Part 27: What the Heart Decided

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part kali ini akan sedikit lebih panjang dari biasanya. Kompensasi for late update ;) hehe

Riuh celotehan dan derap langkah kaki yang bersemangat mengisi koridor, setelah bunyi bel pulang terdengar.

"Kau yakin tidak apa-apa menungguku latihan?" tanya Lizzie.

"Ya. Aku juga perlu berlatih sebentar di ruang music," kataku. Lizzie mengangguk mengerti, karena aku hanya bisa berlatih harpa di sekolah. Dirumahnya tidak ada.

Namun, begitu aku dan Lizzie berpisah arah, bukannya menuju ruang music, aku naik ke rooftop yang hanya ada di atas Gedung olahraga dan seni. Untuk menuntut penjelasan dari si ombre merah tadi.

***

Angin berhembus cukup kencang di pelataran terbuka yang terletak di lantai 6 gedung sekolah Riverdale High.

"Berhentilah berpura-pura dan bicara langsung denganku," kata Will, ia berdiri sambil bersidekap.

Seorang gadis manusia terpuruk di lantai dihadapannya. Berteriak-teriak minta tolong seperti gadis manusia pada umumnya. Hanya saja Will tahu, kekuatan iblis telah merasukinya. Menjadikannya sebagai 'boneka' perantara. Hampir serupa dengan Hex—guna-guna oleh kekuatan gelap.

Pertama kali Will melihat gadis itu berbicara dengan Isabelle, ia langsung tahu ada yang tidak beres dengan gadis itu. Dan Will tak membuang kesempatan, kali ini mungkin ia akan mendapat petunjuk langsung siapa dibalik semua serangan ini.

Sebenarnya Will sudah bertekad masa bodoh dengan apa yang terjadi pada Isabelle. Mungkin kata-kata Azura ada benarnya. Semua ini hanya kebetulan, ia hanya berpikir terlalu jauh. Namun, pada akhirnya ia berada disini. Sekali lagi, bertindak diluar kebiasaannya.

"Hentikan sebelum kau membuat telingaku sakit," kata Will. Akhirnya ia melangkah mendekat dan menarik gadis itu hingga berdiri. Will membalik pergelangan tangan kirinya, mengira akan melihat tanda Hex yang ditorehkan Witch atau Demon yang memiliki kekuatan serupa, tepat di atas urat nadi. Sebagai tanda untuk mengendalikannya.

Namun, tidak ada apa-apa disana.

Gadis itu sudah berhenti berteriak. Will menatap rautnya yang perlahan-lahan tersenyum menang.

Hanya ada satu kemungkinan makhluk apa yang bisa mengendalikan manusia dari jarak jauh tanpa menorehkan tanda apapun di nadi mangsanya.

"Kau malaikat iblis," kata Will, menatap tajam mata gadis itu. Ia hampir tertawa tak percaya. Pelaku yang ia cari selama ini mungkin berada tepat di depan matanya. "Kau akan menyesal saat aku menemukanmu," lanjut Will dengan mata berkilat dingin.

Gadis itu tertawa dengan ketenangan yang mengerikan. Mata manusia itu tak lagi memandang Will ketakutan.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan dari Isabelle," Will berkata dengan geram. Ia mengumpat sambil mencengkeram rahang gadis ini. Sekuat tenaga Will menahan diri untuk tidak meremukkannya.

"Anda sudah tahu, Your Majesty. Satu tujuan yang sederhana," kata Gadis itu dengan seringai tidak manusiawi disaat Will hampir meremukkan rahangnya.

Will hanya menatap heran saat kedua tangan gadis itu tiba-tiba mencengkeram lehernya sendiri.

"Untuk membuatnya pergi...," lanjutnya.

Kuku panjang gadis itu menghujam semakin dalam, meremukkan batang leher ramping tersebut.

"...menjauh dari anda," ia menyelesaikan dengan seringai lebar. Menampakkan gigi putih yang mulai ternodai oleh darah segar yang keluar dari mulutnya.

Will sontak menarik tangannya. Ia melihat noda darah yang mengotori tangannya. Lalu mendengar suara langkah familiar yang daritadi tidak ia hiraukan. Suara langkah Isabelle terdengar mendekat dibalik pintu.

Tiba-tiba Will menyadari sesuatu. Demons itu memang berniat memancing dirinya kemari.

"Kau ingin membuatku terlihat seperti monster yang membunuhi manusia," kata Will dengan senyum getir.

Gadis manusia itu menyeringai semakin lebar, bertentangan dengan lehernya yang terlihat remuk mengerikan. Tubuhnya mulai menggelepar.

Will memandang ke sekeliling, mencari keberadaan dalang dibalik semua ini. Siapapun itu tak mungkin terlalu jauh dari sini.

Suara kenob pintu yang diputar, membuat langkah Will terhenti.

***

Angin yang berhembus dari celah pintu yang kubuka, membuat rambut panjangku sedikit berhamburan. Begitu aku merapikan diri dan melangkah ke pelataran rooftop ini, aku mendapati Will berdiri tepat di hadapanku.

"Kenapa kau ada disini?" tanyaku heran. Ia berdiri diam, tidak terkejut oleh kedatanganku.

"Kenapa kau tidak pernah menuruti perkataan orang lain?" Will balas bertanya, dengan nada hampir frustasi.

"Aku hanya ingin berbicara dengan cewek tadi, bukan masalah be—"

Ucapanku terpotong saat Will menghadang langkahku.

"Isabelle," panggil Will, nada suaranya melembut, menghanyutkan. Tiba-tiba ia meraih tangan kananku. Tangan kanannya sendiri merengkuh tengkukku. Aku membelalak terkejut. Mata abu-abunya yang tajam sekaligus indah, memenjarakanku. "Sekali saja, menurutlah. Keluar dari sini, dan lupakan gadis ta—"

Dengan sigap aku menyentakkan diriku menjauh dari Will.

"Kau berniat memendam ingatanku lagi?!" tanyaku tak percaya dan bingung. Saat itulah pandanganku tertuju pada tangan kiri Will, yang bercorengan warna merah gelap. Noda darah.

Tidak mungkin, batinku.

"Katakan kau tidak melakukan hal buruk padanya hanya gara-gara pekara tadi," kataku dengan suara gemetar. Instingku mulai menyuruhku mundur, namun aku terpaku di tempat.

"Dimana dia?" tanyaku.

Will tidak menjawab, hanya mengamatiku lekat-lekat.

Aku baru menyadari dari tadi Will terlihat berusaha menghalangi sesuatu. Sambil menelan ludah gugup, aku memberanikan diri melihat kebalik punggungnya.

"Kau akan menyesal melakukannya," kata Will, sambil menarikku kembali ke hadapannya. Namun, aku sudah melihat apa yang berusaha ia sembunyikan. Perutku terasa mual melihat pemandangan mengerikan ditengah pelataran rooftop ini.

Cewek berambut ombre tadi tergeletak tak bernyawa dengan mata terbuka. Luka dilehernya tampak memualkan. Api merah perlahan meluluhkan tubuhnya menjadi abu tanpa suara.

Aku tak bisa menjerit karena terlalu shock, seolah ada yang menyumpal tenggorokanku.

"Kau...kau membunuhnya," akhirnya kata-kata itu terucap dalam bisikan setelah beberapa detik.

"Apa yang kau lihat tidak seperti yang kau kira, Isabelle. Aku memang membakar tubuhnya, namun aku tidak membunuhnya. Seorang demon mengendalikan gadis itu sebagai perantara. Membuat manusia itu mencekik lehernya sendiri, dan membuatku terlihat seperti pelakunya," jelas Will. Ketenangan Will membuatku merinding. Seolah hal seperti ini tidak terlalu penting.

Aku masih terbungkam oleh pergumulan perasaan dan akal sehatku sendiri. Perlahan aku mendorong Will menjauh dan melangkah mundur sambil menundukkan kepala.

"Aku tak percaya sedang mencoba menjelaskan semua ini padamu, untuk membuktikan aku tak bersalah," lanjut Will, tertawa miris. Sambil menyisirkan tangan ke rambut ash brown-nya, tidak sabar.

"Untuk apa Demon itu melakukannya?" tanyaku, semakin mundur ke arah pintu.

"Untuk membuatmu seperti ini," jawab Will.

"Apa maksudmu?" Aku mendongak, menatapnya tak mengerti.

"Ketakutan dan menjauhiku. Apapun penjelasanku tadi, kau tak akan percaya bukan?" kata Will dengan senyum getir.

Aku mengamati mata abu-abunya. Seketika itu juga aku menyadari ternyata selama ini aku berusaha mati-matian menepis perasaan ini dengan membangun dinding pertahanan disekitarnya.

Dan sekarang, pertahanan itu sudah runtuh.

Aku merasa mataku mulai memburam oleh air mata yang terkumpul.

***

Diujung terjauh atap gedung lain Riverdale High yang luas, berseberangan dengan pelataran tempat kejadian tadi, seseorang sedang mengamati dalam diam. Ia memang tak bisa mendengar jelas perkataan mereka karena angin bertiup berlawanan arah, namun ekspresi gadis itu sudah cukup membuktikan.

Gadis berambut pirang keemasan itu akhirnya berlari ke arah pintu dan membantingnya. Sedangkan, penguasa Underworld itu masih mematung di tempatnya.

It's over now, batinnya.

Dengan perasaan senang, sosok itu berbalik pergi. Sekarang ia hanya tinggal memastikan rajanya tak pernah tahu.

***

"Aku percaya padamu. Andai saja aku bisa merasa takut padamu dan menjauh, tapi tidak bisa. Yang kutakutkan sekarang hanyalah perasaanku sendiri."

Aku tak menyangka akhirnya aku mengucapkan kata-kata itu. Begitu emosiku tak terbendung, semua kata-kata yang kupikirkan akan meluncur begitu saja.

Seharusnya kejadian tadi mampu membuat manusia manapun berlari ketakutan. Namun, lagi-lagi perasaanku mengalahkan akal sehat. Dan itulah alasanku berlari menjauh.

"Isabelle!" Will berseru dibelakangku. Langkahnya berusaha mengejarku. Aku menghapus air mataku dan berjalan semakin cepat. Semakin buruk saja situasi ini.

Ia menyambar tanganku. Membuatku sontak berbalik menghadapnya.

"Apa maksud perkataanmu tadi?" Will berkata, lalu jeda sejenak. Kedua tangannya menahan lenganku. Lembut, namun tegas. "Why?" Tanya Will dengan raut tak mengerti.

Kenapa? Aku mengulang itu pada diriku sendiri.

Karena setiap aku menatapmu, yang terbayang hanyalah rasa nyaman berada didekatmu. Tak peduli semengerikan apa imagemu bagi makhluk lain.

Karena hanya kehangatan dan rasa aman yang kurasakan saat kau mendekapku. Seolah hal itu bukan sesuatu yang asing.

Karena senyum dan tatapanmu yang membuatku terlena. Seolah aku sudah mengenalmu. Tak peduli jika semua itu ternyata pura-pura.

Inilah yang selama ini berusaha kusangkal.

Kyle dan Lizzie benar. Aku menyukai Will.

Tidak, lebih dari itu...

"Karena, aku mencintaimu, Will." Akhirnya kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.

Rasanya salah, namun jauh didalam diriku ada setitik perasaan lega telah menyadarinya. Perasaan itu terasa familiar.

***

Sekali lagi, Isabelle berhasil membungkamnya. Will tak bergeming, masih merunduk memandang kedua mata turquoise yang tampak meleleh oleh air mata. Seharusnya ia mendengarkan saran Kyle untuk berhenti mengusik Isabelle.

"Aku tahu perasaanku tak berarti apapun bagimu. Aku tidak heran kalau kau menanggapku hanya sebagai pengganggu setelah ini. Mungkin aku terlalu berlebihan menanggapi perkataan dan kelakuan baikmu yang tak bermaksud apapun..." cerocos Isabelle tanpa jeda.

"Isabelle...," panggil Will.

"...kau tidak perlu mempedulikan pengakuanku barusan. Aku hanya mengungkapkan untuk menenangkan perasaanku sendiri. Aku tak pernah berharap kau membalasnya, Will."

Bulir air mata menuruni pipi Isabelle lagi.

Mengamati gadis itu dari dekat seperti ini menggugah sebuah perasaan familiar, yang mengingatkannya pada Aurielle. Seperti saat pertama kali Will melihatnya. Seolah ia sudah mengenal Isabelle.

Selanjutnya, yang membuat Will lebih terkejut adalah reaksinya sendiri.

"Isabelle, listen," panggil Will lagi, lebih menuntut.

Isabelle akhirnya mendongak menatap Will.

Ia tak lagi menahan desakan aneh untuk mengusap air mata gadis itu. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup wajah Isabelle dan menghapus air matanya.

"Aku memang tak akan bisa membalas perasaanmu. Karena aku tidak bisa merasakan cinta dan segala perasaan semacam itu. Literally. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya," kata Will sambil menatap sepasang mata turquoise itu dalam-dalam. Ia tersenyum pahit.

Isabelle mengerutkan kening. "That's awful. Bagaimana...?" Gadis itu berkata setelah terdiam sejenak.

Will hendak mengatakan tentang kutukannya, namun alih-alih ia menyadari sesuatu dan menjawab,

"Because I'm too broken to love anyone."

***

Niat Will untuk segera memanggil semua malaikat iblis ke ruang tahtanya langsung luntur. Langkahnya kembali berderap menuju sel Azura.

Setelah Ia meninggalkan Isabelle, untuk pertama kali sejak sekian lama semuanya terasa hampa bagi Will, sebuah perasaan menyesakkan menghantamnya.

"Aku mengerti Will. Aku tak berniat mendesakmu. Seiring waktu aku pasti akan mengakhiri perasaan ini."

Kata-kata Isabelle itulah yang memicunya. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Menahan Isabelle?

Yang benar saja.

Suara pintu sel yang terbuka membuat Azura menoleh.

"Akhir-akhir ini kau sering sekali mengunjungiku," sahut wanita berambut merah itu.

"Ada hal yang harus kupastikan. Kutukan ini, seharusnya membuatku tak bisa merasakan apapun? Hal-hal seperti cinta, rasa peduli..."

Will mengucapkan itu sambil mengernyit, seolah ia sedang membicarakan hal yang sangat aneh.

"Semua itu tak akan berpengaruh lagi bukan?" Ia melanjutkan.

Azura terdiam memandang Will kebingungan. Lalu sorot memahami, mengisi mata biru tuanya.

"Itu perasaanmu Will. Kau seharusnya menanyakan itu pada dirimu sendiri," jawab Azura. Will selalu menganggap pandangan Azura terlihat menerawang penuh arti walaupun ia telah kehilangan kekuatannya. Dan sekarang, sorot mata biru tua itu terlihat semakin misterius. "Gadis manusia yang memiliki kalung itukah penyebab kau menanyakan hal ini?" Tanya Azura.

"Aku...entahlah. Tak pernah ada sesuatu yang mengusikku seperti ini," jawab Will sambil menggeleng.

"Tidak pernah ada yang mengklaim Lucifer Curse sepertimu. Jadi aku tidak tahu apa sebenarnya dampak kutukan itu. Kutukan itu memang membuat perasaanmu membeku setelahnya. Namun, tidak berarti perasaan cinta yang pernah kau rasakan akan menghilang begitu saja. Semakin besar perasaan cinta seseorang, semakin besar pula penderitaan, dendam, dan kemarahan yang akan dirasakannya ketika orang yang dicintainya direnggut. Seolah dunianya hancur dan ia tak akan pernah merasakan cinta lagi," kata Azura.

Will tersentak oleh perkataan Azura.

"Maksudmu perasaanku pada Aurielle tak pernah benar-benar lenyap? Hanya tertutup oleh kebencianku sendiri?"

"Sekali lagi, itu perasaanmu Will," jawab Azura. Ekspresinya tak terbaca.

"Tapi kenapa Isabelle yang memancing kembali perasaan yang tertimbun itu?" Tanya Will, matanya melebar saat ia teringat perasaan familiar tiap kali ia mengamati Isabelle. "Azura, hari itu, orcus benar-benar membunuh Aurielle?" Ia bertanya sambil menekankan setiap katanya, dengan rahang mengeras.

Azura tak berucap apapun. Namun, sedikit sirat kegelisahan sempat melintasi wajah tanpa ekspresinya.

"Kau mengetahui sesuatu yang tak kuketahui. Kau berbohong?!" Tuduh Will. Matanya berkilat tak percaya.

Kali ini Azura tampak tersentak. Ia akan membantah, namun ekspresi Will yang tampak akan muntab membuatnya menyerah.

"Aku hanya bisa memberitahumu ini, William. Kau benar, aku berbohong. Sosok yang kau cintai tidak benar-benar lenyap dari dunia ini—"

"Kau baru memberitahuku Aurielle masih hidup?!!" Will tak lagi bisa menahan emosinya.

"Tidak se simple yang kau bayangkan Will!" Azura ikut berteriak agar Will mendengarnya. "Dan aku tak bisa menceritakan apapun tentang apa yang sebenarnya terjadi ratusan ribu tahun lalu. Seseorang membuatku bersumpah bahkan tak bisa menyebutkan apapun tentangnya."

"Kau...seseorang membuatmu mengucapkan Silent Oath?" Nada suara Will memelan, karena benaknya mulai mengingat sebuah kejadian lain. Mark Moorson. Seseorang juga menaruh Silent Oath pada witch itu. Hanya saja, sekarang Will tahu siapapun itu ternyata telah hidup selama Azura. Mungkin seseorang yang ia tahu ratusan ribu tahun lalu.

"Aku hanya ingin kau mengingat kata-kataku ini. Perasaan cinta yang begitu besar tak akan menghilang begitu saja. Mungkin kau tidak percaya, tapi kau akan tahu nanti. Lebih baik kau tidak mencari tahu terlalu banyak jika kau ingin bersamanya. Ikuti kata hatimu. Kau akan menemukan siapa yang sesungguhnya kau cintai, William," kata Azura.

Will hendak berkata sesuatu, namun Azura memotongnya.

"Meski kau memaksaku, tak ada lagi yang bisa kuceritakan padamu. Sumpah itu tak bisa kulanggar."

***

Azura kembali memandang kepergian Will dengan perasaan bersalah. Setelah sekian lama ia merasa seperti melihat Will yang dikenalnya dulu. Begitu bersungguh-sungguh mencintai malaikat itu.

Cukup lama ia memejamkan mata. Mengingat kejadian tragis itu. Punggungnya memunggungi jeruji sel nya.

Tiba-tiba suara langkah seseorang terdengar diluar.

"Apa lagi yang kau inginkan Will—?" Pertanyaan Azura terpotong oleh kengerian saat memandang siapa yang berada diluar sana. Sekejap saja semua terasa seperti mimpi buruk.

"Sudah sangat lama sejak terakhir kali kita bertemu, Azura. Kau mengira aman berada dibalik jeruji ini?" kata seorang gadis bermata biru cerah. Suara lembutnya terdengar riang, namun matanya berhias kemarahan dingin.

"Bagaimana seorang malaikat sepertimu bisa ada disini?" Tanya Azura. Dan pertanyaan itu segera terjawab begitu sosok lain melangkah ke sebelah malaikat itu.

"Aku membawa seorang...teman?" Ia tersenyum, kearah sosok bertudung disebelahnya.

Sosok itu membuka tudungnya dan Azura terkesiap. Wajah yang sangat dikenalnya sebagai orang kepercayaan Will.

Ia memandang sosok itu dan gadis malaikat disebelahnya. 

"Kau mungkin penasaran. Sebenarnya ia adalah anak Katia dan penyihir itu," lanjut malaikat tersebut.

"Will akan membunuhmu saat ia tahu siapa kau sebenarnya," kata Azura, setengah ternganga. Ia mulai merasakan bahaya.

Hanya segelintir Demons yang bisa berlalu lalang dengan leluasa disekitar penjara ini. Namun sosok yang sekarang menyunggingkan senyum kejam itu adalah segelintir dari orang kepercayaan Will.

"Sayang sekali, kau tak akan melihat hal itu," jawab sosok itu.

"Kurasa waktumu didunia ini benar-benar berakhir. Aku tak akan mengambil resiko Will mengetahui lebih banyak lagi. Mereka hanya akan saling menghancurkan satu sama lain," gadis malaikat itu menimpali, masih dengan suara tenang namun matanya berkilat marah. "Selamat tinggal, Azura."

Hal terakhir yang diketahui Azura, malaikat itu berlalu pergi, membiarkan sosok itu melakukan sihir yang memusnahkannya. Kali ini kematian benar-benar merenggut Azura dari dunia ini.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro