21. Return

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saya harap anda semua masih mengingat ciri-ciri dari setiap character (Deva, Devis, Katryson, Chloe, Shafira, Edward, Hayate dan Leo).

Happy reading~

.
.
.
.

Katryson sedang duduk termenung menatap entah apa dibangku Taman. Sekali-kali angin menyibak rambutnya pelan. Tiba-tiba ia membuka tabnya dan menemukan sebuah pesan masuk. Saat ia lihat ternyata dari Devis.

-----------
To: Katryson
Maaf sepertinya aku akan telat, kau berjalan-jalan saja dulu jika kau mau. Siapa tahu kau menemukan seseorang yang menarik perhatianmu
-----------

Katryson memutar bola matanya malas lalu bersiap untuk membalas.

------------
To: Devis
Dari pada mengetik hal-hal yang tak perlu, lebih baik kau memperhatikan langkahmu
------------

Katryson tertawa pelan sambil menerka-nerka ekspresi Devis yang selalu dikejar-kejar oleh para kaum hawa. Sebelum ia beranjak dari tempatnya, ia kembali membuka tabnya.

------------
To: Katryson
Ini berbeda
------------

Pesan singkat Devis membuat Katryson mengerutkan alisnya bingung. Walaupun pada akhirnya ia tidak memperdulikan hal itu.

-------------
To: Devis
Apa maksudmu? Cepatlah datang. Kau yang membuat janji
-------------

Katryson benar-benar beranjak sekarang. Ia berjalan-jalan di sekitar Taman yang entah mengapa terasa sepi walaupun matahari masih berada di atas.

Tiba-tiba saja ia merasakan ada seseorang yang menatapnya. Ia berbalik, melihat sekelilingnya tetapi tak mendapatkan apapun. Katryson kembali berbalik dan menuju jalam yang ia tempuh tadi.

Suara langkah kakinya yang mengenai rumput mengiring perjalannya. Lama kelamaan ia mendengar langkah kaki yang lain yang mengikutinya. Katryson tiba-tiba saja berlari yang juga diikuti langkah-langkah misterius yang semakin banyak.

Sesampailah ia di lapangan rumput lalu berbalik dengan cepat. Ia mendapati beberapa orang yang berjubah hitam mengikutinya. Mereka mengeluarkan sesuatu yang terlihat tajam dari balik salah satu lengan jubah mereka.

Katryson mengeluarkan sebuah tongat kecil dengan tombol di tengahnya dan langsung memencet tombol tersebut yang membuat tongkat itu menjadi pedang. Salah satu si berjubah hitam itu berlari mendekati Katryson diikuti yang lainnya, begitu juga dengan Katryson.

Katryson dengan lihai menggerakkan pedang itu, sesekali ia meninju dan menendang salah satu si berjubah hitam itu. Tak lama pertarungan itu cepat terselesaikan, Katryson mencoba menenangkan nafasnya yang tersengal-sengal sambil melihat para jubah hitam yang tak bergerak.

Ia mengerutkan alis bingung melihat mereka yang terlalu mudah dikalahkan tetapi jumlah mereka cukup menguras tenaga. Tiba-tiba saja semak-semak didekatnya saling bergesekan dan Katryson langsung menyiapkan kuda-kudanya.

Sebatang kayu yang cukup besar terbang dengan cepat kearahnya. Dengan sigap, Katryson memakai pedangnya untuk membuat kayu itu terbelah dua. Setelah kayu itu terbelah dua, ia dapat melihat seseorang yang sedang memakai jaket hitam dengan penutup kepalanya yang menutupi wajahnya.

Seseorang itu berbalik dan berlari, entah mengapa Katryson mengejarnya sambil menyimpan kembali pedangnya. Tanpa Katryson ketahui bahwa ia sedari tadi melewati pohon yang tumbuh dengan banyaknya. Mereka berdua melompati batu dan akar-akar yang berada di atas tanah.

Seseorang itu dengan gesit melewati ranting-ranting itu tanpa menggunakan tangannya untuk melindungi diri. Sedangkan Katryson harus dengan susah payah menyingkirkan ranting dari pandangannya.

Sesampailah mereka di celah yang cukup besar antara kedua bukit dengan jurang yang turun dengan tajamnya. Seseorang itu melihat ke arah Katryson tanpa ekspresi yang ia tunjukan.

"Tidak ada lagi jalan," kata Katryson dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal.

Tiba-tiba saja seseorang tersebut menerjunkan dirinya yang membuat Katryson kaget dan panik langsung mendekati celah tersebut. Tetapi anehnya Katryson mendapati seseorang tersebut sedang bergantung disalah satu tumbuhan menjalar di seberang tebing sambil melihatnya dengan tatapan tanpa ekspresi.

Beberapa detik berlalu, seseorang tersebut memanjat tebing tersebut dengan bantuan tanaman itu. Katryson menarik nafas dan menghembuskannya perlahan lalu ia mengeluarkan ekspresi yang mengatakan bahwa dirinya telah siap.

Katryson mundur beberapa langkah lalu berlari sekuat tenaga dan melompat sejauh yang ia bisa. Katryson berhasil mencapai seberang tebing dan meraih salah satu tanaman rambat tersebut. Tetapi seseroang tersebut sudah berada di atasnya sedang melihatnya tanpa ekspresi yang jelas. Tak butuh waktu lama seseorang tersebut berbalik menjauhi tempat itu dan Katryson memanjat tebing itu dengan bantuan tanaman rambat yang menjadi pegangannya.

Sesampainya di atas, kabut menutupi pijakan yang akan dilalui. Terlihat seseorang tadi sedang terdiam dengan kedua tangan yang berada di saku jaketnya.

"Hei!" panggil Katryson sambil berlari kecil ke arahnya.

Seseorang tersebut menoleh ke arah Katryson lalu kembali melihat ke depan dan melompat ke bawah. Katryson kaget bercampur kesal, tetapi ia tetap mengikuti apa yang seseorang itu buat tadi.

Kakinya mendarat di sebuah gedung bertingkat, berbatu bata yang bercat krem dan merah. Ia melihat sekelilingnya yang tak tertutupi kabut. Terlihat salah satu tiang bertali itu sedang bergerak. Saat Katryson melihat, ternyata seseorang tersebut sedang turun melalui tiang tersebut.

Katryson kembali mengambil ancang-ancang lalu melompat turun dengan bantuan tiang. Sesampainya di bawah seseorang tersebut memunggunginya.

"Apakah kau salah satu dari orang-orang itu?" tanya Katryson.

Seseorang itu hanya berbalik, menatap Katryson dalam diam.

"Hei."

Tiba-tiba saja angin kencang melewati mereka berdua dan tak sengaja angin tersebut mendorong penutup kepala seseorang tersebut dan menampakkan wajahnya yang sedari tadi terutup. Katryson terbelak tak percaya dengan seseorang di depannya.

"Devis?"

Seseorang yang ia panggil Devis itu terdiam tanpa ekspresi di wajahnya. Tak lama ia mengangkat sebelah tangannya yang telah bersenjata.

Dor!

Sayup-sayup ia mendengar suara beberapa langkah kaki yang mendekatinya sebelum semua indranya terhenti sejenak.
.
.
.
"Son!"

"Katryson!"

Pelan-pelan Katryson membuka matanya sambil memegang kepalanya.

"Akhirnya kau sadar," kata seorang laki-laki yang menatapnya dengan lega.

"Devis? Apa yang terjadi?" tanya Katryson bingung sambil mengambil posisi duduk lalu melihat sekelilingnya.

"Seperti yang kau lihat, kita di tangkap," kata seorang laki-laki yang dipanggil Devis itu lalu menghela nafas pasrah.

Tiba-tiba ingatannya sebelum ia tak sadarkan diri kembali, "mengapa kau menembakku tadi?!" tanya Katryson kesal.

"Woo, tenang. Itu bukanlah aku," kata Devis.

"Hah? Jelas-jelas aku melihatmu dibalik penutup kepala itu," protes Katryson.

"Mungkin dia yang kau lihat," kata Devis sambil menunjuk satu arah.

Matanya melihat arah yang ditunjuk oleh Devis dan melihat seseorang tanpa ekspresi yang mirip dengan Devis. Katryson terbelak lalu melihat Devis dengan seseorang itu dengan cepat.

"Mengapa kalian berdua sangat mirip?" tanya Katryson panik.

Devis menggeleng, "aku saja tak mengenal siapa dia. Tetapi aku ekpresinya menyiratkan kesedihan," kata Devis sambil melihat seseorang tersebut.

"Kau menyukainya?" tanya Katryson asal.

"Tidak mungkin, lagipula bukan hanya dia. Coba kau lihat lelaki berambut pirang itu, lalu lelaki dengan poni miring, wanita dengan ikat ekor kuda dan wanita yang berkuncir setengah. Mereka semua mempunyai tatapan yang sama."

Katryson melihat orang-orang yang ditunjuk oleh Devis, "entahlah, mungkin hanya kau yang berpikir seperti itu."

"Sudahlah, saatnya menyusun rencana untuk bebas dari tempat ini," kata Devis.

"Apa kau sudah membuat rencana?" tanya Katryson.

"Karena belum, jadi kau harus membantuku," kata Devis sambil tertawa kecil.

Katryson melihat Devis tengan tatapan datar bercampur kesal. Katryson mencoba meraba pingangnya dan tak menemukan apa yang ia cari.

"Semua senjata telah diambil oleh mereka," kata Devis yang mengerti kepanikan Katryson.

Katryson mendengus kesal lalu melihat sekelilingnya yang tak dapat membantunya untuk kabur. Pandangannya beralih ke luar jeruji yang sedikit tertutup.

"Apakah tidak ada cara lain tanpa menggunakan senjata?" tanya Katryson.

"Jika ada maka aku sudah bebas sekarang," kata Devis tanpa melihat Katryson.

Seorang laki-laki berambut pirang yang dibicarakan Devis sebelumnya mendekati mereka sambil membawa nampan makanan. Ia meletakkan makanan dari sela kecil di bawah jeruji.

Sebuah kertas memo yang menjadi perhatian dari kedua tawanan itu sedangkan lelaki pirang tersebut beranjak dari tempatnya. Devis mengambil kertas itu.

Murid sekolah.

Katryson menatap kertas itu dengan bingung. Setelah beberapa detik Devis langsung menatap Katryson seperti mengetahui sesuatu, sedangkan yang ditatap merasa kebingungan.

Devis menarik Katryson untuk menjauhi jeruji dan bersandar pada dinding dalam penjara itu.

"Ada apa?" tanya Katryson bingung.

Devis menunjukan memo, "tidakkah kau merasa aneh?"

Katryson menggeleng tak mengerti.

"Mengapa mereka repot-repot menulis 'murid sekolah' dan bukan 'pelajar'?" tanya Devis dengan senyum mengembang.

Katryson menatap Devis sambil terus berpikir tetapi ia tak menemukan jalan pintasnya.

"Murid sekolah sihir! Tidakkah itu menjadi petunjuk? Kita ini bisa menggunakan sihir!" seru Devis tertahan sambil memukul lengan Katryson.

Sedetik kemudian Katryson serasa ingin menjedukkan kepalanya ke dinding yang ada di dekatnya dengan keras.

"Baiklah, sekarang kita sudah menemukan cara untuk keluar, tetapi aku tak tau bagaimana cara kita untuk mengalahkan mereka," kata Devis.

"Mereka terlalu lemah walaupun dengan senjata di tangan mereka," kata Katryson.

"Baiklah, dengan begitu masalah terselesaikan. Kau siap?" tanya Devis sambil berdiri.

"Tentu saja!" kata Katryson yang juga sambil berdiri.

Jeruji besi terlempar ke depan menghantam dinding di depannya. Kedua orang yang berada di dalamnya langsung berlari keluar.

Di satu sisi terdengar banyak langkah kaki yang berirama sama berjalan menuju satu titik. Tetapi sebagian kecil dari mereka yang tidak menggunakan penutup kepala tetap diam di tempatnya. Mereka melihat ke satu arah dengan tanpa ekspresi.
.
.
.
Suara bergema dari sebuah ruangan di mana terdapat banyak orang yang bertarung. Beberapa orang yang berjubah itu melayang dan menghantam yang lainnya.

Devis melihat ke atasnya dan menemukan sebuah celah di dinding atas. Ia segera menarik lengan Katryson secara tiba-tiba.

"Hei apa yang kau lakukan?!" tanya Katryson yang kebingungan.

Devis melewati celah itu dan menemukan jalan keluar yang lainnya tetapi tetap berada di dalam gedung itu.

"Apa sebenarnya rencanamu?" tanya Katryson seletah berhasil berdiri dengan tegak.

"Melarikan diri."

"Hah?"

"Kau tidak berpikir untuk menghabiskan sihirmu dan mati di tengah-tengah mereka bukan?" tanya Devis dengan wajah datar.

Katryson membuang pandangannya kesal karena ia terlalu asik bertarung. Mereka berdua kembali melihat sekeliling mereka. Dinding dan lantai semua terbuat dari batu yang terlihat gampang dipecahkan. Tiba-tiba ada sesuatu yang terlempar di dekat mereka yang membuat mereka tersentak kaget.

Terlihat dua tongkat dengan salah satunya terdapat tombol yang dipakai Katryson sebelumnya dan yang satunya hanyalah tongkat panjang biasa. Devis dan Katryson saling bertatapan bingung lalu melihat ke atas mereka.

Jalan yang sebelumnya mereka lalui kini terdapat seseorang yang mirip dengan Devis, tanpa menunjukan emosinya. Tak lama munculah kayu yang menutupi lubang dan menutupi seseorang tersebut.

Tanpa kembali berbicara Devis mengambil tongkat yang panjang itu dan Katryson mengambil tongkat yang pendek itu. Mereka saling mengangguk bersamaan lalu berlari menuju satu-satunya pintu di ruangan itu.

Di balik pintu ternyata banyak berjubah hitam yang sudah menunggu mereka dan pertarungan kembali terjadi. Tujuan Devis dan Katryson bukanlah membunuh para jubah hitam, hanya mencari jalan untuk keluar dari ruangan itu.

Mereka tak dapat dengan maksimal mengeluarkan kekuatan mereka. Dengan cepat mereka berlari ke arah sebuah pintu untuk beristirahat sejenak. Devis segera menutup pintu setelah Katryson masuk ke dalam. Hal yang mereka tak duga adalah mereka telah masuk dalam perangkap.

Tiba-tiba terdengar suara api dari belakang mereka, saat mereka berbalik terlihat api yang muncul dari bawah dan membentuk sebuah lingkaran. Saat api itu turun, terlihat seorang laki-laki dengan jubah hitan tanpa menggunakan penutup kepala yang membuat wajah dan rambutnya yang berponi miring itu terlihat. Lelaki tersebut melihat Devis dan Katryson dengan tanpa ekspresi. Devis menenangkan dirinya lalu berjalan mendekatinya.

"Devis!" panggil Katryson kaget.

"Apa kau salah satu dari mereka yang ada di luar?" tanya Devis.

Tetapi lelaki tersebut hanya menatap Devis tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Kau lawan atau lawan?" tanya Devis kembali, tetapi lelaki itu tetap saja diam.

"Devis," panggil Katryson.

"Tunggu, satu lagi," kata Devis tanpa melihat ke arah Katryson. "Siapa sekutumu?"

Lelaki itu tetap tak menjawab, tetapi sedetik kemudian beberapa orang melompat ke sekitar lelaki itu. Lelaki berambut pirang, wanita dengan rambut yang diikat satu dan wanita yang mengikat setengah rambutnya. Mereka semua melihat ke arah Devis dengan tanpa ekspresi juga.

Devis dan Katryson terdiam, mereka berdua saling menatap satu sama lain. Tak lama terdengar suara langkah kaki yang mendekati mereka. Terlihat seseorang yang mirip seperti Devis berjalan mendekati mereka berenam. Seseorang tersebut menarik rambutnya dan memperlihatkan rambut panjangnya yang sedikit tersibak.

"Perempuan?!" seru Katryson dan Devis kaget.

"Kenapa kau mirip dengannya?" tanya Katryson sambil menunjuk Devis.

Seseorang yang mirip dengan Devis itu terdiam tanpa menunjukkan emosi yang jelas. Keheningan itu terpecah oleh suara pintu yang terdobrak dari luar. Katryson dan Devis berbalik sambil mengambil kuda-kuda mereka. Pintu kayu itu pecah, tetapi tak ada yang maju. Mereka hanya diam di tempat mereka.

Katryson dan Devis yang melihat hal itu kaget dan bingung membuat kuda-kuda mereka lepas. Tiba-tiba para bertudung hitam yang berada di beberapa barisan depan terlempar ke belakang dan menyisakan tumbuhan yang berada di tanah. Melihat adanya tumbuhan, Devis dan Katryson berbalik dan menemukan seseorang yang mirip Davis itu sedang mengangkat sebelah tangannya.

Lelaki berponi miring itu menggerakkan tangannya dan api melayang menuju pintu keluar. Lelaki berponi miring, lelaki berambut pirang, wanita berkuncir satu dan wanita berkuncir setengah itu berlari keluar pintu dan mulai bertarung. Api, es, angin dan air menyatu menjadi satu. Seseorang yang mirip dengan Devis itu berjalan sampai di depan Katryson dan Devis, menoleh kearah mereka berdua lalu mulai berlari.

Devis dan Katryson saling berpandangan bingung, lalu memutuskan untuk mengikuti seseorang itu. Kadang kala, Devis dan Katryson harus bertarung dan mengeluarkan sihir mereka dalam keadaan berlari. Sesampailah mereka di sebuah ruangan tertutup. Devis dan Katryson terhenti, menatap apa yang tersedia di ruangan itu.

Seseorang yang mirip dengan Devis itu berbalik lalu menunjuk apa yang ada di belakangnya. Sebuah bola yang bercahaya, seakan-akan mengeluarkan listrik yang berwarna biru dan ungu. Devis dan Katryson berjalan mendekati bola itu. Mereka saling bertatapan lalu menoleh ke belakang dan mendapati mereka yang sebelumnya bertarung kini berada di belakang seseorang yang mirip dengan Devis.

Devis menyentuhnya pelan, tetapi ia langsung menarik tangannya yang seakan-akan tersengat listrik. Devis dan Katryson kembali saling menatap lalu mengangguk. Mereka sama-sama menggenggam senjata mereka lalu mengayunkannya dengan keras. Saat bola itu pecah, bangunan itu bergoncang. Tetapi sebuah kayu melindungi kepala mereka berdua.

Tiba-tiba saja pijakan mereka berdua menjadi selembar daun besar yang membuat mereka terngkat. Selembar daun itu melekat pada dahan yang sama dengan 'mereka yang lainnya'. Sesampailah mereka semua di atas, memperlihatkan bangunan itu yang mulai runtuh. Sebuah suara asing terdengar bergitu dekat. Saat Devis dan Katryson menoleh, ternyata suara itu adalah suara portal yang terbuka di dekat 'mereka yang lainnya'.

"Tunggu! Siapa kalian?" tanya Devis sebelum mereka berbalik.

Seseorang yang mirip dengan Devis menunjukan senyum sedihnya. Begitu juga yang lainnya. Mereka menunjukan senyum yang menyiratkan kesedihan mendalam. Setelah itu mereka berbalik dan menghilang dibalik portal yang juga menghilang setelah mereka semua masuk.
.
.
.
.
Penonton masih terdiam dan tertegun. Walaupun layar menggelap dan lampu mulai di nyalakan, mereka masih setia di tempat duduk mereka.

Seseorang berjalan di depan panggung dan layar yang besar itu menunjukan wajahnya agar dapat terlihat dari setiap sisi tempat duduk. Wajahnya menampilkan senyum manisnya.

"Mungkin ini adalah film yang aneh dan tak ada manfaatnya," katanya dengan suara yang menggema.

"Bahkan tak menarik dan membuat anda ingin tertidur," kata seseorang yang tiba-tiba muncul dari tempat orang sebelumnya muncul.

"Tetapi sedikit dari film ini menunjukan perasaan diantara kami," kata orang pertama

"Karena itu kami semua mengucapkan," kata orang kedua yang terpotong.

"Terimakasih banyak," ucap kedua orang itu bersamaan sambil tersenyum lebar.

Keadaan masih hening, tetapi lama-lama terdengar tepuk tangan yang semakin meriah, mengiring kepergiaan mereka berdua dari atas panggung.

Kedua orang itu berjalan menuju ruang kecil di samping panggung, dimana ada teman-teman mereka berdiam di sana.

"Bagaimana reaksi mereka?" tanya seorang gadis beranjak dari tempat duduknya yang membuat rambut hitamnya juga bergerak.

"Entahlah," kata salah satu dari kedua orang yanh tadi naik ke atas panggung.

"Apa maksudmu Katryson?" tanya lelaki berambut pirang bingung.

"Aku tak dapat menilai apakah mereka tertegun, gembira atau tersentuh," kata Katryson sambil menarik salah satu kursi.

"Lalu bagaimana menurutmu Devis?" tanya gadis tadi sambil menyikut salah seorang yang tadi naik ke atas panggung.

"Sama seperti Katryson, tetapi aku melihat sedikit perasaan haru dan senyuman di balik sinar itu," kata Devis.

"Berarti salah sinarnya," kata gadis itu dengan wajah datar.

"Aku masih bingung mengapa pak Ifan tiba-tiba menginginkan kita untuk membuat film," kata gadis berkuncir satu sambil menopang dagunya.

"Tak ada yang menebak isi pikiran kepala sekolah. Bahkan kami yang sebagai muridnya tak mengerti," kata Devis sambil menaikkan bahunya.

"Tetapi Deva baru saja terkena sihir!" seru wanita yang mengikat setengah rambutnya sambil menunjuk gadis pertama.

"Kutukan," ralat gadis itu, Deva.

"Itu bahkan lebih parah," kata gadis berkuncir satu datar.

"Sudahlah, itu telah berlalu Chloe, Shafira,"

"Tetapi tetap saja!" seru Shafira sambil memukul meja.

"Deva tak lengkap dengan aksi nekatnya," kata seseorang yang bersamaan dengan suara pintu terbuka.

"Nenek Leo!" seru Deva semangat.

".. dan ejekannya," lanjut Leo pelan.

"Dari mana saja?" tanya lelaki dengan poni miring.

"Bertemu dengan pak Ifan, ia meminta kalian untuk datang ke kantornya.

"Untuk apa?" tanya lelaki berambut pirang.

Leo mengangkat kedua bahunya, "aku tidak tau, mungkin membicarakan mengenai film itu."

Akhirnya mereka semua sepakat mengikuti Leo ke ruangan Ifan. Sesampainya di sana mereka disambut dengan kertas-kertas yang banyak jumlahnya.

"Hayate, bakar kertas-kertas itu," kata Deva datar.

"Kau yakin?" tanya Hayate tak percaya.

"Jangan! Kau ingin membunuhku?!" tanya seseorang yang muncul dari balik salah satu tumpukan kertas itu.

"Siapa juga yang menyambut tamu dengan tumpukan kertas ini?" tanya Deva datar sambil melihat sekeliling yang terdapat kertas.

"Jangan-jangan kau meminta kami datang karena ini?" tanya Devis asal.

"Tepat sekali!" seru Ifan dengan nada senang.

"Berikan aku izin untuk menimpuknya," kata Deva sambil mengepalkan tangannya.

"Izin diberikan," kata Leo yang juga sama kesalnya.

"Tunggu! Leo! Apakah kau ingin di pecat?!" tanya Ifan dengan nada marah.

"Gaji guru memang kecil, bahkan aku ditawarkan pekerjaan dengan gaji yang lebih besar," kata Leo sambil membuang pandangannya.

Suara tawa meledak di tempat itu, menyisakan Ifan yang terdiam di tempatnya. Walaupun seperti itu, mereka akhirnya juga membantu pak Ifan untuk menyingkirkan tumpukan kertas itu. Menyingkirkan dalam artian menggese semua tumpukan kertas itu ke dalam suatu ruangan.

"Sejenak aku berpikir bahwa kertas-kertas itu adalah sihir ilusi anda, pak Ifan," kata Deva sambil mengusap keringatnya.

"Jika itu memanglah ilusiku, maka seharusnya dengan sekali jentikan jari kertas-kertas itu akan menghilang," kata Ifan sambil tertawa pelan.

"Baiklah, dengan ini kami sudah di perbolehkan pergi bukan?" tanya Katryson sambil menepuk kedua tangannya untuk menyingkirkan debu.

"Sebenarnya aku memanggil kalian untuk berterimakasih atas kerja keras kalian dan kalian mau melakukan apa yang orang tua ini inginkan," kata Ifan dengan wajah terharu.

"Kini pak Ifan akan berganti dengan kakek Ifan," kata Deva.

"Aku tidak setua itu."

"Tetapi kata-kata anda yang menceriminkam seperti itu," kata Deva polos.

Tiba-tiba pintu terbuka, tampaklah seorang gadis kecil yang mengintip dari balik pintu.

"Maaf, apakah aku menganggu?" tanya gadis itu.

"Ah Alice, tidak kok tenang saja," kata Deva sambil menunjukan senyum manisnya.

"Aku membawa roti, ada yang mau?" tanya Alice sambil menunjukan keranjang yang ia bawa.

Deva mengangkat tangannya cepat, disusul oleh Devis lalu tawa kembali menghiasi ruangan itu.

"Oh iya, Edward!" panggil Deva.

"Ya?" tanya Edward bingung.

"Tidak, tidak apa-apa," kata Deva sambil tertawa jail.

Edward hanya melihat Deva dengan tatapan datar sebelum akhirnya di sodori roti  oleh Alice.
.
.
.
.
.
3083 cukuplah untuk membalas 'gantung'nya chappie sebelumnya :v

Bagi yang masih bingung, awalnya yang di 'italic' (miring) itu adalah film yang dipertunjukkan. Karena aku ngetik udah mulai error, mungkin flasbacknya akan tak tulis di chappie berikutnya.

-(28/08/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro