Part 23: Fragment of Dream

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tahu aku sedang bermimpi, tetapi semua sensasi di sekitarku, suara, sentuhan, aroma, gambaran ini terasa nyata. Aku menatap semua kejadian disekitarku melalui mata kepalaku sendiri, seolah aku berada disana.

"Kita akan mendapat giliran jaga, lagi," kata salah seorang temanku sambil mengerang. Melangkah masuk melalui ambang pintu pualam. Ruangan disekitarku memiliki pilar-pilar tinggi—Arsitektur Yunani kuno yang kukenal di masa sekarang. Entah bagaimana aku mengenali latar tempat di mimpiku disebut Confinium. Suatu tempat di dunia manusia, dimana para Angels dan Demons saling bertatap muka untuk menjaga perbatasan. Confinium selalu menjadi yang pertama mengetahui semua berita yang terjadi di dunia ini.

"Kenapa kita lagi?" sahutku tak terima. "Aku akan protes," kataku sambil beranjak berdiri. Baik hati bukan berarti bisa dimanfaatkan.

"Tunggu, kau baru di tempat ini. Kau tidak mengenal para malaikat iblis itu seolah menguasai Confinium. Mereka sering bertindak sesuka hati. Terutama adik sang raja Underworld itu, William," kata temanku tadi—seorang angel bernama Jeremy.

"Ini tidak benar, Jeremy," kataku. Tak peduli beberapa temanku yang lain berusaha menahanku. Langkahku bergema di koridor berpilar megah ini.

Pandanganku jatuh pada tiga orang Demons yang sedang bergurau. Salah satunya duduk di kursi paling megah yang berada diujung dari deretan kursi yang mengeliling meja untuk rapat. Seorang pemuda berada di salah satu sisinya, dan seorang wanita di sisi lain. Seolah mereka benar-benar penguasa tempat ini. Padahal ruang pertemuan megah ini hanya digunakan untuk membahas masalah pelik bukan tempat bersantai ria.

Tawa mereka berhenti begitu aku melangkah masuk.

"Lihatlah siapa yang kemari. The grumpy Angel," kata pemuda yang duduk di kursi itu dengan senyum mengejek—Will! Aku mengenali mata abu-abu indah dan raut rupawan itu. Hanya saja, di mimpiku ia terlihat lebih..hidup? Namun, sifat arogannya tak berubah.

"Ikuti jadwal jaga dengan benar," kataku tetap tenang, tak mempedulikan ejekannya. Ini pertama kalinya aku benar-benar berbicara dengan pangeran Underworld itu.

"Kalian para Angels dengan senang hati melakukan tugas itu. Jadi, kami hanya menyenangkan kalian," kata si malaikat iblis wanita, Katia. Si pemuda lainnya, Nathan, dan pangeran Underworld itu tertawa tertahan. Mereka tak akan serius dan pasti senang melihatku memohon.

Tanpa sadar aku menggebrak meja. Diseberang meja, dihadapanku, Will tertegun.

"Apa maumu?" tuntutnya.

"Menuntut keadilan," kataku. Aku tak bisa membiarkan teman-temanku tertindas.

"Semua ini sudah adil bagiku," katanya tak peduli.

"Bagaimana kalau kita taruhan?" kataku.

Will mendengus tak percaya.

"Yang kalah akan mengikuti satu kemauan pemenangnya," lanjutku.

"Aku tak akan mengikuti permainan konyolmu,"

"Kau takut?" tanyaku, dengan senyum miring.

"Tentu saja tidak!" Will mengangkat alisnya, mulai sebal. "Baiklah, kita bertaruh."

"Deal," kataku. Dalam hati bersorak menang.

Suasana disekitarku berganti menjadi pandang rumput dan perbukitan yang tampak asri, tak terjamah manusia.

"Kau tak akan menang," kata Will, tersenyum miring. Ia berdiri disampingku. Katia, Nathan, dan beberapa malaikat iblis lainnya menyoraki nama Will.

"Lihat saja." Aku membalasnya dengan senyum manis. Para Angels yang meyorakiku tak seramai pendukung Will. Jeremy bahkan berkata dengan ketakutan,

"Kalian akan menyebabkan peperangan Angels dan Demons kembali terjadi tepat di tanah perdamaian ini."

"Kau boleh memanahnya dulu," kataku pada Will. Ia tertawa.

"Kau akan menyesal," kata Will. Ia mengangkat busurnya dengan mantap.

Aku menyarankan sebuah taruhan memanah. Targetnya adalah sebuah tiang besi yang dipersiapkan beberapa saat yang lalu. Tiang itu hanya terlihat seperti garis kecil dari tempatku berdiri. Jika pemanah pertama dapat menancapkan anak panahnya di tiang tersebut, maka pemanah kedua harus bisa membelah anak panah pertama.

Begitu anak panah Will melecut keras dari busurnya, tak lama kemudian suara sesuatu yang menumbuk besi terdengar. Pada malaikat iblis bersorak. Aku tetap tenang.

Sekarang giliranku yang merentangkan busur. Aku merasakan anak panahku melecut sama kuatnya dengan Will tadi.

"Aku sedang berpikir keras apa yang akan kuminta—"

Derak suara anak panah yang terbelah, membuat Will berhenti berbicara. Rautnya murni terkejut. Para Angels yang tak menyangka akan menang, langsung menyerukan namaku.

Aku tersenyum menang, menatap mata abu-abu yang membelalak itu.

"Lupakan saja taruhan tadi, Will," kata Nathan. Aku hendak memprotes, namun Will berbicara dulu.

"Aku tak akan mengingkari ucapanku," kata Will. Walaupun ia menatapku sambil menggertakkan gigi, aku bisa tahu egonya terlalu tinggi untuk curang.

Wajah Will adalah hal terakhir yang kulihat sebelum kesadaranku perlahan kembali. Seolah perlahan muncul ke permukaan, mataku yang berat mulai terbuka.

Semua hal yang terjadi entah berapa jam yang lalu menyerangku kembali. Kamar mewah ini tampak remang-remang.

Aku berada di penthouse Will, batinku, teringat kata-kata terakhir Will tadi.

Kumpulan fakta tak terelakkan tentang Will yang ternyata bukan manusia, mulai menghantamku. Anehnya, aku tidak terlalu terkejut. Seolah aku mengetahui hal ini sebelumnya. Dan di mimpiku tadi, sosok Will adalah malaikat iblis.

Aku menggelengkan kepala, menepis hal terakhir. Itu hanya mimpi, Isabelle. Kekacauan barusan pasti terbawa sampai mimpiku menjadi aneh seperti tadi.

Sekarang aku memikirkan bagaimana aku harus menghadapi Will? Pura-pura tidak tahu? Namun, meskipun aku mengetahui Will ternyata seorang Demon, ia tak terlihat mengerikan. Dan aku tidak takut padanya, setelah ia menolongku tadi. Mungkin aku akan menerima Will apa adanya. Artinya aku akan berteman...dengan Demon?

Suara pintu yang terbuka membuatku menoleh. Seorang gadis berusia di bawah dua puluh lima tahun masuk sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman. Aku terkejut melihat kecantikannya yang tidak manusiawi. Pakaiannya terlihat formal seperti seorang sekrertaris.

"Anda sudah bangun, Miss Isabelle. Silahkan," katanya dengan sopan, menyodorkan nampan tadi. Aku masih tertegun mengetahui wanita secantik ini berada di penthouse Will. Tidak mungkin pemuda seumuran Will memiliki sekretaris kan? Perasaan tidak enak segera menyusup. Iri? Merasa tersaingi? Ataukah..cemburu—?

Aku segera menepis pemikiran itu.

"Thanks. Tapi tidak perlu, aku akan pulang sekarang," kataku, bangkit duduk dan turun dari kasur. Aku sadar ponsel dan seluruh barang di clutchku tertinggal entah dimana di dalam ruangan pesta. Auntie Charlene pasti mencemaskanku—pikiranku terhenti.

Aku merasa aneh.

Aku melihat kedua telapak kakiku bergantian. Lukanya lenyap.

Lengan kananku telah bersih dari luka. Hanya bekas gigitan samar sewarna kulit baru yang tersisa.

Pikiranku berfantasi. Aku menjerit.

"Aku tidak berubah menjadi vampir kan?!!" semburku pada gadis tadi.

"Tidak Miss. Anda masih manusia," kata gadis itu sambil mengerjap bingung. Rasanya aku ingin merosot lega. Kemudian aku tersadar, gadis ini tahu tentang manusia dan monster. Ia pasti bukan manusia juga, terutama karena wajah cantiknya yang tidak manusiawi itu.

Beberapa saat kemudian aku sudah menunggu di ruang tamu penthouse Will yang membuatku teringat pertama kali kemari. Si gadis tadi—Halle, memintaku menunggu sebentar ketika aku memaksa untuk mengambil kembali kalungku. Aku mencari Will, tapi kata Halle ia sedang tidak bisa diganggu sekarang.

Karena Halle belum juga kembali, aku tak tahan duduk diam dan mulai menyusuri penthouse ini.

Penthouse Will benar-benar besar. Aku terus menyusuri koridor hingga sampai di bagian paling belakang dimana terdapat sepasang pintu ganda berat.

Daun pintunya tidak tertutup rapat, sehingga aku bisa melihat lampu menyala di baliknya. Aku ragu sejenak. Terakhir kali aku mendengar secara diam-diam seperti ini, yang kudengar adalah hal buruk. Tapi, seperti biasa rasa penasaranku selalu menang.

Aku mengintip melalui celah pintu.

Suasana didalam bisa dikatakan sangat hening. Hingga aku mendengar jeritan tertahan seorang nenek tua. Ketika semakin mendekat ke celah pintu, akhirnya aku bisa melihat seorang nenek-nenek sedang terpuruk di lantai. Ia mencengkeram tepat diatas jantungnya seolah sedang terkena serangan jantung. Namun, bukan hal itu yang membuat sekujur tubuhku merinding ngeri.

Will berdiri di hadapannya sambil memejamkan mata, tangannya bersedekap. Ia sendang bersandar di meja kayu mewah. Seolah menikmati sesuatu yang tak terlihat. Dan sayap itu... Dibalik punggung Will terentang sayap hitam lebar dan kokoh tepat seperti yang kulihat di mimpiku. Wujud seorang malaikat iblis.

Aku mematung.

Nenek tadi membuat suara tercekik yang semakin keras. Tubuhnya semakin membungkuk di lantai, hingga hampir jatuh tersungkur.

"Diamlah," desis Will dengan raut dingin. "Kau tidak pantas mendapatkan kematian cepat," lanjutnya.

Apa Will sedang membunuhnya dengan kekuatan tak kasat mata lagi?! Namun, apa salah nenek tua itu? Ia tampak seperti manusia biasa. Pikiran mengerikan menerpaku. Aku menarik semua pemikiranku tentang tidak takut pada Will.

Kata-kata si vampire terulang di saat yang tidak tepat. "Ia berkali-kali lipat lebih mengerikan dari Demons manapun yang pernah kau lihat."

Aku melangkah mundur, meninggalkan ruangan itu.

Tentu saja Will tidak berbeda dengan semua monster itu. Pada akhirnya ia akan mencelakai manusia.

Aku berlari pergi. Secepatnya ingin menjauh dari sini. Tak peduli Halle yang belum memberikan kalungku. Tak peduli kakiku yang masih berlari tanpa alas.

***

Dikejauhan, menatap kejadian di depan pintu perpustakaan, seseorang tersenyum licik. Mungkin terror tak akan menyingkirkan gadis itu, namun ketakutannya sendiri yang akan membuat gadis itu pergi. Ia merasakan secercah harapan untuk menuntaskan misinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro