JALAN KEEMPAT: ANGGOTA BARU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiana membawa mereka berdua menuju gua, gua yang memiliki pintu lubang yang cukup besar dan terlihat menyeramkan.

"Ini tempat persembunyiannya," jelas Tiana.

"Vanili, ayo kita masuk."

"Tu-Tunggu aku!" Mereka berdua memasuki gua itu.

Setelah cukup dalam masuk, mereka baru menyadari kalau sang pengantar tidak ikut masuk. Mereka berbalik dan melihat sang pengantar yaitu Tiana sedang memegang sebuah bola bom.

"Maaf, tapi kalian harus tinggal di sini dulu." Tiana langsung melempar bom itu ke bagian atas lubang pintu gua.

Ledakannya cukup besar, saking besarnya sampai reruntuhannya berhasil menutupi pintu masuk gua ini. Alhasil, gua ini gelap, saking gelapnya Likyter dan Vanili tidak bisa melihat satu sama lain.

"Eh? Apa ini?" Likyter meraba sesuatu di lengan kirinya.

"KYA!" teriak Vanili.

"Ma-Maaf!" Ternyata Likyter tadi meraba dada Vanili. "Apa kau sedang memeluk lenganku?"

"I-Iya! Memangnya masalah?!"

"Tidak, jujur aku sedikit senang... Aw!"

"Mesum!"

"Mau bagaimana lagi, aku ini kan laki-laki! Kalau begitu, jangan memelukku!" Tapi, Likyter masih merasakan sesuatu yang lembut itu di lengannya. "Sepertinya kita dijebak... Vanili, apa kau ketakutan?"

"Ti-Tidak, aku tidak takut!"

Likyter tidak membalasnya, karena dia bisa tahu dari getaran tubuh Vanili yang dapat dia rasakan. "Maaf, Vanili, tapi ini adalah rencanaku."

"A-Apaaa!!"

"Aww!! Kenapa aku dicubit?!"

"Mesum! Hidung belang! Genit!"

"Kenapa aku dikatain begitu?"

"Kau bilang merencanakan ini, kan! Kau ingin meraba tubuhku dan melakukan hal yang tidak senonoh kepadaku, kan!?"

"Kalau begitu, cepat lepaskan pelukanmu." Tapi, Likyter tetap merasakan kelembutan itu. "Maksudku, bukan rencana untuk memp*r*osamu. Melainkan untuk mencari tempat persembunyian yang sebenarnya teman yang dikatakan sedang dirasuki itu. Lagipula, kalau memang aku ingin melakukan hal-hal yang mesum kepadamu, aku akan melakukannya di tempat yang cerah supaya bisa melihat jelas tubuhmu yang i... Aw!" Likyter merasa lengannya dicubit lagi.

"Ta-Tapi kita kan terjebak di sini, bagaimana caranya kau bisa tahu tempat persembunyian mereka?"

"Tenang saja, tadi aku sudah menempelkan alat pelacak kepada Tiana. Jadi, sekarang kita bisa mengetahuinya."

"Kita kan masih terjebak di gua ini, percuma saja kalau kau sudah menempelkan alat pelacak itu."

"Tenang saja, masalah itu aku bisa mengatasinya. Tapi, pertama-tama lepaskan dulu pelukanmu, aku jadi tidak bisa berkonsentrasi." Mungkin Vanili ragu-ragu, buktinya Likyter masih merasakan kelembutan itu. "Hanya sebentar saja, kok." Lalu lengan kiri Likyter tidak merasakan kelembutan itu lagi.

Likyter mengambil senjata yang di punggungnya, lalu mengarahkan mata senjatannya ke depan, tepatnya tempat tumpukan batu yang menutupi pintu gua. Lalu cahaya biru keputihan muncul dan berkumpul di ujung mata senjata, sekarang gua ini tidak terlalu gelap. Setelah cahaya itu membentuk bola yang cukup besar, Likyter melepaskan cahaya itu. Anehnya, saat cahaya itu membentur batu-batu itu, terjadi ledakan tapi tidak mengeluarkan suara sekeras yang diperkirakan. Anggap saja seperti ada angin yang mendorong kuat batu-batu itu, jadi tidak ada reruntuhan yang jatuh lagi.

Sekarang mereka bisa merasakan sinar matahari. Mereka keluar dari gua, dan Vanili menyadari satu hal yang aneh. "Likyter, kenapa kau menutup hidu... Ah! Ada darah yang keluar!"

"Ti-Tidak apa-apa, aku baik-baik sa..."

Lengan Vanili langsung melepaskan tangan kanan Likyter yang menutupi hidungnya yang mengeluarkan darah. "Biar aku obati!"

Vanili mengeluarkan kotak P3K dari Bag-nya. Dia menyuruh Likyter untuk duduk, dan membiarkan Vanili untuk membersihkan hidungnnya dulu.

"Kenapa hidungmu bisa berdarah? Apa ada pecahan batu yang mengenaimu tadi?" cemas Vanili.

"Se-Sebaiknya kau obati saja lukaku ini." Sebenarnya Likyter tidak terluka, melainkan mimisan karena terangsang.

Setelah selesai membersihkan hidung Likyter, Vanili tidak melihat ada luka di sekitar hidungnya. "Mungkin hanya mimisan. Kalau begitu, sumpal hidungmu dengan kapas ini."

"Tidak perlu, nanti orang mengira aku ini pocong atau mayat hidup. Lagipula, nanti aku susah napas. Aku sudah baikkan, kok."

"Baiklah." Vanili menutup kotak P3K-nya, lalu menyimpannya kembali ke Bag. "Kalau begitu, bagaimana dengan rencanamu tadi?"

"Oh iya." Likyter mengeluarkan ponselnya, dan menekan aplikasi pencarian. Aplikasi untuk melacak GPS yang sudah dipasangkan. "Ternyata tidak terlalu jauh."

"Kalau begitu, ayo kita pergi."

"Tunggu, Vanili. Ada sesuatu yang harus kita lakukan dulu."

***

Tiana menghampiri gadis berambut hitam pendek yang sedang membelakanginya, sekarang mereka berada di sebuah tempat yang tanahnya tandus dan tempat ini cukup luas. Gadis berambut hitam itu berbalik dan melihat Tiana, gadis manis bermuka dengan lumuran darah. Gadis itu bertubuh sedikit lebih pendek dari Tiana, berkulit putih, menggunakan seragam yang sama dengan Tiana, iris mata hitam, dan ada katana di tangannya.

"Ti-Tiana..." Gadis itu memasang wajah ketakutan dengan berlinang air mata yang sedikit menghapus darah di wajahnya. Tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya dan katanannya.

"Rina!" Tiana langsung berlari untuk menangkap tubuh temannya itu. Berhasil ditangkap, sekarang mereka sedang duduk, kaki mereka membentuk M. "Sudah, tenang saja, aku ada di sini." Tiana memeluk temannya yang sedang bersedu-sedu itu.

"Menjauhlah, Tiana..."

"Apa?"

"Menjauhlah dariku! Aku tidak ingin membunuhmu!!"

Belum sempat Tiana menyampaikan kalimatnya, udara yang dahsyat menghempaskan Tiana. Untung saja dia bisa memutarkan tubuhnya dan mendaratkan kakinya dulu. Sekarang Tiana melihat temannya itu berubah menjadi gadis berambut biru cerah, matanya putih dengan tatapan yang kosong, ada aura yang menyeramkan di sekitar tubuhnya, dan dia sekarang terlihat sama dengan Tiana. Bisa dibilang mereka saudara kembar, tapi Tiana tidak akan menerimannya, karena sosok itulah yang dibenci olehnya.

"Kembalikan Rina!"

"Hahahaha, sayangnnya aku tidak bisa. Aku akan mengembalikannya setelah membunuhmu!" Dengan cepat Rina yang dirasuki melesat dan mengayunkan katanannya itu.

Tiana menyadari serangannya itu, lalu menggulingkan badannya ke samping. Saat dia bangkit dari hindarannya, Rina atau tepatnya roh yang merasuki Rina, sudah ada di depannya dan langsung menendang perut Tiana. Tiana terdorong cukup jauh, dia memegangi perutnya itu. Saat itulah, sesosok di depannya langsung melesat dan mengayunkan katanannya tepat menuju leher.

Tiana bisa saja menghindar, tapi sakit yang dirasakannya membuat dia sulit bergerak. Tiana langsung refleks menutup matanya, pasrah dengan apa yang akan terjadi. Tapi... Tiana tidak merasakan sesuatu yang menyakitkan, melainkan sesuatu yang keras sedang memegangi tubuhnya, tepatnya dadanya.

"Sepertinya aku datang tepat waktu." Tiana membuka matanya, lalu melihat di depannya sudah ada senjata aneh setengah pedang dan lance sedang menahan katana yang akan menyerang lehernya itu.

Rina... tepatnya makhluk yang mengendalikan tubuhnya pun meloncat ke belakang untuk menjauh. "Kau... siapa?"

"Namaku Likyter, aku datang untuk menolong gadis ini."

Tiana pun melihat ke belakang punggunya, ternyata benar itu adalah Likyter. Likyter begitu dekat sekali, sehingga Tiana sedikit merasakan malu.

Tiana hendak memanggil Likyter, tapi karena dia menyadari sesuatu yang aneh memegangi dadanya membuat dia melihat ke arah dadanya. Ternyata, ada sebuah tangan yang dilapisi sarung tangan dengan lengan jaket jeans sedang memegangi dadanya. "KYAAA!!" Tiana langsung mengarahkan sikunya ke pipi Likyter. "Mesum!! Genit!!"

"Ke-Kenapa malah dikatain mesum dan genit? Bukannya berterima kasih!" protes Likyter sambil mengusap pipinya yang kesakitan itu.

"Ka-Kau sudah memegang dadaku!! Dasar, mesum! Pria menjijikan! Hidung belang!" Tiana pun menutupi kedua dadanya dengan kedua tangannya.

"Eh? Tadi aku memegang dadamu..." Likyter melihat telapak tangan kirinya, lalu menggerakkan kelima jarinya. "Oh iya, tadi aku merasakan sedikit gumpalan le..."

*DUKK

Sebuah tinju berhasil mendarat ke perut Likyter. "Mati saja sana!!" Tiana mengangkat tangannya lagi, bersiap untuk meninju kedua kalinya.

"Tu-Tunggu dulu! Kau bisa menghajarku nanti, tapi sekarang kita harus mengurusnya dulu."

Sepertinya musuh yang sedari tadi diabaikan seperti patung yang berpose menyerang itu, akhirnya mengeluarkan aura dendam. Wajar saja dia terlihat lebih marah, selain diabaikan, dia melihat sesuatu yang menjijikan, karena dia juga perempuan.

"Ini, ambil." Likyter melempar sebuah tombak dengan tongkat kayu panjang, ujungnya mirip dengan trisula, dengan kain merah yang terikat di bagian bawah trisula. "Sebaiknya kau yang menghadapinya."

"Ke-Kenapa kau menyerahkan tombak?"

"Kau ini bukan pengguna katana, melainkan tombak, kan."

"Kenapa kau bisa tahu?"

"Dilihat dari pertarunganmu denganku waktu pertama kali bertemu. Posisi tanganmu cukup berjauhan saat memegang pegangan katana, itu membuktikan kalau kau terbiasa memegang senjata yang panjang. Kau selalu menyerang dengan cara menusuk, itu membuktikan kalau kau selalu menggunakan senjata yang tajam di ujungnnya. Kemungkinan kau menggunakan lance atau tombak, tapi karena kuda-kudamu yang meletakkan katana di samping kakimu, dipastikan kalau kau pengguna tombak. Selain itu, kau selalu meloncat ke belakang, itu tidak cocok untuk pengguna pedang."

"Lalu, tombak ini dapat darimana? Kelihatannya aku belum melihat tombak semacam ini?"

"Itu tombak yang kudapatkan setelah mengalahkan boss di kerajaan... aku lupa lagi namanya... Intinya, aku kebetulan punya. Inginnya sih aku menjualnya, tapi sayangnya senjata itu tidak punya harga."

Tidak semua senjata bisa dijual karena berbagai alasan. Ada yang tidak bisa digunakan, sudah tidak utuh, langka sehingga sulit menentukan harganya, atau tidak ada yang minat dengan senjatanya. Dalam kasus ini, tombak itu adalah pilihan ketiga. Selain terlihat kuno, tombak itu seperti tombak biasa yang tidak bisa mengalirkan sihir.

"Apakah kalian selesai berbicaranya?" kesal sang musuh. Dia telihat sangat kesal, karena selalu diabaikan.

"Maaf." Likyter berbalik dan menjauh, tapi dia langsung berhenti dan membalikan badannya. "Aku serahkan padamu. Cukup buat dia kelelahan, biar aku urus selanjutnya." Likyter menunjukkan sebuah pisau kecil dengan gagang putih.

Setelah menunjukkan pisau itu, Likyter kembali berjalan, menjauh dari area pertarungan. "Baiklah." Tiana memutarkan tombaknya, dan memasang kuda-kudanya.

Tubuh Rina menyerang, dia mengayunkan katanannya secara horizontal. Tiana menahannya dengan tongkatnya, anehnya tongkat itu tidak terbelah walau terkena benturan benda tajam. Tubuh Rina memutarkan badannya untuk menyerang ke sisi lain, Tiana memutar tombaknya lagi untuk menahan serangan. Lalu Tiana langsung menendang perut tubuh Rina itu, kemudian menancapkan ujung tombak ke tanah, melayang memutar mengitari tombak sambil menendang perut tubuh Rina sekali lagi. Tubuh Rina memegang perutnya, dan Tiana memutarkan tombaknya untuk menipu akan serangan selanjutnya. Ternyata serangan selanjutnya adalah tusukan bagian bawah tombak yang tidak tajam ke arah bahu kirinya. Selanjutnya Tiana menyerang dengan tendang samping kiri yang diarahkan ke tangan kanannya, berhasil menjatuhkan katananya cukup jauh.

"Sial!" Tubuh Rina mengarahkan pandangnnya ke depan, yang awalnya teralih ke bahu kirinya. Tapi, di depan tidak ada Tiana.

"Aku di sini!" Ternyata Tiana sudah memposisikan tubuhnya rendah miring ke depan, kaki kanannya di depan memanjang. Secara cepat dia menyerang dagu tubuh Rina dari bawah.

Tubuh Rina terangkat ke udara, kesempatan itu diambil untuk serangan Tiana selanjutnya. Tiana menancapkan tombaknya ke tanah, lalu melayang mendaratkan tendangannya menggunakan tombaknya sebagai penompang tubuhnya, tepat di punggung tubuh Rina. Tubuh Rina terhempas dan mendarat ke tanah.

Rina sekarang dalam keadaan tergeletak tak berdaya, kesempatan itu diambil Likyter. Dia berlari ke arah tubuh Rina yang tergeletak, lalu menancapkan pisau kecil putih ke paha tubuh Rina. Setelah darahnya keluar cukup banyak, Likyter melemparkan pisau itu ke tanah dekat katana itu tergeletak.

*DHURR

Pisau kecil itu seketika berubah menjadi sesosok pria berambut biru, dengan baju zirah ala samurai, tidak lupa dengan ikat kepala warna putih. Sesosok pria itu mengambil katanannya.

"Rina!" Tiana membiarkan tombaknya tertancap, dan lari mendekati teman baiknya yang tergeletak terluka di pahanya. Tiana meletakkan kepala temannya di lengan sebagai bantalan.

Dengan susah payah, temannya ini melihat ke arah teman yang sedang mengeluarkan air mata. "Ti-Tiana... Maaf..."

"Ti-Tidak perlu minta maaf! Aku yang seharusnya meminta maaf!" Temannya ini membalas dengan senyuman tipis, lalu menutup matanya. "Rinaaa!!"

"Tenang saja, dia hanya pingsan. Sebaiknya kau cepat bawa dia ke gua yang rencanannya akan mengurung kami, di sana sudah ada Vanili dengan peralatan pengobatan yang cukup."

"Ta-Tapi..."

"Serahkan saja kepadaku, sekarang giliranku untuk melawannya. Kau tidak ingin kehilangan temanmu lagi, kan?"

"Ba-Baik!" Dengan digendong ala putri, Tiana pergi meninggalkan Likyter sekaligus roh yang merasuki tubuh temannya.

"Apa kau yakin? Aku ini kuat, loh," sombong roh itu.

"Benarkah? Tapi tadi kau kalah dengan mudahnya."

"Tadi itu aku menggunakan tubuh perempuan, selain itu staminannya berkurang karena dia mencoba memberontak melawan perintahku." Roh itu pun memasang kuda-kudannya.

Likyter mengubah senjatanya menjadi lance. Dia mengangkat lance ke depan, memegang bahu kanannya dengan tangan kiri, mirip seperti seorang pemukul baseball yang bersiap untuk memukul. "Baik, aku akan mengalahkanmu dengan satu pukulan home run." Ternyata benar, dia memasang kuda-kuda untuk memukul. Kedua tangannya memegang kuat pemegang lance, memiringkan posisi tubuh dengan bahu kanan di depan, dan memposisikan lancenya tegak ke atas, diposisikan di samping kepalanya.

Sesosok roh rambut biru itu berlari dan bersiap untuk menyerang. Saat hampir dekat, Likyter mengayunkan seperti seorang pemukul yang berusaha untuk memukul bola baseball supaya tidak strike. Tapi, sayangnya roh itu bisa menyadarinya lalu meloncat ke depan dan mengangkat tinggi-tinggi katananya. Tapi, Likyter langsung memutarkan kaki kiri yang diletakkan di belakang, seperti seorang penari. Karena putarannya tadi, lance-nya berhasil menghantam perut roh itu.

Roh itu terhempas lagi, dan punggungnya menggesek dengan keras tanah tandus ini. Bekas gesekan punggungnya cukup panjang, karena pukulan Likyter benar-benar membuatnya home run. Entah sejak kapan, seorang pria muda yang tak lain adalah klien quest ini sudah ada di atas kepala roh itu yang tergeletak.

"Ini untuk keluargaku!" Klien itu mengangkat katana milik Likyter, lalu menusuknya tepat ke kepala roh itu. Seketika wujud roh itu pecah menjadi cahaya hitam, dan menghilang.

***

Pisau kecil berwarna putih yang digunakan Likyter adalah Tial. Tial adalah senjata yang digunakan untuk mengubah roh jahat atau jenis roh apapun menjadi wujud yang nyata, bisa dibilang tidak tembus pandang. Cara kerja senjata ini adalah menghisap roh itu, setelah berhasil dihisap, cukup dilempar ke mana saja dan senjata itu akan berubah menjadi roh itu. Karena roh memasuki tubuh makhluk hidup, maka caranya cukup kejam, yaitu dengan menusukkan senjatanya ke badan dan tunggu sampai dia mengeluarkan darah. Jadi, saat menggunakan senjata ini harus menusukkannya ke tubuh yang tidak mengakibatkan luka fatal.

Setelah itu, Rina diadili begitu juga dengan Tiana. Walau roh itu adalah pelakunya, tapi tetap saja roh itu tidak akan melakukan itu kalau Rina tidak melakukan kontrak dengan roh itu. Sebenarnya, Rina bisa dirasuki oleh roh itu karena dia diculik dan dipaksa oleh seseorang berjubah hitam. Karena alasan itu, Rina dibebaskan. Beda dengan Tiana, karena sangat jelas membantu menyembunyikan kebenaran pembunuhan, dia dijatuhkan hukuman penjara selama tujuh tahun. Tapi, dia dibebaskan karena denda yang berjumlah lima juta tiga ratus tujuh puluh gil berhasil ditebus oleh Vanili, dan tentu saja ditambah pembelaan dari Likyter, Vanili, Rina, dan klien quest yang tak lain adalah salah satu korban selamat pembantaian.

Setelah kasus itu selesai, dan mendapatkan hadiah yang dikali lipatkan. Likyter dan Vanili akan pergi menuju desa selanjutnya.

"Terima kasih banyak, Vanili, Likyter," ucap Rina.

"Te-Terima kasih..." ucap Tiana malu-malu.

"Sama-sama, tapi sebenarnya ini semua berkat Likyter."

Mereka berdua langsung menatap Likyter. "Terima kasih, Likyter."

"Terima kasih..." Tiana memalingkan wajahnya, beda dengan Rina yang berani memberikan senyuman hangatnya.

"Ya-Yang paling berjasa adalah Vanili. Kalau dia tidak ada, aku tidak akan bisa membeli Tial dan membayar denda hukuman Tiana," balas Likyter.

"Jangan merendah begitu, Likyter. Kau terlihat tidak seperti biasanya." Vanili pun memberikan senyumannya.

Likyter hanya bisa memalingkan wajah malunya. "Kalau begitu, kami pergi dulu."

"Apa tidak terlalu cepat untuk pergi? Sekarang masih pagi"

"Kami ada urusan, jadi tidak bisa berlama-lama di sini. Ayo, Vanili."

Mereka saling melambaikan tangan. Setelah mereka cukup jauh, Rina berbalik badan dan berjalan memasuki desa. Tapi, Tiana hanya diam saja, melihat punggung mereka yang sudah pergi. Menyadari itu, temannya ini memegangi pundaknya.

"Sebaiknya kau pergi."

"Ta-Tapi..." Tiana melihat ke perban yang menyelimuti paha temannya.

"Tenang saja, aku baik-baik saja. Belakangan ini aku selalu merepotkanmu, mungkin saja kau bosan. Jadi, kau berpetualang saja dengan mereka. Mereka sepertinya membutuhkan party baru." Tiana menundukkan kepalanya, tapi pandangannya mengarah ke arah mereka pergi. "Aku ingin kau bahagia, kau senang kan kalau menjadi petualang lagi?"

Tiba-tiba air mata keluar dari mata Tiana. "Ri-Rina..." Tiana pun mengusap air matanya. "Aku..."

"Sudah, pergi saja. Aku baik-baik saja, sekali-kali kau hubungiku, ya?"

Tiana mengangguk dengan senyuman. Dia langsung berlari menuju arah Likyter dan Vanili berada, lalu berbalik lagi. Dia melihat Rina tersenyum bahagia. "Nanti aku akan menghubungimu!" Setelah meneriaki itu, Tiana kembali mengejar mereka.

"Hati-hati, Tiana."

Tiana sekarang bisa melihat punggung mereka. "Kalian!!" teriaknya.

Mereka berdua berhenti dan berbalik arah. Mereka bisa melihat Tiana yang sudah dekat sedang memegang kedua lututnya dan mengatur napas karena kecapean.

"Aku akan bergabung!" terang Tiana setelah mengatur napasnya.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Likyter.

"Bagaiamana dengan Rina?" lanjut Vanili.

"Dia sudah mengijinkanku, lagipula aku tidak enak hanya berterima kasih saja. Aku akan ikut dengan kalian sampai hutang untuk membayar denda hukumanku lunas!"

"Kau juga..."

"Terima kasih, Tiana."

"Oh iya, dan satu hal lagi."

*DUK

Satu pukulan berhasil mendarat ke perut Likyter. "Sesuai janji."

"Janji?" bingung Vanili.

"Iya, katanya aku boleh memukulnya... tepatnya melanjutkan pukulanku karena sudah memegang dadaku."

"Oh..." Vanili memasang wajah datarnya. "Likyter, bisa kau jelaskan, kenapa kau melakukan itu?" Sekarang wajahnya berubah menjadi menyeramkan, ada hawa membunuh melekat di tubuhnya.

"I-Itu... ha-hanya kecelakaan..."

Tapi Vanili tidakmengubah tatapan menyeramkannya, sehingga Likyter harus mengeluarkan keringatdingin. Perempuan memang makhluk yang menyeramkan, pikir Likyter.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro