JALAN KETIGA: ANALISIS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Baiklah, aku akan menjawabnya." pasrah Likyter karena dihadapkan oleh pemandangan wajah memohon Vanili. "Kau lihat ada keanehan dari gadis itu?" tanya Likyter.

"Keanehan?" Vanili berusaha mengingat kejadian dan ciri-ciri gadis itu. "Dia menggunakan seragam?" jawab simple Vanili.

"Itu tidak ada hubungannya."

"Apa karena dia perempuan?"

"Perempuan juga bisa jadi pembunuh."

"Kalau begitu, karena dia cantik jadi kau berpikir dia bukan pembunuhnya?"

Wajah Vanili tiba-tiba didekatkan ke wajah Likyter, wajahnya mencerminkan kalau dia ingin mendengar jawabannya dengan pasti.

"Bukan, bahkan kecantikan bisa menjadi senjata pembunuh. Sudah kubilang keanehan, bukan ciri-cirinya."

"Kalau begitu, apa keanehannya?"

Wajah Vanili masih dekat, Likyter harus memalingkan pandangannya dulu karena malu melihat wajah manis Vanili. Karena merasa diabaikan, Vanili langsung mengembungkan kedua pipinya. Akibatnya Likyter semakin merasa tegang dan malu.

"Kau lihat katananya, kan? Apa di katana itu ada darah? Dan di seragamnya, apakah ada darah?" terang Likyter, masih memalingkan wajahnya.

Vanili menjauhkan wajahnya untuk berpikir. "Seingatku tidak ada."

"Tapi, darah mayat itu terlihat masih segar, kan?"

"Be-Benar juga! Tapi, bisa saja dia menggantikan senjata yang berlumuran darah itu dengan yang baru."

"Senjata mungkin bisa disembunyikan di Bag, tapi kalau seragamnya? Kalau pun diganti, memangnya dia mau mengganti pakaian di tempat terbuka?"

"Be-Benar juga..."

"Mungkin pembunuh yang asli sudah pergi, dan kebetulan gadis itu ada di sana. Tapi, itu tidak bisa dijadikan bukti. Jadi, kita akan mencari informasi tentang pembantaian panti asuhan."

"Eh? Kenapa kita harus mencari informasi tentang itu?"

"Mungkin ada hubungannya dengan gadis itu."

Likyter sudah memberitahukan kepada polisi tentang penemuan kedua mayat itu. Sekarang kedua mayat itu sedang diurus oleh keluarganya. Dan sekarang mereka berdua berjalan menuju papan quest.

"Ternyata benar, ada quest-nya."

"Quest itu kan yang sebelumnya kau tunjuk."

"Iya, ternyata dia sudah menjadi buronan. Kurasa kita sebaiknya temui orang yang memberi quest ini, kita cari informasinya."

Likyter langsung menghubungi orang pemberi quest. Mereka membuat janji untuk bertemu di sebuah tempat makan.

Pria berkaos putih dengan celana biru panjang, rambut kuning pendek, dan wajahnya terlihat masih muda. Pria itu duduk di bangku tempat mereka berdua sudah menunggu.

"Lalu, apa yang ingin kalian tanyakan?" tanya pria itu.

"Tentang incaran quest ini," jawab Likyter. "Apakah kau mengenal penjahat itu?"

"Iya, karena dia sudah membantai keluargaku..."

"Kupikir dia sudah membantai panti a..."

"Iya! Panti asuhan itu adalah tempat aku tinggal! Dia tiba-tiba datang dan membuat keributan, lalu membunuh teman-teman, anak-anak, bahkan perawat kami! Aku bisa mengingat rambutnya, katanannya, pakaiannya, bahkan suaranya..."

"Maaf, tapi bisa ceritakan secara rinci? Singkat pun tidak apa-apa, asal poin-poinnya ada."

Akhrinya tamu ini menceritakan dengan panjang kali lebar, alias panjang tanpa berhenti dengan marah-marah. Akibat itu, mereka menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Sempat ada pelayan yang ingin menenangkan tamu yang ribut ini, tapi bentakkannya membuat pelayan itu tidak berani lagi menenangkan tamu itu, terlebih pelayannya perempuan.

Inti dari ceritanya adalah kalau klien ini tidak mengingat wajahnya, hanya mengingat warna rambut, pakaiannya yang menggunakan seragam, katana yang cukup panjang, tatapan mata yang terlihat kosong sang pelaku. Klien ini satu-satunya yang selamat, karena diselamatkan oleh teman-teman yang rela mengorbankan dirinya.

"Tunggu dulu, jadi kau tidak ingat wajahnya seperti apa?"

"Sayangnya tidak, padahal aku ingin sekali menggambar wajahnya lalu memasangnya di boneka voodoo. Lalu akan kutusuk dengan seratus... tidak, seribu jarum!"

"Lalu, apa kau ingat saat dia mengayunkan katana saat membunuh te... Aw!" Kalimat Likyter terhenti karena Vanili mencubit lengannya.

"Tidak apa-apa, Nona. Terima kasih atas perhatiannya. Kalau memang ini dibutuhkan untuk membunuh perempuan itu, aku rela mengingat kenangan itu."

"Lalu, bagaimana dia mengayunkan katananya?" tanya Likyter lagi.

"Kalau tidak salah dia melakukannya seperti ini." Pria itu berdiri dan mengayunkan satu lengannya, tepatnya lengan kanan. "Sambil tertawa kecil menyeramkan."

"Baiklah, terima kasih. Aku jamin akan membawanya kehadapanmu agar kau bisa membunuhnya langsung."

"Kalau kau bisa, aku akan melipatkan hadiahnya."

Lalu mereka berdua pergi, meninggalkan kliennya yang masih sedikit kesal.

"Apa kau sudah mendapatkan yang kau perlukan?" tanya Vanili.

"Lebih dari cukup. Sebaiknya kita cari dia."

Mereka berdua kembali lagi ke tempat saat mereka bertemu dengan pembunuh itu. Hanya ada bekas darah yang menempel di tanah yang sudah tandus. Lalu mereka memutuskan untuk mengintari lebih dalam tempat itu.

"Baiklah, aku akan ceritakan analisisku," beritahu Likyter karena melihat Vanili berjalan dengan wajah berpikir, tidak lupa menaruh jari-jarinya di bawah dagunya. "Seperti yang kau tahu, aku menganggap dia bukan pelaku pembunuhan itu."

"Iya." Vanili pun memasang wajah penasaran dan memperhatikan baik-baik Likyter.

"Dan tadi yang dikatakan oleh klien kita sangat tidak cocok dengan referensi gadis yang kita temui."

"Apanya yang tidak cocok?"

"Pertama, tentang tatapannya yang kosong. Gadis yang kita temui bukan menatap dengan kosong, tapi dengan amarah."

"Tapi, bisa saja saat itu kebetulan gadis itu ingin memperlihatkan tatapan kosong."

"Mungkin... Kedua, cara pelaku itu menggunakan katana, dengan gadis itu sangat beda. Mungkin kau mengamatinya, kalau gadis yang kita temui itu menggunakan kedua tangannya saat mengayunkan katanannya, dan jarak antara tangan satu dengan satu lagi saat memegang gagangnnya cukup jauh."

"Tapi, bisa saja kan kalau dia sengaja melakukan itu?"

"Kalau begitu, terlalu aneh untuk disengaja. Saat aku menangkis katanannya, dengan mudah katana itu terlempar, karena cara memegangnya tidak kuat. Bukankah itu terlalu beresiko untuk disengaja? Kecuali dia memang sengaja supaya mudah dibunuh."

"Dia kan memang minta dibunuh."

"Apa alasannya?"

"Mungkin menyesal atas perbuatannya?"

"Kalau begitu, kenapa dia membunuh kedua pria itu?"

Vanili hanya diam, dan berusaha berpikir. Tapi sayangnya dia tidak menemukan jawaban yang masuk akal selain sesuai asumsi Likyter.

"Tapi, ada satu perkiraan, dan kalau itu benar semua pecahan teka-teki ini bisa menjadi satu."

"Perkiraan? Perkiraan apa?"

"Nanti saja kalau kita bertemu dengan dia..."

"Uhhh, jangan begitu, dong! Aku penasaran, nih!"

"Aku tidak bisa memberitahukannya dulu, karena pecahannya masih kurang."

"Kau seperti detektif saja."

"Mungkin... Tapi, analisisku ini tidak ada apa-apanya bagi detektif yang terkenal di televisi."

"Kalau begitu, ayo cepat kita cari!"

Vanili merasakan kesal, tapi berkat itu dia menjadi semangat mencari gadis itu. Entah beruntung atau sudah takdir, mereka bertemu dengan gadis itu. Tepatnya di dekat jembatan menuju desa selanjutnya. Seperti sebelumnya, mereka juga bertemu dengan mayat, kali ini hanya satu mayat petualang perempuan.

"Kalian..." geram gadis itu sambil menatap dengan tajam dan penuh kemarahan ke arah mereka.

"Jangan menatapku seperti itu, aku akan membantumu. Kau ingin menyerahkannya atau tidak, itu terserah padamu. Tapi, aku akan menangkap pembunuh itu."

Gadis itu sempat kaget, tapi kembali memasang wajah mengancam. "A-Apa maksudmu...?" Walau wajahnya mengancam, tapi lirikan matanya kadang teralihkan ke bawah. "Apa yang harus aku serahkan?"

"Ternyata tidak bisa dengan bicara saja." Likyter langsung mengambil kedua pedang kecilnya. Kali ini Likyter menyatukan kedua pedang itu, lalu menekan bagian bawah pegangannya. Senjatanya sekarang berubah menjadi katana. "Kita buktikan siapa pengguna katana terbaik." Likyter langsung melesat tanpa aba-aba.

Gadis itu sedikit kaget, jadi dia langsung menusukkan katanannya. Tapi, berhasil dihindari Likyter hanya dengan menundukkan kepala. Gadis itu langsung meloncat ke belakang, dan memasang kuda-kudanya. Likyter langsung melesat lagi, dan kali ini gadis itu menyerang dengan mengayunkan dari atas ke bawah. Likyter langsung meletakkan katanannya untuk menahan serangan itu, tapi gadis itu sudah mengetahui rencannya, jadi dia langsung berputar dan menusukkan katananya. Likyter hanya tersenyum kecil dan memutarkan badannya, mata katana (bagian ujung katana) gadis itu melewati punggung Likyter, lalu Likyter menjepit katana gadis itu di ketiak. Sekarang posisi mata katana Likyter sudah beberapa senti dari leher gadis itu.

"Ke-Kenapa kau tidak membunuhku?" heran gadis itu.

"Sudah kubilang, aku akan menangkap pembunuhnya."

"Ba-Baiklah, aku menyerah, silahkan tangkap a..."

"Maaf, aku belum dapat namamu, padahal aku janji akan tahu namamu saat bertemu denganmu. Jadi, siapa namamu?"

"Ke-Kenapa kau ingin tahu namaku?"

"Soalnya tidak enak kalau aku memanggil 'kau' terus."

"Tiana, namaku Tiana. Kau sudah puas? Sekarang sebaiknya kau ikat aku."

"Belum, aku belum puas, Tiana." Likyter langsung mundur beberapa langkah, tentu katana gadis itu masih dijepit oleh ketiaknya. Likyter melepaskan katana dari ketiaknya, dan katana itu jatuh. Setelah itu, Likyter menendang jauh katana yang tergeletak itu. "Sekarang kau harus buka baju dulu, baru aku pu... Aw!" Ternyata Vanili sudah ada di dekatnya, sedang mencubit lengan Likyter.

"Berhentilah bercanda, sekarang jelaskan analisismu, Likyter! Kita sudah bertemu dengan orangnya, kan?" kesal Vanili sambil mengembungkan pipinya dengan sedikit memerah, tidak lupa tatapan tajamnya.

"Baik-baik, padahal tadi aku tidak bercanda."

"Kau mengatakan sesuatu?" Vanili langsung mengubah ekpresi manisnya dengan senyuman mengerikan.

"Tidak, bukan apa-apa." Likyter pun mengambil napas. "Tiana, aku tahu kau bukan pembunuhnya. Tapi pembunuhnya adalah orang lain yang berusaha kau lindungi."

Tiana pun terkejut mendengar itu. "A-Apa maksudmu?"

"Kalau kau benar-benar ingin melindungi seseorang itu, seharusnya kau bisa membuat mataku percaya kalau kau pembunuhnya. Contohnya, seharusnya kau melumuri katana itu dengan darah korbannya, supaya terlihat kau sudah membunuhnya."

Sekali lagi, Tiana memasang wajah kaget. Setelah itu, Tiana menghela napas, dan wajahnya kembali normal. "Sepertinya sudah ketahuan... Kau hebat juga."

"Terima kasih. Lalu, kenapa kau melakukan itu?"

"Tentu saja supaya teman terbaikku tidak ditangkap. Memang apa yang kulakukan ini salah, tapi perbuatanku ini tidak seberapa dibanding pertolongan dari teman terbaikku."

"Memangnya dia sudah menolong apa?" Vanili angkat bicara.

"Dia setia kepadaku, tidak pernah mengkhianatiku, tidak pernah meninggalkanku, selalu membuatku melupakan masalah yang kuhadapi... Seperti itulah..."

"Tapi, kau tahu kan, menyembunyikan penjahatnya adalah sebuah kejahatan juga. Dan hanya alasan seperti itu kau rela dihukum mati?"

"Iya, aku tahu. Tapi, bukan berarti aku melakukannya karena alasan itu... Kalau temanku ini melakukan pembunuhan atas kehendak sendiri, aku tidak akan melakukan ini. Tapi... sebenarnya bukan dia yang melakukan pembunuhan ini, tapi sesosok jahat yang ada di dalamnya!" Tiana mengepalkan kedua tangannya, tanda kesal.

"Apa kau yakin?"

"Sangat yakin! Karena dia tidak bisa menggunakan senjata apapun!"

"Baiklah, aku akan percaya. Lalu, apa kau tahu gejala yang muncul saat dia melakukan pembunuhan?"

"Kalau tidak salah... Pandangannya kosong, gerakannya cepat padahal dia lari sebentar saja sudah capek, saat melangkahkan kakinya mendekati korban yang sudah tidak berdaya selalu pelan, dan aku merasa ada aura yang mengerikan mengelilinginya."

"Kemungkinan dia kerasukan roh jahat atau roh senjata."

Kerasukan, gejala ini bisa terjadi pada setiap orang bahkan di jaman ini. Seperti yang diketahui kalau kerasukan itu biasanya dirasuki oleh setan, atau roh jahat. Tapi, di jaman ini, bukan roh jahat saja yang bisa merasuki orang. Ada juga roh baik, roh hewan, roh manusia yang sudah mati, bahkan kekuatan senjata. Kerasukan akan menyerang siapa saja, tanpa pandang bulu, tapi kerasukan sangat jarang dijumpai karena hanya terjadi dengan syarat tertentu. Sengaja atau tidak sengaja memenuhi syarat itu, orang itu langsung dirasuki.

"Apa temanmu itu melakukan sesuatu yang membuat roh jahat merasukinya, atau menemukan katana yang ternyata adalah senjata kutukan?"

"Hmm... Aku tidak tahu, karena dua bulan yang lalu temanku ini menghilang. Aku mencarinya ke mana-mana, tapi tidak menemukannya juga. Tapi, sebulan yang lalu, kebetulan aku sedang berkunjung ke rumahnya... Oh iya, dia tinggal sendiri, dan karena aku sahabat satu-satunya, jadi aku diberi kunci rumahnya. Saat ke kamarnya, aku menemukan dia terbaring di lantai dengan seragam dan katana penuh darah. Tentu aku kaget dan langsung menghampirinya. Tak lama kemudian dia bangun dengan penuh tanda tanya..."

"Baiklah, kurasa cukup," ucap Likyter mencegah Tiana melanjutkan ceritanya. "Aku sudah tahu inti dari permasalahannya. Jadi, kau tidak tahu kenapa dia bisa begitu dan dia juga tidak tahu kenapa bisa begitu?"

Tiana hanya mengangguk dengan wajah murung.

"Baiklah, bisakah kita bertemu dengan temanmu itu?"

"Ti-Tidak bisa..."

"Tenang saja, aku tidak akan menangkapnya. Kalau memang benar dia dirasuki, aku akan menangkap roh jahatnya itu. Tapi, kalau ternyata dia sendiri yang melakukanya, aku akan menangkapnya."

Tiana memikirkan kalimat Likyter dan memincingkan mata ke arahnya.

"Aku akan menolong kalian."

Tiana pun tidak memincingkan matanya. "Ba-Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke tempatnya."

Kemudian ketiga orangini pergi meninggalkan tempat ini, dan menuju tempat yang cukup jauh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro