Part 33: Little Twist of Fate

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lobby gedung apartment tertinggi di New York tak pernah sepi oleh orang-orang yang berlalu lalang dengan dandanan elegan, kerlip perhiasan, dan pakaian mahal. Tak ada yang menyangka akses masuk menuju Underworld terlihat semewah ini. Hanya makhluk bukan manusia yang tahu kepanjangan nama gedung ini─C.D.I─ adalah Castrum de Inferno (istana neraka), secara harafiah.

Will bersandar nyaman di salah satu sofa empuk yang penuh bantal hias berbordir. Ia hanya mengenakan pakaian casual celana panjang khaki, shirt berwarna gelap, dan sepatu santai. Namun, sama sekali tak mengurangi kerupawanan dan aura berkuasanya.

Tak lama kemudian, orang yang sudah ditunggu Will berjalan mendekat. Seorang pemuda berambut cokelat terang sedikit messy yang melihat Demon di sekelilingnya dengan pandangan tidak nyaman. Ia mengenakan knit sweater biru muda senada dengan warna matanya dan sepasang sneakers terang.

"Kau ingin bertemu denganku untuk menanyakan kabar Isabelle?" Kyle bertanya dengan senyum jahil khasnya, sambil menghempaskan diri di armchair didepan Will.

"Tidak." Will menggeleng tegas. Ia sudah menduga pertanyaan itu.

"Jangan gengsi. Apa kau tidak penasaran Isabelle sedang melakukan misi yang well... sedikit gila akhir-akhir ini." Will mengernyit mendengar itu, dan hampir saja termakan umpan Kyle.

"Aku tidak peduli, Kyle." Will memutar bola mata. Kyle mengangkat tangan tanda menyerah sambil nyengir. "Ini alasanku memanggilmu." Will meletakkan sepucuk surat berisi tulisan yang tampak seperti kumpulan garis-garis kaku, diatas meja marmer mengkilat diantara mereka. Air muka Kyle langsung berubah penuh antisipasi.

"Kau menemukan makhluk apa yang menulisnya?" Mata Kyle melebar was-was.

Beberapa waktu lalu Will sempat menanyakan bahasa misterius itu pada Azura. Ia hampir menyerah mencari tahu tentang tulisan itu-salah satu dari sedikit hal yang tidak Will ketahui. Azura hanya pernah melihat The Great Oracle lah yang menggunakan tulisan itu dalam salah satu ramalannya. Bahkan Azura sendiri tak mengerti. Will menceritakan itu semua pada Kyle dan menambahkan kalau The Great Oracle bukan jenis makhluk yang 'dicari', namun ia yang akan mencarimu jika diperlukan. Will sendiri tak pernah bertemu langsung dengan Oracle itu.

"Maafkan aku, Kyle. Kurasa aku tidak berhasil memenuhi perjanjianku," kata Will sungguh-sungguh. "Karena itu, aku memberimu informasi tambahan untuk menebusnya. Kejadian sesungguhnya mengenai kematian kedua orang tuamu." Will menyodorkan sebuah map berisi berkas-berkas yang ia dapatkan setelah sengaja mengobrak-abrik, membuat para Angels di confinium kesal.

Kyle hampir melupakan keberadaan Will saat melihat dokumen itu. Ia terdiam beberapa saat dengan raut tak terbaca lalu berkata, "Kau mendapatkan penjelasan kematian mereka... artinya mereka masuk nera-?"

"Tidak," potong Will, mencegah pikiran buruk Kyle. "Anggap saja berkas itu oleh-oleh dari sebuah tempat bernama Kilpisjärvi." Ia mengangkat bahu. Kyle hanya mengangguk lega, bahkan tak bersemangat melontarkan humor.

"Informasi ini lebih dari cukup untuk menebusnya." Kyle menarik nafas, lalu menghembuskannya seolah untuk menyingkirkan semua hal ini sejenak. "Kurasa dengan ini perjanjian kita selesai? Aku menduga kau ingin menghapus keberadaanmu di dunia manusia."

Kyle benar, setelah ini Will akan membuang ponselnya. Memutus semua kontak dari para manusia akan memperjelas keputusannya menjauh dari Isabelle.

"Satu hal terakhir yang ingin kupastikan," Will berkata. Ia mengingatkan Kyle tentang peristiwa saat ia kembali ke sepuluh tahun lalu-melihat malaikat wanita membawa orcus yang sedang berbicara dengan seorang malaikat pria. Seperti dugaan Will, dari ciri-ciri yang dijelaskan Kyle, malaikat pria itu adalah Leo. Hal itu dibuktikan oleh malaikat wanita berambut pirang yang menyebut namanya. Kyle melihat Leo menggunakan sebuah bros emas bersimbol timbangan-penanda divisi Judgement (pengadilan) yang cukup disegani diantara divisi yang ada di Caleum. Ia terlibat didalam semua ini, batin Will, sambil mendengarkan penjelasan ulang Kyle.

Setelah percakapan mereka berakhir, Kyle beranjak berdiri diikuti oleh Will.

"Senang berbisnis denganmu Blanford." Kyle mengulurkan tangan pada Will, tersenyum miring.

"Begitu juga dengamu... Riverton," Will menjabat tangan Kyle. Senyum Kyle berubah masam mendengarnya, lalu membuat isyarat 'selamat tinggal' sambil melangkah pergi.

Will masih berdiri disitu. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca menjulang tinggi yang menampakkan lalu lintas malam hari. Mengingat bros Caleum bersimbol timbangan itu membuat sebuah peristiwa merebak dibenak Will.

Dihadapan Will berdiri seorang Angels berambut pirang keemasan. Seraphine. Wajahnya terlihat lebih cantik daripada yang diingat Will, karena ekspresi tak bersahabat yang selalu ditunjukannya hampir tak tampak.

Ia berjalan mendekat dengan langkah anggun dan percaya diri. Pandangan Will jatuh pada bros emas berlambang timbangan yang tersemat di gaunnya.

"Divisi Judgement sangat cocok untukmu, Seraphine." Will mengangkat alisnya, berlagak kagum. "Walau aku merindukan pertemanan kita di sini, Confinium," lanjut Will melemparkan candaan yang ia tahu akan memancing kekesalan Seraphine.

"Aku kemari bukan untuk pamer kedudukanku dan kita tidak berteman, William." Seraphine mendengus. Membuat senyum geli Will melebar. Lalu malaikat itu menyampaikan, "Aku ingin menanyakan pendapatmu."

Sepanjang gadis itu berbicara, Will melihat raut Seraphine sepenuhnya serius, seolah rasa tidak sukanya selama ini hilang. Seraphine menceritakan tentang salah satu kasus yang ia tangani. Sepasang kekasih yang saling mencintai, namun si wanita menutupi sesuatu sepanjang hubungan mereka, hingga ia tak bisa sepenuhnya jujur. Bukan menyembunyikan sesuatu yang buruk, bisa dikatakan malah demi kebaikan mereka berdua dan menyangkut kebaikan sahabat wanita itu. Padahal kekasihnya sangat membenci kebohongan.

Will berpikir sejenak, mengamati raut Seraphine yang menunggu gelisah. Ia tak mau ambil pusing apa tujuan Seraphine sebenarnya.

Dengan ringan Will menjawab, "Simple, hubungan mereka dibangun diatas kebohongan. Apakah mereka bahkan bisa disebut saling mencintai?"

Reaksi Seraphine diluar dugaan. Ia tampak terkejut lalu berubah tak berekspresi.

"Kalau kau bertanya padaku, tak peduli alasanya demi kebaikan apapun, wanita itu tetap bersalah karena berbohong. Kekasihnya akan beruntung kalau tidak pernah tahu, daripada kecewa setengah mati." Will menambahkan asal-asalan. Seraphine terdiam sejenak, membuat Will bertanya-tanya tentang kelakuan anehnya ini.

"Kurasa aku sudah mendapat inspirasi." Hanya itu tanggapan Seraphine. Tanpa menatap Will lagi, malaikat itupun berbalik pergi.

"Ini tak ada hubungannya dengan Aurielle yang beberapa hari ini meninggalkan Confinium bukan?" selidik Will.

Langkah Seraphine terhenti. "Tidak." Akhirnya ia menjawab tanpa menoleh.

***

Sepasang pintu kaca berbingkai besi berwarna emas mengkilat terbuka bersamaan. Menampakkan klub elit bernuansa temaran di dalamnya. Seorang pria mengenakan setelan kantor yang tampak mahal, berjalan dengan tegap menuju deretan kursi bar. Rambutnya tertata rapi, rautnya memancarkan sifat manipulatif.

Sorot mata hijau pria itu melembut dan bibirnya membentuk senyum, saat menemukan gadis berambut merah bergelombang sepanjang punggung. Gadis itu menoleh seolah menyadari keberadaan pria tersebut.

"Mark." Mata hijau gadis itu melebar senang saat menyapanya.

"Sister," balas Mark, senyumnya mengembang. Di mata orang lain senyum itu tampak kejam, namun tidak bagi adiknya, Halle. "Kau terlihat lebih bebas bepergian sekarang."

"Terima kasih pada Cateno." Halle mengangkat gelas champagne nya. "Besok ia akan resmi dihukum atas perbuatan yang kulakukan." Gadis itu menyesap minumannya seolah itu hal terenak yang pernah ia rasakan.

Mark tak suka menghancurkan raut bahagia Halle, namun ia harus menyampaikan maksudnya. "Kurasa setelah pengadilan besok, kita akan menyingkir dari urusan para malaikat ini. Bersembunyi. Kita bisa saling melindungi diri sendiri, Halle. Tak banyak yang bisa melawan kekuatan kita."

"Hentikan, Mark." Halle menaruh gelasnya sedikit terlalu keras. "Hanya karena perlindungan malaikat itu, Caleum tak menyadari kita ada. Semua tugasku telah selesai. Suasana telah kembali damai. Apa lagi yang kau cemaskan?"

"Gadis manusia itu, Isabelle, datang ke kantor ku beberapa hari yang lalu." Ucapan Mark membuat Halle mulai berpikir. Itu artinya gadis manusia itu belum jera dan kemungkinan sedang berusaha mencari tahu tentang kematian ayahnya, Oliver Cleveland.

Tak masalah, pikir Halle. Mungkin sang Lady hanya akan memberinya tugas kecil. Karena semua akan lebih mudah ketika rajanya tak lagi ikut campur.

"Aku tidak ingin malaikat itu terus mengatur kita melakukan tindakan kotornya," desak Mark.

Ia dan Halle sudah sering berdebat tentang hal ini. Mark sudah muak dengan urusan malaikat itu. Bagaimanapun, malaikat itu masih berkaitan dengan hukuman kejam Caleum pada ayahnya. Namun, Halle selalu merasa mereka paling aman berada dalam naungan malaikat yang bahkan tidak bisa ia sebutkan namanya─The Lady, itu cara Halle memanggilnya.

Malaikat itu bersedia melindungi keberadaan Mark dan Halle sejak ayah mereka dihukum mati, asal mereka melakukan tugas yang tidak bisa ia kerjakan secara langsung. Namun, Mark tahu, dibalik wajah tak berdosa malaikat itu, hatinya seperti jurang tak berdasar. Di satu waktu ia dengan sadar melakukan kesalahan fatal. Sebagai salah satu dampaknya, membuat sahabatnya terbunuh─Mark curiga hal ini tidak lepas dari unsur kesengajaan. Sesaat kemudian, ia berlutut memohon ampun pada dewan tertinggi Caleum dan rela melakukan apapun untuk memperbaiki kesalahannya. Tak ada yang bisa membaca maksud sesungguhnya dibalik kata-kata dan perbuatan gadis malaikat tersebut.

Untuk kesekian kali, akhirnya Mark menyerah berbicara dengan Halle. "Kalau kau sampai terluka, aku tak akan segan-segan menentang semua perintah malaikat itu. Mengacaukan semua rencana yang selama ratusan ribu tahun ia susun rapi," ancam Mark, mata hijaunya berkilat tajam. Ia kesal karena tak berhasil menyadarkan adiknya.

"Itu tak akan terjadi, Mark." Halle berpaling darinya. Meluncur turun dari kursi bar dan melangkah pergi.

***

Percakapan semalam dengan Mark membuat suasana hati Halle sedikit buruk, namun saat ia teringat sedang berjalan menuju pengadilan Cateno, semua itu lenyap. Halle merapikan tatanan up do nya. Dengan percaya diri ia melangkah ke area lift di lobby, menekan tombol naik.

Tidak seperti biasa, His Majesty menggelar pengadilan vonis hukuman Cateno ini di ruang konferensi gedung C.D.I. bukan di ruang pengadilan ataupun ruang tahta Underworld. Halle tak terlalu memikirkannya selama hasil akhir sidang adalah hukuman Cateno.

Beberapa pasang pintu ganda ruang konferensi terbuka lebar. Beberapa kali, Halle pernah melihat perusahaan terkenal yang mengadakan rapat besar diruangan ini. Layaknya rapat para manusia itu, di bagian tengah ruangan meja-meja berjajar menghasilkan ruang kosong berbentuk segi empat lebar ditengahnya. Tempat para pemegang saham dan petinggi direksi biasanya duduk. Disekeliling nya berjajar kursi dan meja unuk staff yang lain.

Seorang malaikat iblis mengarahkan Halle untuk mengambil tempat di susunan meja di tengah ruangan. Tentu saja Halle mendapat tempat petinggi direksi karena ia adalah saksi penting. Tak lama kemudian, semua kursi itu telah terisi penuh. Jauh diseberang kursi Halle, adalah tempat Will duduk. Dua kursi disebelah kanan Will masih kosong.

"Langsung saja kita mulai pengadilan ini," kata Will, tampak semangat. Ditengah suasana formal ini, Will terlihat seperti pewaris muda pembangkang yang menghadiri rapat perusahaannya dengan pakaian casual, hanya menyampirkan tambahan blazer.

"Halle, kau bisa berdiri di tengah." Mata abu-abu Will menatap Halle dari seberang. Mengisyaratkan Halle untuk berdiri di tengah meja-meja yang mengelilingi di keempat sisinya. Halle melangkah ke lahan kosong ditengah sambil mengerutkan kening heran.

"Your Majesty, kurasa saya bisa bersaksi dari tempat duduk saya," kata Halle ragu-ragu.

Will mencondong tubuhnya kedepan, bertopang pada kedua siku. "Kurasa kau belum paham, Halle." Ia berbicara di hadapan mikrofon. Sudut bibirnya terangkat penuh arti. "Sejak awal, ini adalah sidang vonis hukumanmu."

Deg! Halle merasakan darahnya berpacu cepat, membuat kepalanya terasa pening seketika. Diatas segala kegugupannya, Halle mengumpulkan kekuatan untuk berkata, "Your Majesty, saya yakin ini adalah kesalahan. Seseorang sedang berusaha memfitnah. Tidak ada bukti apapun yang menunjuk pada saya."

"Kau yakin, Halle?" Will tertawa sinis. "Vonismu bukan hanya menyangkut kematian Azura. Namun, semua tindakan yang kau lakukan dibalik jubah bertudungmu itu."

Dunia serasa runtuh di sekeliling Halle. Semua ini seperti bom yang dijatuhkan padanya. Ia tak bisa mencerna kenyataan ini. His Majesty mengetahui semuanya. Bagaimana... ? batin Halle.

Halle masih belum sempat mengumpulkan kata-kata untuk berbicara, saat Cateno melangkah masuk tanpa pengawalan apapun. Sekejap, ruangan dipenuhi oleh gumaman terkejut, hanya Will yang tampak tenang mengerikan.

Semua mata mengikuti Cateno yang berjalan menuju kursi kosong disebelah kanan Will. Mantan kepala tahanan itu membungkuk pada Will sebelum duduk di kursinya.

"Ah, aku hampir lupa tamu kita, yang membuatku memutuskan mengadakan pengadilan diruangan ini." Will berdiri, menghadap ke arah pintu ganda yang baru saja dilewati Cateno. Semua orang seolah terhipnotis mengikuti arah pandang Will. Halle melihat seorang gadis berambut coklat panjang dengan iris berwarna Hazel memasuki ruangan dengan sedikit ragu.

Will mempersilahkan gadis tersebut menuju kursi di samping Cateno. "Our guest, Natasha Elizabeth Whitfield."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro