Part 37.1: Tale as Old as Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terjatuh dalam mimpi yang sama saat terakhir kali aku bermalam di rumah sakit. Mimpi-bukan, ingatan-yang paling sering muncul. Entah bagaimana aku merasa itu adalah titik balik penting di masa laluku.

Sepanjang mata memandang, confinium dipenuhi oleh para Angel dan Demon yang sibuk berlalu lalang. Tidak hanya yang bertugas di confinium, namun hampir sebagian besar malaikat-malaikat dari berbagai divisi itu berkumpul disini. Masalah Tartarus semakin memburuk. Garis besarnya, sesosok makhluk di dalam kubangan lava raksasa itu hendak meronta keluar.

Perbincangan yang kudengar saat melangkah masuk, membuatku tercengang. Noch mulai muncul. Hewan semacam kalajengking raksasa itu berdiam di dalam perut bumi dan hanya merambat keluar jika Tartarus bergejolak.

Kubu Angel dan Demon masing-masing dipimpin oleh Elyon-petinggi divisi Judgement-dan Will. Mereka tampak fokus dan untuk sesaat bersikap netral.

"Seorang malaikat iblis melihat satu dua ekor Noch telah menginjak dasar Underworld." Will berbicara. Aku berusaha tak terlena oleh kharisma dan wajah rupawan itu. Untuk sesaat Will tak tampak seperti pemuda pembangkang suka bersenang-senang seenak hati, yang biasanya berkeliaran di Confinium.

"Elyon," sapaku, bergabung di kerumunan Angel, berhadapan dengan Will.

"Aurielle." Malaikat pria berambut cokelat dengan raut bijaksana itu balas menyapa. Will ikut menatap kearahku. "Kau tahu dimana Seraphine? Ini sudah melewati masa cutinya dan dia masih hilang entah kemana." Elyon terdengar lelah.

Aku terbungkam. "Aku juga belum bertemu dengannya akhir-akhir ini," lanjutku, berbohong-pikiran setengah sadarku merasakan ada hal penting yang berusaha ditutup rapat, entah apa.

Elyon mengangguk memaklumi. "Padahal keterampilan memanah Seraphine sangat kubutuhkan untuk melawan Noch"-Lagi, perasaan tidak enak yang tak dapat kuartikan mendera. Mungkin perasaan bersalah?

"Aurielle tak kalah hebatnya dengan Seraphine." Will menyela spontan. Membuat beberapa malaikat memandang heran. Will berdeham, lalu berkata, "Kadang di Confinium kami mengadakan permainan santai seperti memanah." Aku hanya berharap mereka tidak mengendus kedekatanku dan Will.

Dengan halus Will kembali mengalihkan topik membahas tentang persiapan menuju dasar Underworld dan strateginya. Untuk sementara waktu, Gregory menyerahkan kuasa memimpin para Demons pada Will. Elyon menyerahkan sebuah kotak besi kecil yang harus dijatuhkan ke dalam Tartarus, untuk membuat makhluk itu kembali diam. Sementara Will telah menyiapkan setumpuk anak panah hitam legam. Senjata untuk melawan Noch.

Sesekali Will menatap ke arahku lama, namun aku terus menghindari tatapannya. Aku masih menghindari Will, bersikukuh dengan alasan hubungan ini tak akan berhasil.

Aku tidak mengerti kenapa diriku saat itu begitu ingin Will menyerah dengan perasaannya. Padahal perasaanku disana berkata sebaliknya. Suasana mimpiku langsung berganti dengan keadaan Tartarus yang kacau.

Tubuh tak bernyawa para Angels dan Demons bergelimpangan di hamparan batu hitam, berbaur dengan bangkai Noch. Jumlah kalajengking raksasa yang telah merangkak keluar, diluar dugaan. Ada dua ekor lagi yang baru merangkak keluar, menanti aku dan Will. Dua orang yang tersisa di dasar Underworld ini. Nathan dan Jeremy telah pergi untuk membawa pasukan cadangan, dengan pertimbangan Aku dan Will lebih mampu melawan Noch.

Jurang kemerahan menganga, celah menuju Tartarus, masih sangat jauh di depan.

"Kau benar-benar tidak apa?" Aku mengernyit cemas sambil mengikat lengan atas Will kencang-kencang. Noch terakhir yang kami hadapi, menyengat lengan Will, saat pemuda itu mengangkat tangan untuk melindungi posisiku.

"Sengatan Noch tidak akan membunuh Demons." Will menjawab singkat, kembali menyiapkan busurnya. Aku masih khawatir, namun ancaman berada di depan mata.

Kami menyerang dalam ritme yang saling menyesuaikan, membuat makhluk itu menunjukkan bagian perutnya. Sasaran vital yang harus kami bidik. Tak butuh waktu lama hingga keduanya tergeletak diam. Pintu masuk Tartarus yang menganga merah, semakin dekat.

"Kembalilah ke atas." Will meminta kotak besi kecil tadi dariku. Aku menyerahkannya dengan ragu. "Seorang Angel tak bisa mendekat ke liang Tartarus. Energi gelap yang ada disana akan menguras energimu." Ia menjelaskan saat aku hendak membuka mulut. Aku tahu itu tapi aku tidak yakin meninggalkan Will sendirian.

Benar saja, baru beberapa langkah aku pergi, terdengar suara seseorang yang terjatuh.

"Will!" seruku, menyambut tubuhnya yang jatuh berlutut. Keringat dingin menuruni wajah dan lehernya. Dan aku tahu pasti apa yang terjadi. "You're dying! Berhenti berpura-pura sengatan Noch tak berpengaruh padamu." Perasaan bersalah menderaku, ini semua gara-gara Will melindungiku.

"Tetap saja... kau tak boleh... ke tepian Tartarus." Will masih bersikukuh, beradu dengan nafasnya yang pendek-pendek. Tetap berusaha berdiri.

Ditengah kegentingan, Jeremy muncul bagai malaikat sejati. Nathan belum kembali bersamanya. "Sudah kuduga seseorang akan membutuhkan penawar secepatnya." Ia mengeluarkan sebuah botol kaca. Aku segera menyambar kotak besi, penyelamat kami, dari genggaman Will.

"Aku akan menjatuhkan benda ini ke Tartarus, sebelum Noch lain merambat keluar" Aku melonjak berdiri. Jeremy membelalak.

"Aurielle!"

Aku tak mengindahkan seruan panik Will. Perasaan menyakitkan menyengatku. Will hampir terbunuh karena menghalau sengatan Noch. Seorang Demons baru saja menyelamatkanku. Demons yang selama ini dianggap tak berperasaan oleh Caleum-olehku.

Aku berjuang memacu langkahku menuju bibir jurang Tartarus. Setidaknya ada hal berguna yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan kami semua. Aku bisa merasakan energi kegelapan yang besar berusaha mengoyakku. Seandainya Elyon tidak mengatakan kotak besi ini adalah benda rapuh, aku sudah melemparnya dari jauh.

Kedua kakiku berdiri goyah diujung tebing, namun aku berhasil melepaskan kotak itu ke dalam jurang. Aku baru menyadari tubuhku melemah, Tartarus seolah ikut menyeret energiku ke dalamnya.

Terdengar suara bergemuruh dibawah sana. Kakiku tiba-tiba terasa lemas. Tanah tempatku berpijak bergetar.

Aku terjatuh.

Sekelebat siluet bersayap hitam kokoh menyambarku

"You should've listened to me." Sepasang mata abu-abu menatapku lembut sekaligus tegas.

Aku kembali memijak tanah, cukup jauh dari liang Tartarus. Meskipun hawa dingin menusuk tulang, aku merasa hangat. Dengan ragu aku menangkup wajah Will. Ia masih terlihat pucat, namun sudah membaik. Air mata merebak di pelupukku.

"Kau hampir terbunuh karena menyelamatkanku." Setitik air mata jatuh menuruni pipiku. Will menghapusnya dengan lembut.

"Aku akan melakukan apapun untuk menjagamu. Sudah kukatakan, Aku tak akan menyerah memperjuangkan semua ini." Will mengecup keningku, lalu membawaku kedalam pelukannya. "Karena aku mencintaimu, Aurielle."

Segala dinding yang kubangun runtuh seketika. Batasan Caleum dan Underworld tak lagi berarti. Hanya Will. Tak peduli ini salah atau benar, aku mengakuinya, "Aku juga mencintaimu, Will."-

TEET! TEET! TEET!

Aku terduduk kaget, segera mematikan alarm menyebalkan itu. Jika saja hal ini terjadi seminggu yang lalu, aku akan melempar alarm ini. Namun, sekarang aku hanya tersenyum sendiri menyambut matahari pagi yang cerah. Aku akan bertemu Will di sekolah. Dentang jam tak akan menghalangiku bertemu dengan pangeranku-ok, maafkan aku mulai kekanak-kanakan lagi.

***

Will mengatakan akan membawaku ke suatu tempat sepulang sekolah. Ia telah kembali ke Riverdale High seperti jadwal awalnya dan Mom secara mengejutkan mengijinkannya—sebenarnya siapa yang anak pemilik sekolah disini? Karena kelas terakhir kami berbeda, aku menunggunya di lapangan parkir, bersandar di mobilnya.

Sosok yang baru saja keluar dari mobil di sampingku, membuatku tercenung sejenak. Seorang gadis berambut pirang panjang, bermata biru cerah itu tampak sama terkejutnya menatapku. Ia terlihat buru-buru keluar dari mobil. Dimana aku pernah melihatnya? Ia terlihat sangat familiar.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Isabelle?" Begitu ia berbicara aku langsung mengenalinya.

"Oh astaga! Stacie?" Aku kembali tersadar. "Rambut pirang dan mata birumu membuatku pangling."

Sekarang Stacie yang terkejut lalu ia tampak malu. Ternyata ia baru saja dari pemotretan, dan belum merubah dandanannya karena terburu-buru menemui Kyle. Ia kembali ke dalam mobil sejenak, lalu keluar dengan rambut panjang kecokelatan yang terkepang dan warna mata yang senada. Stacie pasti terbiasa menangani wig. Gadis itu benar-benar serius dengan karirnya, yang kudengar ia sering ijin hingga seminggu lamanya demi pemotretan di luar kota dan luar negeri. Kyle menyia-nyiakan cewek potensial.

"Siapa itu?" Will tiba-tiba mewujud didekatku, menatap punggung Stacie yang sudah berjalan menjauh. Ya ampun, langkahnya benar-benar seperti makhluk gaib.

Aku mengangkat bahu. "Salah satu mantan Kyle." Aku masuk ke mobil Will sambil mengerutkan kening. Penampilan Stacie yang berambut pirang dan bermata biru cerah itu membuatku merasa déjà vu, seolah ingin mengangkat suatu ingatan yang terpendam.

Aku tidak tahu ternyata Will membawaku ke luar kota. Sekitar dua jam kemudian kami baru sampai di lokasi tujuan. Sebuah kota kecil dengan kesan ramah. Tak terlalu ramai, tak terlalu sepi. Will menghentikan mobilnya di depan sebuah Mansion. Tak sebesar Mansion Cleveland. Bangunan bernuansa putih itu memiliki gaya colonial, dengan empat pilar tinggi di fasadnya. Mengingatkanku pada bangunan Salvatore Estate, rumah masa kecil Salvatore bersaudara di serial favouriteku, Vampire Diaries.

"Ayo." Will menggandeng tanganku turun dari mobil. "Kau adalah gadis manusia paling beruntung yang akan kuhadiahi kencan pertama terindah." Ia mengulas senyum miring bersirat arogan khasnya. Aku balas tersenyum, perasaanku berbunga mendengarnya.

Sekitar setengah jam kemudian, aku tak tahu harus menangis terharu atau tertawa berguling-guling. Dihadapanku, sang raja Underworld, Demon dengan reputasi mengerikan-dan entah apa lagi gelarnya, tampak seperti berperang dengan masakannya.

Yap, Will akan memasak untukku. Aku sedang duduk di kursi bar sebuah dapur bernuansa putih, memandangnya sambil mengernyit. "Will, kau masih menyetel apinya terlalu besar," kataku dengan was-was. Ia sedang memasak sepotong daging yang terlalu besar. Aku tak jago memasak, namun aku mengerti dasar-dasarnya dan pernah memasak sesekali.

"Kyle sialan." Ia mengumpat saat akan mengecilkan api kompor, tetapi malah membesarkannya. Aku menahan tawa, sekarang aku tahu semua ini inspirasi dari siapa. Dan benar, ternyata Kyle memberitahu Will kalau gadis manusia suka kencan bertema 'homey dan orisinil'. Akhirnya aku tak tahan lagi dan menyelamatkan makan malam kami.

Will lebih banyak menatapku daripada memakan makanannya. Aku penasaran apakah Demon membutuhkan makan seperti manusia. Will dengan hati-hati menjelaskan semuanya, sambil terus mengawasi ekspresiku. Saat itulah aku menyadari kesalahpahamanku, ketika melihatnya di perpustakaan malam itu. Ternyata ia tidak sedang mencelakai nenek-nenek, namun seorang Demon yang berwujud seperti itu.

"Bagaimanapun, itulah dirimu. Dan aku menerimamu apa adanya, saat aku berkata mencintaimu." Aku berkata sambil menggenggam tangan Will, saat ia selesai menjelaskan semua itu. Sudah cukup Will tidak 'memakan' energi Demon lain untuk bersenang-senang. Bagaimanapun seperti itulah ia harus bertahan di dunia ini. Will memberikan senyum lembut, tatapannya seolah berterima kasih.

Pada akhirnya, Will yang mengambil bagian bersih-bersih. Semoga saja semua peralatan itu selamat ditangan sang raja iblis. Aku sudah menunjukkan padanya dimana sabun dan alat cucinya. "Kenapa urusan manusia ini begitu repot." Ia berlagak lelah.

"Pengetahuanmu tentang dunia manusia benar-benar parah." Aku tersenyum menang, akhirnya bisa membalikkan kata-kata itu padanya. Will memutar bola mata, lalu mengulas cengiran.

Aku menuju ruang keluarga yang dilengkapi sofa-sofa besar berwarna abu-abu yang terlihat empuk, lengkap dengan selimut dan bantal-bantal. Sambil menunggu Will, aku membongkar setumpuk DVD yang ada di meja televisi. Tampaknya semua itu juga berasal dari Kyle, mengingat tidak mungkin Will menyuruh salah satu bawahannya-yang sama butanya tentang dunia manusia, berbelanja film. Ketika membongkar tumpukan itu, ada satu film yang membuatku sontak tersenyum. Beauty and the Beast versi remake terbaru Disney. Entah ini adalah bentuk selera humor Kyle atau apa.

Will bergabung denganku di sofa, ia membiarkanku bersandar padanya. Kami tampak begitu normal, menonton film bersama di ruang tamu yang nyaman, setelah makan malam.

"Tidakkah kau merasa film ini seperti kita? Nama tokohnya Belle, bahkan mirip dengan namaku." celetukku. Aku melihat Will mengerutkan kening.

"Kau lebih pintar darinya." Ia berkomentar.

"Aku juga jatuh cinta pada semacam Demon bereputasi buruk."

"Setidaknya aku sangat menawan, tidak seperti Beast." Will mengulas senyum memikat. Aku tak bisa menahan tawa dan menimpuknya dengan bantal. Will tertawa. Ia tampak begitu santai dan ekspresinya paling bahagia dari yang kulihat selama ini.

Kami terdiam lagi untuk menikmati film, hingga Will kembali berkomentar saat lagu Evermore sedang bersenandung. "Kalau aku berada diposisinya, aku tak akan melepasmu pergi. Aku akan pergi bersamamu. Perasaan ditinggalkan sangat... menyiksa."

Aku mendongak menatapnya, dan Will sedang menatapku. Tiba-tiba ekspresinya meredup. Setelah memikirkannya sejenak, aku memberanikan diri menanyakan hal yang telah kupendam, "Maukah kau menceritakan semua masa lalumu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro