EPILOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

https://youtu.be/-3BkDESKFSA

I get to love you

It's the best thing that I ever do

 Forever I'm yours

Forever I do

Aku dapat mencintaimu
Itu adalah hal terbaik yang pernah kulakukan
Selamanya aku milikmu
Selamanya aku bersedia

___________________________________

Dua tahun kemudian ...

Cahaya pagi menembus dari celah tirai, menyorot tepat ke wajahku. Aku mengernyit, enggan bangun dari tidur yang sangat nyaman ini. Meringkuk di dalam selimut putih tebal dengan lengan Will melingkari perutku dari belakang. Kehangatan kulitnya melingkupiku tanpa sehelai kain pun yang membatasi.

Merasakan aku sudah terbangun, Will mengeratkan pelukannya. Rasa aman dan nyaman yang familiar mengguyur tubuhku.

"Morning," bisiknya ditelingaku dan mengecup puncak kepalaku. Hal ini membuatku tersenyum dan berbalik kearahnya.

Mataku membuka malas, mendapati mata abu-abu Will sudah menantiku. "Morning," balasku, tersenyum mengantuk. Tanganku bergerak otomatis menyusuri wajah rupawannya. Inilah pemandangan indah yang kutemui setiap pagi.

"Aku tak akan bosan menatapmu seharian, Will."

Will tersenyum, mengusap pipiku lembut, membuatku ingin meringkuk semakin dekat.

"Aku lebih ingin melakukan hal lain daripada sekedar menatapmu." Mata abu-abunya mulai berkilat nakal.

Aku tertawa geli saat Will mulai mengecupi keningku, kedua kelopak mataku, hidungku, dan pipiku. Entah sejak kapan tubuhnya bergeser keatasku dan memenjaraku di antara kedua lengannya.

Aku merengkuh wajahnya, membawa bibirnya ke bibirku. Ciuman lembut Will membuatku hanyut dan darah dengan cepat berdesir di telingaku. Gairah yang memabukkan berlanjut menjadi lumatan dalam dan panjang.

Tanganku menyusup diantara helaian halus rambut Will, menariknya mendekat. Sementara bibirnya mulai menyusuri tulang rahangku, turun ke leherku, lalu—

Suara tangisan bayi terdengar nyaring dari speaker kecil di nakas.

Aku dan Will sontak berhenti, dan saling memandang berusaha mengembalikan kesadaran yang tadi melayang-layang. Kemudian Will mengerang frustasi sementara aku spontan tertawa terbahak-bahak.

Hal seperti ini terjadi lagi.

"Kenapa dia selalu bangun di saat yang tidak tepat," erang Will tersiksa. Lengannya masih memeluk erat pingganggku, enggan membiarkanku turun dari kasur. Wajahnya mulai merajuk.

"Kau ingin membuat putramu kelaparan hmm?" tegurku ditengah tawa, berusaha melepaskan lengannya.

"Jangan pergi, Isabelle. Aku juga kelaparan." Will menatapku setengah memohon dan merajuk. Mata abu-abunya menggelap oleh gairah.

Aku tersenyum geli, melepaskan diri dari kungkungannya. "Ini tanggung jawab dari hasil perbuatanmu sendiri," tawaku, mengecup pipinya lalu turun dari kasur.

Tatapan Will tidak melepasku sedikitpun ketika aku mengambil kimono satin untuk menutupi tubuhku. Saat aku menoleh lagi, tingkah Will membuatku tersenyum geli sekaligus iba. Ia sudah memendam wajahnya di atas bantal, seolah meratapi nasib.

Kakiku melangkah menuju pintu penghubung ke kamar bernuansa biru pastel dan abu-abu, berlantai kayu. Aroma kamar bayi yang menenangkan langsung menyambutku.

Aku dan Will mendekor kamar luas ini habis-habisan. Kami benar-benar boros membeli segala macam mainan bayi, karpet lembut dan pernak-pernik bernuansa pastel. Bahkan, kamar ini memiliki ruang bermain pribadi dan ruang duduk penuh sofa empuk bernuansa serupa. Wallpaper bertekstur yang di design khusus, membuat suasana seperti kamar negeri dongeng bertema fairytale woodland. Di salah satu sisi dinding terpampang sebuah nama dari huruf-huruf kayu— 'Jasper'.

Ditengah kamar ada sebuah baby crib berwarna putih. Sosok kecil yang berdiri berpegangan di pagar baby crib membuatku otomatis tersenyum hangat. Bibir kecilnya mengerucut karena menangis. Ia masih merengek-rengek.

"Hei," sapaku, menyambut tangan mungil yang berusaha meraih kearahku, meraupnya kedalam gendongan. "Morning my baby boy," bisikku, mengecup kedua pipi tembamnya, menghapus bulir air mata.

Aku mengayun dan menepuk-nepuknya pelan agar berhenti menangis.

Tak lama kemudian ia mulai mengoceh senang "Mom... mom," racaunya samar.

Bulan depan Jasper akan berusia satu tahun. Aku dan Will bersorak kekanakan saat mendengarnya mulai menyuarakan panggilan serupa 'Mom' dan 'Dad'.

"Panggil Daddy, my little boy." Tiba-tiba terdengar suara Will—dia sudah selesai merajuk rupanya. Ia langsung memeluk pinggangku dari belakang, dan mengecup puncak kepala Jasper penuh sayang.

Senyum kami otomatis merekah, melihat Jasper tertawa senang dalam gendonganku.

Jasper Ashton Blanford.

Kami memilih nama itu ketika terpesona oleh mata abu-abunya ketika pertama kali membuka melihat dunia. Jasper adalah nama salah satu jenis batu permata. Ashton mewakili warna abu-abu. Jadi kurang lebih berarti batu permata abu-abu.

Kelahirannya membawa makna kebahagiaan baru yang tak pernah kami rasakan. Saat itulah aku akhirnya memahami cinta Mom dan Dad padaku selama ini. Ketika menatap Will, aku tahu ia langsung menyayangi bayi mungil dalam dekapannya dengan sepenuh jiwa.

Seperti saat ini—aku memindahkan Jasper dalam gendongan Will untuk menyiapkan bubur sarapan, ia tersenyum lembut mendekap bayi mungil di dadanya. Pemandangan itu mengirimkan perasaaan hangat ke seluruh tubuhku.

Beberapa kali ketika aku terbangun di malam hari, aku sempat mendapati Will menggendong Jasper. Hanya menatap bayi yang tertidur dalam dekapannya.

Tanpa sadar aku terdiam di ambang pintu menatap Will yang sedang menggendong Jasper sekarang, berhambur sinar matahari pagi dari jendela kaca besar. Dua orang inilah sumber kebahagiaanku saat ini dan seterusnya.

"Lain kali jangan bangun pagi-pagi ya." Aku mendengar Will berkata tepat sebelum kakiku melangkah keluar.

Tangan mungil Jasper mulai meraba-raba wajah Will penasaran. "Tidur yang nyenyak sampai siang," tambahnya lagi, mengecup Jasper penuh kasih sayang.

"Will, jangat sesat," sahutku, memutar bola mata mendengarnya. Will hanya melempar senyum miring khasnya kearahku.

Dan dimulailah rutinitas pagi seperti biasa. Will menggendong Jasper, dan aku menyuapi dengan sabar.

Aku dan Will bertekad tidak menggunakan pengasuh anak, karena sebagai orang tua, kami berkewajiban merawat mereka. Aku mengurangi kegiatanku di luar rumah. Sesekali hanya bergabung untuk konser-konser amal. Sisanya, aku mengabdikan hidupku untuk pekerjaan dan tanggung jawab yang lebih besar dari apapun. Yaitu merawat keluarga yang kubangun dengan Will.

Keuangan kami sudah lebih dari cukup untuk hidup mewah. Bahkan Will, tidak terikat jadwal kantor setiap hari. Aku tidak ingin Jasper merasa kekurangan ditengah kemewahan. Seperti yang terjadi di kehidupanku pada garis waktu lain. Karena itu, sebagian waktuku adalah untuk keluarga ini.

Bulan demi bulan berlalu. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Ingin rasanya aku memperlambat. Jasper terus bertumbuh, seiring dengan memori indah yang terus bertambah. 

Diusianya yang sudah lebih dari satu tahun, sesekali Jasper mulai menemani Will menyiapkan sarapan untukku. Meskipun pelayan di rumah besar ini bisa dibilang berlebihan, namun Will memiliki kebiasaan sendiri membuatkanku sarapan sederhana. Kadang juga sebaliknya, tergantung siapa yang bangun terlebih dahulu.

Satu kali aku memergoki Will sedang mengoles selai di roti panggang untukku, Jasper duduk diatas meja pantry dihadapannya. Dengan polosnya menyerahkan semua alat makan yang ia temukan pada Daddynya, seolah ingin membantu. Diluar kebiasaan, Will dengan sabar menerima semua pemberian Jasper. Mereka tampak kompak, membuatku tersenyum sendiri.

Beberapa tempat telah kami kunjungi bertiga. Bahkan, aku dan Will baru saja membawa Jasper ke Ivory Hills pada hari wedding anniversary kami. Hanya perjalanan singkat menggunakan pesawat jet dan langsung kembali ke New York. Tepat setelah itu, aku mengetahui sedang mengandung anak kedua. Will langsung kegirangan. 'Kau akan memiliki teman bermain setelah ini', bisiknya pada Jasper.

Bertambah satu lagi kebahagiaanku. Kali ini yang lahir adalah seorang putri kecil yang cantik. 

Leora Cassiopea Blanford. Artinya cahaya yang terus bersinar, seperti rasi bintang Cassiopea. Bintang-bintang seolah memiliki makna tersendiri bagiku dan Will.

Lagi-lagi, ia memiliki mata abu-abu seperti Will, namun mewarisi rambut pirangku. Tidak masalah, itu artinya setiap aku menatap Jasper dan Leora seperti menatap mata Will.

[Jasper & Leora]

Musim demi musim berganti. Rumah besar ini mulai ramai dengan celotehan Jasper dan Leora. Seolah belum cukup, dua tahun setelah kelahiran Leora, sepasang bayi kembar lahir ditengah keluarga kami. 

Celestiel Oceanne Blanford dan Castor Jaden Blanford.

Ketika pertama kali Will membawa Celestiel dan Castor padaku, ia tersenyum bahagia dan berkata 'Mereka memiliki mata turquoise indahmu'. Karena itulah nama Celestiel Oceanne berarti lautan surgawi, kami memanggilnya Celsie. Dan Castor Jaden berarti rasi bintang seindah batu Jade.

Aku sudah memutuskan, si kembar adalah anak terakhir, tidak ada anak kelima.  Walaupun Will tak mempermasalahkan jumlah anak yang kami miliki. Aku tak menyangka Will menyukai anak-anak. Ia bahkan berkata, 'Aku mempersiapkan rumah besar ini untuk keluarga yang besar juga. Semakin banyak anak semakin bagus.'

Ini dia saat-saat sifat seenak jidatnya mulai kambuh. Bicara saja mudah karena ia tidak ikut mengandung sembilan bulan.

Ketika mereka semakin dewasa, empat anak dalam satu rumah akan sangat ramai. Lihat saja sampai Will merasakan kenakalan dan ulah-ulah mereka yang bisa membuatnya sakit kepala. Aku hanya bisa berharap mereka berempat tidak mewarisi sifat-sifat jelekku dan Will. 

Sejak Celsie dan Castor lahir, Jasper yang berusia empat tahun mulai bisa menemani Leora yang berusia dua tahun. Mereka berdua sudah memiliki kamar sendiri, dengan kasur masing-masing. Seolah kamar itu dibagi dua, satu sisi bertema ala putri kesukaan Leora dan satu sisi bertema mobil kesukaan Jasper.

Setelah aku membacakan cerita pengantar tidur untuk Jasper dan Leora, aku menyusul Will ke kamar Celsie dan Castor. Kadang saat si kembar terbangun, aku dan WIll akan menggendong mereka. Seperti sekarang, aku menggendong Castor dan Will menggendong Celsie.

https://youtu.be/7jiNJYbSMTw

Titik-titik salju putih mewarnai langit malam. Udara bulan Desember yang membekukan tak bisa merasuk kedalam kamar bayi hangat bernuansa kuning temaram ini. Penghangat ruangan otomatis menyala seharian. Malam musim dingin selalu terasa lebih sunyi. Aku dan Will masing-masing berkonsentrasi memastikan di kembar dalam gendongan kami menghabiskan botol susunya.

Sesekali aku mengelus lembut pipi Castor dalam dekapanku. Matanya sudah terpejam, namun pipi tembam bersemu merah itu dan bibir mungilnya masih bergerak menggemaskan, menyedot hingga titik terakhir.

Beberapa saat kemudian aku dan Will hampir bersamaan meletakkan botol kosong di meja. Kami berdiri bersisian menghadap jendela megah, menampakkan halaman putih bersih setelah hujan salju.

Aku memandang Will yang mendekap Celsie, sebuah impian dimasa lalu terbersit di benakku. Bibirku mengulas senyum.

Pandangan Will beralih, menatap ekspresiku. "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya, penasaran.

"Kau mengingat di waktu yang lain, aku pernah berdiri di depan rumah masa depan kita? Saat kau menemukanku memandangi rumah ini," mulaiku pelan, dengan senyum yang masih mengembang.

Will mengangguk ingat.

"Untuk sesaat aku melepas bros confiniumku, sesaat menjadi diriku sendiri—Seraphine. Aku berfantasi di dalam rumah itu, perapian menyala penuh kehangatan. Kau menatapku penuh cinta. Gelak tawa anak-anak mengisi kehangatan rumah. Mungkin mereka mewarisi mata abu-abumu dan rambut pirangku." Aku menjeda ucapanku, menatap Will lembut. "Sekarang, baru kusadari aku benar-benar hidup sesuai fantasi yang kuanggap mustahil itu."

Sesaat Will terdiam, menatapku dalam-dalam. Lalu tiba-tiba ia tersenyum, tatapannya melembut seolah teringat sesuatu.

"Apa kau percaya aku memikirkan hal yang sama saat itu?" tanyanya, membuat mataku melebar. Satu informasi baru.

"Karena itulah aku juga menuju rumah tersebut dan menemukanmu berdiri di depan. Entah perasaanku berusaha menyadarkan atau apa, sebuah keinginan kuat membuatku mengajakmu masuk." Will tersenyum miring. "Aku tidak ingin mengakui saat itu, namun saat kau bekata aku tak akan melihatmu lagi, perasaan kehilangan langsung menusuk. Rasanya ingin menahanmu lebih lama."

Aku terenyuh. Satu hal kembali kupelajari, perasaan tak bisa dibohongi. Ketika kau benar-benar mencintai seseorang, kau tak bisa menemukan alasan pasti kenapa kau mencintainya.

Kau hanya tahu dialah satu-satunya.

Aku dan Will membaringkan Castor dan Celsie perlahan-lahan di dalam baby crib. Kami berdiam sejenak menatap si kembar yang tertidur pulas. Seolah memandang hadiah terindah yang tak sanggup kami tinggal sedetik pun. Will memeluk pinggangku dari belakang, meletakkan kepalanya diatas bahuku.

"Aku mencintaimu Isabelle," bisiknya tiba-tiba, membuatku berbalik menghadapnya.

"Thank you for giving birth to these wonderful children of ours," lanjutnya sungguh-sungguh. Aku selalu meluluh saat Will mulai menatapku penuh syukur seperti ini. Seolah menatap hal terindah dalam hidupnya.

Aku tersenyum haru, perasaanku menghangat. "And for you too, for being a great father for them."

Will tersenyum, mengusap wajahku. Ia mencium keningku lembut. Mataku terpejam, menikmati perasaan cinta yang seakan menguar disekelilingku.

"Kukira aku sudah cukup mencintaimu." Will berbisik, menyandarkan keningnya di keningku. "Tapi setiap hari rasanya seperti jatuh cinta padamu lagi dan lagi."

Dibalik sikap cueknya, sekali bersikap seperti ini, ia tidak sadar kata-katanya begitu meluluhkan.

"Aku juga mencintaimu. Sampai kapan pun aku tak akan bosan mengungkapkannya." Aku menatap mata abu-abunya yang menggelap ditengah carahaya temaran. Seperti black hole yang menghisap diriku kedalamnya, tanpa perlawanan. Terperosok dan terjebak.

Seolah magnet yang saling tarik menarik, bibir kami sudah menyentuh ringan. Tanganku otomatis mengalung di bahu Will dan lengannya melingkari pinggangku. Mataku terpejam sementara bibir kami melumat perlahan dan intens. Menikmati setiap detik. Merengguk segala kebersamaan yang kami miliki. Tidak ingin momen manis ini berakhir.

"Kau tidak berminat menambah satu anak lagi?" tiba-tiba Will berbisik jahil.

"Jangan coba-coba," tandasku, memicing tidak setuju.

Aku mulai curiga apa semua gelagatnya barusan ternyata modus untuk menuntunku kedalam perangkap? Will bisa jadi sangat manipulatif. Kau tidak akan sadar hingga sesaat kemudian mendapati dirimu sudah berada dalam perangkap.

Kemudian lelaki itu tertawa melihat sifat defensifku. "Aku hanya bercanda, Isabelle."

Aku masih bersidekap curiga. "Terakhir kali kau bilang bercanda, berakhir dengan adanya Celsie dan Castor."

Will hanya tersenyum miring penuh arti

"Will!?" protesku, melototinya. Will malah kelolosan tertawa kecil.

"Aku akan tidur di kamar Celsie dan Castor malam ini," putusku berbalik darinya.

Will berhenti tertawa. Aku merasakan kedua lengan kokohnya memeluk pinggangku dari belakang. "Jangan berisik Isabelle, kau akan membangunkan si kembar."

"Ok, ok aku serius," lanjutnya menyerah. "Aku hanya bisa berduaan denganmu saat malam, kau jangan mengorupsinya lagi."

Bibirku berkedut menahan senyum menang. Aku berbalik mendapati wajah masam Will.

"Bukankah kau suka anak banyak hmm? Tentu kau sudah siap waktu berduaan denganku kandas," balasku dengan senyum menantang.

"Kau mulai pintar berdebat sekarang." Will berdecak.

Sesaat kami beradu tatapan, hingga akhirnya sama-sama tersenyum geli. 

Tidak ada yang berubah. Kadang Will begitu senang memancing perdebatan. Aku terperangah saat pernah mendengar alasannya, 'sorot matamu saat mendebat seseorang begitu jernih, membuatku terpesona'. Memang, jalur pikiran Will agak susah diimbangi. Ia bisa selicik iblis dan semanis malaikat dengan caranya sendiri.

Perasaan dan kebiasaan kami yang terasa sama inilah yang membuat waktu seolah berhenti. Bertahun-tahun kemudian, meski Jasper, Leora, Celsie dan Castor mulai memasuki masa anak-anak,rasanya masih seperti baru kemarin aku menikah dengan Will.     

[Jasper Ashton Blanford]

Leora Cassiopea Blanford

[Celestiel Oceanne Blanford (Celsie)]

[Castor Jaden Blanford]

Tentu saja satu dua kali kami bertengkar. Itu hal yang wajar.  Kadang egonya begitu tinggi dan tidak bicara seharian, membuatku kesal. Namun, tidak ada dari kami yang tahan. Pada akhirnya ketika perang dingin selesai, rasanya aku kembali jatuh cinta pada Will untuk pertama kalinya lagi dan lagi. 

Dunia nyata bukanlah negeri dongeng, namun kau bisa menciptakan negeri dongengmu sendiri bersama orang-orang yang kau cintai. Ketika empat bayi-bayi mungil lahir dalam duniaku, bukan berarti cintaku pada Will terbagi. Rasa cinta itu berkembang hingga aku mencintai mereka sebesar aku mencintai Will, dan begitu juga sebaliknya.

****

[2 tahun setelah pernikahan Will dan Isabelle]


Akhir pekan selalu membuat lalu lalang pejalan kaki semakin ramai. Seorang wanita di pertengahan empat puluh yang tampak mencolok dengan rambut disemir rose gold, melenggang santai. Pagi ini, ia mengenakan celana cullot berwarna mint dan kemeja abu-abu casual. Beberapa pasang mata para pejalan kaki, mengikuti sosokya yang memasuki New York Public Library.

Ialah The Great Oracle.

Merasa tampilannya mulai dikenali banyak orang, wanita itu menuju salah satu bilik toilet. Tak perlu berlama-lama, ia mengubah penampilannya begitu saja menggunakan pikirannya. Wajahnya yang terlihat berumur pertengahan empat puluhan kembali muda seolah masih pertengahan tiga puluhan.

Rambutnya berubah menjadi gaya bob modern dengan warna brunette. Perawakannya berubah menjadi tinggi rata-rata, tidak terlalu kurus maupun gemuk. Tipe postur tubuh standard yang gampang diabaikan orang.

Wanita itu merogoh ke dalam tas tangannya dan mengenakan kaca mata baca berbingkai hitam. Dengan santai ia melenggang keluar menuju meja service untuk mengambil tanda pengenal, menyapa sopan Mrs. Finley—kepala curator New York Public Library.

Langkahnya menuju ruang baca anak-anak.

Sekitar dua puluh pasang mata anak-anak mengerjap penuh tanda tanya, melihat kehadirannya.

"Good morning kids!" sapanya tersenyum ramah, sambil membenarkan letak kacamata di hidungnya. "Mulai hari ini aku akan menggantikan Isabelle membacakan cerita untuk kalian." The Great Oracle berusaha menguarkan pembawaan ceria.

Beberapa mulai menilai antusias dan beberapa terlihat kecewa. Dengan senyum sabar, The Great Oracle memperkenalkan diri sebagai Sophie Jones—tipikal nama yang sangat umum dipakai.

Jiwa keibuan di dalam dirinya menguar setiap kali berada di sekitar anak-anak. Entahlah, mungkin karena umur yang sudah tak terhitung tuanya, sang Oracle merasa para manusia adalah anak asuhnya.

Tak berapa lama kemudian, anak-anak mulai merasa akrab dan menyodorkan macam-macam buku bacaan favourite mereka. Namun, The Great Oracle hanya tersenyum.

"Bagaimana kalau aku menceritakan kisah lain yang tak pernah kalian dengar?" tawarnya bernada misterius, membuat anak-anak berbinar penuh semangat.

"Apa tentang dongeng putri dan pangeran?" tanya seorang anak perempuan antusias.

"Cyborg?" tebak anak lelaki bertubuh bongsor.

The Great Oracle tertawa kecil. "Tentang sebuah masa di bumi, saat manusia bisa mendapatkan apapun hanya dengan menggunakan pikiran."

"Apa aku bisa menciptakan pesawat terbang dari pikiranku sendiri?" seorang anak lelaki lain berambut ikal.

"Apapun," tegas sang Oracle. "Teknologi yang ada, jauh lebih maju dari sekarang. Hal-hal yang dianggap sihir, menjadi hal yang wajar. Karena manusia berhasil menggunakan hampir seluruh dari fungsi otak mereka."

"Bumi menjadi planet paling luar biasa di seluruh jagat raya," lanjutnya lagi.

Para anak-anak mulai bergumam 'waa' takjub.

"Apa alien juga tunduk pada manusia di bumi?" Anak lelaki bongsor yang tertarik cyborg tadi bertanya semangat.

"Para Alien juga segan pada manusia bumi." The Great Oracale membenarkan. "Manusia pada masa itu berhubungan dengan planet dan tata surya lain seperti hubungan antar negara."

"Seperti star wars?" cicit seorang anak perempuan malu-malu.

The Great Oracle tertawa. "Yah, kau bisa menganggapnya seperti itu." Tidak, imajinasi manusia sekarang hanya menggambarkan setitik dari kehebatan bumi di masa itu, batinnya melanjutkan.

"Siap untuk memulai?" tanyanya ceria, melihat beberapa anak mulai tidak sabar.

"Yaa!"

"Baiklah. Manusia pada jaman kejayaan itu menyebut diri mereka sebagai ... Terradeum," kata The Great Oracle dengan nada misterius, membuat semua mata anak-anak terpaku padanya.

Cerita terus bergulir hingga tidak terasa memakan waktu satu jam. The Great Oracle membawa tasnya, mengembalikan tanda pengenal ke meja service di lantai masuk. Sejak meninggalkan ruang baca anak-anak, satu pertanyaan seorang anak perempuan terngiang terus dibenaknya.

'Kenapa peradaban sehebat itu bisa hancur?'

The Great Oracle jarang melamun, namun pertanyaan itu seolah menyita seluruh perhatiannya. Hingga suara breaking news membuyarkan lamunannya.

Layar LCD besar di New York Public Library langsung menampilkan berita siang terkini. Tampaknya seperti liputan konferensi pers. Beberapa pengunjung langsung menghadap layar. The Great Oracle mengenali perempuan berusia empat puluhan yang terpampang dilayar, dihadapannya puluhan mikrofon pers berjejer.

Lorraine Riverton.

Rambut coklat lurus sebahu yang tertata sempurna, raut wajahnya yang selalu anggun dan tenang.

Ditengah kerumunan massa yang menanti sang wanita pebisnis terkaya se benua amerika itu untuk bicara, seorang pemuda baru saja masuk pintu utama perpustakaan. The Great Oracle mengenali pemuda bermata biru tampan dengan rambut sewarna cokelat caramel tersebut—Greyson Kyle. Ia mengamati wajah sumringah pemuda itu langsung berubah masam melihat liputan berita, sementara pemuda lain yang berdiri di sampingnya begitu ekspresif dan penasaran.

'—Mungkin banyak dari kalian bertanya-tanya mengenai penerus dan alih waris keluarga Riverton. Bagaimana kelangsungan bisnis keluarga ini.' Terdengar suara tenang Lorraine menyita lebih banyak perhatian. 'Kali ini saya akan memberi klarifikasi. Ada seorang pewaris tunggal yang tak pernah kalian tahu. Seorang putra keluarga Riverton—'

The Great Oracle lebih tertarik memperhatikan ekspresi Kyle yang menegang. Teman Kyle, si kacamata tebal begitu antusias.

'Saya tidak akan membocorkan identitasnya disini. Karena saya berharap ia bersedia kembali ke rumah keluarganya sendiri, sebelum saya terpaksa membuat dunia membawanya pulang.' Setelah berucap begitu, konferensi pers heboh tersebut berakhir.

Kerumunan massa mulai membuyar, namun the Great Oracle masih menatap dua orang pemuda tadi. Satu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, satunya mengoceh antusias.

"Wow seorang putra mahkota tersembunyi!" seru si kaca mata tebal.

"Diamlah Archie. Memangnya apa hubungannya denganmu?" Kyle memutar bola mata.

"Aku akan membawa pulang si putra mahkota pada Lorraine dan mendapat imbalan besar untuk menghampiri Cho Chang ku," sahut pemuda bernama Archie dengan mata berbinar. "Andai saja kau putra mahkota tersembunyi itu," ia berandai menatap Kyle.

Kyle menatapnya horror. "Lucu sekali." Ia tertawa canggung.

Tak berapa lama kemudian, topik pembicaraan mereka telah berganti tentang pekerjaan. Kedua pemuda itu berlalu melewati The Great Oracle. Tepat saat itu sebuah visi melintas di benaknya. Gambaran mengerikan yang tidak asing.

Api seperti lava merah menyala bergejolak liar dari dalam tartarus seolah hendak menyembur keluar dari retakan raksasa.

The Great Oracle tersentak, memandang punggung Kyle yang menjauh. Visi yang sama saat ia pernah menjabat tangan Isabelle di sebuah acara perlombaan antar sekolah.

Namun, ia salah besar.

Ia mengira visi itu tak akan terjadi setelah menuntaskan masalah pelik sepasang malaikat tersebut. Tetapi sekarang The Great Oracle menyadari. Visi itu adalah ramalan ketika semuannya telah berakhir. Dan satu lagi hal penting yang ia sadari.

The Great Oracle menatap Kyle dan si kacamata nyentrik yang semakin menjauh.

Dua kali saat visi mengerikan tersebut muncul, pemuda itu—Kyle ada di hadapannya. Di kompetisi antar sekolah dan di saat ini. Entah apa hubungan pemuda itu dengan semua ini, satu hal yang harus ia pastikan, mahkluk yang berada di dalam Tartarus tak akan pernah kembali ke permukaan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro