25. yang Berdiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sayah suka lagu ini, yang nggak suka boleh nggak di play.

Thanks for waiting

🍀

Deva mencoba untuk duduk dengan posisi nyaman setelah beberapa detik terdiam kerena terlalu lelah.

"Jadi kau yang membuat pohon perlindungan ini?" tanya Deva.

Wanita itu mengangguk, "itu benar. Aku telah mengawasimu dan yang lainnya."

"Kau yang membuat hal-hal misterius ini?" tanya Deva.

Wanita itu tertawa pelan, "sepertinya begitu."

"Kalau begitu beritahu padaku apa yang sebenarnya terjadi," kata Deva sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.

"Tentu saja kau akan tau, tetapi tidak dengan cara biasa," kata wanita itu sambil menunjukkan senyuman walaupun matanya memancarkan kesedihan.

"Maksud... nya?"

"Apakah kau sudah kuat untuk berdiri?" tanya wanita itu sambil mengulurkan tangannya.

"Aku rasa begitu," kata Deva sambil menerima uluran tangan wanita itu.

"Sepertinya ia lebih kuat dari pada diriku ya," kata wanita itu sambil membantu Deva berdiri dan tertawa pelan.

"Ya, banyak hal yang ia lalukan diluar pemikiran siapapun. Setiap orang memiliki ciri khasnya masing-masing," kata Yinan sambil tersenyum lembut.

"Kau menghiburku?" wanita itu kembali tertawa pelan, "terimakasih."

"Sepasang kekasih?" tanya Deva bingung.

Wanita itu dan Yinan saling bertatapan lalu tertawa bersama.

"Tidak, kami hanya..."

"Kau akan tau setelah ini," kata wanita itu sambil tersenyum manis.

"Oke... aku menunggu."

"Selamat tinggal, terimakasih telah memberiku sesuatu yang membuka mataku," kata Wanita itu sambil tersenyum, tetapi kini terlihat lebih tulus.

"Eh? Aku tidak melakukan...-"

"Kau melakukan banyak hal. Sekali lagi aku berterimakasih Deva, sampai jumpa lagi untukmu dan teman lama," kata wanita itu sambil tersenyum lebar.

"Maaf aku tak dapat melakukan apapun," kata Yinan dengan nada sedih.

Wanita itu menggeleng, "kau selalu ada untukku. Itu cukup. Sekarang Deva, kau lewati lagi cermin itu lalu kau akan mengetahuinya," kata wanita itu sambil menunjuk cermin di belakang Deva.

Deva mengangguk lalu berbalik tetapi ia kembali menoleh ke belakang. Wanita itu melambai dengan senyuman tulus yang terpancar. Yinan kembali masuk ke dalam cincin dan Deva mulai beranjak di dalam cermin.

*****

Dua gadis kecil sedang berlari dengan tawa dan senyuman yang sama. Yang membedakan mereka hanyalah ikatan rambut kedua gadis itu.

Kedua gadis itu beranjak umurnya dan teman-teman mereka terlihat sangat susah untuk membedakan mereka berdua.

"Ternyata anak kembar bukanlah mitos," kata salah satu temannya.

"Tentu saja, jika tak percaya coba kau menebak siapa kami," kata gadis berkuncir satu itu.

"Tentu saja aku bisa membedakan kalian dengan rambut seperti itu."

Tawa terdengar di seluruh kelas itu, begitu dengan kedua gadis yang rambutnya terkuncir dan terurai itu.

Waktu terus berjalan. Kedua gadis itu kini sudah memasuki masa remaja akhir dengan tingkatan sekolah yang paling tinggi di sekolahnya. Keduanya dikenal bukan hanya karena satu-satunya saudara kembar di negeri itu, tetapi karena kepintaran mereka yang sama-sama diatas.

"Erinna!"

Panggilan itu membuat seorang gadis menoleh ke arah sumber suara yang membuat rambut pirangnya ikut tersibak pelan. Terlihat seorang gadis dengan wajah serupa mendekatinya dan rambut pirangnya yang diikat satu ikut bergoyang.

"Erlinda, ada apa?"

"Pengumuman mengenai tes telah di umumkan, ayo kita lihat," ajak Erlinda sambil menarik tangan saudari kembarnya.

Yang ditarik membiarkan dirinya tertarik sambil tersenyum dan menghela nafas pasrah. Sesampainya di sebuah dinding yang di tempelkan kertas besar, mereka asik mencari nama mereka.

"Erinna! Lagi-lagi kau berada dipaling atas," kata Erlinda lemas.

"Eh maafkan aku," kata Erinna sedih.

Tangan Erlinda melingkar di bahu Erinna, "tenang saja, lain kali aku akan berada di atas," kata Erlinda ceria.

Erinna mengangguk sambil tersenyum manis.

Kedua gadis itu terlihat saling melengkapi, Erlinda adalah seorang gadis ceria yang disukai banyak orang berbeda dengan Erinna yang pemalu dan jarang berbicara.

Suatu ketika mereka berdua mendapatkan cincin yang berwarna hitam dan putih. Erlinda dengan cepat mengambil cincin berwarna putih dan Erinna dengan senyuman mengambil cincin yang tersisa.

Di tengah lapangan sekolah Erlinda menarik Erinna yang baru saja mendapat cincin itu.

"Ayo kita tunjukan kekuatan cincin legendaris ini kepada semuanya!" seru Erlinda ceria.

"Te-tetapi Linda, kita...-"

"Aku mohon Na," kata Erlinda dengan mata memohon.

Erinna menghembuskan nafasnya pasrah lalu mengangguk. Erlinda melompat gembira dengan reaksi yang diberikan saudari kembarnya. Akhirnya mereka mengaktifkan kekuatan cincin mereka dan pakaian mereka berubah.

Semua yang sedang melewati lapangan itu maupun yang melihat melalui jendela kelas terkagum-kagum. Erinna si pemalu terlihat lebih cantik dan liar bila dibandingkan dengan sifat sehari-harinya. Sedangkan Erlinda terlihat cocok dengan pakaian serba putih dan sedikit hitam yang melekat di tubuhnya.

Esok harinya banyak yang mengelilingi meja Erinna dan mengutarakan kekaguman mereka mengenai kecantikan 'liar'-nya. Erinna dengan cepat menyela dengan ekspresi malu. Saudari kembarnya yang melihatnya merasa sedikit iri tetapi ia memaklumi hal itu karena ia juga mengagumi kecantikan Erinna.

Tidak sampai ia melihat seorang lelaki yang berjalan mendekati Erinna dengan wajah malu dan mengagumi Erinna dengan sangat berlebihan.

.
Dari sanalah sebuah ikatan mulai bergoncang.
.

Sesampainya mereka di kamar, Erlinda meminta bantuan Erinna untuk saling bertukar cincin.

"Kenapa? Aku pikir kau menyukai warna putih sampai-sampai mengambilnya dengan cepat," kata Erinna bingung.

"Ya.. aku memang menyukai warna putih," kata Erlinda pelan.

"Apa?"

"Pokoknya! Tolong, aku ingin bertukar cincin denganmu!" pinta Erlinda.

Erinna tertawa pelan, "tentu saja, mengapa kau memohon sampai seperti itu?" tanya Erinna sambil menunjukan senyuman manisnya dan menyerahkan cincin hitam miliknya.

Erlinda mengambil cincin itu lalu memeluk saudari kembarnya erat, "terimakasih! Aku sangat menyayangimu!"

Erinna kembali tertawa pelan sambil menepuk-nepuk pundak saudarinya pelan. "Ada apa denganmu sebenarnya? Adakah hal yang membuatmu berubah pikiranmu hm?"

"Ada," kata Erlinda sambil tersenyum manis. "Tetapi rahasia!" kata Erlinda cepat.

"Baiklah, terserah padamu," kata Erinna sambil tersenyum manis.

Esoknya Erlinda mengajak Erinna kembali memamerkan cincin mereka. Dengan pasrah dan senyuman di wajahnya Erinna mengiyakan permintaan saudarinya. Kini terlihat sisi anggun Erinna yang mengenakan gaun putih sedangkan sisi tomboy Erlinda terlihat dengan gaun hitam itu.

Lagi-lagi pujian dilontarkan kepada Erinna tetapi tidak pada saudari kembarnya. Kata 'malaikat' pun diucapkan berkali-kali oleh beberapa orang. Mendengar hal itu Erlinda merasa semakin kesal, walaupun telah saling bertukar cincin.

Buka hanya sampai di sana, berhari-hari berikutnya Erinna terus dipuji akan kebaikannya dan keanggunannya. Seakan-akan Erinna tak pernah membuat kesalahan sedikitpun. Hal itu pula yang membuat kekesalan Erlinda semakin meninggi.

Erlinda sedikit menjauhi Erinna, tak ada yang menyadari hal itu kecuali yang dijauhi. Erinna yang mengetahui ketidak beresan sifat saudarinya hanya dapat terdiam. Kadang kala Erinna merasa kesepian karena Erlinda lebih sering pulang terlambat dari pada biasanya.

Suatu hari Erlinda yang baru saja pulang saat langit mulai mengganti warna menjadi biru gelap tak sengaja menyenggol tas sekolah saudarinya. Tumpukan surat langsng terjatuh berantakan, Erlinda dengan pasrah memungut satu per satu surat-surat itu. Kini matanya tertuju pada suatu surat yang tercantum nama pengirimnya.

"Linda? Kau sudah pulang?"

Erlinda berbalik dan menunjukan surat di tangannya, "apakah kau akan membalasnya?"

Erinna terdiam sambil mengigit bibir bawahnya, "aku... tidak tahu bagaimana cara membalas mereka semua. Aku tidak ingin menyakiti hati mereka," kata Erinna pelan dengan pandangan yang menatap lantai kamarnya.

Ujung bibir Erlinda naik sebelah lalu ia langsung mengubah ekspresinya dalam sekejap. "Bagaimana jika aku yang membalas mereka?" tanya Erlinda.

Erinna menatap Erlinda tak percaya dengan mata berbinar-binar, "kau mau?" tanya Erinna tak percaya.

"Tentu saja... jika kau tak keberatan," kata Erlinda sambil tersenyum dengan berbagai makna di dalamnya.

Erinna mengangguk ceria, "terimakasih, aku sangat terbantu olehmu Linda," kata Erinna sambil menunjukan senyuman lebarnya tanpa mengetahui senyuman miring saudarinya.

Erlinda kembali melihat beberapa dari surat-surat tersebut dan melihat beberapa dari mereka ingin bertemu dengan saudarinya esok, saat sekolah diliburkan. Itu membuat senyuman sinisnya semakin menjadi-jadi.

Sedangkan Erinna terlihat sibuk dengan buku-buku di meja belajarnya tanpa melirik saudarinya sekalipun.

Dua hari kemudian, Erlinda datang kesekolah tanpa bersama Erinna. Hal itu membuat Erinna bingung dengan sifat saudarinya tetapi ia tangkis segala pikiran buruknya dan berjalan menuju ke sekolahnya. Sesampai di sekolahnya ia merasa diperhatikan dengan tatapan tajam oleh sekitarnya.

Kini ia telah sampai di kelasnya dan pandangannya terfokus pada Erlinda yang menunduk sambil menutupi wajahnya.

"Erlinda! Ada ap...-"

Perkatannya terhenti karena ia dihalangi oleh beberapa teman kelasnya yang mentap Erinna dengan tatapan menusuk.

"Apa yang... terjadi?" tanya Erinna pelan.

"Jangan berpura-pura. Kami semua tahu apa yang ada di dalam pikiranmu!" seru salah satu temannya yang menghalangi kedua saudara kembar itu.

"Jane, apa maksudmu?" tanya Erinna bingung dan sedih.

"Kau berpura-pura menjadi Erlinda dan mengatakan kata-kata kasar pada mereka yang menyatakan perasaan padamu bukan?" tanya Jane kasar.

"Apa? Aku tidak...-"

"Jangan berbohong! Jika kau tidak suka maka kau hanya perlu mengatakan tidak!" kata seseorang yang ada disebelah Jane.

"Tidak, aku seharian berada di rumah kemarin..." Erinna membuka mulutnya kembali ingin menjelaskan bahwa saudarinya yang ingin membalas mereka, tetapi ia menutup kembali mulutnya.

"Lalu Erlinda bersama kami kemarin. Ia mempunyai alibi dengan orang-orang yang bersamanya. Sedangkan kau? Huh, dasar pembohong!" kata Jane sambil mendorong bahu Erinna.

Tak sengaja ia melihat Erlinda dan ternyata saudarinya hanya menatapnya tanpa mengeluarkan airmata sedikitpun. Selama di sekolah Erinna terus memikirkan apa kesalahan yang telah ia perbuat.

Sesampai Erlinda di kamar, Erinna mendekati Erlinda dengan perasaan bercampur aduk.

"Erlinda, mengapa kau melakukan ini?"

"Mengapa? Huh, haruskah aku jelaskan? Dasar menyebalkan," kata Erlinda sambil melempar tasnya di atas kasurnya.

"Tentu saja, katakan apa yang salah Linda. Mengapa tiba-tiba?" tanya Erinna bingung.

"Kau bertanya apa yang salah?" Erinna mengangguk.

"Yang salah karena kau terlahir!!" seru Erlinda kesal.

Erinna terdiam melihat saudarinya dengan tatapan tak percaya.

"Kau selalu merebut semuanya! Perhatian ayah dan ibu! Perhatian para lelaki! Kau rebut! Kau rebut semuanya! Kau merasa puas hah?! Puas?!" tanya Erlinda dengan emosi yang telah tertahan selama bertahun-tahun.

"Tidak! Aku tidak memerlukan semua itu!"

"Tetapi aku perlu!" seru Erlinda yang membuat keheningan terjadi selama beberapa detik.

"Semua yang kau lakukan merebut semuanya! Tidakkah kau sadar?! Aku bertahan selama bertahun-tahun, sambil berharap sesuatu berubah! Tetapi itu tidak pernah terjadi! Sampai akhirnya kita mendapat cincin ini, tetapi kau tetap mendapatkan semuanya!"

Erinna terdiam mendengar seruan saudarinya. Ia menunduk lalu akhirnya membuka mulutnya, "lalu... mengapa kau tak mengatakan hal ini padaku sebelumnya?" Erinna memberanikan dirinya untuk menatap saudari kembarnya.

Kini gantian Erlinda terdiam menatap saudarinya.

"Jika kau mengatakan hal ini padaku lebih cepat... mungkin kita telah menyelesaikan permasalahan ini," kata Erinna sambil berusaha keras untuk tersenyum walaupun di pipinya terus meluncur air mata yang turun dengan derasnya.

"Kau... sudah menemukan caranya?" tanya Erlinda dengan suara serak.

Erinna menunduk, "belum... tetapi suatu saat pasti...-"

Erlinda melemparkan buku-buku yang ada di atas meja belajarnya ke arah Erinna. "Aku sudah tak dapat mempercayaimu! Jangan pernah menyapaku! Berbicara denganku! Aku sudah bukan saudari kembarmu lagi!" serunya lalu kembali mengambil tasnya lalu beranjak pergi dari tempat itu.

Erinna terdiam sambil menatap kedua kakinya yang sedang duduk di atas lantai. Ia membiarkan air matanya kembali turun, tanpa memperdulikan sekitarnya.

Waktu terus berlanjut, Erinna melakukan apa yang dikatakan Erlinda padanya. Tidak menyapanya, berbicara dengannya dan bersikap seakan-akan mereka tak pernah saling berkenalan sebelumnya. Walaupun dulu mereka adalah saudara kembali yang saling menyemangati satu sama lain.

Hal itu membuat nilai pelajaran Erinna terus menurun, ia tak peduli. Ia hanya merasa kesepian. Ejekan selalu ia dapat setiap hari, ditambah kekecewaan kedua orang tuanya yang mendengar perkataan saudarinya yang tak benar sama sekali. Kebiasaan Erinna sesampai dirumah ialah terduduk di ujung kamar sambil memeluk kedua lututnya.

Sampai suatu ketika ia merasakan elusan lembut di kepalanya, saat ia mengangkat wajahnya ia menemukan seorang lelaki yang menatapnya lembut.

"Siapa... kau?" tanya Erinna yang telah terpojok.

"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu tetapi menghiburmu," kata lelaki itu sambil tersenyum.

"Menghibur? Tak akan ada yang mau menghiburku, semuanya hanya percaya padanya," kata Erinna kembali menenggelamkan kepalanya.

"Aku mengetahui apa yang terjadi." Erinna menatap lelaki di depannya dengan tak percaya.

"Semuanya dapat terdengar jelas dari cincin itu," kata lelaki itu sambil menunjuk cincin yang dipakai oleh Erinna.

Erinna melihat cincinnya lalu melihat lelaki yang sedang tersenyum lembut padanya. Ia sama sekali tak percaya, walaupun begitu ia mengeluarkan semua apa yang ada di pikirannya dan lelaki itu hanya tersenyum dan mengangguk sebagai balasan. Hanya dengan itu, Erinna merasa lebih baik dan sangat baik.

Sejak hari itulah lelaki itu sering muncul di saat Erinna sedang sendirian dan mendengar segala keluh kesah Erinna. Semua ejekan dan perilaku teman-teman sekelasnya sudah bukan masalah bagi Erinna, terapi berbeda dengan Erlinda. Ia merasa kesal karena semua itu sudah tidak lagi berdampak pada Erinna.

Erlinda terus memikirkan cara yang tepat, sampai akhirnya matanya melihat seseorang yang membawa surat berwarna pink dan terlebih lagi ia berhenti di depan Erinna yang sedang terdiam di mejanya. Seseorang, atau lebih tepatnya lelaki itu menyerahkan surat yang ada di tangannya dengan rona merah di wajahnya. Erinna yang menerima surat pink itu sedikit salah tingkah tetapi ia tersenyum sambil mengucapkan sesuatu.

Kini senyum miring Erlinda tertampang jelas di balik telapak tangannya. Sedangkan Erinna mulai melihat sekeliling surat itu tanpa melihat ke dalam surat itu lalu meletakkan surat itu di dalam tasnya. Pandangannya kembali terarah kedepan karena bel telah berbunyi, seorang guru masuk dan membubarkan mereka yang masih berkumpul.

Sesampai Erinna di kamarnya, ia kembali mengambil surat pink dan duduk di meja belajarnya. Lelaki yang selama ini menghibur Erinna kini keluar dari tempatnya menuju ke sampingnya.

"Apa itu?" tanya lelaki itu bingung.

"Surat cinta... padahal aku tidak menginginkan ini kembali terjadi," kata Erinna sambil menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya.

"Kau ingin aku membantumu?" tanya lelaki itu sambil menunjuk dirinya sendiri.

Erinna mengangkat kepalanya lalu menggeleng mantap, "surat ini ditujukan untukku maka harus aku yang membalasnya."

Lelaki itu tersenyum lalu mengelus kepala Erinna pelan, "aku mengerti, jika kau merasa ragu maka aktifkan saja cincinmu maka kita dapat berkomunikasi."

"Eh? Bisakah?" tanya Erinna sambil menatap lalki itu kaget.

"Tentu saja bisa dengan seijinku," kata lelaki itu sambil menunjukan senyuman jailnya.

Suara tawa keluar dari mulut Erinna. Hal-hal sederhana yang dapat membuat Erinna menjadi ia yang dulu, walau tanpa saudari kembarnya di sisi.

Ia mempersiapkan dirinya untuk menjawab perasaan sang penulis surat pink itu. Walau hanya candaan, Erinna benar-benar melakukan apa yang dikatakan oleh lelaki yang selama ini bersamanya. Pandangan mengarah kepada gadis berbalut gaun putih yang sedang terlihat mencari-cari seseorang.

Setelah matanya menangkap bayangan seseorang yang terdiam melihatnya, ia berjalan mendekati seseorang tersebut. Kecanggungan lelaki yang kini dihadapannya semakin besar melihat gadis yang ia kagumi terlihat sangat cantik.

"Apakah kau tidak keberatan jika aku mengenakan ini?" tanya Erinna takut.

Lelaki di depannya menggeleng yang membuat Erinna menghembuskan nafas lega.

"Pertama-tama aku ingin mengatakan terimakasih banyak karena kau telah mengumpulkan keberanian untuk memanggilku, walaupun rumor yang beredar." Erinna menunduk mencoba mengumpulkan keberaniannya mengingat apa yang dilakukan saudari kembarnya.

Lelaki itu terdiam. Menatap kedua tangan Erinna yang mengepal ujung roknya. "Apakah benar itu kau yang menjadi Erlinda?" Pertanyaan lelaki itu membuat Erinna menatap lelaki di depannya.

Setelah beberapa detik Erinna menggeleng kuat, "itu bukanlah aku, itu adalah keinginan Erlinda untuk menemui mereka semua. Maaf... maaf... seharusnya akulah yang mendatangi kalian satu per satu. Bukan melarikan diri," kata Erinna sambil menyembunyikan wajahnya dibalik kedua telapak tangannya.

Lelaki di depannya mengulurkan tangannya untuk menyentuh Erinna, tetapi ia kembali menarik tangannya. Walau begitu Erinna merasakan kehangatan di sekitar yang seakan-akan dipeluk oleh seseorang dan ia tau siapa.

"Itu bukanlah salahmu, kau tak perlu menyalahkan dirimu sendiri." kata lelaki itu yang kembali membuat pandangan Erinna mengarah padanya.

Erinna mengangguk pelan sambil berusaha untuk tersenyum. Mereka kembali dengan perasaan lega lelaki itu walau telah ditolak. Erinna kembali ke rumahnya dengan perasaan senang karena telah mengatakan apa yang ingin ia katakan. Ia dapat mengatasi masalah-masalah yang akan datang.... itu yang ia pikirkan.

Esoknya di sekolah, ia mendapati lelaki yang bertemu dengannya kemarin sedang bersama saudari kembarnya. Dari ekspresi yanh dikeluarkan oleh keduanya menunjukan bahwa saudarinya memaksa dan menekan lelaki itu mengenai sesuatu. Hal itu membuat nafas Erinna tertahan.

.
Ia  kembali bertahan.
.

"Palsu!"

"Ternyata di antara saudara kembar hanyalah duplikat. Sisanya palsu!"

"Yang palsu memang selalu sempurna ya. Pantas yang asli selalu tak dilihat, dasar palsu."

Entah mengapa, setelah Erinna melihat kejadian kedua orang itu ejekan palsu itu datang silih berganti. Semakin waktu berlalu, kini kedua orang tuanya ikut menjauhi dirinya. Hal itu membuat Erinna semakin terpuruk. Langkahnya kini berjalan cepat menuju tempat pertemuannya pada saudarinya. Walau air mata memenuhi matanya, ia tetap berjalan.

Sesampailah mereka di ruangan tertutup yang ternyata ia telah ditunggu oleh saudarinya. Mendengar pintu terbuka, yang berbeda di dalam ruangan itu berbalik.

"Apa lagi sekarang?" tanyanya ketus.

"Linda, bukankah ini sudah keterlaluan?" tanya Erinna dengan berlinang air mata.

"Huh? Keterlaluan? Tentu saja TIDAK! Kau tau, aku sama sekali tidak PUAS!"

"Tetapi Linda! Kau... kau bahkan telah menyingkirkan kedua orang tua kita padaku, bukankah seharusnya kau jauh lebih puas?" tanya Erinna.

"Aku tidak akan pernah puas... sampai aku menyingkirkanmu dari dunia ini," kata Erlinda dengan senyuman sinis tertampang di wajahnya.

Kedua mata Erinna terbelak sempurna. Ia tak pernah membayangkan saudarinya mengatakan hal seperti itu.

"Mengapa... kau..."

"Berhentilah menangis! Dasar pembohong! PALSU!" Perasaan Erinna kini seperti hancur berkeping-keping mendengar saudarinya yang ia amat sayangi mengatakan hal itu padanya.

Kakinya tak lagi kuat menopang kuat tubuhnya, badannya seakan-akan tak ada tenaga untuk bergerak.

Seperti boneka.

Itulah yang dapat menggambarkan Erinna sekarang. Kedua matanya menatap kosong ke arah saudarinya, tetapi air matanya kadang kala terjatuh.

"Jika kau memang menyayangiku, maka kau harus tetap diam seperti itu," kata Erlinda sambil merogoh sesuatu dari tasnya.

Erinna tetap diam walaupun kedua tangannya ditarik oleh beberapa prajurit. Beberapa hari kemudian ia diadili tetapi ia tetap diam, menatap kosong entah kemana. Seseorang yang kini menjadi alasan ia bertahan telah hilang, bahkan berusaha menghancurkannya. Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh yang mengadili, tetapi yang ditanya hanya menutup mulutnya rapat-rapat.

Dengan putus asa, Erinna dijatuhi hukuman. Dimusnahkan. Tidak dibunuh dengan senjata kosongan, tidak dengan sihir kecil, tetapi dengan senjata sihir yang paling hebat. Mereka yang masih menyayangi Erinna menatapnya dengan tatapan sedih, pasrah, tak tega bercampur menjadi satu. Tak berbeda dengan saudari kembarnya yang merasakan sesuatu ingin meledak.

Sampai di hari yang ditentukan, Erinna hanya memakai selembar dress berwarna putih dengan kedua tangan yang diikat. Tak begitu jauh dari tempatnya berdiri, banyak orang melihatnya dengan berbagai ekspresi.

"Lima!"

Senjata yang akan melenyapkan Erinna berada di bawah tanah dan hanya akan melenyapkan yang menjadi targetnya.

"Empat!"

Kedua orang tua Erinna mulai merasa cemas dan sedih. Tetapi mereka tak dapat melakukan apapun. Begitu juga lelaki yang pernah menyatakan perasaannya walau tertolak. Ia merasakan sangat bersalah, bahkan hanya dapat melihat ke tanah dibawahnya.

"Tiga!"

Erinna menatap langit yang berwarna biru cerah lalu melihat kerumunan orang-orang itu. Dengan cepat ia dapat menemukan keluarganya yang terakhir kali menolaknya, kini terpancar wajah khawatir. Angin berhembus sedikit kencang yang membuat rambut pirangnya tersibak sampai keatas kepalanya. Ia melihat rambutnya dengan senyuman.

"Dua!"

Ia menutup kedua matanya, memorinya kembali berputar. Dari paling terbaru ia mengingat kesedihannya berasal dari apa yang menjadi kebahagiannya. Mengingat bahwa ia telah bertahan agar saudarinya kembali, tetapi ternyata sia-sia. Tiba-tiba ia teringat saat-saat mereka masih dapat tersenyum bersama.

"Satu!"

Senyumnya mengembang, karena mengingat bahwa hal itu sudah tidak akan pernah mungkin...

terjadi lagi.

Air mata turun dari kedua matanya. Melihat hal itu Erlinda mengigit bibir bawahnya.

"Sedikit lagi," pikirnya.

"Hanya tinggal sedikit lagi. Mengapa..."

"Tembak!"

Cahaya keluar dari dalam tanah dan membuat mereka yang melihat harus menutup kedua matanya.

Setelah cahaya itu menghilang, Erinna pun juga menghilang. Mereka yang menahan air dari mata mereka kini meledak. Isakan terdengar dimana-mana. Erlinda menatap jari tangannya yang terlihat bekas cincin disana.

Kedua cincin yang dipakai oleh kedua anak kembar itu telah menghilang. Tak ada yang tahu dimana kedua cincin itu. Bahkan mereka tak tau dari kapan cincin itu menghilang.

Mereka semua beranjak dari tempat mereka, tanpa mengetahui tunas kecil yang tumbuh persis dimana Erinna menghilang (terbunuh). Dalam tunas itu terdapat sebuah mimpi yang sangat besar. Menyelamatkan orang-orang yang sama sepertinya.

Tak jauh dari sana, terdapat dua orang yang melihat semua itu dari awal kejadian hingga kini.

"Kak," panggil gadis berambut hitam.

"Ya?" jawab lelaki berambut putih itu.

"Sepertinya selanjutnya kita harus memilih dengan hati-hati," kata gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kau benar," kata lelaki itu sambil mengangguk.

.

.
.
.
.

Nah loh bosen nggak liat tulisan yang di italic mulu? Mungkin saking banyaknya word (3000 sekian-sekian lah) ampe ngerasa biasa aja ya? Bahkan sampe ngerasa biasa aja?

Yang paling kerasa saya yang ngetik nih... Ampe eror2 lol.

Maaf ya kelamaan ngetiknya... Ehehe... Lagi keasikan maen shall we date. Lagi ada spin up!!

Yukiya!
Randy!
Daniel!
Eh yang terkahir dapa kaden namanya?
Leo!

Leo: "ya?"

Bukan Leo situ! Leo yang ini bukan bapak-bapak ku-mi-san!

Leo: "lah kan situ yang buat. Aneh." (berjalan menjauh).

Biarin! Btw kerasa nda feelnya? Aku berusaha biar kerasa. Oh iya, bagi yang nda tau, apa yang kalian baca itu apa yang Deva lihat. Lihat loh, bukan baca.
Lol.

THE LAST ONE!
Akan aku up secepatnya soalnya udah kebanyang. Kalau yang inikan harus di sempurnakan.

Semoga nggak bosan menunggu.
See you~

-(10/10/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro