23. Cerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah kepergian sang author, mereka masih diam di tempat mereka masing-masing.

"Kira-kira apa tantangannya?" tanya Edward.

"Melibatkan perasaan..." kata Shafira pelan dengan gaya berpikir.

"Melibatkan kesedihan? Akan ada yang mati?!" tanya Chloe kaget.

"Bukankah dia bilang tidak melibatkan fisik?" tanya Katryson.

"Eh iya, lalu apa?" tanya Chloe kembali.

"... apa... kejadian yang sama saat yang lalu?" tanya Hayate pelan.

"Apa? Deva menjadi es?" tanya Devis.

"Tetapi bukankah itu melibatkan fisik juga?" tanya Katryson.

"Melibatkan fisik atau luka fisik?" tanya Deva.

Pertanyaan Deva membuat suasana menjadi hening, sibuk dengan pikiran atau lebih tepatnya perkiraan mereka sendiri.

Tiba-tiba ketukan pintu yang sedikit terburu-buru membuyarkan pikiran mereka masing-masing. Leo yang paling dekat dengan pintu, membuka pintu itu dan mendapati kedua orang tua Deva dan Devis dengan ekspresi khawatir.

"Apa Deva di dalam?" tanya bunda Deva dan Devis, Manda.

"Ada apa?" tanya Deva sambil melihat ke pintu.

"Nak, berapa umurmu sekarang?" tanya Manda dengan raut kawatir.

"Umur?"

Devis langsung mendekati Deva dan memegang pundak Deva, "pulang ke bumi sekarang!" kata Devis tegas.

"Mengapa?" tanya Hayate bingung.

"Pulang," kata Devis tegas.

Deva tersenyum, "bukankah beberapa menit yang lalu si author mengatakan untuk percaya denganku?" tanya Deva.

"Tidak dengan yang ini. Pulang," kata Devis serius.

"Aku pikir gitu, lebih baik kau pulang," kata Katryson sambil mendekati Deva.

"Sebenarnya ada apa?" tanya Chloe bingung.

"Tidak." Devis menatap Deva tak percaya dan kesal.

"Aku tidak akan kabur. Ini harus di jalani, bukan bersembunyi," kata Deva sambil tersenyum mantap.

Sebelum Devis membuka mulutnya, terdengar langkah yang seperti para prajurit dengan seragam besinya. Saat Devis berbalik, salah satu prajurit dengan pangkat tertinggi sudah berada di sebelah ayah Deva dan Devis.

"Aku rasa kalian sudah mengetahui alasan kami datang kemari," kata prajurit itu.

Devis berdiri di depan Deva, seakan-akan melindunginya dari sesuatu. Deva yang melihat itu menghela nafas pasrah, ia tau apa yang sebenarnya terjadi berbeda dengan teman-teman sebuminya.

.
.
.

Mereka sampai di istana dengan para prajurit menghadap ke Raja dan putrinya,  Lillia yang sedang menatap Deva dan Devis kawatir.

"Ayah, apakah kau harus melakukan ini?" tanya Lillia cemas.

"Peraturan adalah peraturan," kata Raja sambil memejamkan kedua matanya.

"Tetapi ayah, mereka telah menyelamatkanku!" seru Lillia.

"Lillia." Ayahnya menatap Lillia dengan pandangan yang mengartikan sesuatu.

Lillia menunduk dengan kedua alis tertekuk dan kedua tangannya meremas pakaiannya.

"Kalian sudah tau mengapa kalian di panggil?" tanya sang Raja yang suaranya menggema di seluruh ruangan itu.

Devis dan Deva mengangguk bersamaan.

"Tidakkah kau memberi keringanan pada mereka? Mereka telah menyelamatkan anakmu dan Deva baru saja melewati kematian," kata ayah Deva dan Devis, Hans.

"Maaf, ini adalah pertarutan yang telah turun temurun. Aku tak dapat melakukan apapun," kata sang Raja sambil menggeleng.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Edward membuka suara.

"Kalian belum tahu?" tanya sang Raja sedikit.

Hayate, Edward, Shafira dan Chloe menggeleng serempak.

"Di dunia ini tak percaya dengan adanya saudara kembar," kata sang Raja yang membuat mereka berempat kaget. "Mereka mengatakan bahwa saudara kembar adalah seseorang yang terlahir menjadi dua orang. Salah satu dari mereka adalah palsu."

"Itu tidak dapat di percaya!" seru Shafira kesal. "Hal itu tidak mungkin terjadi!"

"Tetapi itulah kepercayaan di dunia ini," kata sang Raja sedangkan yang lainnya hanya terdiam.

"Lalu bagaimana cara kalian mengetahui yang palsu dengan yang asli itu?" tanya Edward dengan ekspresi kesal.

"Edward!" seru Shafira kesal.

"Tentu saja sebagian besar dari mereka akan saling melindungi bukan?" lanjut Edward tanpa memperdulikan seruan Shafira.

Raja mengangguk, "karena itulah aku memanggil mereka berdua, tetapi kalian juga ikut," kata sang raja terdengar pasrah.

"Tentu saja kami akan ikut," kata Hayate serius.

Sang Raja di susul oleh Lillia turun dari kursinya dan beranjak menuju satu pintu.

"Ikut aku," kata sang Raja sembari berjalan.

Semuanya mengikuti sang Raja dan Lillia dari belakang kecuali para prajurit.

Setelah berjalan agak lama, sesampailah mereka di sebuah pohon dengan lubang berwarna putih bercampur dengan sedikit warna ungu, biru, pink dan kuning.

Tiba-tiba saja Devis menarik Deva menjauh.

"Hei! Kenapa?!"

"Kau harus pulang," kata Devis serius.

"Sek! Jangan tarik-tarik dulu!" seru Deva sambil mencoba menghentikan Devis.

"Lalu apa?" Devis berbalik dengan ekspresi marah, "kau ingin mengatakan padaku untuk percaya padamu lagi? Tidak akan!"

"Oke itu artinya kata-kata itu telah kadaluarsa untukmu," kata Deva pelan.

"Tentu saja! Ini menyangkut nyawamu!" seru Devis penuh amarah.

"Begitu juga nyawamu kan?" tanya Deva sambil tersenyum kecil yang membuat ekspresi Devis berubah menjadi sedikit kaget. Pegangannya yang tadi sempat mengerat kini melonggar.

Deva menarik tangannya dari genggaman Devis lalu menepuk pundak saudara kembarnya itu. "Aku tau kau takut akan hal itu," katanya sambil tersenyum.

Ekspresi Devis kini terlihat sendu, "kau tidak?"

Deva hanya menjawab pertanyaan Devis dengan senyuman tulus. Yang membuat Devis membuat nafasnya kasar sambil tersenyum kecut.

"Kau benar-benar tidak kaget bahkan sangat biasa saja mengenai hal ini," kata Devis dengan senyum mengejek.

"Aku sudah mengetahui mengenai kepercayaan ini saat melihat-lihat tab lalu bukankah aku sudah melewati krisis nyawa beberapa kali?" tanya Deva dengan senyum sinisnya.

"Baiklah sepertinya percaya padamu belum kedaluarsa penuh," kata Devis sambil tertawa.

"Kalau begitu sekarang prakteknya. Apa kau siap, saudara kembar?" tantang Deva.

"Ada masalah dengan nada suaramu," kata Devis sambil berjalan kembali menuju teman-teman dan yang lainnya.

Deva tertawa pelan lalu mengikuti Devis dari belakang.

"Akan aku jelaskan sebelum kalian masuk, walaupun kalian berdua telah mengetahui ini," kata sang Raja setelah Deva dan Devis telah sampai di dekat pohon itu.

Anggukan serempak dari keduanya menjadi jawaban mereka.

"Nanti kalian berdua akan masuk, hanya perlu berjalan lurus. Kalian dapat menutup mata kalian lalu buka mata kalian saat dirasa sudah kalian telah mencapai tujuan. Yang kembali kemari adalah yang asli," kata sang Raja dengan ekspresi datar. "Kalian mengerti?"

Sekali lagi mereka menjawab hanya dengan anggukan. Devis menarik nafasnya untuk menenangkan dirinya. Deva sedikit menundukkan badannya dan melihat Devis yang sedang kacau.

"Apa yang ingin kau lihat huh?" tanya Devis dengan senyum kecut.

"Hanya ingin melihat apakau kau siap atau tidak," kata Deva dengan senyum lebar sembari menegakkan kembali badannya.

"Kira-kira siapa diantara kita yang akan keluar?" tanya Devis.

"Entahlah, aku tidak tau," kata Deva dengan wajah polosnya.

Devis tertawa pelan, "aku takut untuk menghilang tetapi kau adalah seseorang yang diingankan oleh mereka."

"Begitu juga kau." Devis melihat kearah Deva yang tersenyum. "Kau diperlukan di dunia ini. Kau adalah sudah di pilih menjadi penyihir elit bukan? Kau juga terlihat terkenal, itu artinya keberadaanmu juga sangat dibutuhkan," kata Deva lalu tersenyum lebar.

"Kau masih bisa tersenyum selebar itu dalam keadaan seperti ini? Bahkan yang lainnya hanya terdiam dari tadi," kata Devis menunjuk orang-orang yang terdiam itu.

"Karena kita tak tau apa yang akan terjadi nantinya," kata Deva setelah melihat ke arah teman-temannya.

"Apakah kalian siap?" tanya sang Raja memotong percakapan mereka berdua.

Deva mengulurkan tangannya di depan Devis, menawarkan untuk saling bergandengan tangan. Devis membuang nafas sambil tersenyum kecut lalu menerima uluran tangan Deva.

Mereka berdua melihat lubang putih dengan beberapa warna yang bergerak pelan. Deva mengeratkan pegangan tangannya untuk menghibur Devis. Akhirnya mereka berjalan bersamaan masuk kedalam lubang putih itu. Mereka yang melihat hal itu hanya dapat berdoa dalam hati. Karena keberadaan mereka berdua sama pentingnya.

Di dalam, Deva dan Devis saling memejamkan mata dan terus bergandengan. Mereka saling mengatakan sesuatu di dalam pikiran mereka. Memohon sesuatu sambil terus berjalan sampai salah satu dari mereka akan keluar.

Tak ada suara yang lewat, hanya ada suara langkah kaki mereka yang menghiasi suara tempat itu. Sampai akhirnya terasa sayup-sayup angin yang menggantikan suara langkah kaki mereka.

Sepasang kaki telah menginjakkan rumput, sang empunya kaki merasa takut untuk membuka matanya. Sedangkan yang melihat tak percaya siapa yang baru keluar dari lubang itu.

Sepasang mata membuka kelopak matanya perlahan. Terlihat orang-orang yang menatapnya dengan tatapan kaget, senang dan sedih. Ia melirik ke arah telapak tangannya dan menyadari sesuatu, ia telah kehilangan saudari kembarnya. Ia berlutut lalu memukul tanah di depannya dengan kesal.

Seorang wanita patuh baya mendekatinya dan mengelus bahunya, "ini bukan salahmu, ini bukan salahmu," bisiknya purau, dapat terdengar jelas bahwa ia sedang menangis.

Lagi-lagi ia memukul tanah di depannya, ia menumpahkan segala kekesalannya dengan apa yang ia rasakan. Ia merasa sangatlah lega karena ia dapat kembali, tetapi hasilnya saudarinya telah hilang di dalam lubang itu. Bahkan ia tak sadar bawah pegangan mereka telah terlepas.

.
.
.
.
.

Masih ada lanjutan, maaf menggantung.

-(19/08/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro