Part 26: Struggle

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Angin malam berhembus di jalanan yang sunyi. Rumah-rumah berkelas menengah keatas memenuhi sisi kanan kiri jalan. Cahaya temaram menembus dari balik tirai jendela-jendelanya. Beberapa rumah bahkan hanya menyisakan lampu beranda pada jam menjelang tengah malam seperti ini.

Dua sosok yang terlihat kontras, menyusuri jalanan sepi itu dengan santai.

"Bagaimana kau yakin gadis itu akan pergi dengan sendirinya?" tanya seorang gadis bermata biru dalam balutan terusan anggun.

"Ketakutannya sendiri yang akan membuatnya menjauh dari His Majesty. Hanya butuh sedikit ancaman-ancaman untuk hal ini berhasil," balas seseorang yang jelas berusaha menutupi dirinya dengan tudung gelap.

Langkah gadis bermata biru itu berhenti. Ia memandangi sebuah rumah yang ia kenal dihadapannya

"Kau begitu yakin melihat sisi gelap Will akan membuatnya pergi?" tanya gadis itu. Wajah cantiknya kembali tak berekspresi.

"Bagaimanapun ia hanya seorang manusia," jawabnya tegas.

Gadis bermata biru itu kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri, tidak seyakin lawan bicaranya.

"Ancaman dari Demon apa lagi yang akan kau lancarkan? Aku sudah sering memperingatkan batasan untuk tidak melukai gadis itu. Jangan terlena oleh dendam pribadimu. Kalau kau ingin menjaga keselamatan dirimu dan saudaramu sebaiknya turuti kata-kataku," mata birunya berusaha menatap wajah yang tersembunyi di balik tudung.

"Aku tidak akan menyuruh Demons lagi. Aku akan membuat gadis manusia itu sadar batasan antara manusia dengan Demons."

"Kuharap rencanamu kali ini akan membuahkan hasil. Jika tidak, aku sendiri yang akan turun tangan. Kau tahu apa maksudku," balas gadis bermata biru itu, beralih menatap rumah dihadapannya lagi, tidak melihat lawan bicaranya mengepalkan tangan.

"Tentu," jawab sosok bertudung itu sambil menahan geram.

Tak lama setelahnya ia mengangguk untuk berpamitan pergi.

"Seharusnya aku tak pernah berbaik hati membiarkan keluarga ini mengadopsimu," gumam gadis itu dengan kegetiran. Pandangannya tertuju pada jendela kamar dilantai dua yang lampunya baru saja padam.

***

Beberapa hari terakhir ini, aku berusaha menenangkan benakku dari semua pikiran-pikiran yang seolah tak pernah diam, sebelum tidur. Aku mencoba trik ini agar mimpi anehku tidak terus berlanjut membentuk episode-episode.

Selama satu dua hari, trik ini cukup ampuh, dan aku merasa bahagia, hingga hari ini...

Aku kembali terjatuh dalam satu episode mimpi aneh yang lain. Entah bagaimana semua mimpi itu terasa selalu sama dan berhubungan. Dan yang pasti semua episode itu ada Will-nya. Argh!

Apakah aku tanpa sadar begitu memikirkan Will?

Kali ini, aku menyadari kembali berada di bangunan bergaya Yunani itu.

Aku melangkah menuju sisi bangunan yang merupakan daerah para malaikat iblis. Tidak seperti biasanya, hanya dua orang yang kutemui saat aku menyusuri koridor menuju ruangan santai mereka. Seharusnya jumlah Angels dan Demons yang bertugas di Confinium masing-masing sepuluh orang.

Percakapan dua orang didalamnya langsung berhenti begitu aku masuk. Termasuk dua orang dihadapanku sekarang, hanya empat orang malaikat iblis yang masih tersisa di Confinium. Seorang di antara mereka yang beraura leader, menoleh ke arahku dan langsung mendengus—Will.

"Kau ingin menuntut apa lagi? aku sudah menuruti permintaan yang kau ajukan, berusaha menjaga komitmen perkataanku, dan berusaha tidak menyerangmu balik walaupun sangat ingin," kata Will.

"Kau benar-benar pendendam," aku tak tahan menyahuti padahal sudah bertekad tidak akan memancing perdebatan lagi dengan pangeran Underworld ini.

"Karena itulah aku disebut iblis," sahut Will, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman sinis. Aku mengangkat alis mendengar nada sarkastiknya yang menusuk. Sepertinya harga dirinya yang tersakiti belum pulih sejak terkalahkan olehku.

"Sudah, sudah, silahkan duduk," sahut Nathan—kroni Will yang selalu ada disampingnya—dengan senyum serba salah. Nathan menepuk pundak Will saat pemuda itu melayangkan tatapan menusuk padanya.

"Biarkan saja dia berdiri," kata Will sambil membuang muka.

Aku kembali menarik nafas panjang untuk menenangkan diri. Seharusnya aku sudah terlahir untuk bersikap sabar bukan?

"Sudahlah Will. Kau ingin memulai perang baru gara-gara si grumpy angel in—?" Nathan tersentak, lalu menoleh kearahku sambil meringis minta maaf. "Maksudku, gara-gara malaikat ini?"

"Aku tidak ingin berdebat lagi denganmu hari ini," kataku, berusaha memakai nada sesabar mungkin. "Aku kemari hanya untuk memberitahu, untuk sementara waktu, para Angels yang akan berjaga terus. Kalian kembalilah ke Underworld. Terutama kau, Will," lanjutku.

Will langsung menatapku dengan heran. Raut kesalnya sudah hilang.

"Aku tahu insiden sesosok monster yang berusaha keluar dari Tartarus barusan ini cukup serius. Teman-temanku memberitahu, Gregory lah yang akhirnya menghalau usaha makhluk itu dengan akibat terluka parah. Kakakmu itu mungkin membutuhkanmu sekarang," jelasku. Makhluk apapun yang merangkak keluar dari Tartarus hanya akan menghancurkan Caleum dan Underworld. Namun, Underworld lah yang pertama kali terkena dampaknya.

Nathan tampak terkagum oleh ucapanku. Sementara Will memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah terpana ingin berterima kasih, namun egonya yang besar segera melarang.

Tanpa berkata-kata, Will bangkit berdiri. Sebelum keluar, ia berhenti di hadapanku.

"Kalau begitu, bergembiralah karena untuk sementara waktu hanya para Angels yang ada disini," kata Will, sudah tampak tenang.

"Thanks," kata Nathan yang ada disampingnya, sambil tersenyum. Ia memang paling ramah diantara yang lain.

Nathan mulai berjalan keluar, namun Will masih berdiri dihadapanku. Aku menunggu dalam diam hingga ia berkata,

"Aku akan mengganti giliran jaga yang kulewatkan. I mean it," Dan ia pun segera melangkah keluar. Kurasa itu bentuk terima kasihnya.

Seolah peristiwa itu telah selesai, suasana disekitarku berganti dengan sendirinya.

Hamparan perbukitan hijau yang seolah tak berujung terhampar dihadapankuterasa seperti deja vu aku meningat nama tempat ini sebagai Ivory Hills. Bulan yang bulat sempurna menggantung diantara awan.

"Aurielle," panggil Will disampingku. Kulitku meremang mendengarnya menyebutkan nama itu. Aku masih belum terbiasa dengan situasi ini.

"Hmm?" gumamku, masih menatap lurus ke depan. angin lembut menerpa kami berdua.

"Aku tak menyangka akan berteman dengan seorang Angel," kata Will.

Teman ya? tentu saja Will tak pernah menyukaimu Aurielle, batinku.

"Lalu kenapa kau berubah pikiran sekarang?" tanyaku.

"Kau berbeda. Aku baru menyadari kaulah yang paling tidak memusuhiku," katanya sambil tersenyum ke arahku. "Tidak seperti sahabatmu itu, Seraphine," lanjutnya lagi.

Aku berpaling, menyambut sorotan mata abu-abunya.

"Kenapa Seraphine? Ia baik," kataku, sambil berusaha tersenyum balik.

Will memutar bola mata.

"Menurutmu saja," katanya.

"Tapi kau sering mengingatnya," kataku, menyunggingkan senyum jahil.

"Tidak. Saat ia bertugas di Confinium itu adalah masa-masa terburuk," jawab Will.

Senyumku melebar melihat raut sebal Will. "Begitu ya?" godaku.

"Jangan membahasnya lagi. Kadang aku merasa kau mulai tertular tabiatnya," kata Will.

Senyum geli masih tersirat dibibirku. Tanpa sadar tanganku menyentuh bros yang selalu tersemat di gaunku. Sebuah bros berimbol dua tombak yang saling disilangkan. Simbol dari confinium. Semua Angels menggunakan bros bersimbol untuk menunjukkan dimana ia ditugaskan.

Aku tidak mengetahui pasti kapan mimpiku mulai menghilang. Yang kutahu selanjutnya adalah bunyi beberapa alarm yang kusetel bebarengan.

***

Jam-jam pelajaran berlalu seperti biasa. Aku belum memberitahu siapapun kalau aku akan pindah kembali ke London dua bulan lagi. Mom membutuhkan waktu lebih lama dari perkiraannya untuk mempersiapkan segalanya. Hanya Lizzie yang tahu hal ini.

"Kurasa benar, Jessa dan Nick akhirnya memutuskan tetap mempertahankan hubungan mereka," kata Bernard. Membuat aku, Lizzie, dan Kyle sontak berhenti makan. Baru saja aku merasa damai saat tidak melihat Will disini. Bayangkan aku harus melihat wajahnya siang dan malam─dalam mimpi maksudnya.

Begitu mendongak, aku melihat Nick dan Jessa berjalan bergandengan ke arah kami. Mereka terlihat seperti pasangan yang lagi senang-senangnya baru berbaikan. Sementara tak jauh dari mejaku, Adelyn yang duduk berdua dengan teman dekatnya menatap Nick dan Jessa tanpa ekspresi seperti biasa. Memang, Adelyn terkenal dingin. Namun aku yakin tatapannya kali ini mengandung sirat kecewa.

"Hi, guys!" sapa Nick dengan senyum ramahnya.

"Kalian merindukanku?" tanya Jessa, akhirnya tampak ceria. Percaya atau tidak, berita konflik hubungan mereka bahkan lebih banyak dibicarakan daripada insiden Homecoming akhir pekan lalu.

Aku dan Lizzie menyapa balik dengan canggung, saat Jessa menghempaskan diri ke sebelah Lizzie. Sama halnya dengan Bernard. Aku melihat hanya Kyle yang masih terdiam.

Terdengar suara kursi yang bergeser dari meja Adelyn. Aku melihat si putri es itu bangkit berdiri sambil memalingkan wajah dari Nick. Didepanku, Kyle juga menatap kepergian Adelyn dengan bibir terkatup.

"Aku pergi dulu," kata Kyle. Ia beranjak berdiri sambil mengangkat nampan yang masih setengah penuh.

"Ok," Bernard menanggapi dengan terkejut. Sepertinya Kyle tidak pernah terlihat seserius ini. Nick menatap kepergian Kyle dalam diam.

Aku mencium ketidakberesan antara Nick dan Kyle.

Percakapan berlanjut dengan canggung. Entah kenapa aku merasa sedang berada dalam kubu antagonis. Bagaimanapun Nick dan Adelyn sudah bertunangan, belum lagi si putri es itu baru saja kehilangan orang tuanya minggu lalu. Jessa seharusnya mengerti itu. Dari senyum canggungnya, aku tahu Lizzie berpikiran sama denganku.

"Aku akan ke kelasku dulu. Ada tugas yang harus kuurus," kataku sambil tersenyum, berpamitan pada mereka. Cepat-cepat menyingkir dari suasana menyesakkan di meja ini.

Baru saja aku meletakkan nampan ke tumpukan di dekat pintu keluar. Seorang gadis berperawakan modis menabrak bahuku dengan sengaja.

"Aku tak peduli kau mengaku anak pemilik sekolah. Kau hanya cewek baru disekolah ini namun kau dengan pede nya mendekati Will!" suara cempreng gadis berambut ombre merah ini terdengar menyentak.

Aku membelalak tak percaya. Aku sedang dilabrak oleh fans Will! Yang benar saja.

"Minggir. Aku tak ingin berurusan denganmu," kataku, mendorong si ombre menjauh.

"Kenapa? Kau takut menghadapi kami sendirian?" Tanya teman si ombre merah yang berpotongan bob dengan nada mengejek.

"Jangan cari masalah denganku. Kau tahu kuasaku di sekolah ini," kataku sambil bersidekap. Sekalian saja menyombong pada tukang labrak seperti mereka.

Si ombre dan si rambut bob tertawa mengejek. Si ombre meringsek mendekat.

"Sampai kapan kau berpura-pura sebagai putri kandung keluarga Cleveland?" Ia berkata dengan pelan, memastikan hanya kami berdua yang tahu.

Jantungku terasa berhenti berdetak. Bagaimana dia bisa tahu?

Belum sempat berucap apapun, aku merasa seseorang menarik lenganku mundur. Aku terkejut dan menatap pelakunya.

"Tidak usah capek-capek mengancam Isabelle, aku sama sekali tidak berminat melihatmu," kata Will, dengan sikap cueknya. Ia tak peduli kata-katanya terdengar jahat.

Mereka berdua tampak terkejut. Lalu, tanpa mempedulikan ucapan Will, si ombre berkata,

"Kalau kau tidak ingin berita itu tersebar, temui kami di rooftop setelah pulang sekolah," katanya dengan senyum licik.

"Tidak usah dihiraukan," kata Will, setelah duo pelabrak itu pergi.

"Ya," jawabku, walaupun aku masih sangat gelisah. Aku sepenuhnya sadar akan kehadiran Will sekarang, dan berusaha melangkah cepat menghindarinya. Namun, Will tidak mau kalah ia memperlebar langkah dan menghadangku. Membuatku terhenti mendadak.

"Kau menghindariku," tuduhnya. "Kau berkata tidak takut, namun kau menghindar. Dan kau juga semakin gencar mencari tahu tentangku."

Sudah kuduga. Will tahu semuanya. Dalam hati aku mendesah pasrah teringat kelakuanku yang terkesan memalukan.

"Aku butuh waktu mencerna semua ini," kataku. Aku berusaha melewati Will, namun ia tidak mengijinkanku.

"Kau bahkan merelakan kalungmu. Padahal aku sudah siap kalau kau marah-marah memintaku mengembalikannya," kata Will.

"Aku tidak bilang aku merelakannya," kataku spontan, menatapnya kesal. "Aku pasti akan menuntutmu mengembalikannya. Tunggu saja," lanjutku.

Will tersenyum miring. "Kalau kau terus mencari tahu tentangku sembunyi-sembunyi begini, aku akan memastikan kau tidak pernah melihat kalungmu lagi," katanya. "Sudah kukatakan, kau bisa bertanya padaku langsung, Isabelle," ia melanjutkan.

Andai saja aku bisa mengatakan pergumulan perasaan dan akal sehatku.

"Sebenarnya, aku sedang berpikir tentang sesuatu," kataku, mengalihkan ke topik lain yang memang ingin kusampaikan.

"Apa?"

"Aku ingin membuat perjanjian denganmu. Seperti yang dilakukan Kyle," kataku, sambil menatap mata abu-abu gelapnya.

Will mengangkat alisnya, menatapku dengan heran, lalu terlihat menimbang-nimbang sesuatu.

"Apa kau mengerti tentang hal itu?"

Aku mengangguk. "Kyle sudah menjelaskan garis besarnya,"

"Apa yang kauingingkan?" tanya Will. Rautnya tampak heran dan penasaran.

"Menemukan monster yang selama ini mengancam keluargaku. Dan... membuat Dad terbunuh. Membuat makhluk itu merasakan akibat setimpal," kataku lirih. Sedikit perasaan bersalah melintas saat aku mengingkari janjiku pada Mom kalau aku tidak akan mencoba mencari tahu. Namun, aku juga tidak bisa membiarkannya begitu saja. Membuat perjanjian dengan Will berarti aku tidak perlu mencari langsung bukan?

Will mengamatiku dalam diam, tak mempedulikan para siswa lain yang mulai beranjak keluar dari kantin.

"Dan apa yang kau tawarkan sebagai imbalannya?" tanya Will akhirnya.

Aku sedikit terkejut. Belum ada tawaran apapun yang terpikir. Lagipula apa lagi yang dibutuhkan Will?

"Aku akan memberikan apapun yang kau ingingkan," kataku tanpa berpikir lagi.

Aku tak menyangka Will tertawa mendengarnya.

"Kau selalu mengejutkan seperti biasa. Tidakkah kau sadar, kata-katamu itu akan menjadi boomerang suatu saat nanti," kata Will, menyisakan senyum arogan di wajah rupawannya.

"Aku tidak peduli," jawabku, cepat.

"Bagaimana kalau aku meminta nyawamu sebagai gantinya?" tanya Will dengan santai.

Aku terperanjat mendengar itu. "Kau tidak mungkin—"

"Kau berkata aku bisa meminta apapun," potong Will, tersenyum santai seolah ia hanya meminta hal kecil. Dan aku kembali mengingatkan diriku sendiri kalau Will adalah Demons dengan reputasi mengerikan. Lidahku terasa kelu, baru kali ini aku kehabisan kata-kata. "Kau tidak bisa menjawab. Kalau begitu aku tidak bisa membuat perjanjian diantara kita. Tidak ada hal yang menguntungkan bagiku," lanjut Will.

Aku masih belum menemukan kata-kata balasan yang akan kulontarkan, saat Will mulai beranjak pergi.

"Lupakan tentang perjanjian dengan Demons. Kau tak akan sanggup menanggung bahayanya," kata Will sambil tersenyum miring, sebelum pergi. Aku sudah menyiapkan balasan, namun Will kembali berbicara lagi seolah baru teringat sesuatu.

"Dan jangan menghiraukan ancaman dua orang tadi. Sungguh," lanjut Will, lalu ia pun langsung berbalik.

Anjuran Will itu hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri tanpa bersinggah di benakku. Tentu saja aku tidak bisa tinggal diam. Ada dua cewek menyebalkan yang mengetahui hal pribadiku. Jauh di lubuk hatiku aku tidak ingin Mom kembali bersedih jika berita itu tersebar dan aku belum siap menghadapi semua dampaknya.

***

Seseorang dikejauhan tersenyum senang, dan tak sabar akan rencana yang sudah ia susun. Walaupun tidak langsung berada di sekitar sekolah itu, ia telah menempatkan 'boneka'nya. Setelah ini, kau akan sadar betapa mengerikannya seorang iblis, batinnya. Dibalik tudung gelap itu, matanya berkilat tajam. Mungkin ia tidak bisa melukai gadis itu secara fisik, tapi kali ini pasti akan mengacaukan perasaanya.

Let the show begin, batin sosok itu sambil tersenyum licik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro