Part 34.2: What the Necklace Took

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak membutuhkan usaha khusus untuk menemukan Mark Moorson sedang mengadakan pesta makan malam di salah satu club miliknya. Tanpa basa-basi Will menyerbu ke arah Mark yang sedang bercakap-cakap dengan wanita bertubuh ramping yang jelas-jelas sedang menggoda penyihir itu—ralat penyihir berdarah campuran malaikat iblis.

"Dimana Isabelle?" tuntut Will, mencengkeram kerah kemeja Mark. Tak mempedulikan wanita penggoda dihadapannya memekik terkejut. Ada saatnya Will tak bisa menanggapi permainan musuhnya, seperti sekarang.

"Easy. Petugas klub ku akan mengira kau anak sekolah pembuat onar disini." Pria berjas rapi itu tertawa. Will menggertakkan gigi. Penyihir ini benar-benar gila berani menantangnya. "Tak kusangka kau tidak bisa mengenali suara wanita ini yang berbicara di telfon," tambah Mark, dengan sisa-sisa tawanya.

Will mengerutkan kening heran, menoleh ke si wanita manusia yang memandang mereka ketakutan. Namun, sedetik kemudian Will menyadari semuanya.

"Damn it!" Dengan kasar ia menghempaskan cengkeramannya pada kerah Mark.

"Tak kusangka kau begitu panik hingga tak menyadari semua itu hanya sihirku." Mata hijau Mark berbinar takjub. "Membuatku semakin yakin untuk menemui Isabelle. Ia begitu gigih mencariku di kantor. Gadis yang manis. Aku mengenal keluarganya begitu dekat."

Will tersenyum sinis, mata abu-abunya berkilat berbahaya. Untuk sesaat ia mengabaikan tentang Isabelle yang gigih mencari Mark. Gadis itu selalu konsisten bertingkah nekat. "Kau tahu, mengancamku tak akan membuatku melepaskan Halle dari tahanan."

"Ya, hingga aku tahu betapa pentingnya Isabelle bagimu." Pria bermata hijau itu tersenyum menantang.

Will merasakan darahnya mendidih, namun ia berusaha memasang raut tenang. Seandainya saja ia bisa menyeret Mark Moorson sekarang juga. Will menghela nafas. Sayangnya, meskipun ia suka bertindak seenak hati, menjadi penguasa Underworld bukan berarti bebas menangkap siapapun yang mencari gara-gara dengan dirinya. Egonya menuntut Will mengikuti aturan alam. Menangkap Mark hanya gara-gara telfon lelucon tentang seorang gadis manusia akan membuat Demons lain menganggapnya tidak rasional. Menurunkan kredibilitas Will sebagai raja Underworld.

Sebagai balasan, Will mengulas senyum datar penuh kejengkelan. "Katakan saja aku memang peduli pada gadis itu. Maka aku akan mewujudkan keduanya. Menjauhkanmu dari Isabelle dan menahan Halle."

Senyum menantang Mark berubah menjadi kaku. "Ada saatnya seorang raja arogan akan turun tahta. Halle adalah satu-satunya orang yang berarti untukku. Aku tak akan tinggal diam."

Untuk sesaat mereka beradu pandangan. Melupakan sekitarnya. Kalau penyihir itu merasa kekuatannya yang bercampur kekuatan malaikat iblis bisa mengalahkan Will, maka ia salah besar. Dan Will akan membuatnya sadar.

Awalnya ia hanya ingin menghukum Halle sebatas kebohongannya, hingga ia berhasil menemukan siapa dibalik semua ini. Will tahu semua yang dilakukan Halle berdasarkan perintah malaikat misterius itu. Namun, deklarasi perang dari Mark membuat Will berubah pikiran.

"Kita lihat saja." Will mengulas devilish smile khasnya.

***

Ketika pintu utama klub menutup di belakang pemuda berambut ash brown itu, mau tidak mau Mark menghembuskan nafas lega. Bagaimanapun ia baru saja menantang Demons dengan reputasi paling mengerikan. Tak ada cara lain, ia harus membebaskan Halle dari semua ini. Seandainya saja Halle menuruti kata-katanya.

"Kau baru saja memancing masalah dengan Will." Suara lembut dan merdu terdengar dari balik punggungnya. Suara terakhir yang ingin ia dengar saat ini. Mark berbalik. Mata biru cerah gadis itu menatapnya tajam. "Apa yang kau lakukan hanya akan membuat Will kembali memikirkan Isabelle. Dan merusak ketenanganku akhir-akhir ini."

Ia sudah tidak peduli dengan rencana malaikat itu. Isabelle akan menjadi satu-satunya kelemahan yang bisa ia gunakan untuk menentang Will.

"Apa maumu kemari? Kau sudah membuat Halle celaka dan aku tidak bisa tinggal diam lagi." Mark tak berusaha menyembunyikan kejengkelannya. Tidak seperti Halle, ia tak suka merasa diperintah-perintah oleh orang yang terlibat kematian tragis ayahnya, jika bukan karena posisinya benar-benar terjepit.

"Kau akan menggantikan tugas Halle. Tetap seperti rencana awal, memastikan mereka tak saling bertemu lagi." Wajah lembut malaikat itu hampir menutupi nada jengkelnya. Ia bahkan meyakinkan Mark kalau Will hanya bersenang-senang sebentar dengan menahan Halle, tidak serius mencelakainya. Menurut gadis malaikat itu, kelakuan Mark barusanlah yang akan memperburuk situasi, membuat penyihir itu mendengus kesal. Gadis ini seolah menganggap situasi Halle bukan masalah serius.

Mark hendak menolaknya mentah-mentah hingga sebuah ide merebak. Pria bermata hijau itu memperbaiki ekspresi kesalnya. "Baiklah. Aku akan menuruti perintahmu untuk membuat Will dan Isabelle tak akan pernah bertemu lagi. Setidaknya, tidak di kehidupan ini." Rautnya berubah licik.

"Kau tahu batasannya, Mark Moorson," balas gadis berambut pirang itu penuh penekanan. Mata birunya memicing.

Mark tak mengindahkan peringatan tersebut. Ia akan melakukan dengan caranya sendiri atau tidak sama sekali. Dengan senyum puas, ia pergi meninggalkan gadis itu.

***

Tak terasa besok adalah hari kompetisi antar sekolah. Aku tak pernah merasa bersyukur seperti ini ketika rasa gugup mulai berdatangan. Setidaknya, aku punya alasan lain untuk tidak memikirkan Will.

Aku meraih ponsel beserta headset dan buku partiturku dari meja nakas. Sebelum tampil, aku memiliki kebiasaan mendengarkan lagu yang akan kubawakan secara berulang-ulang. Sesekali aku melihat kembali partiturku. Mencegah suasana panggung membuat semuanya menguap lenyap. Akhirnya aku memutuskan, dengan perlahan membuka pintu kamar dan menuju balkon. Lampu kamar sudah padam karena Lizzie tidur lebih cepat hari ini.

Mencari posisi yang nyaman di sofa outdoor di balkon privat ku, aku memasang headset. Di halaman belakang yang luas, kolam renang yang menyala biru oleh pantulan lampu terlihat begitu tenang. Lampu-lampu balkon yang menyala sepanjang malam membuatku bisa membaca partiturku cukup jelas.

Beberapa menit kemudian aku membiarkan mataku terpejam, menyerap seluruh irama musik ke dalam benakku. Hingga aku tak ingat lagi kapan aku jatuh tertidur. Tanpa sadar, aku pasti masih memikirkan Will karena aku kembali dalam suasana mimpi yang sama.

Sebuah kalung berliontin batu hitam menjuntai dari tanganku. Entah sudah berapa lama aku memandanginya dengan raut kusut.

"Siapa yang memberimu benda itu?" Suara Katia membuatku mendongak. Kesadaranku kembali. Aku sedang berada di sebuah ruangan semacam 'ruang perdamaian', tempat para Angels dan Demons saling bertemu.

"Bukan urusanmu," aku menjawab singkat.

Katia malah mendekat, sambil mengulas senyum mengejek. "Aku tak tahu ternyata seorang malaikat juga menggemari benda sihir."

Malaikat iblis itu mengerti banyak tentang bagaimana benda-benda sihir bekerja. Ia berkata siapapun yang memberikan kalung ini menginginkanku menjadi korbannya. Aku merasakan pandangan Katia menatap brosku sekilas.

"Apa maksudmu?" Pertanyaanku membuat wanita itu kembali menatapku.

"Kau tidak tahu? Kalung itu membutuhkan satu jiwa yang dikorbankan untuk bisa bekerja sempurna." Wanita itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh liontin ditanganku. "Dari apa yang kurasakan, kekuatan sihirnya belum aktif karena pemberinya ingin jiwamu lah sebagai penebusnya."

Kata-kata Katia membuatku tenggelam dalam pusaran rasa dikhianati, kesal, dan tak percaya. Seseorang yang kupedulikan dan baru saja kuselamatkan, akan mengorbankan nyawaku demi keinginannya—Pusaran emosi itu begitu kuat hingga kesadaranku secara otomatis menarik diri. Kejadian selanjutnya yang kuingat adalah mimpiku tentang Will.

"Aurielle, kau menghindariku?" Will berusaha menatapku, sementara aku memalingkan wajah. Hamparan bukit hijau di sekelilingku begitu damai menyatu dengan malam. "Sejak kembali dari Underworld sikapmu berubah."

Ya, aku memang sedang menghindari Will. Dan aku harus memperjelas hubungan kami sebelum terlanjur terlalu jauh. "Kita harus sadar Will, hubungan ini sia-sia." Lebih baik mengakhirinya sekarang. Demi kebaikanku dan kebaikan sahabat yang baru saja mengkhianatiku.

Aku berbalik pergi, hanya untuk merasakan tangan Will menyambar tanganku, menahannya. Saat berbalik aku hendak melontarkan kalimat pedas, namun sorot mata Will yang penuh kesungguhan tulus, menghentikanku.

"Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, namun aku tak akan menyerah begitu saja sebelum mencoba." Will menggenggam kedua tanganku dengan mantap, menarikku mendekat dengan lembut. "Aku menyukaimu, Aurielle. Dan aku tidak yakin bisa menghentikan perasaanku terjatuh semakin dalam."

"Will...." Aku bergumam lirih. Di satu sisi aku sadar semua ini menyimpang ke arah yang berbahaya. Aku ingin berkata 'kau menyukaiku orang yang salah Will dan aku tidak ingin terlibat didalam kesalahan ini'. Namun, sorot mata abu-abu yang penuh ketulusan itu membuat lidahku kelu. Dengan gelisah tangan kananku menyentuh bros berlambang confinium, mengingatkan siapa diriku. Benakku kesulitan berpikir. Aku tak merespon apapun saat Will mengikis jarak diantara kami, merunduk menyentuhkan keningnya ke keningku.

"Aku tak akan membiarkan semua ini berakhir sia-sia," kata Will dalam bisikan. "Aku akan memperjuangkan semua ini, memperjuangkanmu. Membuatmu menyadari kau masih menginginkan hal ini."

Kehangatan genggaman Will terasa begitu nyata. Lama-lama aku khawatir lebih memilih hidup di dalam mimpi daripada di dunia nyata. Tak pernah kusadari aku begitu merindukannya. Aku tak akan membiarkan kehangatan ini menghilang. Bahkan saat tertidur lebih dalam, aku bisa merasakan kehangatan itu masih ada seolah Will ada disini.

***

Will terdiam lama menatap wajah Isabelle yang terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Tak ada tanda-tanda kekeras kepalaan dan kenekatannya yang membuat Will tak habis pikir, kenapa gadis ini bisa menemui Moorson. Seperti kata Natasha, Isabelle menggumamkan nama Will. Ini kedua kali Will mengetahuinya.Seolah terlena, Will meraih tangan Isabelle yang terlihat ramping dan pucat. Entah apa yang dimimpikan gadis itu. Ia merasakan Isabelle menggenggam tangannya semakin erat dan membiarkannya. Will hanya menatap tautan tangan mereka.

Setelah semua peristiwa hari ini, Will mendapati dirinya berakhir kemari, balkon luas Mansion Cleveland. Ia sendiri tak mengerti alasan apa yang mendorongnya. Bahkan sebelum Will mulai mencari, ia langsung menemukan gadis berambut pirang keemasan itu tertidur di sofa outdoor. Meringkuk begitu saja ditengah udara dingin. Saudara macam apa Natasha ini, hingga tidak menyadari sepupunya berada diluar. Begitu pandangan Will menemukan setumpuk selimut wool di ujung sofa, ia langsung menyampirkannya ke tubuh Isabelle. Kenapa dirinya peduli? Entahlah. Setelah beberapa minggu tidak melihat gadis  itu, Will merasakan semacam kelegaan saat melihat Isabelle kembali. Sebuah perasaan yang asing.

Semua ucapan Halle dan Azura mulai terngiang lagi.

"Semua ini tentang anda dan gadis manusia itu."    

"Sosok yang kau cintai tidak benar-benar lenyap dari dunia ini—"

Diatas tekadnya tak akan menemui Isabelle lagi, Will kemari.  Diatas semua usahanya bersikap cuek, Will tak bisa menyingkirkan Isabelle dari benaknya. Mungkinkah entah bagaimana, gadis ini adalah Aurielle... ? Pandangan Will jatuh pada kalung yang dikenakan Isabelle, awal mula dari semua ini. "Seandainya malaikat yang anda cintai tak pernah terbunuh Orcus, kalung itulah yang akan membunuhnya."  Jika yang dikatakan Halle itu benar, maka ada hal penting yang selama ini disembunyikan dari Will. 

"Perasaan cinta yang begitu besar tak akan menghilang begitu saja... Lebih baik kau tidak mencari tahu terlalu banyak jika kau ingin bersamanya."

Halle juga sempat menyiratkan hal yang sama, tepat sebelum Will meninggalkan sel gadis itu. "Mencari malaikat itu dan mengetahui semuanya hanya akan membuat anda menyesal, Your Majesty. Anda akan berharap tak pernah tahu."

Tadi, Will tak mempedulikan semua itu dan sudah menyuruh Cateno untuk mulai menyisir New York dan membatasi lalu lalang makluk supernatural apapun yang keluar masuk kota ini. Tapi bagaimana kalau kebenarannya ternyata tak sesuai perkiraan Will?

Diatas segala teka-teki itu, yang paling mengganggu Will adalah perasaannya sendiri. Ia tak tahu seperti apa sesungguhnya arti Isabelle bagi dirinya. Tidak, Will hanya berharap tak pernah tahu. Mungkin Azura benar. Will terjerumus dalam kemarahan dan dendamnya sendiri hingga ia merasa tak ada lagi kehidupan untuknya. Seperti itulah rasanya sejak Aurielle meninggalkannya. 

Bukan Lucifer's Curse yang membuatnya tak bisa membalas perasaan Isabelle, Will sendiri yang tak mengijinkan dirinya. Karena itu ia begitu terusik saat Isabelle mengacaukan semuanya, seolah membuat Will kehilangan pedoman yang telah ia pegang selama ini. Kutukan yang membuatnya merasa hampa tak berlaku dengan Isabelle. Kehadiran Isabelle seperti cahaya yang tiba-tiba menyorot masuk dalam kehidupannya.

Bagaimana kalau Will perlahan menyingkirkan dendamnya selama ini, menyambut uluran perasaan Isabelle... ? Pandangan Will kembali menatap tangannya yang bertautan dengan Isabelle, lalu menatap wajah gadis itu. Will tak sanggup mengetahui jawabannya. Lebih baik seperti ini. 

Dalam dua hari, Isabelle akan menetap di London. Bukan berarti Will tak bisa menemuinya, namun itu artinya Isabelle akan memulai kehidupan baru disana. Itu adalah kesempatan Isabelle menjauh dari kerumitan ini. Will hanya perlu menahan Moorson tak pernah melangkah keluar dari New York. Pemikiran itu membuat Will tersenyum miris. Pada akhirnya semua demi kebaikan gadis itu.

Karena itulah lebih baik Isabelle tak pernah melihatnya lagi. Dengan perlahan, Will melepaskan genggaman tangannya. 

      "But I've found in you, what was lost in me. In a world so cold and empty."

Dark On Me - Starset

https://www.youtube.com/watch?v=Ra2nAIVsOO8


Author's note: Supaya tidak menunggu tanpa kabar, untuk update  Aeon selanjutnya setelah tanggal 7 JUNI. Author off gadget selama seminggu hehehe Thank you untuk kesabarannya yaaa ;) see you soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro