꒰ 8 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄   ◃◃   ⅠⅠ   ▹▹   ↻

I Do Adore - Mindy Gledhill

ʚ ɞ

Aku yang masih berusaha menghentikan laju air mataku dipapah Jessica dan Gita untuk ke luar dari kafe. Beberapa teman juga berjalan bersama kami. Sejak tadi kepalaku tertunduk, tisu yang sudah kuremas hingga tersobek-sobek masih setia di genggamanku dan sesekali kupakai mengelap air mata. Kurasa kini aku menangis karena malu telah membuat keributan di dalam kafe, bukan lagi karena uangku hilang sedompet-dompetnya.

Akhirnya Clarissa yang membayar pesananku, aku tak enak, takut merepotkan, tapi kayaknya menyuruh orang satu kafe buat mencari dompetku yang hilang sampai ketemu lebih merepotkan.

Sekarang di pikiranku aku tengah menimbang-nimbang haruskah aku bilang bahwa dompet kecilku hilang serta menyiapkan jawaban jika saja Tante atau Om bertanya ke mana dompet kecilku.

Ketika beberapa teman kami sudah berpamitan untuk pulang, Jessica bertanya, "Lo pulang naik apa, Na?"

Aku menarik ingus, kemudian diam sejenak. Lalu aku berucap lirih, "Harusnya sih naik ojol," jawabku nelangsa mengingat semua uangku telah raib. Sebenarnya bisa sih pesan terus dibayar di rumah, tapi uang cash-ku di rumah tinggal lima puluh ribu dan Tante Lulu akan banyak tanya jika aku meminta uangnya untuk bayar ojek sementara dia tahu aku punya uang sendiri.

Kemudian Gita dan Jessica membawaku mendekat ke seorang anak laki-laki yang hendak memakai helmnya.

Gita menepuk pundaknya. "Bi, bisa minta tolong anterin dia nggak? Searah 'kan?"

Eh, searah?

Aku tak ingin menatap wajah lelaki itu, cukup menatap sepatu Converse dan celana denim yang ia pakai. Sebetulnya aku hendak menolak ide Gita, tapi mau bagaimana lagi?

Ada jeda sejenak sebelum ia kembali bertanya, "Emang di mana?"

Kemudian Gita menyebutkan letak tempat aku tinggal.

"Ohh ...."

Belum sempat lelaki itu mengiakan, Gita sudah menyerobot, "Kasian, Bi, duitnya ilang, lo tega?"

Jika tidak sedang berduka, aku akan menyekap mulut Gita dengan tanganku. Meskipun aku kelihatannya diam, saat ini aku tengah gugup tak keruan.

"Ah! Iya, iya, ya elah, Git!" Intonasinya berubah kesal karena didesak Gita.

Gita tertawa kecil. "Oke, makasih Abi, anak orang jangan lu apa-apain ya!" Gita melambai ke arah cowok itu.

Kemudian Jessica dan Gita pergi, meninggalkan kami berdua di sini. Kami berdiri bersisian. Jarak kami hanya bertaut tak sampai setengah meter.

Aku tak lagi ingin menangis, tapi rasa gugupku memuncak. Di satu sisi aku senang, amat senang. Tapi aku khawatir sebab wajahku pasti tak enak dilihat jika habis menangis.

"Ke POM bensin dulu nggak apa-apa, ya?" tanyanya sambil menyugar rambut kemudian memakai helm.

Sejenak aku terpana melihatnya menyugar rambut hitam berkilaunya di hadapanku, lalu aku berusaha mengalihakan pandangan di detik selanjutnya. "Um, nggak apa-apa kok," jawabku dengan suara sengau. Aku menyeka ingus dengan gerak lemah lembut, aku tak mau kelihatan grasa-grusu di depannya.

"Eh, nggak pake helm nggak apa-apa 'kan?" Ia bertanya lagi dengan helm yang sudah terpasang di kepalanya.

"Nggak apa, nggak jauh juga kok," jawabku dengan senyum tipis.

"Ya udah, yuk," ajaknya pelan sembari menaiki motornya. Ia memundurkan motornya sedikit, keluar dari tempat parkirnya. Aku menunggu sejenak hingga motornya telah berhenti bergerak, lalu naik ke atasnya.

"Anterin ke rumahnya, Bi, nggak usah aneh-aneh!" celetuk Gibran. Aku yang sudah duduk di atas motor kontan menoleh ke arah cowok itu yang tengah tersenyum sambil memamerkan giginya, ia tengah bersama beberapa anak futsal.

"Berisik lu!" Ia langsung menyambar dan tancap gas tanpa pikir panjang.

Lelaki itu tancap gas ke luar dari area perumahan menuju POM bensin yang letaknya tak begitu jauh. Dari jarak sedekat ini aku dapat menghirup wangi parfumnya yang maskulin tetapi lembut, tak menyengat seperti parfum cowok kebanyakan.

Aku baru ingat satu hal, biasanya ketika dibonceng orang lain aku akan memegangi pundak orang itu, kalau dengan Tante aku akan memeluk perutnya. Hampir saja aku refleks menaruh kedua tanganku di pundaknya, untung aku langsung ingat siapa yang tengah memboncengku. Kini tanganku memilin temali tas selempangku.

Lupakan fakta bahwa aku habis menangis sesenggukan di kafe, saat ini aku merasa patut bersyukur karena kejadian itu. Kapan lagi aku bisa dibonceng orang yang—ekhem—aku sukai?

Membayangkan semua hal itu, senyumku berseri, sementara jantungku menggedor kencang di balik rongga dada. Aku dapat merasakan panas di seluruh wajahku, bisa kupastikan wajahku memerah saat ini.

Tak terasa tinggal seratus meter lagi menuju sekolah SD yang menjadi acuan bahwa rumahku sudah dekat.

"Nanti habis ini masuk situ ya," ujarku sedikit membesarkan suara sambil menunjuk ke arah depan kiri.

"Oh, oke," responsnya.

Aku tak suka rasa canggung ini, maka aku mencoba untuk mencairkan suasana.

"Oh iya, rumah kamu searah?" tanyaku.

Aku ... sebetulnya tidak betul-betul kepengin tahu jawaban dari pertanyaan tersebut, tapi aku tak tahu apa yang harus kukatakan untuk memulai percakapan. Aku tahu di atas motor bukanlah lokasi yang kondusif untuk memulai sebuah percakapan, tapi aku tak bisa membiarkan rasa canggung dan gugup kian mengerumuni diriku.

"Eh ..., iya, deket kok dari sini," jawabnya, "Anais IPS 1 'kan?" Ia kembali bertanya.

Aku mengangguk, lalu sadar bahwa sang lawan bicara tak dapat melihat anggukanku. "Iya, kamu IPA 4 ya?"

"Iya," jawabnya lagi, "Sekelas sama Rizella ya?"

"Iya, kenapa?" Aku agak bingung kenapa dia tiba-tiba bertanya soal Rizella.

Mungkin kalian bosan membaca percakapan tanya-jawab ini, tapi bagiku ini seperti kesempatan sekali seumur hidup.

"Nggak kenapa-kenapa, temen SMP."

"Di depan masuk ya." Aku mengingatkannya ketika gerbang ke dalam kompleks rumahku sudah di depan mata.

"Oke," jawabnya singkat.

"Kenal Kanya juga dong berarti?" Kanya adalah teman satu SMP—dan juga sekelas saat itu—dari Rizella.

"Kenal, dulu sekelas."

"Hmm ...," responsku pelan yang artinya informasi baru bagiku.

"Eh, di depan belok kiri ya." Aku mengarahkan. "Iya, di sini," ucapku di depan gang tempatku tinggal.

"Yang cat pink pagarnya abu-abu." Aku menunjuk rumahku yang tinggal beberapa meter lagi. Dia tak merespons, hanya menuruti arahan dariku.

Laju roda motor berhenti, kami telah sampai di depan rumah berpagar abu-abu dengan warna cat pink muda dan banyak pot tanaman menggantung. Aku segera turun dari motor.

Saking gugupnya, aku hampir refleks menyerahkan telapak tangan seperti hendak salim, untungnya tak jadi kulakukan.

"Makasih, ya, Abi," ucapku dengan rasa gugup yang tak terbendung.

"Hm, sama-sama," responsnya. Ia memperlihatkan senyum simpul di hadapanku, dan kurasa hal itu cukup membuat jantungku turun ke lutut.

"H— hati-hati!" Aku melambaikan tangan saat motornya mulai melaju menjauh dari rumahku.

Ia tak lagi merespons. Motor Scoopy abu-abunya terus melesat hingga hilang di kelokan jalan.

Aku jingkrak-jingkrak sambil cengengesan sendiri di depan rumahku. Aku sepenuhnya lupa soal bagaimana sedihnya aku kehilangan dompet, yang jelas kini hatiku berbunga-bunga dan tak ada yang bisa melunturkan senyumku.


──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Gimana so far? Apa udah 'klik' sama couple yang ada di cerita ini? Apa ini cukup /uhuk/ UwU?

Anyway, play ya audio yang di atas! Thankss (≧◡≦)

Selasa, 10 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro