Part 34.1: What the Necklace Took

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hi Readers!! sorry bangeett udah telat update dua hari hehe

Situasi di dunia nyata lagi sibuk ;) Untuk menebus itu, part yang aku update ini bakal lebih panjang. Sampai jadi dua part. 

Hope you enjoy it! jangan lupa vote and comment. Thank you ^^


Aku kembali melangkah masuk ke lobby kantor bernuansa modern didominasi material aluminium mengkilat yang berkesan dingin dan keras. Menyerah tak ada di dalam kamusku. Sambil melewati pintu kaca otomatis, aku melempar senyum manis pada Julian—satpam shift sore yang sudah hafal dengan wajahku. Berjaga-jaga agar dia tak mengusirku. Satpam itu memasang wajah seolah berkata gadis-ini-lagi.

"Mr. Moorson tak bisa ditemui, Miss Cleveland," kata si wanita resepsionis, Darla, yang berlipstik merah menyala, saat aku baru saja mencapai meja resepsionis.

"Aku akan menunggu manis hari ini, sampai Mr. Moorson keluar kantor." Aku tersenyum. Hari ini aku tak akan pulang dengan tangan kosong.

"Ia belum tentu melewai lobby ini—Mr. Moorson." Raut mengejek Darla terhenti oleh rasa terkejut. Aku sontak berbalik. Seorang pria bersetelan rapi yang tampak hampir menginjak umur empat puluh, berhenti melangkah saat melihatku.

"Well, well, kulihat kau tidak mudah menyerah Miss Cleveland." Mr. Moorson tersenyum sinis. Aku tidak heran reputasinya dikenal sebagai mafia, dengan tampang licik dan semburat aura jahat itu. Aku menyadari pria ini tampak sedang marah. Gawat mungkin ini hari yang buruk. Menemuinya di hari libur pun akan terasa mengerikan—Tidak, aku tidak bisa mundur sekarang.

"Aku ingin berbicara dengan anda. Menuntut penjelasan tentang semua alasan dibalik hal yang anda lakukan." Amarahku mulai membuncah lagi, menjadi kekuatan untuk berbicara.

Entah kenapa mata hijaunya memandangku penuh kebencian. Salah satu tangannya mencengkeram ponsel dengan erat. Kukira pria itu akan menyemburkan amarah padaku, namun ia mengangkat tangan mengisyaratkanku untuk menunggu selagi mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

"Aku masih disini!" bentaknya pada orang di sambungan telfon. Aku menelan ludah gugup. Kalau ingin lari, tampaknya sekarang waktu yang tepat—Tidak, Isabelle! setelah berhari-hari kau akhirnya bertemu dengan Mr. Moorson, sebuah suara dibenakku menyahut, membuatku tetap diam ditempat.

"Kau sudah memastikannya? Iblis itu ternyata menyidang asistennya Halle? Ya, berita yang sangat mengejutkan...." Pria itu berusaha menenangkan nada bicaranya, namun wajahnya jelas tampak semakin marah. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ok, mungkin ini benar-benar saat yang buruk.

"Yah bagaimanapun ia raja iblis. Kau tak akan bisa membaca jalan pikirannya." Ia melanjutkan lagi. Entah kenapa aku mendapat firasat mereka sedang membicarakan Will. Apa yang sedang dilakukan Will?

Tiba-tiba Mr. Moorson menatap kearahku, seutas senyum jahat melewati wajahnya. Aku hampir memutuskan untuk segera pamit saat ia berkata, "Anyway, kau harus kembali bertugas, jangan menyebarkan gosip terus. Aku punya urusan lain disini." Lalu, pria itu langsung memutus sambungan.

"Sampai dimana kita tadi, Miss Cleveland?" Dengan mengerikan ia langsung berubah ramah.

"Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk berbicara." Akhirnya instingku memutuskan untuk mengalah hari ini. Aku mengambil beberapa langkah mundur. "Aku akan menemui anda lagi be—"

Tangan kokoh pria itu mencengkeram pundakku sedikit terlalu kuat, membuatku berhenti bicara. Aku meringis, benar-benar merutuki kenekatanku untuk bermain-main api sekarang. "Aku tak akan membiarkan tamuku pulang begitu saja. Sangat tidak sopan." Ia tersenyum licik. Entah kenapa ia tampak akan meledakkan kebenciannya padaku. Sejurus kemudian kendali dirinya kembali. Dengan lebih tenang Mr. Moorson berkata, "Namun kau benar, saat ini bukan saat yang tepat. Aku akan memastikan kita bertemu lagi, Isabelle Cleveland. Pasti."

Ia melepaskan cengkeramannya, berjalan pergi dengan langkah kasar, meninggalkan rasa dingin menjalari tulang punggungku. Ucapannya seolah menyiratkan hal buruk. Aku mulai tidak yakin ingin bertemu dengan pria itu lagi, teringat fakta lain kalau pria itu tak segan untuk membunuh dan menerror.

***

Lizzie tak tahu apa yang sebenarnya sedang ia lakukan. Dengan was-was ia menatap ke seorang pemuda berperawakan sangar bernama Cateno—orang yang mengaku pimpinan bodyguard keluarga Blanford. Semua berawal dari Cateno menanyai beberapa orang di sekolah, tentang orang luar yang berpakaian aneh atau mencurigakan. Ketika Lizzie memberi jawaban yang diinginkan, kepala bodyguard itu tak mau membiarkannya lolos. Sejak saat itu dirinya mulai curiga kalau keluarga Blanford kemungkinan geng mafia, dilihat dari betapa seriusnya bodyguard mereka dan tertutupnya informasi tentang keluarga itu.

Ia sangat bersyukur Will keluar dari sekolah dan memutus hubungan dengan Isabelle. Lizzie tak habis pikir bagaimana sepupunya itu bisa jatuh cinta pada cowok semacam ini. Will berperawakan sempurna tentu saja, mimpi indah semua cewek, namun selain itu Lizzie baru menyadari tak ada yang sanggup melibatkan hidup dengan kehidupan kelamnya.

Dan sekarang, Lizzie terjebak di dalam masalah gadis bernama Halle yang menurut penjelasan Cateno, adalah penerror terselubung. Lizzie tak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, karena dari cerita-cerita yang ia tahu, orang-orang seperti mereka bisa melenyapkan dirinya. Lizzie gampang paranoid dan berusaha menghindari resiko sebisa mungkin. Segala pemikiran inilah yang membuat Lizzie mendekat ke mikrofon meja dengan ragu.

"Kau bisa bersaksi sekarang, Natasha." Will berkata padanya. Walaupun mengulas senyum, pemuda berparas rupawan itu tampak tidak sabar. Lizzie hanya mengangguk. Ia tak habis pikir pewaris semuda Will sudah bisa memegang kendali direksi perusahaan sebanyak ini—hal lain yang membuat Lizzie sadar Will bukan anak SMA biasa. Entah semengerikan apa latar belakang keluarga Blanford sesungguhnya.

Lizzie berdeham dan mulai menceritakan pertama kali ia melihat seseorang mengenakan jubah bertudung di acara Homecoming sekolah. Selera pakaian yang sangat aneh. Ia hampir menyuruh Bernard menghentikan mobilnya di dekat gerbang sekolah, untuk menghampiri sosok itu, namun Bernard hanya berkata mungkin dia alumni berselera nyentrik atau seseorang yang tidak bisa membedakan pesta Homecoming dan Halloween.

Kali kedua, Lizzie melihatnya saat istirahat latihan cheers. Lapangan parkir mobil hampir kosong ketika ia mengambil beberapa barang di bagasi. Sosok yang sama keluar dari gedung akademik, tak terlalu jauh dari tempat parkir Lizzie. Kali ini sosok itu membuka penutup kepalanya dan Lizzie bisa melihat seorang gadis berambut merah terurai. Gadis itu ternyata bernama Halle, yang sekarang berdiri ditengah ruangan.

"Aku memiliki bukti." Beriringan dengan perkataan Lizzie, sebuah gambar ditayangkan di layar proyektor. Lizzie menyimpan foto itu hanya untuk berjaga-jaga bila Halle ternyata melakukan tindak kriminal di sekolahnya. Sekarang ia menyesal. Andai saja ia bersikap tak peduli, Cateno tak akan menyeretnya kemari.

Wajah Halle tampak semakin memucat. Ia tak berkata apa-apa sejak tadi. Entah kejahatan apa yang sebenarnya dilakukan gadis itu selain menguntit ke sekolah Will.

Suasana begitu tegang menyesakkan saat suara Will menyela, "Kau boleh berbangga dengan kekuatanmu, Halle. Namun, siapa sangka teknologi manusia ini meruntuhkan segalanya." Mata abu-abu Will berkilat menang. Lizzie bergerak gelisah, Will yang dilihatnya sekarang bukan Will yang ia kenal selama ini.

Dua pemuda berpakaian hitam-hitam, kemungkinan para bodyguard, maju mencekal lengan Halle. "Kakakku tak akan tinggal diam!" Halle meronta marah, membuyarkan kesan professional dan tenangnya. Gadis berambut merah itu tak memiliki pembelaaan apapun yang bisa ia lontarkan.

Will mengisyaratkan Cateno untuk mengambil alih hukuman apa yang akan dijatuhkan padanya. Dengan ngeri Lizzie membayangkan mereka memiliki penjara pribadi atau tempat penyiksaan untuk para musuh mereka. Lizzie tak sepenuhnya mengerti pembicaraan mereka, ia hanya ingin cepat pulang. Tangannya tak berhenti berkeringat. Kursinya seolah berada diatas kompor.

"Dengan senang hati aku akan menyambut saudaramu, sekaligus menyeret siapapun yang menyuruhmu, keluar dari persembunyiannya." Ketenangan Will melakukan semua ini membuat Lizzie merinding.

"Saat mengetahui semuanya kau akan menyesal dan berharap tak pernah tahu!" Desis Halle, marah setengah putus asa ditengah bentakan Cateno yang ikut menggiring Halle keluar. Kedua bodyguard yang mencengkeram lengan gadis bermata hijau itu semakin kuat setengah menyeretnya keluar.

Kericuhan di ruangan ini berangusur mencair. Lizzie hendak keluar bersama kerumunan direksi dan staff, saat Will memanggilnya.

"Natasha. Kita perlu bicara sebentar." Will menghadang langkahnya. "Thanks, kau mau membantuku." Ekspresinya kembali seperti biasa, kesan intimidasi yang mengerikan tadi lenyap. Walaupun begitu Lizzie mundur menjaga jarak.

"Ya. Aku akan pulang sekarang." Lizzie menyadari ruangan ini hampir kosong. Tinggal ia dan Will.

"Tentu. Lupakan semua kejadian yang membuatmu gelisah. Kau kemari hanya untuk menyerahkan bukti yang membantuku karena Cateno memintamu." Mata abu-abu Will menuntut menginvasinya. Lizzie baru menyadari warna abu-abu itu begitu memikat menembus pikirannya. Ia mengangguk seolah tersihir.

Benar, ia kemari menyerahkan bukti, lalu sekarang bertemu Will di ruangan meeting yang kosong. Perasaannya kembali tenang. Lizzie tidak mengerti kenapa sebelumnya ia merasa begitu gelisah. Seolah menyambut perasaan gelisah Lizzie yang menghilang, Will tersenyum menawan.

Sifat periang Lizzie kembali merekah. Lizzie bahkan sempat mengomelinya tentang keputusan drop out Will yang begitu mendadak, sebelum ia melambai berpamitan seraya melangkah keluar.

"Natasha." Tepat saat Lizzie hampir melewati ambang pintu, Will memanggilnya. "Bagaimana kabar Isabelle?" Will bertanya seolah itu adalah pertanyaan yang penuh pertimbangan. Sepertinya cowok ini juga belum bisa melupakan sepupunya, walaupun yah Will pasti sangat gengsi mengakui hal itu. Lizzie tersenyum sendiri memikirkan itu.

Ia menjawab sekilas tentang Isabelle yang kembali ke mansion Cleveland dan kepindahannya ke London dalam beberapa hari lagi. Insting Lizzie mengatakan Will hanya berusaha terlihat tak peduli.

Lizzie mengakhirinya dengan berkata, "Well, Isabelle tampaknya belum bisa melupakanmu. Ia hanya berusaha mengalihkan perhatian dengan menyibukkan diri." Gadis berambut cokelat itu mengedikkan bahu. "Namun, bawah sadarnya tak bisa berbohong. Hampir tiap malam ia menggumamkan namamu."

Hal terakhir yang dilihat Lizzie sebelum ia meluyur keluar adalah Will yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

***

Will memejamkan mata sambil menahan umpatan, mengingat pertanyaannya tadi. Terlalu malu menyadari ia melanggar tekadnya untuk tidak peduli. Kenapa gadis manusia itu masih melekat di benaknya?

"Your Majesty, apa anda memutuskan untuk kembali?" Suara Ragnor menyadarkannya. Will menyadari dirinya telah berhenti melangkah.

"Tidak." Will menghela nafas tajam, mengembalikan dirinya ke kenyataan. Ia kembali melangkah cepat menuju penjara para Demons. Fokus untuk menguak segala hal yang diketahui Halle dengan atau tanpa persetujuannya.

Hal pertama yang didengar Will begitu ia tiba di depan sel Halle adalah teriakan gadis sorcerer itu. "Tak peduli apapun hukuman yang kau berikan padaku, aku tak akan bisa mengungkapkan semuanya, Cateno!"

Cateno menggeram kesal. Will menepuk pundak kepala tahanan itu seolah mengisyaratkan ia akan mengambil alih dari sini. Dibalik jeruji, pemandangan sel Halle terlihat seperti jurang hitam yang menganga. Sebuah lempengan batu mengambang di tengahnya, tempat Halle duduk terpuruk. Jurang disekelilingnya akan mencegah sihir apapun yang berusaha ia lancarkan, memerangkap kekuatan Halle. Namun, semua itu bukanlah hukuman yang sesungguhnya.

Pandangan Halle terlihat menerawang, karena hukuman yang sesungguhnya berada dalam benaknya. Kiasan yang mengatakan biarkan tubuhmu terpenjara sementara pikiranmu bebas, tak berlaku di dalam penjara ini. Walaupun secara fisik, Halle tak tergores sedikit pun, Will tahu di dalam benaknya, gadis itu tersiksa. Cateno tak pernah main-main dalam memilih hukuman.

"Aku hanya menjalankan perintah. Aku tak melakukan kesalahan apapun!" Halle mendesiskan kata-kata itu dari sela-sela giginya.

"Sebenarnya kau melakukan kesalahan fatal saat membohongiku sejak awal," timpal Will, membuat mata Halle yang menerawang melebar terkejut. Will sangat membenci kebohongan, Halle tahu itu. "Kalau kau tak ingin menambah penderitaanmu, kita mulai dari penjelasan tentang kalung yang dipakai Isabelle. Dari awal, kau menjadikan Isabelle sasaran gara-gara itu."

Will tak percaya Halle yang selalu sopan tertawa dalam kerutan penderitaan saat mendengarnya. Cateno hendak bereaksi, namun Will menahannya. Ada sesuatu yang sangat salah hingga Halle bersikap begitu.

"Dengan atau tanpa kalung itu, Aku akan tetap mengincar Isabelle. Kalung itu kebetulan hanya penanda yang memudahkan. Semua ini tentang anda dan gadis manusia itu." Perkataan Halle merobek pemahaman Will selama ini menjadi serpihan. Jadi, bukan kebetulan Isabelle memiliki kalung itu.

"Apa maksudmu?" Sekarang Will yang maju dengan geram, mencengkeram jeruji sel Halle.

Seolah menemukan kesenangan disela penderitaannya, Halle mengatakan semua yang ia lakukan karena seseorang menginginkan Will dan Isabelle tak pernah saling bertemu lagi. Secara terang-terangan Halle mengisyaratkan Isabelle memiliki hubungan kuat dengan kalung milik Aurielle. Keadaannya yang terkurung membuat Halle tak peduli lagi dengan rencana malaikat yang menyuruhnya.

"Kalung itu benar-benar benda terkutuk. Walaupun seandainya malaikat yang anda cintai tak pernah terbunuh Orcus, kalung itulah yang akan membunuhnya." Halle mengakhiri perkataanya dengan senyum puas bercampur penderitaan, seolah ia bangga akan kalung buatan ayahnya.

Informasi baru yang memaksa memasuki benak Will, membuatnya kewalahan. Aurielle tak pernah menyiratkan kalung itu berbahaya. Will masih mengingat senyum bahagia Aurielle saat memberinya pasangan kalung tersebut.

"Aurielle memberikan satu padaku dan kalung itu seharusnya menjadi jalan untukku dan Aurielle untuk menjadi manusia." Will membantah tak terima.

"Ia menyuruhmu untuk menunggu bukan?" Halle mendesis berusaha tetap berbicara ketika benaknya menyiksanya. "Because every magic has a price."

Will menyadari kata-kata Halle ada benarnya. Semua hal instan di dunia ini menuntut harga yang harus dibayar. Kalau diingat lagi, Aurielle tak pernah menceritakan secara detail bagaimana ia mendapatkan kalung itu. Will menarik nafas panjang, ia tak akan membiarkan konsentrasinya buyar sekarang. Ia harus terus menggali semua yang Halle ketahui.

"Walaupun aku ingin mengungkapkan semua yang disimpan rapi oleh malaikat wanita itu, aku tak bisa." Halle berkata dengan kesal.

"Silent Oath," desis Will dari sela giginya. Rasanya Will ingin mencekik siapapun yang menciptakan sumpah itu. Namun, secara sukarela Halle mengatakan malaikat yang mendalangi dibalik semua ini menetap di New York. Will harus mengakui kemampuan bersembunyinya benar-benar luar biasa. Membuat Will curiga malaikat itu mengenal baik dirinya.

Seorang malaikat iblis yang tergesa-gesa menghampirinya membuat Will teralih sejenak.

"Your Majesty, Mark Moorson menuntut untuk berbicara dengan anda sekarang. Ia menunggu di sambungan telfon lobby." Malaikat iblis wanita itu berbicara dengan ngebut.

Halle kembali tersenyum disela penderitaannya. "Aku sudah berkata kakakku tak akan tinggal diam." Perkataan Halle membuat Will memijat pelipisnya. Satu lagi fakta mengejutkan untuk hari ini. Mark Moorson adalah anak katia yang lain. Bisakah hari ini menjadi lebih buruk lagi?

Begitu sampai di lobby apartment, Will menyambar telfon dari petugas resepsionis.

"Ah, selamat malam, Your Majesty. Seseorang disebelahku sangat ingin berbicara dengan anda." Mark Moorson terdengar senang penuh kelicikan, diluar ekspektasi Will saat mengira witch itu akan marah-marah.

Will bertanya dengan jengkel, "Apa yang kau—?"

"Will?" Ternyata suara Isabelle lah yang menyelanya. Will membelalak, seolah seseorang baru saja menamparnya.

Tanpa banyak tanya, ia tahu ini adalah deklarasi perang Mark Moorson. Gagang telfon resepsionis menjuntai jatuh. Will tak mengerti apa yang sebenarnya ia pikirkan. Seperti angin badai ia menghambur keluar dari lobby apartemennya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro