24. Dibalik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau mau lebih dapet feel, siapkan lagu melow ato sedih dulu.

Kalau aku yang siapin takutnya malah nggak pas.

Sudah dapet lagunya?

Happy reading

.
.
.
.
.
.

Sepasang kaki berhenti di suatu tempat. Kedua kelopak matanya bergerak keatas lalu melihat sekelilingnya. Dinding yang berwarna pink seperti permen kapas dicampur dengan beberapa warna terang.

"Wah, selamat datang," kata seseorang di sampingnya.

Terlihat seorang wanita berjalan anggun dengan dress ungu yang lekat di badannya. Surai ungunya bergerak pelan mengikuti langkah kakinya. Senyuman menghiasi wajahnya

"Oh, terimakasih."

"Perkenalkan, namaku adalah Violita," kata wanita itu sambil tetap tersenyum.

"Namaku Deva," katanya sambil membalas senyuman wanita itu.

"Jadi sebenarnya apa tempat ini?" tanya Deva sembari berdiri dari posisi duduknya.

"Ini adalah tempat yang ada di dalam pohon yang kau masuki," kata Violita sambil tetap tersenyum.

"Jadi, di sini adalah tempat para salah satu saudara kembar itu tinggal?" tanya Deva.

Violita mengangguk, "kau benar, di sini ada banyak sekali pohon dengan berbagai macam buah dan hewan ternak yang jumlahnya tidak kan berkurang." Violita menggerakkan tangannya seperti mengajak Deva untuk berjalan bersama.

"Maksudnya tidak berkurang?" tanya Deva sambil menyesuaikan langkahnya dengan Violita

"Kalau misalnya kau mengambil salah satu ayam untuk menjadi santapanmu, esoknya para ayam itu jumlahnya tak akan berkurang," kata Violita sambil terus berjalan.

"Mengapa bisa seperti itu?" tanya Deva pelan.

"Aku tidak tau, tidak ada yang tau," kata Violita.

"Sepertinya aku pernah melihat anda sebelumnya," kata Deva sambil melihat Violita.

"Begitukah? Mungkin yang kau lihat adalah Isabel, saudariku," katanya sambil tertawa pelan.

"Anda!" seru Deva sambil terdiam, "saudara kembarnya? Pantas mirip," kata Deva sambil mengira-ngira .

"Hahaha, matamu sangat tajam ya," kata Violita sambil tertawa pelan dan berhenti.

"Banyak sih yang berkata seperti itu," kata Deva sambil kembali berjalan.

"Apa tau kabar Isabel?" tanya Violita sambil ikut berjalan.

Deva terdiam sambil menundukkan kepalanya. Violita menghembuskan nafasnya pelan melihat reaksi Deva.

"Tubuhnya memanglah tidak sekuat yang lainnya, tetapi ia selalu memaksakan dirinya dan tersenyum sambil mengatakan semua baik-baik saja. Aku bahkan kaget ia menjadi Ratu," kata Violita lalu tertawa pelan.

"Jadi anda..."

"Seharusnya ia bisa lebih menjaga kesehatannya. Banyak yang memerlukan hasil pekerjaannya, tetapi ia menyia-nyiakan kesehatannya," kata Violita dengan suara sendu.

"Dia adalah orang yang baik," kata Deva sambil menunduk.

"Dia memang orang yang terlalu baik dan terlalu pintar," kata Violita sambil melihat ke depan.

"Jadi..." suara Deva menghancurkan keheningan yang tercipta sesaat, "apakah teori asli-palsu itu benar-benar ada?" tanya Deva.

"Maaf, mengenai hal itu tidak ada yang tau juga. Terlalu banyak misteri yang tidak dapat kami pecahkan," kata Violita dengan nada sedih.

"Ah, tidak apa-apa. Banyak kok hal-hal yang memang tidak diketahui asal-usulnya," kata Deva mencoba menenangkan Violita.

"Lalu apa yang kau pikirkan saat berjalan bersama dengan saudara kembarmu?" tanya Violita.

"Aku ingin dia yang kembali ke sana. Dia baru saja menjadi penyihir elit, keluar dari penjara Timur beberapa tahun yang lalu. Aku yakin ia belum benar-benar merasakan kebebasan," kata Deva sambil tertawa kecil.

"Mungkin itulah yang membawamu kemari," kata Violita.

"Begitukah?"

Violita mengangguk, "sebagian besar yang aku tanyai menjawab hal serupa, ah kita sudah sampai."

Deva melihat sekelilingnya. Terlihat banyak bangunan rumah di sana dengan tanah yang bertingkat tiga.

"Bangunan yang tersedia terlalu banyak, karena itu banyak yang masih kosong. Kau boleh memilih rumah yang ingin kau tempati," kata Violita

"Memangnya sebanyak apa orang-orang di sini?" tanya Deva sambil melihat beberapa orang yang berlalu-lalang.

"Dipastikan kurang dari seperempat penduduk di negri putih," kata Violita jail.

"Oke, itu termasuk banyak untukku," kata Deva.

"Tetapi tidak cukup banyak untuk memenuhi tampat ini. Kami juga seperti keluarga di sini karena jumlah kami yang tidak cukup banyak ini," kata Violita sambil melihat sekelilingnya juga lalu melambai pada seseorang yang melambai padanya.

"Wah siapa gadis manis ini?" tanya seorang wanita sambil mendekat.

"Ia baru saja datang, namanya adalah Deva," kata Violita sambil memegang pundak Deva.

"Salam kenal, namaku adalah Feili," katanya dengan senyuman lebar.

"Salam kenal. Em, bukankah anda lebih tua... maaf," kata Deva pelan.

"Iya, tetapi tidak begitu tua. Hahaha. Oh, apa kau memerlukan bantuan untuk berkeliling? Aku tak pernah bosan berkeliling," kata Feili semangat.

"Saran yang menyenangkan," kata Deva sambil tersenyum lebar.

"Baiklah, kak Lita sekarang biarkan aku yang melanjutkan tugasmu mengenainya," kata Feili semangat.

Violita mengangguk, "baiklah aku akan melanjutkan pekerjaanku yang tertunda," katanya lalu ia beranjak sambil melambaikan tangannya.

Deva dan Feili ikut melambai juga sampai Violita berbalik. Deva mencondongkan tubuhnya untuk bertanya pada Feili, "pekerjaan?"

Feili mengangguk dengan senyuman senang di wajahnya, "pekerjaannya sama seperti saudara kembarnya itu, tetapi pastinya akan lebih mudah karena hanya ada sedikit orang di sini."

Deva mengangguk-angguk mengerti.

"Ayo, aku tak sabar mengenalkanmu pada yang lainnya," kata Feili semangat yang dibalas senyuman lebar dari Deva.

Deva diajak untuk berkeliling, bertemu dengan orang-orang yang ada di sana. Kebanyakan dari mereka menyambut Deva dengan ceria, ada yang menyambut Deva dengan biasa saja sampai cuek. Walaupun hanya beberapa orang, di... anggap saja kota, ini terdapat rumah makan dan toko roti dan toko-toko penjual makanan yang berbeda satu sama lainnya.

Terdapat pula pemahat kayu dan Batu yang saling bekerja sama. Semuanya tampak sangat bahagia di mata Deva. Bahkan sudah ada yang berkeluarga. Kota ini sangatlah damai. Terkahir, Feili mengajak Deva ke satu-satunya Taman yang hampir tak ada orang di sana. Mereka duduk di lapangan rumput dengan angin pelan yang entah dari mana datangnya.

"Apakah ini sudah semua?" tanya Deva.

"Aku rasa, kecuali kau ingin melihat kembali tempatmu datang," kata Feili sambil menunjuk Deva.

"Huh? Kenapa?"

"Aku yakin kau tidak menyadarinya," kata Feili sambil mengedipkan sebelah matanya yang membuat Deva melihatnya bingung.

.
.
.

"Wow, aku memang tak menyadarinya," kata Deva sambil melihat sebuah lingkaran lonjong yang melebihi tingginya.

Feili tertawa, "aku juga awalnya tak menyadarinya."

Deva menatap benda itu dengan bingkai yang seakan-akan benda itu adalah cermin dan warna di dalam cermin itu adalah warna persis yang ia lihat di pohon yang ia lewati bersama Devis. Pikiran Deva tertarik untuk menyentuh cermin itu, Feili hanya mengawasinya bingung. Deva dengan iseng memasukan tangannya dan tembus. Ekspresinya kaget dan melihat ke Feili yang tak terlihat kaget sedikitpun.

"Tembus!"

Feili tertawa pelan, "ya, aku pernah melakukannya. Bahkan aku pernah mencoba melewatinya."

"Lalu?" tanya Deva yang tertarik.

"Lihatlah aku, tidak ada yang terjadi. Aku hanya kembali lagi di tempat yang sama aku masuk walaupun mencoba berkali-kali," kata Feili sambil membuang pandangannya.

Deva melihat kembali kedepannya, menatap warna-warna yang tak tercampur rapi itu.

"Ayo kita kembali, sudah waktunya untuk mengisi kembali perut kita," kata Feili dengan gerakan tangan yang mengisyaratkan Deva untuk kembali.

Deva menghembuskan nafasnya pelan lalu mengangguk mengikuti Feili dari belakang.

Sesampainya mereka di kota, terlihat pesta kecil-kecilan dengan beberapa panggangan telah dipenuhi untuk lauk. Ternyata itu adalah pesta untuk menyambut kedatangan Deva. Mereka tertawa dan bergembira bersama walaupun ada dari mereka yang tidak terlalu membaur dengan yang lainnya.

Malam harinya, Deva telah memilih salah satu rumah sederhana untuk menjadi tempat tinggalnya. Ia berbaring di kamarnya yang hanya terdapat sedikit penerangan. Ia mengangkat tangannya dan melihat cincin yang ia pakai kini memutih hampir semuanya.

Deva merubah posisinya menjadi duduk lalu melihat lebih dekat cincinnya, tidak terdapat goresan atau apapun yang ganjil. Hanya warna putih yang hampir memenuhi seluruh cincinnya. Deva terdiam lalu mencoba mengabaikannya dengan cara tidur. Tetapi ia tak tau tepat setelah ia menutup rapat kedua kelopak matanya, seseorang dengan pakaian dan rambut serba putih sedikit kuning terlihat duduk di lantai dan melihat ke arahnya.

.
.
.

Esok paginya, Deva berjalan-jalan di sekitar kota yang sudah mulai beraktifitas. Sesekali ia membalas lambaian dan sapaan orang-orang. Ia berjalan menuju taman dan duduk di lapangan rumput itu sambil memandang langit yang seperti permen kapas itu. Ingatan malam itu kembali melintas di pikirannya yang membuat ia melihat cincinnya.

Kini warna putih itu benar-benar memenuhi cincinnya. Deva melepas cincinnya dan melihatnya dari jarak yang lebih dekat. Tak ada warna apapun selain warna putih.

"Ada sebuah ramalan mengatakan..." Deva berbalik dan menadapati seorang lelaki tua yang sebelumnya acuh terhadapnya sedang berjalan mendekatinya.

"...akan ada seseorang yang akan membebaskan mereka yang terkurung di dalamnya," kata lelaki tua itu, jika Deva tak salah ingat namanya adalah Ishak yang berhenti di dekatnya.

"Wah, bukankah itu ramalan bahagia?" tanya Deva gugup.

"Entahlah," kata Ishak sambil menutup kedua matanya, "aku tidak tau apa yang mereka pikirkan."

"Tetapi bagaimana caranya dia yang menjadi ramalan membebaskan yang lainnya?" hanya Deva.

"Kau tertarik?" tanya Ishak sambil menarik kedua ujung bibirnya.

"Ahaha... tidak mungkin, apa yang pak Ishak harapkan dariku?" Tanya Deva dengan nada ragu.

"Ramalan itu mengatakan orang itu mempunyai cincin berwarna putih," kata Ishak sambil melirik cincin yang sedang dipegang oleh Deva.

"Ahaha... hanya kebetulan," kata Deva ragu.

"Kau yakin seperti itu?" tanya Ishak sambil melihat ke depannya.

"Em... aku rasa... aku permisi dulu," kata Deva sambil beranjak.

"Ia akan membantumu," kata Ishak yang tetap pada posisinya.

"Maksud pak Ishak?" tanya Deva sambil menoleh ke arah pak Ishak.

"Kau akan tahu nantinya."

.
.

Di satu sisi, seseorang berdiri sambil menatap pohon yang terdapat lubang putih dengan berbagai warna cerah itu. Sesekali ia menghembuskan nafasnya yang terdengar sangat berat. Kedua alisnya tertekuk kebawah, memperlihatkan perasaan kerterhilangannya. Ia bahkan membiarkan angin menyibak rambut hitamnya pelan.

"Sudah lama?"

Seseorang itu melihat kesampingnya dan mendapati Devis sedang tersenyum dengan perasaan sedih kearahnya.

"Entahlah," katanya sambil membalas senyuman itu dengan senyuman kecil.

"Seharusnya aku yang berada di sana, bukan kau Hayate," kata Devis sambil mendekati seseorang tersebut, Hayate.

Hayate yang tertawa pelan dan membiarkan Devis mendekatinya lalu berhenti menghadap ke lubang pohon itu. Mereka berdua terdiam menatap ke arah yang sama dengan mata sedih.

"Aku kesal."

"Ini bukanlah salah..."

"Aku merasa lega. Aku kesal karena itu." Devis mengepalkan tangannya kesal sambil menunduk ke bawah.

"Kau pantas merasa lega," kata Hayate sambil melirik Devis.

"Tetapi ia!..."

"Bukan hanya kau, pasti. Tetapi kesedihan juga datang di saat yang sama untuk beberapa orang," kata Hayate sambil kembali melihat kedepan.

Devis memejamkan matanya erat dengan kedua alis tertekuk kebawah. Perlahan kepalan tangannya melonggar, "apakah percaya padanya masih berlaku?"

"Aku akan terus percaya padanya. Ia akan kembali. Pasti."

Devis menatap Hayate dengan tatapan tak percaya lalu tertawa pelan, "kau benar. Jika ada sesuatu yang tidak beres, kita hanya perlu mendatangi authornya dan menuntut padanya," canda Devis.

"Kau benar," kata Hayate sambil tertawa pelan.

.
.
.

Esok harinya Deva mendatangi cermin itu kembali. Ia duduk di dekat cermin itu dan hanya memandangi cermin tersebut.

Di waktu yang sama, Hayate juga duduk di dekat lubang pohon itu. Menatap lubang penuh warna itu dengan ekspresi yang tak bisa ditebak. Setelah beberapa detik ia berdiri dan mencoba menyentuh lubang itu tetapi ia tak bisa menembusnya. Hayate memukul lubang yang kini tak terasa seperti lubang dengan ekspresi kesal dan sedih yang bercampur di sana.

"(Aku mohon. Kembalilah. Deva.)"

Teman-temanya yang melihat dari jauh hanya terdiam. Merasakan kesedihan yang sama tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan.

Deva kini beranjak dan mencoba menyentuh cermin di depannya, seperti sebelumnya ia dapat menembusnya. Ia mengumpulkan keberaniannya sembari berjalan mundur lalu berlari cepat ke arah cermin itu sambil menutup mata. Setelah ia merasa telah melewati cermin itu ia membuka matanya.

Tepat apa yang dikatakan oleh Feili, ia kembali di tempat ia berlari.

"Kau ingin keluar?"

Deva membelakkan matanya dan melihat sekelilingnya tetap tak mendapatkan siapapun.

"Siapa itu?" tanya Deva sambil terus melihat sekelilingnya.

Tiba-tiba dari cincinnya keluar cahaya putih yang membuat Deva harus menutup kedua matanya. Setelah cahaya itu ia anggap hilang, dengan pelan ia membuka kedua matanya. Terlihat lelaki dengan rambut putih panjang sedang tersenyum kearahnya.

"Ubanan?"

"Kasar sekali, ini warna rambut asiku," kata lelaki itu sambil tertawa kecil.

"Hooh... eh tunggu, kau keluar dari cincin?!" seru Deva tak percaya.

"Itu benar, aku adalah seseorang yang memberikan kekuataan yin padamu," kata lelaki itu sambil tersenyum lembut.

"Eh lalu... eh tunggu, itukah mengapa kak Rafa bilang mengenai cincin yang memilih siapa pemiliknya?" tanya Deva yang sepertinya mengarah ke dirinya sendiri.

"Itu benar, adik perempuanku sepertinya tertarik dengan saudara laki-lakimu," kata lelaki itu sambil tertawa pelan.

"Wah, Devis punya fans sebelum ia populer..." kata Deva pelan.

"Lagi pula kekuatan kami berdua terlalu berbahaya jika di pasangkan untuk satu orang saja."

"Karena akan di salah gunakan?"

"Itu juga dan tubuh manusia tidak akan bertahan dengan kekuatan yang besar. Tetapi aku dan adik perempuanku harus tetap berdekatan," kata lelaki itu memasang wajah serius.

"Manusia?! Apakah ada yang selain manusia?!" tanya Deva kaget.

"Kau tidak tahu?"

"Ah, ini kan fantasy. Apapun dapat terjadi. Lalu, mengapa baru sekarang kau menampakkan diri dan boleh aku tau siapa namamu?"

"Kami hanya tinggal di dalam cincin, tanpa memiliki nama," kata lelaki itu sambil tersenyum.

"Baiklah aku panggil kau Yin... an! Yinan! Atau kau lebih memilih Yin An?" tanya Deva.

"Apapun itu bukanlah masalah untukku," katanya sambil terus tersenyum. "Lalu aku muncul karena ingin membantumu dan teman lama."

"Teman lama?"

Yinan mengangguk, "teman lama yang membuat pohon perlindungan ini," katanya sambil melihat sekeliling.

"Pohon perlindungan..." ulang Deva. "Apa kau tau cerita mengapa pohon ini dibuat?"

"Tentu aku tahu, tetapi tidak akan aku beritahu jika bukan ia yang menceritakannya," katanya dengan senyum yang membuat Deva kesal.

"Lalu, siapa teman lamamu itu? Apa dia ada di antara orang-orang di kota itu?" tanya Deva yang hanya di balas senyuman sampai kedua irisnya tak terlihat.

Deva kesal tetapi pikirannya tetaplah berjalan. "Apa jangan-jangan ia sudah meninggal?" Kini Yinan melihat keatas dan Deva merasa bahwa pikirannya kini benar.

Derap langkah kaki yang terdengar banyak menuju ke arahnya. Deva melihat siapa yang datang, ternyata orang-orang yang ada di kota berlari kearahnya dengan wajah kawatir. Sedangkan Deva menatap kedatangan mereka dengan bingung.

"Kemana saja kau?!" tanya Violita kawatir.

"Eh? Di sini aja kok," kata Deva kebingungan.

"Siapa dia?" tanya Feili sambil menujuk Yinan yang tersenyum dari tadi.

"Oh dia..."

"Deva."

"Ya?" jawab Deva bingung.

"Kau ingin menyelamatkan mereka dan mengetahui alasan dibalik ini?" tanya Yinan yang menghadap ke Deva.

"Kau tau bagaimana caranya?" tanya Deva.

Yinan melihat ke satu arah dan Deva melihat arah yang ia lihat. Ternyata ia melihat cermin yang tadi di lewati. "Aku sudah melewatinya," kata Deva.

"Aku akan memberikanmu kekuatan. Aku dapat mengirim dua sampai tiga orang, tetapi gantinya kau akan terasa lemas. Apakah kau siap?" tanya Yinan dengan ekspresi serius.

"Deva! Jangan bertindak gila!" seru Violita panik.

Deva terdiam lalu menunjukkan senyum sinisnya, "bukan aku namanya jika tidak bertindak gila. Yinan, pinjamkan aku kekuatanmu."

"Tentu saja," kata Yinan kali ini ia tersenyum lembut.

Yinan kembali masuk ke dalam cincin Deva dan pakian yang dipakai Deva berganti dengan pakaian yin. Ia menarik nafas lalu membuangnya pelan. Matanya terbuka memancarkan kesiapannya. Langkahnya mundur sedikit lalu berlari cepat menembus cermin tersebut.

Setelah kakinya menampakkan tanah, ia dapat melihat di depannya orang-orang di kota yang memasang ekspresi kaget dan ada yang hilang. Melihat hal itu senyuman Deva mengembang lalu ia memutar tubuhnya cepat dan kembali menembus cermin di depannya. Ia mengulang kembali beberapa kali dengan senyuman gembira dan mengabaikan seruan khawatir mereka.

Di satu sisi, mereka yang berada di dekat pohon itu mendengar sesuatu yang aneh. Saat mereka berbalik terlihat beberapa orang yang secara tiba-tiba muncul dan tergeletak di depan pohon. Salah satu dari mereka memberitahu sang Raja, anaknya dan beberapa orang lainnya.

.
.
.

Langkah Deva goyah setelah kesekian kalinya ia melewati cermin tersebut. Yinan keluar dari cincin dan memegang kedua bahu Deva.

"Kau sudah bekerja keras," kata Yinan sambil tersenyum.

Deva mengangkat wajahnya dan tidak melihat siapapun kecuali mereka. Tawa lega keluar dari mulutnya. Yinan hanya tersenyum melihat Deva. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekati mereka. Yinan sedikit bergeser sekaligus berbalik melihat siapa yang datang.

Helaian rambut berwarna pirang tersibak pelan mengikuti arah langkah kaki. Seorang wanita berhenti di depan mereka berdua dan menunjukkan senyum sedihnya.

"Lama tak berjumpa teman lama," kata wanita itu sambil terus tersenyum.

"Ya, lama tak berjumpa."

.
.
.
.
.
.

2600 kata. Pas.

Sorry.
My bad.

Ceritanya ternyata lebih panjang dari pada yang aku perkirakan. Bahkan sampai berat ngetiknya.
Maklum ngetik pake hp.

Masih ada lanjutan kok, cuman yang selanjutnya adalah yang paling terkhir. Mungkin bakalan pendek, tetapi semoga berkesan.

See you next chappie.

-(22/08/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro