Part 36.1: Stay

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hello again, Readers! ^0^  sorry ya baru bisa update  sempet extend holiday hehe. Setelah ini jadwal update kembali normal. Khusus besok aku kasih tambahan part ;)

Happy reading! jangan lupa vote and comment. Thank you.

--------------------------------------------------

So tell me you'll be right here with me
Hearing your voice is like hearing an angel sing
Through the good and bad and all in between
You're the one I want and the one I need
And I know..

Jadi beritahu aku kau akan berada disini bersamaku
Mendengar suaramu seolah mendengar seorang malaikat bernyanyi
Melalui segala kebaikan dan keburukan serta semua diantaranya
Kaulah yang kuinginkan dan yang kubutuhkan
Dan aku tahu...

--------------------------------------------------

Seharusnya aku tak pernah menemui penyihir ini. Aku baru menyadari tindakanku sungguh gegabah. Aku tak tahu apa yang terjadi, namun setelah berbicara di kantor Mr. Moorson, hal selanjutnya yang kutahu saat membuka mata adalah berdiri di bangunan terbengkalai ini.

Aku menatap ke sekeliling dengan putus asa. Di sekitarku hanya tampak pilar konstruksi yang masih berlapis semen. Semua nyaliku menguap lenyap. Angin malam cukup kencang berhembus dari celah lebar dibelakangku yang seharusnya bakal menjadi jendela. Celah yang akan segera menjadi ambang kematianku.

"Kenapa anda ingin membunuhku?" Jeritku putus asa. Selangkah lagi, kakiku melangkah mundur dengan sendirinya, saat Mr. Moorson menjentikkan jari. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Walaupun aku menjerit meminta tolong sekuat-kuatnya, penyihir itu telah memastikan tak ada siapapun yang bisa mendengar.

"Sederhana, karena aku membencimu di masa lalu. Kebetulan hanya kau celah untuk membalaskan dendamku atas perbuatan Will dan malaikat itu." Ia tersenyum licik. Seolah menikmati segala penderitaanku. Segala ucapannya tentang masa lalu tadi masih seperti benang kusut di otakku.

Aku mendesah putus asa. Penyihir ini salah besar. "Aku tak berarti apa-apa bagi Will. Ia sudah meninggalkanku."

Dengan senyum liciknya ia berkata, "Aku akan mengetahui kebenarannya saat Will mendengar berita putri tunggal keluarga Cleveland meninggal bunuh diri dari salah satu gedung terbengkalai."

Sejurus kemudian ia menghilang. Meninggalkanku sendirian di bangunan ini. Menghapus keterlibatannya dalam insiden yang akan terjadi.

Aku pernah berandai untuk mengetahui kapan aku akan mati, namun sekarang aku berharap sebaliknya. Ternyata kematian jauh lebih menakutkan ketika kau mengetahuinya. Seperti saat ini.

Entah dari mana angin dingin berhembus kencang, memaksa tubuhku berbalik menghadap celah terbuka itu—ambang kematianku. Aku berusaha melawan, namun seolah ada kekuatan tak kasat mata yang terus mendorongku berjalan maju ke bibir celah lebar. Hanya hamparan rumput liar diluar sana, sekitar empat lantai dibawahku. Malam begitu sunyi. Aku menyadari kenyataan yang menakutkan, aku akan mati seorang diri. Ditempat antah berantah ini.

Mataku terpejam erat, membuat aliran air mata ketakutan membanjir turun. Kakiku semakin mendekati ujung pijakan. Hanya satu pikiran terakhirku, aku tak masalah jika harus berakhir di neraka—aku tahu ini gila. Itu artinya aku akan bertemu Will.

Will, pikirku. Membayangkan pemuda itu hanya membuatku berhalusinasi. "Isabelle!" Aku mendengar gema suaranya seolah jauh di belakangku, seperti mendengar suara malaikat—tak peduli ia sesungguhnya malaikat iblis.

Aku merasa ujung kaki kananku telah menyentuh kekosongan. Kedua kakiku terseret maju walaupun aku berusaha berhenti melangkah. Dan akhirnya semua itu terjadi.

Tak ada lagi lantai yang kupijak.

Angin berdesir kencang disekelilingku

Jantungku seolah menghantam rusuk.

Menunggu hantaman keras tanah dibawahku...

Apa yang tak kuduga adalah dekapan hangat yang tiba-tiba menyambutku dengan mantap.

Kelopakku menyentak terbuka, menatap sepasang mata abu-abu gelap. "Will," lirihku tak percaya. Will ada disini. Aku tidak berhalusinasi. Perasaan hangat yang tak terlukiskan mengguyurku. Siluet sempurna yang mewujud dalam keremangan cahaya bulan. Sepasang sayap hitam kokoh mengepak pelan di balik punggungnya Aku berusaha memastikan semua ini bukan seperti mimpi-mimpi yang sering mendatangiku.

Sorot mata kami bertemu, penuh berbagai emosi yang telah lama terpendam.

"Isabelle," bisik Will penuh kelegaan, seolah baru terbangun dari mimpi paling buruk dan menyadari semua itu hanya mimpi. Aku tenggelam dalam mata abu-abu itu.

Tak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan pusaran emosi diantara kami. Will mengeratkan dekapannya dan tanganku balas mengalung erat di leher Will. Rasa aman, lega, dan kerinduan yang tak kusadari sebelumnya, berdesir cepat ke sekujur tubuhku. Aku baru saja lolos dari kematian dan Will ada disini sekarang. Nyata dihadapanku.

Aku masih memejamkan mata merengguk semua ini, hingga perlahan Will menurunkanku. Kakiku memijak tanah dengan selamat. Aku hendak melangkah mundur, namun kedua tangan Will yang melingkari pinggangku, menahanku. Hal itu membuat kami bertatapan begitu dekat saat aku mendongak. Will terang-terangan menatapku dalam. Merasa gugup, aku kembali menunduk.

"Bagaimana kau bisa kemari? Kau berkata kita seharusnya tak pernah bertemu lagi." Aku berusaha mempertahankan dinding rapuh yang telah kubangun dengan susah payah.

"Pertama, aku ingin menarik kembali kata-kata itu." Aku tersentak mendengarnya. Bagaimana bisa ia menariknya begitu saja, setelah membuatku tersiksa berminggu-minggu. Aku mendongak, namun bukan raut arogan penuh candaan sarkastik yang biasa kulihat. Will tampak serius dan sedikit bimbang seolah ini adalah hal baru baginya. "Aku tidak tahu, berhenti peduli padamu akan sesusah itu. Kau tak akan percaya pergumulan apa yang kulalui untuk mengakuinya."

Dinding pertahananku terancam runtuh.

Perasaan menyiksa yang berusaha kupendam beberapa minggu terakhir ini akhirnya meluap. "Kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Aku mencoba tak berharap kau membalas perasaanku. Kau tak tahu bagaimana susahnya mengakhiri perasaan ini. Aku—" kata-kataku terputus saat ia menangkup wajahku dan bibirnya membungkamku.

Will menciumku. Singkat dan lembut, namun cukup membuat jantungku berdentum-dentum dan benakku berhenti berpikir.

"Then, don't," bisiknya, menyentuhkan keningnya ke keningkku. Satu tangannya masih menangkup wajahku.

 "Aku sudah memutuskan untuk berusaha membalas perasaanmu," lanjut Will. 

Aku hampir tak mempercayai telingaku. Will menjauhkan wajahku, cukup untuk membuat kami saling bertatapan. Sorot mata abu-abunya penuh kesungguhan yang meluluhkan.

"Kau... kau berkata kau tak bisa merasakan cinta." Aku masih merasa belum memijak bumi dengan benar. Kata-kata Will adalah hal yang bahkan tak berani kuimpikan.

"Tampaknya itu tak berlaku untukmu." Will tersenyum miring. "Aku berusaha menyangkalnya selama ini. Namun, aku tak bisa berhenti melemparkan diri saat kau dalam bahaya." Ia mengusap wajahku perlahan, menyusuri tulang rahangku. Perasaan hangat mulai menguar dari hatiku. "Mungkin aku belum bisa membalas pernyataanmu hingga aku memahami perasaan cinta sesungguhnya. Sudah terlalu lama aku hidup dalam dendam dan kebencian." Will berhenti lagi untuk mengamati ekspresiku. "Kuharap kau mengerti, Isabelle" Ia berkata lirih, meluruhkan segala egonya.

Segala tentang Will benar-benar telah menjeratku. Tidak ada lagi dinding yang tersisa, aku tak bisa membendung perasaan yang mustahil kusingkirkan ini. Aku menghambur memeluknya, mencurahkan kerinduanku. Aroma maskulin Will memenuhiku. Tanganku menyentuh punggungnya. Will balas memelukku erat sambil mengusap rambutku. Aku tak ingin melepaskan momen ini. Tiba-tiba kata-kata Mr. Moorson terngiang "Semua mimpi itu adalah ingatan masa lalumu." Itu menjelaskan kenapa semua ini terasa tidak asing. Seolah Will adalah satu-satunya untukku. Seseorang yang kuinginkan dan kubutuhkan. Sejenak, aku melupakan ada seorang malaikat yang mati-matian ingin memisahkanku dan Will, entah apa alasannya. Melupakan perbedaan diantara kami.

"Aku mencintaimu, Will Blanford. Hanya itu yang perlu kau tahu sekarang. Dan aku akan membuatmu memahami kembali seperti apa perasaan cinta itu." Aku memundurkan diri sedikit untuk menatap wajahnya.

"Aku akan menunggu hal itu." Will tersenyum meluluhkan. Sorot matanya menatapku dengan cara yang selalu kudambakan. Tatapan yang membuatku iri dengan diriku didalam mimpi.

Untuk sesaat kami saling berpandangan, bertukar emosi yang tak bisa terungkapkan oleh kata-kata. Lalu, Will kembali merunduk,  menangkup wajahku dan menarikku mendekat. Kali ini aku menyambut ciumannya. Tanganku menyentuh rambut Will yang terasa lembut, menyentuh bahunya, dan mengalung di lehernya.

"Jangan pernah mengatakan untuk tidak pernah bertemu lagi, atau kau tak akan bisa membayangkan kenekatan apa yang akan kulakukan." Bisikku, setelah menarik diri.

"So, don't go, Isabelle. Batalkan kepergianmu ke London. Tak ada Demons bahkan Angels yang berani menyentuhmu setelah ini." Aku tak bisa menahan senyum. Will dan sifat arogannya. Ia melanjutkan sambil menggenggam tanganku, "Stay here and I'm here to stay."

***

Seorang gadis berambut pirang berjalan menuju tempat favouritenya. Tempat ia bisa melihat gemerlap kota New York dari ketinggian. Will telah memberi perintah untuk menyisir kota ini, membuat makhluk apapun yang keluar atau masuk New York terlacak. Namun, itu tak masalah. Ia terus mengawasi Will, untuk memastikan keberadaannya tetap tersembunyi.

"Bukankah ini berbahaya? Membiarkan mereka kembali bersama." Suara seorang pria terdengar dari belakangnya. Leo berjalan mendekat. Dari raut wajahnya, ia tidak terlalu senang terpaksa bertemu Will.

"Selama mereka tak saling mengetahui. Semuanya akan baik-baik saja." Gadis malaikat itu terpaksa merubah rencananya secara mendadak. Bagaimanapun, ia membuat perjanjian dengan Caleum dan terikat untuk memastikan kehidupan Isabelle jauh dari kesusahan.

"Ingatan di kalung tersebut akan terbongkar. Terima kasih atas kehadiran iblis itu, sebagai pemicunya." Leo mendengus. Hal tersebut juga masalah terbesar yang mengganggunya, namun ia telah memikirkan beberapa alternative. Sekarang yang paling mendesak adalah Moorson. Berbeda dengan Halle, Moorson selalu membenci para malaikat, dan tak segan melakukan hal kejam. Kekuatan penyihir berdarah campuran itu tidak bisa diremehkan. Gadis bermata biru itu terpaksa mengakui, hanya Will yang bisa mengatasi amukan Mark Moorson.

"Bagaimana situasi Underworld?" Tiba-tiba gadis itu teringat oleh kabar barusan.

Leo menggeleng, hampir tampak bersimpatik. "Benar-benar buruk. Hanya Will dan Moorson yang belum tahu. Para malaikat iblis belum bisa menemukan dimana raja mereka."

Kedua malaikat itu terdiam sejenak, sama-sama sadar akan dampak apa yang terjadi setelahnya. Gadis malaikat bermata biru itu hanya berharap keputusan nekatnya melibatkan Will tak akan berakhir sebagai kesalahan besar lainnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro