Part 37.2: Tale as Old as Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Surprise! extra up buat penyemangat liburan yang hampir habis ;) Happy reading!  seperti biasa jangan lupa vote and comment, thank you.

"Now you're my whole life.
Now you're my whole world.
Like a river meets the sea
Stronger than it's ever been."

Will menatapku dalam diam sejenak. Aku menyangka ia akan menolak, namun ia mulai bercerita. Walaupun aku sudah tahu mimpiku adalah ingatan, aku merasa merinding saat Will menceritakan beberapa hal yang sama. Ia tak terlalu menjelaskan detail tentang akhir kisah mereka, aku juga tidak tahu hal itu. Dari ekspresinya, aku bisa merasakan penderitaan Will dan betapa ia mencintainya—diriku di masa lalu. Malaikat itu, Aurielle, lenyap karena sebuah belati yang bisa membunuh siapapun—Orcus.

Aku mendapat bukti Mr Moorson tak berbohong saat mengatakan mimpiku adalah ingatan. Aku baru menyadari semua ingatan itu muncul sejak aku bertemu dengan Will, seperti ia yang membangkitkannya.

"Kau mengingatkanku padanya, saat pertama kali aku melihatmu di penthouseku." Will menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajahku. "Dari kalung yang kau kenakan dan kata-kata seseorang, menyiratkan kau mungkin, entah bagaimana, adalah Aurielle." Ia menatapku, setengah tenggalam dalam pikirannya sendiri.

"Apakah hal itu penting, aku adalah malaikat itu atau bukan?" Aku mengamati rautnya.

Will menggeleng. Akhirnya ia tersenyum. "Yang kutahu sekarang hanya kau, Isabelle, yang membawaku keluar dari kekelaman selama ratusan ribu tahun." Aku terenyuh mendengarnya. Aku membulatkan tekad akan menceritakan semua mimpiku pada Will, agar ia benar-benar terlepas dari penderitaan masa lalunya. Aku kembali menyandarkan kepalaku di bahunya dan ia mengusap rambutku.

"Karena itulah aku membawamu kemari." Will melanjutkan. Aku mendongak menatapnya tak mengerti.

Pelan-pelan air mata berkumpul di pelupukku saat Will mengatakan rumah ini seharusnya ia tempati bersama Aurielle ketika mereka menjadi manusia. Namun, Aurielle tak pernah menginjakkan kaki sekalipun.

"Tak salah aku terus membangun ulang tempat ini. Sebagian kecil dari perasaanku terus mendorong agar tidak menghancurkan tempat ini. Entah apa yang kuharapkan." Ia tersenyum samar, mengusap wajahku dengan lembut.

"Will...," bisikku, begitu tersihir oleh tatapannya. Dentum jantungku merambat sampai ke telinga, saking kencangnya. Darahku berdesir cepat.

"Sekarang aku mendapatkan jawabannya." Will meraihku mendekat dan mengecup bibirku. "Kau, Isabelle," bisiknya penuh kelegaan. Duniaku serasa berputar disekeliling Will. Aku tak pernah merasakan perasaan sedalam ini sebelumnya.

Aku memeluknya dari samping, merengguk segala tentang Will, aromanya, sentuhannya, dalam-dalam. Setelah ini, aku tak akan membiarkan Will mengingat kembali perasaan tersiksanya. Ia berhak untuk berbahagia setelah sekian lama dalam kehampaan. Will melingkarkan lengannya disekelilingku, membenamkan wajahnya di puncak kepalaku.

Setelah beberapa saat, Will memecah keheningan dengan gurauan, "Sebenarnya kalau diingat lagi, saat kau bersikap menyebalkan, lebih mirip Seraphine daripada Aurielle." Aku mengerucutkan bibir. Dari cara Will menyinggungnya tadi, aku tahu Seraphine seperti apa.

"Lebih baik daripada kau, seperti stalker." Aku mendongak, melempar tatapan menantang, teringat bayangan sayap beberapa kali diluar jendelaku. "Mengaku saja, kau sering mendatangi balkonku malam-malam kan? Aku melihat bayangan sayapmu."

Will membelalak terkejut, tak bisa mengelak. Aku terkekeh menang.

"Cuma sekali." Ia mengaku, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen. Aku hendak meluruhkan gengsinya, membuatnya mengakui malam-malam lainnya, namun tindakan Will selanjutnya menghentikanku.

Ia menggeser duduknya menghadapku dan memelukku kembali. "Bagaimana lagi, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu." Ia mendesah menyerah.

Selanjutnya kami menghabiskan waktu bertanya tentang apa yang kusuka dan tidak, begitu juga dengan Will. Tautan tangan kami tak pernah terlepas. Ia juga menanyaiku tentang impian-impianku. Sebuah ide tiba-tiba terbersit saat aku mengatakan suka berada di tempat yang tinggi. Dengan sumringah aku sempat mengusulkan Bungee Jumping bersama Will. 'Aku meloncat dari tebing, selanjutnya kau menangkapku' usulku tadi. Will menatapku horror dan berkata semacam 'Apa kau benar-benar manusia, Isabelle? tak ada manusia yang senekat itu'.

Waktu yang mengalir sama sekali tak terasa saat aku dan Will berbincang tentang berbagai hal. Bersamanya begitu nyaman, seperti pulang ke rumah setelah berkelana jauh. Hingga aku melihat jam tanganku dan terkejut. Sudah jam sembilan. Aku akan tiba dirumah hampir tengah malam. Gawat. Kujamin Mom pasti sudah menlfonku sekarang.

"Will, Will, antar aku pulang sekarang." Aku berdiri, mendesaknya berdiri juga. Namun, Will malah menarik tanganku yang masih digenggamnya. Aku terkesiap saat kembali jatuh terduduk, membelalak menatapnya.

"Siapa bilang aku akan memulangkanmu malam ini." Will melemparkan senyum memikat penuh maksud, yang membuat detak jantungku melonjak.

***

Seorang gadis memasuki sebuah unit apartment berkelas rata-rata, yang menjamur di seluruh penjuru kota New York. Lampu-lampu menyala, menampakkan interior yang sederhana dan nyaman. Ia melintasi dinding yang dilapis cermin, tangannya terangkat seakan untuk melepas kepangan rambut kecokelatannya. Namun, rambut kecokelatan itu malah terlepas seluruhnya, diikuti sebuah wig cap, sejumlah hairpin, hingga rambut pirangnya tergerai bebas.

Gadis itu memandang raut cantik yang mengerut berpikir keras di cermin. Semuanya sudah jelas. Hanya menghitung hari hingga Isabelle mengingat wajahnya dengan jelas. Pada saat itu juga, di kompetisi antar sekolah, Ia melihat sendiri Isabelle secara mengejutkan menggunakan busur dengan sangat baik. Ingatannya mulai menyatu dengan saat ini, pikir Gadis malaikat itu.

Seketika, keyakinannya runtuh. Entah rencana pencegahannya akan berhasil atau tidak. Namun, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain tetap mencoba.

Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh.

Seorang pemuda bertampang lembut sekaligus serius, menyambutnya. Ia mengenakan bros bersimbol timbangan. Apa ia terburu-buru kemari setelah bertugas? Setiap melihat bros penanda tersebut membuat perasaan gadis berambut pirang itu mengeruh.

"Leo," sapa gadis itu. Hanya malaikat itu yang masih mengunjunginya setelah Caleum menghapus jejak keberadannya. Membuangnya kedunia manusia, mengemban tanggung jawab dari perjanjian itu untuk selamanya. Masih beruntung mereka tidak mencabut sayapnya.

"Aku kebetulan ingin meminta tolong padamu untuk mengecek Orcus." Sejenak, ia beralih ke hal mendesak lainnya. Moorson seolah lenyap dan ia hanya ingin memastikan belati berbahaya itu masih aman.

"Kau tak pernah memberitahuku dimana kau menyimpannya." Pemuda itu mengerutkan kening. Oh, pikiran gadis itu begitu kacau hingga ia tak mengingat pernah memberitahu Leo atau tidak. Detail lokasinya, membuat Leo membelalak.

"Bagaimana kau bisa menyembunyikannya disana?"

Gadis itu hanya menjawab dengan senyuman. "Aku selalu memiliki seseorang untuk membantuku. Untuk sementara aku tak bisa mengeceknya sendiri, karena Will mengawasi ketat semua hal di kota ini. Aku tak ingin mengambil resiko seseorang melihat wujud malaikatku."

Setelah Leo pergi, ia berniat untuk beristirahat, namun ketukan pintu kembali terdengar.

Kali ini sepasang mata biru yang tampak cemas lah yang ia temui. Wajah rupawan yang selalu menebar pesona itu terlihat serius sekarang. Seorang lagi yang telah mengetahui jati dirinya.

"Kau mengetahui sesuatu yang telah terjadi dimasa depan? Melihat bukti dari semua ucapanku?" Tebak gadis itu, tersenyum pahit.

Sikap diam pemuda itu, dengan sorot cemas, menjawab semuanya. "Karena itu kau kemari, alih-alih memberitahukan semuanya pada Will." Malaikat itu menyimpulkan sendiri.

"Cara apa yang kau miliki untuk mencegah semua itu, Stacie?" Pertanyaan pemuda itu membuat harapannya runtuh. Tragedi lain telah menanti.

Gadis bermata biru itu mendesah lemas. "Aku tidak tahu lagi, Greyson Kyle."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro