Part Finale: Aeon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai beloved readers! ternyata inilah part terpanjang dari seluruh part Aeon. Setara dengan penantian panjang dan liku konflik yang panjang. I hope all of you enjoy this final part ^^

----------------------------------------------------

Someone comes into your life

It's like they've been in your life forever

No there's no one else's eyes that could see into me
No one else's arms can lift, lift me up so high
Your love lifts me out of time
And you know my heart by heart

So now we've found a way to find each other
So now I found my way to you

Seseorang datang kedalam hidupmu
Seolah selama ini ia telah ada dalam hidupmu

Tidak ada tatapan mata lain yang bisa melihat menembus kedalam hatiku
Tidak ada lengan lain yang bisa mengangkatku begitu tinggi
Cintamu membawaku lintas waktu
Dan kau sangat mengenal hatiku

Jadi kini kita telah temukan jalan untuk saling menemukan
Jadi kini aku telah menemukan jalanku, padamu.

-Heart by Heart, Demi Lovato-

--------------------------------------------


New York, delapan belas tahun yang lalu.

Para pejalan kaki di depan deretan pertokoan mewah Manhattan seolah tak menyadari seorang gadis kecil berambut pirang sedang berlari ketakutan. Menyusup kesusahan diantara kaki-kaki jenjang, menghindar dari sesosok wanita bergigi setajam serigala.

Cakarnya menggapai semakin dekat, seringainya melebar, tubuhnya semakin lama berubah menjadi serigala sungguhan.

Jerit tangisan gadis itu semakin kencang, menarik perhatian seorang anak lelaki yang sedang menunggu ibunya di depan pintu toko, yang berjarak dua blok. Mata abu-abunya membelalak melihat sosok manusia serigala yang mengejar.

Gadis berambut pirang itu bisa melihat monster, sama seperti dirinya.

Anak lelaki itu merasa déjà vu, seolah pernah berada dalam kejadian seperti ini.

Tanpa sengaja, sorot mata mereka bertemu selama beberapa detik. Warna iris biru-kehijauan gadis itu begitu indah. Dan entah kenapa tiba-tiba ia merasa ingin melindunginya.

Tak mempedulikan rasa takut, anak lelaki itu mengejar dibelakang si serigala. Ia mencari sebuah batang besi kecil seperti sumpit dalam sakunya.

Selama ini ia dibesarkan dalam keluarga dengan ibu dan kakak memiliki kemampuan melihat monster. Karena itu ibunya pernah berpesan untuk membawa beberapa senjata kecil bila para monster mengejarnya.

Setelah menemukan benda yang ia cari, anak lelaki itu melemparkannya pada si serigala. Ia mendesah lega saat serigala tersebut menjauh, mengira ada demons lain yang menyerang.

Dikejauhan, gadis tadi sudah digendong oleh ayahnya. Melihat itu, membuatnya tersenyum lega.

Aneh.

Padahal ia tidak mengenal gadis itu.

"Kau menemukannya." Suara seorang wanita membuat anak lelaki itu mendongak bingung ke arah orang asing yang tiba-tiba ada disampingnya.

"Kau percaya ada kehidupan selain saat ini? Di masa-masa lain, gadis itu adalah seseorang yang penting untukmu." Wanita berambut rose gold berbicara dengan senyum misterius. "Kau bersumpah untuk menemukannya kembali walaupun menunggu ratusan ribu tahun. Membuatku tersentuh dengan cinta kalian."

"Kalau begitu, kenapa aku tidak mengingatnya?" anak lelaki itu bertanya polos.

"Belum," koreksi wanita berambut rose gold. Ia mengambil sebuah liontin berbatu hitam dari tas tangannya.

Menyerahkan pada si anak lelaki.

"Apa ini?"

"Benda penting milik gadis itu. Petunjuk yang akan menuntunmu padanya. Namun, kau harus berjuang untuk mendapatkannya kembali." Seraya berkata begitu, wanita itu mengusap rambutnya, lalu berbalik pergi.

Anak lelaki itu mash menatap tak mengerti. Namun, tepat saat ia menggenggam liontin tersebut, sekali lagi ia merasa déjà vu.

Sebuah nama berdesir dalam benaknya.

Seraphine.

------------------------------

Ingatan dalam benak pemuda itu berlalu. Mata abu-abu tajamnya berkilat misterius, selaras dengan senyuman penuh arti.

"Kau berbohong," tandasnya.

Gadis berambut pirang dalam ingatannya—Isabelle, berdiri disini sekarang, membeku terperanjat.

"Will," lirih Isabelle tanpa sadar.

"Kau mengetahui namaku, namun kau mengaku tidak mengingatku?" Will mengangkat alis berlagak polos, melangkah mendekat.

Isabelle mengerjap tak percaya, masih membisu oleh kebingungan. Dalam jarak yang tak lebih dari serentangan tangan, Will memperhatikan kedalam mata turquoise di hadapannya.

Sekarang ia tahu seperti apa rasanya saat kau tidak mengenal wajah seseorang, namun seolah jiwamu telah mengenal satu sama lain.

Kilasan kabur tentang seorang gadis yang selalu memenuhi mimpinya, terasa semakin nyata. Ingatan akan masa kehidupan penuh Angels dan Demons berhamburan. Janji-janji, tragedi yang melukai satu sama lain, dan sumpahnya, ''Tak peduli ratusan atau ribuan tahun, I will find you againAku tak akan pernah melupakanmu Seraphine.'

Semuanya menjadi jelas sekarang.

Selama bertahun-tahun Will berusaha mengumpulkan remah petunjuk dengan ingatan samarnya. Seolah wanita berambut rose gold itu sengaja memendam nama dan wajah gadis tersebut, untuk membuat Will berjuang menemukan gadis yang dicarinya.

Now I find you, batin Will.

Kelegaan dan kehangatan yang tak terkira, membanjirinya. Seperti bagian dirinya yang telah lama hilang akhirnya ditemukan.

"Kau mengingat semuanya ... ?" Isabelle berhasil menemukan suaranya dari keterkejutan, membuat Will kembali ke saat ini.

"Bagaimana mungkin aku melupakanmu semudah itu?"

Air mata bahagia mulai menggenang di pelupuk Isabelle. Will ingin memberitahu ia mengingat semua kenangan mereka, memeluk Isabelle sekarang juga, setiap jengkal tubuhnya merindukan gadis itu. Namun, Will tidak ingin rencana yang sudah susah payah disiapkan selama satu bulan, gagal total.

Belum waktunya memberitahu Isabelle.

"Tingkah heroikmu yang kabur dari rumah mengenakan seragam maid sangat susah dilupakan. Kau bahkan tak menatapku sama sekali," lanjut Will tersenyum miring, mengalihkan pada kejadian sebulan yang lalu.

Isabelle tampak tercenung dalam pikirannya, sorot matanya bercampur kekecewaan. "Kukira kau mengingat—Tunggu!"

Tiba-tiba gadis itu tersentak.

"Jadi kau calon pilihan Mom dan Dad?!" pekiknya tak percaya.

Will berusaha menahan senyum puas melihat ekspresi Isabelle. "Kurasa sekarang waktunya memperkenalkan diri dengan benar." Ia menjulurkan tangan. "Will Blanford."

Isabelle hanya menyambut dengan kaku, matanya melebar tak percaya.

"Ternyata kau buru-buru ke New York untuk membeli koleksiku, Miss Cleveland?" Mata abu-abunya berkilat jahil.

Rasa syok mendatangi gadis itu bertubi-tubi. "Kau pensupport menjengkelkan itu? Kebetulan yang luar biasa," gumamnya. "Sebulan aku mencoba menunggu dengan sabar. Sekarang, kembalikan liontinku." Ia menatap nyalang sambil menjulurkan tangan.

Membuat Will tidak bisa menahan tawa kecil. Di kehidupan ini pun, mereka meributkan hal yang sama.

"Sudah kubilang, benda itu tak ternilai bagiku." Will bersidekap defensif. Ia senang memancing sisi persaingan Isabelle. Kegigihan jernih di mata turquoise itu, menarik baginya.

"Apa alasanmu?" desak Isabelle.

"Liontin itu milik seseorang yang sangat berarti bagiku," jawab Will sambil menatap dalam-dalam manik turquoise yang melebar itu.

Isabelle mengerjap ragu. "Kau ... apa kau mengingat pernah bertemu denganku sebelum kehidupan ini?"

"Kenapa kau bertanya begitu?" Will balik bertanya. Ia tidak akan menjawab Isabelle sekarang.

Isabelle terdiam. Entah apa yang ia pikirkan, namun gadis itu menatap kembali ke dalam café. Kemudian menghembuskan nafas pasrah.

­"Tidak penting kau mengingatku atau tidak," lirih Isabelle. Will mengerutkan kening, melihat matanya mulai berkaca-kaca. "Kau sudah memiliki tunangan dan anak."

"Apa?!" Will berjengit tak mengerti. Gadis ini tak pernah berhenti mengejutkannya.

Tiba-tiba, air mata sudah membanjiri pipinya. Dibalik semangat gigih dan tindakan yang nekat, Isabelle memang gampang menangis.

Will menatap kosong, tak tahu harus berkata apa. Hingga ia menyadari apa yang dilihat Isabelle. Ia menoleh ke arah seorang wanita muda yang menggandeng putri kecilnya, hendak keluar café.

Oh sial. Will melupakan rencana dan cincinnya. Tadi, ia sengaja pura-pura tidak melihat Isabelle.

"Cincin itu bukan milik wanita yang kau lihat."

"Milik siapa lagi? Gadis kecil itu bahkan bermata abu-abu sepertimu." Kebiasaan Isabelle ketika panik mulai keluar. Ia terus berbicara tanpa jeda. "Aku tidak ingin melihatmu dengan wanita lain. Itu membuatku merasa hancur—" ia mulai terisak. "—Namun, kalau kau menemukan seseorang yang lebih baik dariku, aku tidak bisa apa-apa selain merelakanmu. Aku hanya ingin melihatmu hidup bahagia lebih dari apapun."

Will memandang Isabelle tak habis pikir. Akhirnya ia tidak tahan untuk menjawab, "Aku manusia sekarang, bukan Demons. Tentu saja aku bisa memiliki kakak ipar dan keponakan."

Isabelle membelalak. Dan Will menyadari ia keceplosan.

Damn!

"Kau mengingat—" ucapan Isabelle terpotong oleh seorang wanita yang menghampiri mereka.

"Kau membuatku bekerja keras dalam sebulan untuk mendesign cincin ini, dan kau berani-beraninya meninggalkan begitu saja di meja." Wanita berambut merah tadi menyerahkan sebuah kotak beludru berwarna champagne.

Isabelle tak menyangka ternyata mengenal wajah cantik wanita itu. Asisten Will di garis waktu yang lain, yang selalu membuat Isabelle merasa ciut dengan kecantikannya.

Will tersenyum masam. "Maaf. Dan thanks, Halle."

Gadis kecil yang digandengnya melambai pergi ke arah Will. "Good bye, Uncle Will." Ia tersenyum manis.

"Bye, Millie."

Isabelle memperhatikan dalam diam. "Cincin itu benar-benar bukan miliknya." Ia bergumam setelah Halle berlalu.

"Tentu saja bukan." Will memutar bola mata.

"Kalau begitu milik siapa ... ?" Isabelle bertanya ragu.

Will hanya menatapnya sambil bersidekap.

Sebuah kemungkinan merebak dibenak Isabelle. "Tidak mungkin milikku ... kan ...?" Ia meringis canggung

Will masih tidak berkomentar.

Entah apa yang dipikirkan pemuda itu, Isabelle terkejut saat Will tiba-tiba menggandeng tangannya.

"Aku akan mengajakmu ke suatu tempat, sekarang." Mata abu-abu menawannya tak sanggup membuat Isabelle menolak.

***

Derum rendah mobil sport dipecah oleh seruan seorang gadis.

"Jadi, kau mengerjaiku Will Blanford?!" Matanya menatap nyalang.

Isabelle sudah memutar seluruh tubuhnya menghadap Will, sementara pemuda itu hanya mendesah pasrah. Will sudah menyerah menutupi. Bukan Isabelle namanya kalau tidak berhasil menguak sesuatu sampai dapat.

Ia melihat gadis itu menatapnya dengan kejengkelan dan rasa tak percaya yang naik hingga keubun-ubun.

"Dalam sebulan, aku selalu terjaga tiap malam gara-gara ketakutan yang sama─aku tak akan bertemu denganmu lagi. Tak ada lagi cara untuk kita bisa bersama. Tapi kau─" omelan Isabelle tercekat oleh matanya yang mulai basah lagi. "Kau mengingatku dan berpura-pura tak mengenalku. Rasanya seperti dunia berakhir saat akhirnya melihatmu, namun kau berpaling dariku."

Will menatap sepasang mata turquoise itu beberapa saat. Sebuah rasa bersalah terbersit di hatinya. Apa ini agak keterlaluan?

Tidak, batinnya. Semua ini ada alasannya.

"Sudah kubilang. Aku tidak mengingat nama ataupun wajahmu sebelum ini. Aku terus mencari dan semua ingatan itu baru menjadi jelas saat aku bertemu denganmu barusan." Will berusaha sabar menjelaskan. Ia menatap Isabelle lagi. Satu tangannya mengusap pipi gadis itu sementara satunya masih memegang kemudi. "Kau hanya menunggu sebulan. Namun, setelah kau kembali ke masa depan, aku harus menantimu selama ratusan ribu tahun. Jadi siapa yang lebih menderita disini?" Will tersenyum menantang, membuat Isabelle akhirnya terdiam menyadari.

Pertama kali Will yakin telah menemukan gadis dalam ingatan samar dan mimpinya adalah saat melihat foto kecil Isabelle di mansion Cleveland. Kedua, ketika gadis itu mengakui Baetylus Stone adalah miliknya. Itu adalah pertama kali Will speechless saat Rollan melaporkan sesuatu.

Namanya Isabelle Cleveland.

Akhirnya ia menemukan nama gadis dalam ingatan yang menghantui selama ini. Rasanya seperti berhasil mengingat ketika kau menderita amnesia.

Selama ini Will memang sengaja rutin memamerkan kalung tersebut. Berharap gadis itu akan melihatnya dan harapan Will terkabul.

"Seberapa banyak yang kau ingat?" Isabelle bertanya pelan, setelah mereka terdiam beberapa saat.

Will mengulas senyum misterius. "Kau akan tahu sendiri."

Waktu berlalu, dan tak terasa Will menghentikan mobilnya di tempat tujuan. Isabelle mengenali suasana sekitarnya walaupun telah banyak berubah.

Kota sepi yang damai, lokasi rumah kolonial di masa yang lain. Sekarang dihadapannya menjulang rumah bergaya kontemporer yang gelap gulita.

Apa maksud Will mengajaknya kesini? Batin Isabelle.

Sambil mengerutkan kening, ia mengikuti Will dalam diam. Mereka mengarungi pekarangan rumput rapi yang membentang luas. Cukup untuk pesta kebun.

Tiba-tiba Will berhenti, mengeluarkan sesuatu seperti remote dari sakunya. Isabelle terkesiap saat semua lampu menyala dalam sekejap. Menampakkan rumah mewah yang besar. Benar-benar berbeda dari pemandangan ketika Isabelle pertama kali mengecek kemari.

Dalam sebulan, seseorang telah merenovasi habis-habisan.

Isabelle masih terkagum hingga tidak menyadari Will telah berbalik kearahnya.

"Inilah alasanku menunda bertemu denganmu sampai sebulan. Untuk mempersiapkan rumah ini dan segala isinya." Tatapan Will yang begitu intens membuat Isabelle merasa tidak memijak bumi dengan benar. Kakinya seperti jelly.

"Dan ini." Will perlahan mengeluarkan kotak beludru berwarna champagne tadi.

Malam langsung terasa sunyi. Jutaan bintang dilangit seolah memandang mereka dalam diam. Menjadi saksi perjalanan cinta yang begitu panjang.

Jantung Isabelle berdegup sangat kencang. "Will─" ucapannya tercekat.

Masih memenjara tatapannya dalam mata abu-abu intens itu, Will berlutut dihadapannya.

Tiba-tiba bumi terasa berputar lebih lambat dari biasanya.

"Isabelle Seraphine Cleveland," panggil Will, seolah merasuk ke tulang-tulang Isabelle. Keseriusan Will membuatnya merinding. "Ratusan ribu tahun bahkan ratusan ribu lainnya telah kulewati. Di masa lalu dan garis waktu lain yang terhapus, setiap kali aku menatapmu, aku kembali jatuh cinta padamu, lagi dan lagi. Bahkan waktu dan kematian tak bisa menghalangi perasaanku."

Will membuka kotak beludru itu perlahan. Sebuah cincin indah tampak di dalamnya.

Isabelle sudah membekap mulutnya untuk menahan air mata haru yang tak kunjung berhenti mengalir.

"Dan saat ini kita akhirnya hanya sepasang manusia. Tak ada Caleum dan Underworld. Tak ada ancaman janji pernikahan yang bisa membakar lidahku."

Isabelle tak bisa menahan sebersit senyum "Kau mengingat semuanya." Suara gadis itu bergetar.

Will tersenyum. "Seperti saat itu ketika melamarmu di Ivory Hills. Aku hanya ingin menghabiskan seluruh kehidupan ini bersamamu. Membangun keluarga yang indah di rumah ini. Dan pada akhirnya menua bersamamu."

"So will you marry me? " Mata abu-abu yang begitu indah itu tak beralih sedetik pun.

"Yes!!" Isabelle tak tahu ada kata lain selain itu. Ia bahkan tak perlu berpikir lagi, seluruh tubuhnya menggaungkan kata yang sama.

Will tersenyum. Kebahagiaan yang tak terkira terpancar jelas di matanya, setelah menyematkan cincin indah di jari manis Isabelle. Akhirnya Will kembali berdiri dan Isabelle tak lagi menahan diri menerjang ke dalam pelukan Will, hingga kakinya terasa terangkat dari tanah.

Seolah jiwa mereka akhirnya dapat bersatu, setelah terpisah begitu lama.

Kerinduan yang tertahan sejak tadi, akhirnya tumpah ruah.

Bibir mereka saling bertautan seolah tak ada hari esok. Tidak bisa lagi dibedakan siapa yang maju lebih dulu.

Will sudah benar-benar mengangkatnya dari tanah, membuat Isabelle menumpukan tangannya di bahu pemuda itu. Sesekali jemari lentik Isabelle menyusup di antara rambut ash brown Will, mengirim denyar familiar yang ia rindukan.

Setelah melepas rasa rindu yang seperti tak akan berakhir, akhirnya Will mengurai pelukan dan menggenggam kedua tangan Isabelle "Apa kau tidak merasa persitiwa ini familiar?" Will bertanya dengan senyum miring.

"'and they lived happily ever after.'" Will mengutip akhir dari buku ceritanya. Isabelle terenyuh, memandang kedua tangan Will yang menggenggam tangannya. Ingatannya langsung menampilan gambar illustrasi sepasang kekasih bergandengan tangan dan seorang pemuda yang berlutut dengan cincin ditangannya, didepan rumah masa depan mereka.

Will melakukannya sama persis seperti akhir bahagia yang ia impikan di buku dongeng yang dikarangnya.

"Now we are," lanjut Will tersenyum lembut, selaras dengan tatapan hangatnya.

Isabelle tidak bisa lagi membendung air mata haru yang menuruni pipinya. "Now we are," ucap gadis itu penuh kelegaan, membelai wajah rupawan pemuda yang sangat ia cintai.

Sampai kapanpun mata abu-abu Will selalu berhasil menjeratnya. Seperti awan badai yang memenjarakan, namun seindah dan selangka berlian abu-abu.

Ia merasakan Will kembali mendekapnya. Aroma maskulin yang familiar membuat Isabelle merasa nyaman ketika bersandar di dada pemuda itu.

"Kaulah yang meminjam buku itu. Aku tak menyangka kau membacanya," kata Isabelle.

"Aku tak sengaja membacanya dan terkejut ternyata sangat mirip dengan ingatan aneh yang selalu menghantuiku. Sayangnya aku tidak bisa mendapatkan identitas si penulis, karena kau menyingkat namamu disitu." Will tersenyum miring. "Ceritamu itulah yang menuntunku padamu. Sejak saat itu, aku mulai percaya perkataan wanita berambut rose gold benar. Ada seseorang sangat penting yang kucari dalam hidup ini."

Perasaan hangat mengaliri sekujur tubuh Isabelle. Rasanya ia tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi.

Masih berada dalam pelukan Will, Isabelle mengamati takjub, cincin yang tersemat di jarinya.

Sebuah cincin berbentuk mahkota tipis yang tersusun dari berlian-berlian yang sangat kecil, begitu indah seperti taburan bintang.

"Kenapa mahkota?" Isabelle bertanya, mendongak penasaran. Ia mengurai pelukan sebatas untuk menatap wajah Will.

Will meraih tangan Isabelle sebelum menjawab. "Seperti itulah dirimu untukku." Perasaan bahagia kembali membuncah saat menatap cincin tersebut di jari Isabelle.

Ia memang meminta Halle mendesign khusus sedemikian rupa.

"Seperti mahkota, you always be the queen of my heart. Dan aku akan selalu mencintaimu selama masih ada bintang yang bersinar di angkasa," ucap Will pelan. Entah sejak kapan ia sudah membelai pipi Isabelle.

Sinar bahagia di mata turquoise itu berarti segalanya bagi Will. Segala tentang Isabelle seperti keindahan yang menghipnotis.

Ia terkejut saat Isabelle tiba-tiba berjinjit untuk mengecup bibirnya.

"Dan aku akan mencintaimu lebih dari itu, Will," bisiknya.

Aroma manis Isabelle memenuhi Will. Perpaduan wangi tipis bunga yang memabukan. Kecantikannya tak bisa dijelaskan seperti keindahan benda apapun. Karena jiwanya yang memilih, bukan dinilai oleh inderanya.

Dan gadis inilah yang akan menjadi pendamping hidup Will hingga ajal tiba dalam kehidupan ini.

Ia melihat sorot mata Isabelle seolah tak ingin berpisah sedetik pun, mendambakan dirinya, tepat seperti yang Will rasakan.

Sudah cukup banyak perpisahan yang mereka lalui.

Seluruh pengorbanan dan usaha untuk bersama kembali, telah terbayarkan.

Semua penderitaan mereka hingga tiba di saat ini, seolah terhapus lunas.

Will membelai rambut pirang keemasan gadis itu. Ia menyingkirkan beberapa helai yang jatuh di wajahnya dan merengkuh wajah Isabelle. Ia tak bisa menahan lagi untuk mencium lembut bibir Isabelle.

Ketergesaan karena rindu yang meluap-luap telah berlalu. Bibir mereka menaut dengan manis, penuh cinta satu sama lain. Perlahan, api gairah mulai memercik kecil dan semakin membara. Will merasa terjerat dan tenggelam semakin dalam.

Ditengah lumatan yang semakin intens, Isabelle terpekik saat Will tiba-tiba meraup tubuhnya kedalam gendongan.

"Aku berubah pikiran, aku tak akan memulangkanmu malam ini," bisiknya, sebelum kembali mengecup bibir Isabelle. Nafas keduanya sama-sama memburu.

Isabelle tersenyum, mengalungkan tangannya di leher Will. "Kau sudah membawaku pulang. Mulai sekarang, rumah ini adalah rumahku."

Will tak bisa menahan untuk tidak ikut tersenyum. Kehangatan mengaliri sekujur tubuhnya. Ia mencium kening Isabelle penuh cinta.

"Our home," koreksinya.

********

https://youtu.be/1LK0iDlPlTU

[Play the video! sebagai background music untuk scene terakhir  ^^  Music dengan judul sama ini, yaitu Aeon, adalah salah satu inspirasi awal cerita ini]


Thousand years and thousand years more..

Beberapa bulan kemudian

Musim panas

I V O R Y   H I L L S [MASA SEKARANG : F I N L A N D] 

Bukit-bukit telah menghijau setelah berjuang melalui musim dingin yang panjang. Seperti masa suram yang tiada henti telah berakhir. Danau berkilau indah seperti kaca. Bunga-bunga liar bermekaran. Namun, suhu musim panas di Finlandia, tepatnya di kota terpencil kilpisjarvi, tak pernah lebih dari 20 derajat celcius.

Aku berjalan keluar dari belakang tenda megah yang didirikan khusus untukku, sudah lengkap dengan gaun pengantin berpadu brocade elegan. Aku menatap semua keindahan alam yang terhampar di hadapanku, sambil menunggu waktunya Dad menjemputku untuk menuju altar pernikahan.

Khusus hari istimewa ini, keluarga Cleveland dan keluarga Blanford seolah menyewa seluruh kota. Helikopter-helikopter pribadi plus sewaan, terus datang silih berganti dengan teratur, membawa tamu undangan, mendarat di beberapa helipad buatan. 

Veil tipis berkibar di balik punggungku. Aku mengingat kembali saat Mom menitikkan air mata bahagia saat membantu menyematkannya di bun rambut pirangku. Keluarga Will juga membantuku di tenda pengantin.

Mrs. Blanford memelukku sambil tersenyum hangat. Ia mengatakan selamat datang di keluarganya, membuatku tersenyum lembut.

'Will telah menanti saat ini begitu lama. Untuk menemukanmu dan menggenggam tanganmu di depan altar pernikahan.' Perkataan Mrs. Blanford tadi terasa ambigu dan membuatku curiga, apa hanya kebetulan atau ia mengetahui sesuatu.

Aku masih berusaha mencerna fakta saat ini. Azura adalah ibu Will dan ia menjadi single mom sejak suaminya tiada. Dan Cateno adalah kakak Will di kehidupan ini, artinya ia suami Halle dan ayah Millie. Cateno memang CEO Blanford company, namun Will adalah pemegang saham terbesar sekaligus direktur utama yang memimpin pemegang saham lainnya. Pantas saja ia jarang terlihat di kantor dan bisa hidup lebih bebas—kehidupan yang tidak jauh berbeda ketika menjadi raja Underworld.

Aku baru tahu ternyata salah satu divisi khusus yang dipimpin langsung oleh Will, menyediakan sebagian besar pasokan bahan baku senjata The Nox.

Dialah Chairman muda yang dibangga-banggakan Mom dan Dad. Saat mengetahui hubunganku dan Will, Mom langsung berkomentar 'Tahu begitu, kami tidak usah susah-susah mempertemukan kalian. Dan tidak ada ceritanya kau kabur dari rumah.' Aku hanya bisa meringis.

Setelah itu persiapan pernikahan berlangsung begitu cepat. Kedua belah pihak keluarga begitu antusias. Walaupun aku sudah mengingatkan Dad jangan terlalu berlebihan, hasilnya tetap saja acara pernikahan hari ini seheboh konferensi pers tingkat dunia yang diadakan di alam terbuka.

Semua dekor, meja tamu, dan gazebo buatan, tampak mewah dan megah. Bernuansa putih dan emas. Tepat di ujung tebing, altar pernikahan telah di siapkan. Seperti membangun resort sementara diantara hamparan perbukitan.

Tak mempedulikan hiruk pikuk helikopter-helikopter dan para EO yang berlalu lalang di kejauhan, aku merengguk pemandangan di hadapanku.

Aku dan Will memang memutuskan memilih tempat ini sebagai saksi janji-janji pernikahan yang akan kami ucapkan.

Aku tersenyum menatap hamparan bukit yang masih tampak familiar. Ratusan ribu tahun lalu, di tempat ini—Ivory Hills—kami pertama kali bertemu. Di suatu tempat yang disebut Confinium. Satu-satunya divisi yang mempertemukan Angel dan Demons.

Tak pernah terbayangkan saat itu, aku akan mengikat pernikahan dengan Will. Berjuang melewati penderitaan, kematian, dan menentang waktu untuk bisa bersama.

Di tempat ini segala kenangan indahku dengan Will terpatri diantara hamparan rumput dan di bawah langit biru yang cerah.

Di tempat ini Will pernah melamarku, namun semua berakhir tragis.

Di tempat ini juga, Will akhirnya menyatakan cinta setelah mengetahui sosokku sebenarnya. 'Aku mencintaimu, Seraphine'.

Sekarang awal kebahagiaan telah tiba.

Tanpa sadar aku menyentuh sebuah liontin di leherku. Kalung Baetylus Stone sudah kembali bertengger disitu. Benda ini tidak lagi sebagai simbol kutukan, namun sebagai tanda pengingat kisah panjangku dan Will.

Aku menghirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Merengguk alam disekitarku.

Tak terasa alunan sakral orchestra mulai mengalun. Dad menjemputku untuk menuntun menuju altar pernikahan.

Aku berpegang pada lengan Dad ketika mulai menapaki karpet yang penuh bunga semerbak, seperti jalan menuju surga.

Deretan para tamu undangan yang panjang, bangkit berdiri.

Rasa nervous yang familiar mulai menderaku. Semoga saja aku tidak terjatuh atau apa.

Seolah merasakan ketidaknyamananku, Dad mengusap tanganku. "Aku akan menjagamu agar tidak jatuh," kekeh Dad. Sorot hangatnya membuatku tersenyum lega. "Ini terakhir kalinya aku akan menggandengmu sebagai putri kecilku. Setelah ini kau akan beranjak menjadi seorang ibu yang akan memiliki anak-anak sendiri."

Aku tahu Dad menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis, begitu juga denganku. Mata coklat hangatnya berbinar haru dan bahagia tak terkira.

"Saat itu tiba, kau akan memahami seperti apa cintaku dan Mom padamu, Isabelle," lanjut Dad.

Senyumku mulai bergetar menahan tangis haru. "Meskipun aku sudah memiliki keluarga sendiri, aku tetap ingin menjadi putri kecil kalian."

Dad tertawa kecil. "Baiklah, kalau itu maumu."

Di latar belakang, lagu pernikahan mengalun mulai mengalun lembut dan sakral. Waktunya aku dan Dad melangkah menuju altar.

Aku memperhatikan deretan para tamu undangan di depan sana. Menangkap pandangan Mom. Lalu beralih pada Lizzie, Kyle, Bernard, Nick, dan Jessa yang tersenyum bahagia. Lizzie dan Jessa sesekali mengusap air mata haru.

Ketika aku menatap ke depan, Will telah menunggu di kejauhan. Masa depanku bersamanya terpampang semakin jelas. Rasa nervous yang menderaku hilang tak bersisa. Walaupun melihat dari balik veil, wajah rupawan dan mata abu-abunya semakin jelas ketika aku semakin dekat. Setelan jas hitam yang ia kenakan, membuatnya tampak semakin menawan. Aku nyaris lupa bernafas.

Senyum bahagia Will tak terterlukiskan. Binar ketakjuban yang menatapku, seperti melihat surga mewujud dihadapannya. Membuatku tercekat.

Waktu seolah melambat saat tatapan kami terkunci. Seolah hanya ada aku dan Dad yang mengarungi setapak bunga menuju ke arah Will. Sinar matahari senja membayang lembut. Hamparan Ivory Hills melatar belakangi altar pernikahan. Seolah menjadi saksi kisah kami sejak ratusan ribu tahun yang lalu, dan ratusan ribu tahun lainnya.

Ketika tiba saatnya Dad menyerahkan tanganku pada Will, aku tak kuasa untuk memeluk Dad dan menitikkan air mata.

"Jangan pernah berhenti mencintai putriku. Jaga Isabelle baik-baik," kata Dad saat menyerahkan tanganku pada Will.

"Tentu, Mr. Cleveland . Aku sudah jatuh cinta padanya sejak masa malaikat dan iblis masih menapak bumi," Will tersenyum. Dad mungkin menganggap ucapan Will berlebihan, tidak menyadari itu adalah fakta.

Begitu Will menggenggam tanganku, denyar kebahagian yang tak terkira membuat bulu kudukku berdiri. Seolah aliran listrik mengalir dalam darahku.

"You look beautiful in white." Will bekata takjub.

"Tumben kau memujiku," bisikku, sangsi. Aku belum terbiasa dengan Will yang menatapku begitu memuja.

"Biasanya kau selalu cantik, untuk apa aku memujimu lagi." Will tersenyum miring. Aku hampir menahan nafas menatap wajah rupawannya, namun Will masih bisa melontarkan candaan.

Setelah kami berhadapan di depan altar, Will melanjutkan pelan. "But today, standing here as my bride, you are the most beautiful woman I've ever seen."

Aku tersenyum hangat. "Kau bahkan belum membuka tudungku. Semoga kau tidak pingsan karena bahagia, ketika melihatku dengan jelas," balasku.

"Aku lebih memilih mematung menatapmu daripada pingsan sekarang," jawab Will. Dan kamipun sama-sama tersenyum. Bersama dengan Will terasa begitu natural dan nyaman. Tak ada rasa gugup, walaupun ribuan pasang mata sedang menatap kami.

Suasana langsung berubah sunyi saat sang pemuka agama memulai upacara pernikahan. Kalimat demi kalimat sumpah pernikahan yang kami ucapkan seolah bergaung di benakku.

Ketika mengucapkan kalimat sumpah terakhir, aku dan Will sama-sama tersenyum penuh arti.

Hingga takdir benar-benar melarang kita untuk bertemu lagi, aku akan selalu mencintaimu.

Kalimat yang sama yang kuucapkan ratusan ribu tahun lalu, di garis waktu yang berbeda. Saat jurang pembatas sebagai Angels dan Demons terpampang jelas. Saat aku terpaksa meninggalkan Will setelah racun orcus membunuhku.

Akhirnya sang pemuka agama mengesahkan kami sebagai sepasang suami istri. Will maju untuk membuka tudungku. Kurasa saat inilah, pertama kalinya aku melihat Will menahan nafas mengendalikan ketakjuban dan emosi lain yang berkecamuk. Ia adalah orang paling tenang dalam menghadapi situasi segenting apapun. Namun, saat ini ia tak bisa menahan rasa haru dan bahagia yang meluap-luap.

Begitu tudungku jatuh kebelakang, segalanya menjadi jelas. Tatapanku dan Will saling mengunci. Disinilah kami. Telah sampai di awal mula perjalanan baru bersama-sama. Awal membangun kebahagiaan yang kami impikan. 

Pandangan mata kami seolah sudah menumpahkan segala perasaan yang berkecamuk. Hingga tak ada kata apapun yang terucap.

Will merunduk. Aku memejamkan mata saat merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Awalnya ciuman kami terasa canggung, namun perlahan semakin menyatu dan dalam.

Sorakan para tamu undangan terdengar seperti angin sejuk yang bertiup, saat tubuh kami menempel semakin erat. Tak tersisa sesenti pun. Aku sudah mengalungkan lengan ke leher Will. Satu lengan Will melingkari pinggangku, sementara tangan lainnya menahan wajahku agar ia bisa dengan mudah memperdalam ciumannya. Nafas kami mulai terengah.

Dehaman sang pemuka agama membuat kami merasa kembali memijak bumi, dan menyudahi ciuman tidak tahu tempat tadi. Dari sudut mata, aku melihat Lizzie, Kyle dan Bernard cekikikan di baris depan.

Aku dan Will hanya bertatapan dengan senyum geli. Will mengakhiri dengan ciuman di keningku, yang langsung disambut oleh sorakan yang semakin meriah.

"Kau tak bisa membayangkan betapa bahagianya aku saat ini. This is the beginning of our forever," bisik Will di telingaku. "Aku mencintaimu, Isabelle. One and only you."

Pandanganku memburam ketika tersenyum. Masih ada sisa-sisa air mata di pelupukku. "Aku mencintaimu Will, always," balasku, membelai lembut wajahnnya.

Aku tahu, di kehidupan nyata memang tak ada akhir bahagia selamanya. Akan ada penderitaan silih berganti. Dengan mengingat semua penderitaan yang telah lalui, kita akan menyadari betapa berartinya kebahagiaan yang kita raih. Tak akan ada kebahagiaan tanpa penderitaan.

Aku menyadari, ternyata suatu kebahagiaan tak membutuhkan alasan. Kita hanya perlu memilih untuk bahagia disini di saat ini, di setiap kesempatan kecil yang kita lalui bersama orang yang kita cintai.

Segala akhir adalah awal dari sesuatu yang baru. Inilah awal kebersamaanku dan Will. Dan kami memilih untuk bahagia di setiap waktu yang kami lalui bersama.

T H E    E N D (?)

NOPE

T H E   B E G I N N I N G

https://youtu.be/EgqXg9qPefE

And life is a road that I wanna keep going
Love is a river, I wanna keep flowing
Life is a road, now and forever, wonderful journey

I'll be there when the world stops turning
I'll be there when the storm is through
In the end I wanna be standing
At the beginning with you

Now here we stand, unafraid of the future
At the beginning with you

Dan hidup adalah jalan yang ingin terus kutapaki
Cinta adalah sungai, dimana kuingin terus mengalir

Hidup adalah jalan, kini dan selamanya, perjalanan menakjubkan

Aku kan ada saat dunia berhenti berputar
Aku kan ada saat badai usai
Akhirnya, kuingin berdiri
Di permulaan bersamamu

Kini disini kita berdiri, tak takut masa depan.
Di permulaan bersamamu

---------------------------------------------------------

22    N O V E M B E R   2 0 1 8
Aeon officially end.

Terima kasih bagi yang sudah membaca dan mensupport cerita pertamaku ini :)

*deep bow*

Semoga ini bukan karya terakhir dan jadi awal mula cerita" lainnya.

Maafkan bila masih ada kekurangan" disana sini hehehe

Aku sangat mengharapkan saran dan masukan yang membangun, dan kesan-kesan dari kalian semua ^0^ Bisa langsung private message atau comment disini yaa. Para readers dan teman-teman sekalian yang membaca dalam kesunyian, jangan sungkan-sungkan untuk comment :p

Once again, Thank you, beloved readers! dukungan kalian semua sangat berarti dalam perjuanganku menyelesaikan cerita ini.

Best regards, Eve Sharon

Author's note: Stay tune! Masih ada Epilog dan beberapa extra part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro