Part 24: Faltering Heart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah melewati berbagai tatapan penasaran dan perasaan yang kacau, akhirnya aku menginjakkan kaki di depan rumah Auntie Charlene. Sebuah mobil sedan hitam mewah yang terparkir di depan rumah adalah hal terakhir yang ingin kutemui.

Mom ada didalam.

Semua seakan terjadi cepat, Auntie Charlene keluar bersama Lizzie. Auntie Charlene memelukku dengan lega setelah membayar taksi yang kutumpangi.

Mom menunggu kami di teras. Tidak seperti Auntie Charlene, Mom lebih susah mengekspresikan perasaannya. Mungkin karena Mom terbiasa berurusan dengan pekerjaan dengan posisi sebagai pemimpin. Kukira Mom akan memarahiku karena baru pulang setelah kekacauan yang terjadi di sekolah. Namun, apa yang dilakukan Mom sekarang ini membuatku terkejut.

Mom tiba-tiba memelukku.

"Mom mengira akan kehilanganmu, Isabelle," kata-kata Mom membungkamku. Saat melepaskan pelukannya, aku melihat mata Mom basah oleh air mata.

Auntie Charlene memandu kami untuk masuk kedalam dan duduk di ruang keluarga. Aku masih membisu dan terkejut oleh raut Mom yang sangat cemas.

"Kau dari mana?" Auntie Charlene bertanya. Ia seperti juru bicara antara aku dan Mom.

"Aku..aku dan temanku pergi sebelum acara selesai. Ia membawaku pergi ketika..kekacauan mulai terjadi," pikiranku merangkai jawaban semasuk akal mungkin. Lalu, sesuatu menyentakku. Aku tidak tahu entah apa yang dilihat manusia tentang kejadian barusan.

"Will membawamu pergi hanya gara-gara ada alumni sakit jiwa yang mengacau? Hampir tidak ada yang terluka. Meskipun ia melempar kaca lobby dengan batu," tanya Lizzie, meringis. Aku mematung, jadi itu kejadian yang terlihat di mata manusia, entah bagaimana.

Interogasi masih terus berlanjut. Aku baru sadar sekarang hampir tengah malam. Ternyata seseorang memberikan tasku ke Lizzie dalam keadaan selamat. Saat Auntie Charlene bertanya aku tidak mengenakan alas kaki, aku hampir tidak bisa menjawab. Kukira ucapan Mom menyelamatkanku, namun perkataannya membuatku lebih tercengang.

"Mom sudah memutuskan, aku akan menyiapkan semua urusan kepindahanmu ke London. Sebulan dari sekarang kau akan berangkat," kata-kata Mom menyambarku. Disaat seperti ini Mom kembali bertekad akan hal itu.

"Jangan membahas itu lagi, Mom. Tidak cukupkah aku menyingkir dari mansion Cleveland?"

"Isabelle, Ally memang tidak pintar mengutarakan perasaannya, namun itu demi kebaikanmu," kata Auntie Charlene menengahi. Mata birunya yang sewarna Mom menatap penuh pengertian.

Aku memandangi Auntie Charlene dan Lizzie. Raut wajah mereka menunjukkan mereka sudah tahu alasanku kabur dari rumah.

"Kalian sudah tahu," gumamku lemah. Entah kenapa hal ini membuatku ingin menangis lagi, meratapi fakta menyakitkan itu.

"Aku tidak menyuruhmu pergi. Kita akan pindah ke London," Mom berkata dengan tegas, namun mata birunya menatapku lembut. Aku melunak mendengar itu. Mom bersedia meninggalkan pekerjaannya di New York entah bagaimana.

"Hanya jika Mom menjelaskan semuanya," kataku, masih bersikukuh. Mom dan aku sama-sama menuntut kelogisan dan keras kepala.

Mom berkata pada Auntie Charlene, ia akan berbicara private denganku. Setelah menutup pintu kamar, Mom menyusulku duduk di kasur. Ia menggenggam kedua tanganku. Aku lupa kapan terakhir kali Mom melakukannya.

"Kalau Mom memberitahukan alasannya, berjanjilah jangan pernah mencari siapa yang Mom bicarakan, Isabelle," mata biru Mom menatapku dalam-dalam dengan kelembutan yang tidak biasa.

Aku terpaksa menggangguk agar Mom bercerita.

***

Will memandangi deretan batu nisan yang berjejer rapi di samping sebuah rumah ibadah bergaya klasik. Para manusia berdatangan memasuki bangunan itu. Kyle belum tampak disana. Ia tak sabar mendengar kabar belati itu, hingga rela kemari—tempat yang penuh kekuasaan Caleum.

Pandangan Will tanpa sadar mulai mencari sosok lain. Kali ini dia menemukannya. Sepasang mata turquoise itu secara kebetulan menemui tatapannya. Will memutus tatapan itu terlebih dahulu. Ia kesini untuk bertemu Kyle bukan mencari Isabelle, meskipun ia memendam banyak pertanyaan pada gadis yang kemarin kabur begitu saja.

"Aku tidak menyangka kau kemari. Mau bertobat?" Suara Kyle membuat Will menoleh. Cengiran jahil menghiasi wajahnya.

"Terlambat, neraka sudah menjadi rumahku," kata Will sambil mengangkat sudut bibirnya.

"Benar juga," sahut Kyle. Sejenak pandangan Kyle teralih dan ia berdecak jengkel. "Lihatlah secepat itu ia mendapatkan pacar baru dan ia menuduhku."

Pandangan Will ikut teralih melihat Carmen yang turun dari mobil setelah mengecup pipi pacarnya.

"Aku kemari bukan untuk mendengar tentang percintaanmu, Kyle," kata Will sambil memutar bola mata.

"Baiklah. Soal belati itu, petunjukmu benar. Aku kembali ke masa saat kau bertemu werewolf itu, lalu aku mundur beberapa hari sebelumnya sesuai perkataan makhluk itu. Dan aku melihatnya," kata Kyle.

"Kau yakin?" Rasanya Will tak percaya belati itu akhirnya terlihat lagi.

Kyle mengangguk. "Kau seharusnya memberitahuku lebih awal. Jadi aku tidak perlu jauh-jauh ke eropa di masa sepuluh tahun lalu, sebelum ini," kata Kyle.

"Aku tak menyangka perkataan werewolf itu sungguh-sungguh, hingga hampir terlupakan. Selama ini banyak petunjuk yang menunjuk ke benua eropa," kata Will.

Ingatan Will kembali ke sepuluh tahun silam. Sebuah malam di kawasan perbelanjaan elit yang hampir mengakhiri jam operasinya.

Will berjalan menikmati sekitarnya hanya sekedar mencari suasana baru. Terakhir kali ia berjalan-jalan di dunia manusia mungkin sekitar puluhan tahun lalu. Hitungan waktu di dunia manusia sangat cepat baginya.

Suara tangisan anak perempuan kecil membuat Will menoleh. Seorang werewolf mengejarnya, cakar-cakar keluar dari tangannya. Will menyadari anak itu bisa melihat Demons. Ia tidak peduli para Demons yang menyerang manusia, namun seorang anak kecil? Itu agak keterlaluan.

Gadis kecil berambut pirang itu terjerembab. Tepat saat itu ia menarik si werewolf dan membawanya menyingkir dari sana.

"Seorang anak kecil? Yang benar saja?" kata Will, mendengus mengejek.

"Sialan lepaskan—!" werewolf wanita itu membelalak begitu melihat Will. Ia langsung berlutut begitu Will melepaskannya. "Tolong ampuni saya!"

Will tersenyum miring, ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini.

"Apa yang akan kau tawarkan sebagai gantinya?"

Werewolf itu berpikir sejenak sambil ketakutan.

"Saya tahu, anda mencari belati terkutuk itu, Orcus. Saya melihat benda itu tiga hari yang lalu. Di sini, di Manhattan. Tanpa sengaja saya melihat wanita yang membawa belati itu memusnahkan seorang demon yang melihatnya membawa Orcus. Untung saja tidak menyadari saya ada di sekitar situ."

Will mengerutkan kening, lalu rautnya berubah meremehkan.

"Tidak mungkin aku tidak menyadari selama ini benda itu ada didekatku."

Suara Kyle menarik Will kembali ke masa ini.

"Kau tak akan percaya siapa yang memegang belati itu. Seorang malaikat wanita. Aku tak menyangka akan melihat seorang malaikat di dunia ini," kata Kyle, rautnya menjadi sumringah. Kebalikan dengan Will yang syok.

"Tidak mungkin seorang malaikat membunuh demon sembarangan di dunia manusia," kata Will, teringat kata-kata werewolf itu. Para Angels hampir tak pernah turun ke bumi jika Caleum tidak memberi perintah apapun.

"—Aku sempat mengikutinya. Ia bertemu seseorang malaikat pria dan berkata ia menetap di New York. Setelah itu aku tak bisa mengikuti mereka lagi," Will hanya mendengar akhir dari perkataan Kyle, karena terlena oleh pemikirannya sendiri.

"Mereka mengomel saat aku mulai mencari belati itu dan ternyata mereka sendiri yang menyembunyikannya?" kata Will tak percaya.

Perlahan semuanya mulai masuk akal kenapa belati itu seolah lenyap dari dunia ini. Caleum ikut campur.

"Aku heran kenapa kau mati-matian mencarinya?" tanya Kyle.

"Belati itu bisa membunuh makhluk apapun yang terkena racunnya," jawab Will singkat.

Kyle mengernyit heran hingga sebuah pemikiran merebak.

"Kau tak mungkin berpikir untuk mengakhiri kutukanmu?" Mata Kyle melebar.

"Itu bukan urusanmu," jawab Will, memalingkan wajahnya.

***

Suara sang penceramah menggema di ruangan ibadah luas ini. Aku melihat Nick menemani Adelyn di bangku depan. Dan aku duduk terjebak diantara Kyle dan Carmen. Meskipun Kyle tampak biasa saja, jelas Carmen masih sedikit kesal.

Aku tahu seperti apa perasaan Adelyn saat ini. Mengingatkanku pada diriku sendiri tahun lalu. Bahkan mungkin apa yang dirasakan Adelyn ini lebih parah dariku.

Aku sempat melihat Will tadi, namun tentu saja ia tidak masuk. Karena ia adalah malaikat iblis, seru pikiranku.

Aku menarik nafas panjang untuk menyingkirkan pikiran itu sejenak.

Suasana yang hening dan sinar matahari minggu pagi yang menembus dari jendela kaca patri tinggi membuatku terjatuh dalam lamunan.

"Mom dan Dad tidak ingin memberitahu ini sampai kapanpun, namun sekarang kurasa kau perlu tahu alasannya," kata Mom kemarin malam.

Mom menatap mataku saat berbicara kembali.

"Kau adalah hadiah terindah bagiku dan Oliver saat mengadopsimu dari sebuah panti asuhan kecil. Semua berawal sempurna tanpa celah. Bahkan ketika Mom dan Dad tahu kau memliki pengelihatan lebih, kami tak pernah sekalipun menganggapmu berbeda. Walaupun pada awalnya kau membuat kami terkejut saat menceritakan monster-monster itu," kata Mom sambil tersenyum kecil dan menyelipkan helaian rambut cokelatnya yang terlepas dari gelungan ke balik telinga.

"Kami mengumpulkan informasi dan akhirnya mengakui bahwa memang ada makhluk lain selain manusia di dunia ini. Bahkan ada organisasi berisi manusia yang khusus menangani makhluk-makhluk itu."

"Hingga suatu saat, tepatnya empat tahun yang lalu. Seseorang datang menemui kami. Entah bagaimana ia tahu kalau kami mengadopsimu. Kami tidak ingin kau tahu tentang adopsi itu, dan disisi lain sebagai pebisnis sukses, aku dan Oliver tidak bisa membiarkan hal ini tersebar ke massa. Orang itu menyuruh untuk mengirimmu ke tempat yang jauh, keluar dari benua ini. Kami sangat terkejut dan jelas menolak. Namun, ia mengancam akan banyak monster-monster yang mengganggumu kalau kau tidak pergi."

"Dengan berat hati, akhirnya Aku dan Oliver memutuskan mengirimmu ke London. Hingga Oliver tidak tahan lagi ingin membawamu kembali. Ia bertemu dengan seseorang itu di rumah. Terjadi perdebatan sengit—" ucapan Mom seketika terpotong oleh isakan. Aku langsung tahu apa yang terjadi setelahnya.

Mom memelukku sebelum melanjutkan lagi.

"Entah apa yang dilakukannya, sedetik kemudian Oliver sudah tiada. Aku tidak bisa melaporkan ke polisi karena saat itu aku menyadari seseorang itu mungkin bukan manusia. Aku begitu paranoid ingin membuatmu tetap berada di London. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk melawannya. Dan hari ini ketika aku mendengar kekacauan di Riverdale High, kukira ia akan merenggutmu dariku, Isabelle."

"Setelah kejadian malam ini, Mom sadar kau adalah prioritas utamaku. Kita akan pindah ke London, menjauh, sesuai permintaannya. Masalah perusahaan hanya beban kecil."

Samar-samar alunan music khas pemakaman yang menyayat hati mengembalikanku ke saat ini dan tidak membuat perasaanku membaik. Tanpa sadar, air mataku mulai mengucur turun.

"Aku tak tahu kau ternyata memiliki hati yang lunak," celetuk Kyle, mata birunya melebar menatapku heran. Aku melirik tajam dan menyikutnya.

"Tidak usah berusaha galak," sahutnya lagi sambil nyengir. Namun, hal itu berhasil menghentikan air mataku. Syukurlah. Seandainya Kyle mengurangi kejahilannya, kurasa ia bisa menjadi sahabat yang baik.

Setelah ibadah pemakaman selesai, kami keluar bersama aliran para tamu lainnya. Entah apa yang kuharapkan, aku menoleh ke arah tempat Will tadi berdiri. Aku sedikit terkejut melihatnya masih disana, namun berada sedikit jauh karena ia sedang bersandar di mobil sport hitamnya. Pandangan kami kembali bertemu.

Aku melihat Will mengangkat ponsel ketelinga. Seketika itu juga ponselku berdering.

"Aku perlu bicara denganmu," kata Will begitu aku mengangkatnya. Tanpa berkata apa-apa aku berjalan ke arahnya.

Melihat Will yang terlihat santai dalam pakaian casual seperti ini langsung membuatku melupakan apa yang kulihat kemarin. Perasaan yang kemarin berkata takut, tiba-tiba sirna. Kau benar-benar labil, Isabelle, batinku.

"Apa?" kataku begitu sampai didepannya, menghindari tatapan mata abu-abu tajam itu.

Will mengangkat alisnya.

"'Apa?' itu yang kau katakan pertama kali setelah aku menyelamatkanmu kemarin?" tanyanya, membuka mulut tak percaya.

"Jadi, kau memintaku kemari untuk memuaskan rasa pamrih mu?" sergahku. "Baiklah. Terima kasih, tuan muda yang baik hati," lanjutku, sambil berlagak membungkukkan badan.

Aku mendongak melihat Will berkacak pinggang.

Mungkin ucapanku berlebihan. Aku hanya kesal kenapa aku tidak setakut yang seharusnya kurasakan. Will terlihat sama saja seperti biasa. Arogan dan menyebalkan.

Akhirnya aku berdeham. "Terima kasih, Will," kataku, lalu menatap matanya. "Sungguh. Maaf aku pulang dari penthousemu tanpa pamit. Aku mencemaskan Auntie Charlene yang menungguku," lanjutku lagi.

Will mendesah. "Sudahlah, lupakan," katanya. "Kau tidak ingin menanyakan apapun padaku tentang kejadian kemarin?" ia malah bertanya. Pandangannya berusaha menatap mataku.

Tentu saja! Apa kau benar-benar malaikat iblis? Kenapa makhluk sepertimu mau menolongku? Apa kau ada hubungannya dengan demon yang mengacau keluargaku? Benakku meracau tak karuan.

"Kau pernah menghapus ingatanku?" diluar dugaan, pertanyaan inilah yang kulontarkan.

Aku menatap matanya yang melebar terkejut.

"Kau mengingatnya?" tanya Will. Jelas sudah terjawab.

"Tidak saat kau menghapusnya. Namun, sebuah kilasan kejadian saat kau membunuh makhluk kecil itu terulang saat kesadaranku melemah," kataku.

"Setelah mengingat semua itu kau.. tidak takut?" tanya Will. Ekspresinya tak terbaca, raut santainya menghilang.

Aku tidak takut? Aku mengulangnya pada diriku sendiri.

"Diatas semua itu, kau menyelamatkanku," kataku, murni berdasarkan perasaanku yang tak terpengaruh akal sehat. Will memandangku lama. "Dan, jangan coba-coba menghapus ingatanku lagi," kataku memperingatkan.

"Semua tentangmu benar-benar mengejutkan, Isabelle. Aku tidak akan melakukannya, kau bisa memegang kata-kataku," Will menanggapi, sambil tersenyum simpul. "Apa lagi yang ingin kau tanyakan?" tanyanya.

Aku menggeleng. Bukan karena tidak penasaran, tapi karena rasa penasaran itu terlalu membludak.

"Kalau begitu biarkan aku yang bertanya," kata Will. Pandangan kami masih saling bertemu. "Setelah semua yang kau lihat, seperti apa kau melihatku sekarang?"

Jantungku berdegup lebih cepat. Aku harus menjawab aku sudah tahu semuanya tentang dirinya yang ternyata malaikat iblis?

"Kau bukan manusia," kataku, perlahan.

"Lalu?"

"Aku tidak tahu apa sebenarnya dirimu," aku berbohong. Aku sadar aku belum bisa menerima fakta itu dan perasaanku yang bertentangan dari kenyataan ini. Biarlah, Will tidak akan curiga karena pengetahuanku tentang monster-monster memang buruk.

"Kau memiliki kekuatan supernatural yang..mengerikan," lanjutku.

Will masih mengamatiku lekat-lekat.

"Tapi, aku tidak memandangmu berbeda dengan sebelumnya," kataku dengan yakin. Biarlah akal sehatku yang logis meneriaki perasaanku yang tidak waras ini. "Tidak peduli apa kau sebenarnya, kau tidak tampak seperti monster bagiku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro