian lanjutin aja acaranya," pamitnya dengan ramah.

"Makasih, Tante, udah mau dikotorin rumahnya," ucap Kanya. Tante tak membalas karena sudah berada di dalam.

"Makasih semua," ucapku.

"Aku kira ...— aku bingung dari tadi kok tumben nggak ngajak-ngajak aku, ternyata ...—"

Susah bagiku untuk membicarakan hal ini tanpa melibatkan perasaan emosionalku. Aku pernah terlibat dalam rencana memberi kejutan seperti ini tiap ada orang spesialku yang ulang tahun—termasuk mereka, teman-temanku. Aku paham bahwa rencana kejutan seperti ini menyita waktu orang yang pada hari itu sebetulnya bukan hari spesial baginya. Merencanakan kejutan ulang tahun bukan cuma sehari selesai, tapi bisa berminggu-minggu. Mereka juga harus merelakan segelintir uang mereka untuk merayakan hari spesial orang. Aku terharu mereka melakukan ini semua padaku. Itu berarti aku adalah orang spesial bagi mereka.

"Aw, nggak apa-apa." Kayla mendekat padaku dan memelukku.

"Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga." Tampaknya Zaky sudah tidak sabar.

"Eh, pisaunya mana?" tanya Rizella.

"Bukannya ada di tutupnya?" tanya Kanya.

"Oh iya." Rizella menaruh kue itu di tembok kecil di depan rumahku yang sebenarnya biasa berfungsi sebagai tempat duduk.

Rizella memotong kuenya menjadi beberapa bagian.

"Eh, piring dong, piring," pintanya.

"Nih." Oliv menyerahkan piring kertas.

Rizella membagikan potongan kue itu kepada masing-masing dari kami.

"Liv, kasih, Liv," ucap Abinaya pelan sambil menepuk-nepuk bahu Oliv.

"Oh iya." Oliv membuka resleting ranselnya, lantas mengeluarkan sebuah kardus balok kecil yang sempat kulihat saat mengintip tadi.

Oliv menyerahkan kardus itu padaku. "Nih, semoga suka ya," ucapnya. Aku menerimanya.

"Buka nggak?" tanyaku.

"Buka! Buka! Buka!" Zaky bersorak semangat.

Aku menatap ke arahnya, lalu mengelilingkan pandangan, meminta persetujuan.

"Nanti aja, di rumah." Kayla menanggapi.

"Ini 'kan rumahnya," timpal Abinaya.

"Ih, maksudnya buka sendiri nanti," jelas Kayla jengkel.

"Ya udah deh, buka nanti aja." Aku menaruh kardus itu di samping kue tar.

"Eh, kalian kenapa duduknya di jalanan gitu, masuk aja, di teras sini!" Tante berseru dari teras rumah. Kami serentak menoleh.

"Pindah yuk!" ajakku sebagai tuan rumah.

Kami memboyong barang-barang kami untuk pindah ke terasku.

"Nah, gitu 'kan enak," ucap Tante.

"By the way kita belom ada foto-foto loh," ucap Rizella yang kemudian mengemut sendok penuh krimnya.

"Nanti dulu, gue laper!" sahut Kanya.

"Hadeh," celetuk Oliv.

***

Setelah acara makan-makan kue, foto-foto, dan semprot-semprot lebih banyak lagi, kami memutuskan untuk jalan-jalan keliling lingkunan rumahku.

Untungnya aku tidak memakai seragam. Dan untungnya pula bagi teman-temanku, hari ini hari Rabu, seragam pramuka tak akan dipakqi selain hari Rabu, masih banyak waktu untuk mencucinya.

Kami kini singgah di sebuah saung kecil di taman kompleks.

Rizella membuka kuciran rambutnya. "Gila! Pokoknya abis ini gue mau keramas!" keluh Rizella sembari menyisir rambutnya yang lengket dengan jemari.

"Gue juga ah." Oliv menyetujui.

Aku juga akan mandi ekstra bersih. Aku paling gembel saat ini. Aku hanya memakai baju rumah dan rambutku yang ikal alami—dan sedang kusut—lengket oleh party string.

"Anais," panggil Abinaya.

Aku menoleh, "Apa, Bi?"

"Mau hadiah lagi nggak?" Senyumnya melebar.

"Hadiah? Hadiah apa?" tanyaku.

"Eh, nanti aja deh! Nanti aja ya, di chat," ucapnya. Aku sempurna melongo.

"Ih, Abi, kok mainnya rahasia-rahasiaan sih," goda Zaky dengan suara yang dibuat agak gemulai.

"Tau ih, kalo nggak mau bilang di sini nggak usah bikin penasaran dong," timpal Kayla dengan seringai menggoda.

"Sengaja dia mah," celetuk Rizella.

"Apaan sih?!" ucapku dan Abinaya secara bersamaan. Kami tampak sama-sama kaget. Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat. Ia juga diam membeku untuk sejenak.

Ada sunyi beberapa detik sebelum akhirnya kami disoraki cie-cie dari berbagai arah. Kami berdua sama-sama diam sementara sekeliling kami tengah menyoraki. Aku ingin membenamkan wajahku saat itu juga. Wajahku pasti merah padam.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Udah akhir bulan cerita ini nggak kunjung tamat. Sabar .... Aku lagi ngepasin biar tamat di 20, ini udah nyampe 18 yang artinya nggak lama lagi bakal tamat.

Oh iya, mungkin part awal-awal berasa penting nggak penting sih. Tapi aku nulis panjang-panjang karena kayaknya di awal-awal sampai pertengahan ini Anais keliatan terlalu kalem (lebih kalem daripada seharusnya) dan temennya itu-itu aja. Ga penting-penting amat sih.

Jum'at, 24 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro