꒰ 7 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄   ◃◃   ⅠⅠ   ▹▹   ↻

Remaja - HIVI!

ʚ ɞ

"Liv, ini punya kamu." Aku menyerahkan kopi yang dipesan Oliv.

"Makasih, An." Oliv menyambar segelas es kopi susu dari genggamanku.

Lantas kami berjalan menghampiri teman-teman kami yang sudah berkerumun di salah satu—dua, sih—meja.

Hari ini kafe yang biasanya pada jam segini belum ramai jadi ramai gara-gara kedatangan segerombolan anak SMA yang beli kopi doang tapi nongkrongnya lama. Kami menggelar pesta kecil-kecilan untuk merayakan suksesnya tim sekolah kami dalam kompetisi yang kemarin.

Kami melakukan banyak hal. Dari mengobrol, foto-foto, hingga beberapa dari kami "menyumbang" lagu. Atau sebetulnya yang betul-betul menyanyi cuma Indira dan Galih yang bermain gitar. Sisanya cuma tepuk-tepuk tangan, ikut bernyanyi dengan suara sumbang, atau melambai-lambaikan tangan layaknya menonton konser.

Hari yang benar-benar menyenangkan hingga suatu hal terjadi.

Acara "Mengacak-acak Kafe Punya Orang" kami telah selesai. Waktunya membayar. Semua biaya ditanggung sendiri. Dan harusnya aku juga begitu.

Namun, cerobohnya aku. Saat hendak membayar, mengeluarkan dompet kecilku—aku cuma membawa sebagian uangku karena takut khilaf—dari tas selempang, tetapi aku justru menaruhnya di atas meja—setidaknya itu yang aku ingat.

Aku lupa mengambil dompetku, jadi aku cuma berjalan ke kasir bersama kawan-kawanku tanpa membawa uang untuk membayar. Sadar akan hal itu, akhirnya aku kembali ke meja tempat kami berkumpul tadi.

Betapa terkejutnya aku ketika melihat dompet recehan—yang isinya bukan receh—itu tak ada di tempat terakhir kali aku taruh.

Kini aku masih mencari dompetku di sekitaran meja, di kursi, di tas, di bawah gelas, di bawah meja, dan tempat-tempat lain yang sebetulnya tak perlu kucek. Aku ingat sekali menaruhnya di atas meja.

Jantungku terpacu kencang, tiap kemungkinan tentang di mana dompetku berada telah kupikirkan. Aku telah mencari selama lima menit dengan rute yang sama: mengangkat tiap barang di atas meja, mengecek kolong meja, memasukkan tangan di sela-sela kursi.

Sepertinya aku harus tanya ke teman-teman.

Maka dengan raut wajah panik aku berjalan cepat ke arah teman-temanku yang masih mengantre di depan kasir—hendak membayar—dan beberapanya—yang sudah bayar—duduk di dekat sana, menunggu teman yang lain.

Pertama aku bertanya pada teman-teman yang tengah duduk dan berbincang-bincang. "Ada yang lihat dompet aku nggak?" tanyaku cemas. Pertanyaan itu sukses membuat perbincangan seru mereka terhenti.

Kamila mengernyitkan dahinya. "Dompet? Yang kayak apa?" tanyanya.

"Yang itu, yang kecil, kayak dompet receh, warna ...— kayak sapi," jelasku cepat-cepat.

Sejenak Kamila terdiam, masih dengan ekspresi yang sama bingungnya. "Nggak lihat."

"Emang kenapa, Na?" tanya Naureen yang duduk di sebelah Kamila.

"Tadi 'kan— tadi dompetnya 'kan aku taruh di atas meja di situ,"—tanganku menunjuk ke arah meja yang tadi kami tempati—"tadinya mau bayar, terus ketinggalan ternyata, terus—" Aku menghela napas sejenak.

"Terus aku cari di meja situ—udah dicari sampe ke kursi juga—tapi nggak ada," jelasku apa adanya.

"Ohh, gue tau sih dompet yang mana, tapi nggak liat," ujar Jessica.

"Dompetmu hilang, An?" Oliv yang tengah ada di antrean memutar badannya dan menghadapku. Beberapa teman yang mengantre juga otomatis menoleh.

"Iya," jawabku cepat sambil mengangguk keras.

Bisa kurasakan bahwa telapak tanganku basah karena berkeringat, padahal jelas sekali ini ruangan ber-AC. Kini air keringat juga mulai mengucur di pelipisku. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku panik. Dompetku hilang, maka otomatis uangku juga hilang, jika uangku hilang aku mau bayar pakai apa?!

"Jadi nggak ada yang lihat, nih?" tanyaku sekali lagi.

Mereka serentak menggeleng.

"Sumpah nggak lihat, Na." Naureen menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk angka dua yang artinya ia bersumpah.

Aku terdiam sebentar mengendalikan napas, dan juga mengendalikan air mataku agar tidak buru-buru mengucur. Otakku buntu seketika. Aku harus apa lagi?

Kemudian aku berbalik badan, saat itu Indira yang baru selesai membayar bertanya, "Mau nyari, Na?"

Langkahku terhenti, kepalaku menoleh, aku mengangguk keras. "Iya, Ra."

"Sini aku bantuin." Ia kemudian mengikuti langkahku yang buru-buru.

Saat berjalan, gadis berambut pendek itu bertanya banyak hal padaku, mencoba meraba kemungkinan di mana dompetku terselip. Saat ini saking gegabahnya diriku, aku tak ingat sama sekali di mana aku meletakkan dompet sapi kesayanganku itu.

Aku berjalan ke meja para anak futsal, sementara Indira ke meja tempat kami dan merogoh ke tempat-tempat yang memungkinkan adanya dompetku.

"Kalian ada yang liat dompet kecil nggak?" tanyaku yang kembali berhasil membuat obrolan terjeda.

Sontak para lelaki itu menoleh padaku. Aku dapat merasakan semua mata tertuju padaku, tanpa ada yang langsung menjawab, justru menciptakan hening.

"Ada, nih." Mario mengeluarkan sebuah dompet kecil warna hitam miliknya.

"Ih, bukan itu," ujarku, "pokoknya warnanya hitam-putih gitu."

"Ohhh," seru Fatih yang menimbulkan secercah harapan untukku.

"Nggak lihat," lanjutnya datar. Aku kecewa.

"Serius nggak ada yang lihat?" tanyaku lagi, masih ngeyel.

"Nggak, emang ditaro di mana?" tanya Gibran.

"Tadi ditaruh di atas meja, terus tiba-tiba nggak ada," jawabku bersemangat.

Lalu Indira menghampiri diriku.

"Aku udah nyari ke mana-mana tapi nggak ada, Na," ujarnya.

Saat itulah jantungku seperti mencelus turun ke perut. Aku terpaku di tempat. Pertahanan yang sejak tadi kubentuk untuk menahan jatuhnya air mata sia-sia. Aku menyeka air mata yang jatuh. Kemudian saat teman-temanku telah membayar semua pesanan mereka, mereka menghampiriku. Aku menutup mataku dengan telapak tangan. Namun, aku bisa merasakan ada seseorang yang menepuk-nepuk punggungku.

Aku menjelaskan kenapa dompetku itu sangat berharga—tidak dramatis-dramatis amat kok, aku cuma bilang kalau aku tak punya uang lagi buat bayar kopi. Mereka mencoba menenangkanku dan berjanji akan berusaha menemukan dompetku.

Setelah acara "acak-mengacak" kami telah selesai, justru saat ini kami mengacak-acak kafe secara harfiah. Kami semua—termasuk anak-anak futsal—berakhir bertanya pada tiap orang yang ada di dalam kafe dan mengobrak-abrik ruangan demi mencari dompetku. Aku—yang masih sulit menerima bahwa dompetku hilang—dibiarkan menangis di kursi.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Aku minta maaf kalau ada ke-tidak konsisten-an aku dalam menulis. Soalnya kayaknya kuperhatiin kadang ada kata nggak baku—di narasi— yang di-italic, ada juga yang enggak.

Dan ... aku nggak tau apakah pake full bahasa sehari-hari enak buat dibaca di novel. Soalnya kadang kalo campur bahasa baku agak aneh kalo dibayangin. Tapi biasanya aku coba sesuaiin sama karakternya sih. Aku sangat butuh masukan, kalau ada yang mau kasih boleh (ω;)

Minggu, 8 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro