Part 43: Holding On and Letting Go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Waktu seolah terhenti dalam kesunyian.

Belati bernoda darah itu sudah berada di genggaman Will.

Tak ada jeritan tangis, hanya air mata yang mengalir deras. Ketika kenyataan menghantammu terlalu keras, kau tak akan tahu harus berteriak atau diam membeku.

"Tidak!" Bisikku tajam, tak sanggup bersuara.

Aku akhirnya menyadari Kyle lah yang memegang pistol dan menarik pelatuk. Entah bagaimana Kyle bisa menggunakan pistol. Benakku sedang berhenti berpikir.

Tanpa kuketahui, hampir bertepatan dengan letusan peluru, Moorson melempar Orcus. Belati itu menancap di punggung Will yang sedang mendekapku erat.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" suara Aurielle memecah kesunyian, sontak menyita semua perhatian. Ia baru menjejak tanah, langsung berderap ke arah Moorson. Tak peduli penyihir itu sedang tak sadarkan diri, dikeliling beberapa malaikat Caleum yang memasang borgol di pergelangannya. Namun, semua itu terabaikan begitu aku menatap Will kembali. Kedua tanganku masih merengkuh wajahnya.

Pandangan kami bertemu, sama-sama menyadari sebuah perubahan. Rona wajahnya berangsur kembali, tak sepucat tadi.

"Aku bisa merasakan lukaku kembali menutup." Will bergumam, mengerutkan kening.

Belum sempat aku mencerna semua ini, Aurielle menyahut, "Karena Orcus tidak akan membunuhmu."

Aku tertegun, begitu juga Will. Seharusnya ini kabar baik, jadi aku tak mengerti kenapa ekspresi Aurielle semakin suram.

"Belati itu akan merubahmu menjadi monster yang sesungguhnya. Tanpa ingatan, tanpa perasaan apapun. Seperti semua monster yang berakhir di Tartarus. Inilah alasanku sesungguhnya menjauhkan Orcus darimu." Aurielle melanjutkan dengan pasrah.

Kami sadar monster yang dikurung di Tartarus berbahaya bagi dunia manusia, Caleum dan Underworld tanpa kecuali.

Penjelasan Aurielle selanjutnya, membuatku merasa terperosok semakin dalam di jurang. Samar-samar aku teringat fakta terselubung itu. Orcus adalah bentuk kesalahan terbesar Caleum yang termakan ego untuk berkuasa di masa peperangan.

Caleum menciptakan Orcus dengan menempanya dalam The White Fire─api keramat Caleum berwarna putih kebiruan yang digunakan untuk membakar iblis serta memurnikan jiwa manusia. Tak banyak yang tahu, Caleum juga menggunakan kekuatan sang iblis sendiri. Menjadikan Orcus letal terhadap semua makhluk.

Namun, seperti minyak bertemu minyak, kekuatan gelap didalam Orcus menyatu dengan Lucifer's Curse dalam diri Will. Orcus membunuh sisi kemanusiaannya yang tersisa  dan perasaanya perlahan, hingga lenyap tak bersisa. Meninggalkan kegelapan seutuhnya.

Tak akan ada lagi Will yang kukenal. Dengan kekuatan Will yang hampir tak terkalahkan, ia akan menjadi monster yang mengerikan.

"Kau harus mengurungku saat ini juga, selagi aku masih memiliki akal sehatku." Will langsung memutuskan.

"Tidak!" protesku. Membayangkan Will terkurung dan terbakar di Tartarus dalam keabadian lebih mengerikan daripada jiwanya lenyap.

"Tak ada jalan lain, Isabelle. Dalam hitungan jam, aku mungkin akan mencelakaimu atau membunuhmu!" Mata abu-abunya penuh keputusasaan dan derita. "Kau ingat seperti apa monster yang hampir merangkak keluar dari Tartarus, ratusan ribu tahun lalu."

"Pasti ada cara lain." Aku hampir menjerit putus asa, menatap kearah Aurielle dan Kyle bergantian.

Namun, keduanya sama-sama bungkam.

Air mataku tak tertahankan lagi. Aku tahu Will hanya menatapku tanpa bereaksi apa-apa karena ia tak tahan melihatku seperti ini, menyadari dirinya tak bisa mengubah apapun. Aku tak ingin Will merasa bersalah karena itu, tetapi aku tak bisa menahan luapan emosiku.

"Harus ada cara lain," ulangku lemas, ditengah isakan. Aku memohon pada Kyle untuk melakukan apapun dengan memutar kembali waktu.

"Isabelle, aku sudah berapa kali kembali ke masa lalu untuk mencegah segalanya." Kyle menggeleng. "Kadang ada hal yang harus terjadi. Seperti apapun kau berusaha mencegahnya, selalu ada celah yang terlewatkan."

Air mataku mengalir tak terbendung. "Aku akan mencari cara apapun─"

Will tiba-tiba mendekapku. "Hentikan," ujarnya. "Kali ini kau harus melepaskanku."

"Tidak." Aku menggeleng keras kepala, memeluknya erat seolah Will akan melebur menjadi buih.

Will memundurkan diri, agar pandangan kami bertemu. Kata perpisahan seolah berada diujung lidah, namun tak ada yang sanggup melontarkan. Tatapan kami menginginkan satu sama lain lebih dari apapun. Will menciumku. Keputusasaan melebur dalam setiap lumatannya

Mataku terpejam, membuat tetesan air mata berjatuhan. Tak akan ada hari esok.

"Aku mencintaimu sekarang dan selamanya," bisiknya. Will mengurai lenganku.

"Will─" Kelopakku tersentak membuka, hanya untuk melihatnya berpaling.

"Take care of her." Will berkata pada Kyle. Sebelum aku bereaksi, ia sudah menghempaskan diri keudara tanpa menoleh kebelakang.

"WILL! WILL!" Aku menjerit sekuat tenaga, menggapai udara kosong. Siluetnya semakin menjauh. Kyle menahan lenganku. Aku terus meronta, meneriakkan namanya. Kakiku ingin berlari menyusul Will, walaupun aku tahu itu sia-sia. Aurielle dan Kyle memanggil namaku berkali-kali.

"Kendalikan dirimu!" Kyle menggoncangku agar tersadar. Dadaku begitu sesak. Kakiku kehilangan tenaga untuk berdiri, hingga jatuh berlutut di atas hamparan kerikil.

"I can't loose him," tangisku. Aurielle tak hentinya mengusap punggungku untuk menenangkan. Tak ada kata 'semuanya akan baik-baik saja'.

Setiap detik terasa menyiksa, hingga entah kapan aku masuk ke mobil Kyle.

Perasaanku begitu kacau. Aku tak akan bertemu Will lagi, benakku menjerit terus menerus. Air mataku mengalir seperti kran rusak, menghabiskan hampir semua tissue di mobil Kyle. Aku terus menatap keluar jendela. Sesekali aku menyadari Kyle menatapku cemas. Ia sudah menyerah mengajakku berbicara.

Mobil Kyle berhenti di area drop off mansionku. Kyle berkata akan menunggu disini, untuk menyampaikan kabar dari Aurielle secepatnya. Setelah ratusan ribu tahun, Aurielle memberanikan diri melangkahkan kaki ke Caleum. Ia berjanji mencari jalan keluar selain mengurung Will di Tartarus.

Aku melangkah gontai melewati hall tengah. Mom sedang menuruni tangga utama disana, menatapku kaget. Aku pasti terlihat hancur berantakan saat ini.

"Mom." Bendungan perasaan sedih yang kubangun meluruh begitu saja, melihat tatapan Mom melembut. Tangisku kembali pecah tak tertahankan saat Mom menyambut memelukku.

"Will. Dia─" Tenggorokanku tercekat. "Aku mungkin tak akan bertemu dengannya lagi."

Mom tak bertanya apapun, hanya memelukku sambil menenangkan. Mom mungkin tidak pandai mengajak bicara, namun caranya mendengarkanku, selalu membuatku merasa nyaman. Aku menceritakan semuanya ditengah isakan, sementara paru-paruku terasa terbakar mengais udara.

"Jika tak cara lain, kau harus merelakan Will." Mom menatap mataku. "Ada seseorang yang kita tak bisa hidup tanpanya, namun suatu saat kita juga harus melepasnya. Demi kebaikannmu dan kebaikannya."

Mom mengusap kepalaku dan menghapus air mataku.

"Seperti itukah rasanya saat Mom kehilangan Dad?" tanyaku.

Mom mengangguk pelan. "Hal yang paling kusesali adalah aku tak memiliki kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal pada ayahmu."

Kalimat itu menyentakku. Mungkin aku tak sanggup mengucapkan selamat tinggal, namun aku tak ingin saat tadi adalah terakhir kalinya aku melihat Will.

***

Tidak semua rintangan bisa kita lalui dengan penyelesaian mudah. Ada saatnya harus menerima, hanya jalan tersulitlah yang tersisa. Will menatap ke seluruh Demons dari atas podium tahtanya. Pilar marmer hitam berpotongan futuristik yang melatar belakangi suasana, terkesan lebih dingin dari biasanya.

"Mulai detik ini, Cateno adalah raja Underworld, pemimpin kalian." Will berkata lantang.

Kerumunan petinggi Underworld hanya menunduk hormat tanpa suara. Disampingnya, Cateno memandang lurus tanpa ekspresi. Lebih mirip suasana pemakaman daripada penobatan.

Will tersenyum miring menatap mereka. "Jangan membuatku salah paham, kalian merasa kehilangan dan merindukanku."

"Dibalik segala reputasi mengerikan, anda menghargai kami. Jadi begitu juga kami menghormati Your Majesty. You always have our loyalty." Tanpa diduga, Cateno membungkuk dalam padanya, diikuti semua khalayak. Mereka menyerukan hal yang sama, 'You always have our loyalty'.

Setitik cahaya menyorot di tengah badai perasaan Will. Namun, ia tak ingin terlena terlalu lama. Waktu terus berjalan, Will bisa menyadari dengan jelas ingatannya meluruh kepingan demi kepingan, menghapus jati dirinya. Suatu kegelapan berusaha memberontak untuk bangkit.

Tiba-tiba seorang malaikat iblis pria bersetelan layaknya petugas resepsionis, menyela masuk. Dengan membawa bukti CCTV di sebuah tab, memberitakan seorang gadis manusia berambut pirang sedang membuat keributan di Lobby apartment. Ia memaksa masuk untuk bertemu Will, tak mempedulikan ancaman apapun. Dengan berani berkata, 'kau melukaiku sedikit saja, Will akan menggantungmu.' Berhasil membuat si resepsionis ragu.

Will tersenyum miris. Isabelle dan semua kegigihan yang ia miliki. Selalu melakukan hal diluar perkiraan Will. "Gadis itu tidak mengada-ngada. Jangan melukainya sedikitpun."

"Anda akan menemui─?"

"Tidak," jawab Will terlalu keras, sekaligus melarang dirinya sendiri. "Apapun yang terjadi aku tak akan menemuinya."

Will berpaling, meminta resepsionis itu kembali. Ia menggertakkan gigi, tak sanggup mengingat kembali tatapan terluka Isabelle. Lebih baik semua cepat berakhir sebelum semua emosi tadi kembali menerpanya.

Semua rencana telah disusun dengan cepat. Will meminta barikade penuh dan memperingatkan, apapun yang terjadi jangan membiarkan dirinya bebas. Misi mereka hanya satu, mengurung Will ke Tartarus, walaupun seandainya harus menyerang dan menyeret Will. Akal sehat Will bisa lenyap kapanpun dalam waktu dekat.

Cateno telah membawakan borgol rantai berat. Benda itu berlapis sihir dan hanya digunakan untuk menahan Demons kuat. Will tahu benda itu tak sepenuhnya bisa menahan kekuatannya, namun lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Your Majesty—" Cateno terlihat ragu, penuh pertentangan. Tak pernah dalam bayangannya ia akan merantai rajanya sendiri.

"Aku bukan rajamu lagi," tegas Will, menyodorkan kedua tangannya.

Sebelum Cateno memasangnya, pintu ruang tahta menjeblak terbuka. Empat orang malaikat berjalan masuk, dipimpin oleh seorang Dewan Tetua yang dikenali Will. Pria berwajah kebapakan dipertengahan lima puluhan, berambut nyaris putih. Aurielle juga ada dalam rombongan itu, tepat di belakang sang Dewan Tetua.

Will menghela tajam, menyahut dengan sarkastik, "Perwakilan Caleum untuk menontonku menerjunkan diri ke Tartarus, adalah hal terakhir yang kubutuhkan."

Aurielle lah yang maju untuk berbicara. "Ada cara lain untuk mengakhiri semua ini."

Will menyadari arti perkataan Aurielle tidak akan mengubah kenyataan, hanya jalan berbeda menuju akhir. Ia baru memperhatikan ketiga malaikat lainnya membawa kotak kaca tebal setinggi dua jengkal. Didalamnya, segenggam kobaran putih melayang-layang.

"The White Fire." Sang Dewan Tetua seolah menjawab pikiran Will. Tak ada yang pernah melihat api putih itu, bahkan para Demons mulai menganggapnya mitos. Konon hanya para Dewan Tetua lah yang bisa menggunakannya dan semakin lama kobaran itu menyusut sedikit demi sedikit.

"Hanya ini kebaikan yang dapat kami tawarkan atas keputusanmu yang mencegah bencana bagi dunia ini," lanjut malaikat paruh baya itu.

Kebaikan yang sangat ironis, pikir Will. "Hadiah kalian adalah mengubahku menjadi abu." Will tertawa miris.

"Labih baik daripada terbakar di Tartarus selamanya."

Will menyadari Dewan Tetua ini benar. Berdiam dalam kobaran lava Tartarus tak terbayangkan, bahkan bagi Will. Tanpa menunggu lagi, Will menerima tawaran Caleum. Namun, Aurielle menghentikan ketiga malaikat yang hendak menyerahkan kotak kaca pada Dewan Tetua.

"Kurasa kau masih berhutang 'selamat tinggal' pada Isabelle." Mata birunya berkilat tegas. "Kau tak tahu betapa hancurnya ia menantimu di atas lobby sana. Dan kau disini pergi begitu saja tanpa sepatah katapun."

Justru Will sangat tahu bagaimana Isabelle sekarang. Ingatan akan jeritan memilukan yang meneriakkan namanya, dan tatapan terluka begitu dalam di mata biru kehijauan itu, terus menghantui Will. Setiap tetesan air mata Isabelle yang mengalir turun, seperti sayatan baginya.

Will hanya terdiam sesaat. Kepedihan yang ia bendung sejak tadi runtuh menjadi airbah. "Aku tak tahu bagaimana mengatakan selamat tinggal padanya," pada akhirnya Will mengakui. Ia tak percaya setetes air mata baru saja menetes dari pelupuknya. "Dan aku tidak bisa."    

***

https://youtu.be/4GRagc93vW0

Try to say it's over
Say the word good bye 
But each time it catches in my throat
Now here it comes
The hardest part of all
Unchain my heart that's holding on

Mencoba untuk mengatakan semua telah berakhir
Mengatakan kata berpisah
Namun setiap saat tenggorokanku tercekat
Sekarang saat itu telah tiba
Bagian tersulit dari segalanya
Melepaskan hatiku yang bertahan


Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Para malaikat iblis yang membarikade lift, tak tertembus sama sekali. Perintah Will sangat jelas, tidak ingin bertemu denganku.

Aku mengusap sisa-sisa air mataku. Manusia-manusia yang berlalu lalang di lobby sudah lelah menontonku. Jika saja Kyle tidak mengaku sebagai pengawasku, salah satunya pasti telah menelfon petugas rumah sakit jiwa. Di mata mereka aku hanya gadis stalker gila yang meronta, menangis ingin menemui seseorang di apartment ini.

"Kau harus pulang." Kyle kembali berkata untuk kesekian kalinya, tak lelah menyodorkan tissue padaku.

Kali ini aku mengangguk. Begitu aku bertemu rombongan kecil Caleum bersama seorang Dewan Tetua yang datang membawa The White Fire, aku tahu waktuku bersama Will benar-benar berakhir. Inilah cara terbaik yang ditemukan Aurielle. Setidaknya, tidak akan ada bayangan mengerikan tentang Will yang terbakar dalam keabadian di Tartarus.

Untuk terakhir kali aku menoleh ke arah jajaran malaikat iblis bermimik datar yang membarikade lift. Berharap Will akan muncul, bahkan jika hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.

Nihil.

Mungkin Dewan Tetua telah menggunakan The White Fire. Air mataku kembali menetes dalam kesunyian.

Alih-alih pulang ke rumah, aku meminta Kyle menuju rumah kolonial putih yang menyimpan semua kenanganku dan Will. Jauh di dalam hati, aku berharap mungkin akan menemukan Will disana. Namun, sekali lagi nihil. Keadaan masih seperti ketika aku meninggalkannya beberapa jam lalu. Saat aku masih berpikir akan meninggalkan Will, tak menyangka ialah yang meninggalkanku sekarang.

Kyle bersikeras menunggu di ruang tamu, berjaga-jaga seandainya aku melakukan hal berbahaya karena kalut. Namun aku berhasil meyakinkannya untuk pulang. Benakku hanya meratapi Will, tak terpikir rencana bahaya apapun.

Aku menuju kamar bernuansa abu-abu putih yang menenangkan. Nafasku mulai sesak ketika ingatan kebersamaan kami menyeruak, membawaku menuju teras kamar.

Aku berbaring memeluk lutut di sebuah sofa empuk yang digunakan untuk menikmati bintang. Alih-alih menikmati langit malam, aku memejamkan mata. Menangis dalam kesunyian.

Hingga sebuah tangan merengkuh wajahku, mengusap air mataku. "Isabelle."

Mataku tersentak membuka, mendapati sepasang mata abu-abu menatapku. Tanpa sadar aku menahan nafas. Apakah aku sudah mulai berhalusinasi?

"Aku tahu pasti akan menemukanmu disini." Will tersenyum.

Untuk sesaat benakku berhenti berpikir, namun perlahan kesadaran menerpaku. "Kau datang untuk mengatakan selamat tinggal." Aku menatap matanya.

Will mengangguk. Hatiku mencelos. Namun, ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Ia duduk disampingku dan menarikku kedalam pelukannya.

"Maafkan keegoisanku ingin pergi begitu saja, tak sanggup menemuimu." Will mengusap kepalaku seperti biasanya, membuatku tak ingin beranjak dari kenyamanan ini. Aku hanya mengangguk, tak berani bersuara atau air mataku semakin deras.

Will menengadahkan daguku dengan lembut, membuatku menatapnya. "Kumohon, berhentilah meneteskan air mata karena aku." Ia mengusap air mataku lagi. "Kau tahu, pertama kali aku melihatmu menangis setelah bertemu ibumu di kantor kepala sekolah, kau membuatku panik." Will tersenyum tipis. "Hanya seorang gadis manusia yang menangis begitu mengusikku, hingga membuatku ingin menghapus air matanya. Kurasa itu caranya cinta memberitahuku, kau adalah seseorang yang berarti bagiku sejak masa lalu. Gengsi lah yang berhasil menghentikanku."

Akhirnya sebersit senyum lolos dari bibirku. "Namun, kau berakhir menemaniku di balkon dan melewatkan kelas inggris."

"Tepatnya kau mencegahku pergi dengan menarik bajuku, lalu memprotes aku tidak berusaha menghiburmu," Will memutar bola mata.

Tawa kecil terlepas disela isakanku. Peristiwa itu terasa seperti kehidupan lain di masa lalu. "Seandainya menarik bajumu sekarang akan membuatmu tetap disini. Aku akan berpegang gigih seperti hidup matiku."

Will ikut tersenyum, mengecup keningku sekilas. "Ketahuilah Isabelle, kau adalah hal terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Tak peduli kapanpun, aku selalu kembali jatuh cinta padamu. Hatiku seolah selalu bisa menemukanmu."

Aku menatap kesungguhan yang meluluhkan di matanya. Aku bisa merasakan inilah akhirnya. "Begitu juga denganku. Kau adalah mimpiku yang menjadi kenyataan. Di masa lalu ataupun sekarang, aku hanya mencintaimu." Tanganku terangkat untuk merengkuh wajahnya.

"Aku tahu." Will menyingkirkan helaian rambut dari wajahku. "Namun, kau harus merelakanku. Merelakan hubungan ini untuk berakhir. Kau berhak untuk mendapat kebahagian. Kau berhak menjalani kehidupan baru, menemukan pria yang mencintaimu, seperti aku mencintaimu."

Aku tak kuat lagi menahan tangis dan membenamkan diriku kedalam dekapan Will. "Semua itu tak akan pernah sama," isakku.

"Kau harus mencobanya demi kebahagiaanmu." Will meyakinkan. Aku hanya menggeleng putus asa. Kukira dalam beberapa hari terakhir ini aku siap untuk mengatakan selamat tinggal, kenyataannya aku hanya berada di awal kehancuranku.

"Aku tak ingin melepasmu demi apapun didunia ini, tapi kau harus melepaskanku sekarang, Isabelle." Will mulai mengurai lenganku. Namun, aku langsung memeluknya semakin erat, terlihat begitu menyedihkan.

"Kumohon, pergilah setelah aku tertidur, Will," pintaku, putus asa.

Kukira Will akan menolak. Aku sedikit lega saat ia bergumam setuju, dan menggendongku lalu membaringkanku dengan lembut di atas kasur. Untuk sesaat aku berbaring nyaman dalam dekapannya, menyadari ini terakhir kalinya Will berada disisiku. Aku tak sanggup membayangkan hari esok tanpanya.

"Berjanjilah kau tetap disini hingga aku benar-benar tertidur," kataku, mendongak gelisah. Kami bertatapan begitu dekat, berbagi bantal yang sama.

"I promise," bisik Will, mengusap pipiku.

"Sampai kapanpun aku akan selalu mencintaimu dan tidak akan melupakanmu." Pandanganku sudah buram oleh air mata. 

"Aku juga mencintaimu, Isabelle. The one and only you." Will mengecup air mata yang menuruni pipiku, lalu mencium keningku.

Jemariku menyusuri lekuk-lekuk wajah Will, bulu mata panjang yang mengepak membuka, hidung mancung dan berakhir dibibirnya. Seolah mematri siluet sempurnanya dalam benakku, untuk terakhir kali. 

Aku kembali menatap mata abu-abu Will yang menghisap jiwaku seperti badai. "Ceritakan satu kisah yang indah. Pikiranku terlalu kalut untuk tidur." Sisa-sisa air mata masih menetes saat aku mengerjap.

Tatapan Will melembut, menatapku dalam-dalam seolah meraih pikiranku. "Aku akan menceritakan akhir lain dari perpisahan ini." Kata-katanya terdengar menghipnotis. "Just listen to my voice." 

Aku mengangguk, lalu memejamkan mata. Will mendekapku, berbisik tepat didekat telingaku, sesekali mengecup puncak kepalaku. Ia memulai dengan menceritakan kembali semua kenangan indah kami di kehidupan ini, momen-momen disekolah, membuatku tersenyum.

"Namun, setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Kita berpisah karena jalan hidup kita berbeda. Kau berjuang meraih impianmu, begitu juga denganku."

Mataku terasa semakin berat dan kesadaranku berada diambang terlelap. Sehingga aku tak bisa memikirkan ucapan Will.

"Kita tak pernah menyesal saling bertemu dan mensyukuri setiap kenangan indah yang kita miliki. Bahkan perpisahan kita dipenuhi senyum dan harapan yang terbaik untuk satu sama lain."

Jantungku berdetak tenang. Nafasku menghembus lembut, begitu damai, membuatku tersenyum mengantuk.

"Selamat tinggal, Isabelle." Samar-samar aku merasakan ciuman lembut di bibirku.

Dengan segenap kesadaran terakhirku, aku berbisik, "Selamat tinggal, Will."

Akhirnya terjauh dalam tidur yang tenang. Perasaanku begitu ringan. Aku tak bisa membedakan kenyataan dan mimpi lagi, namun samar-samar aku mendengar suara Will.

"Suatu saat kau akan menemukan kebahagiaan dalam hidupmu, Isabelle. Saat itulah kau akan benar-benar melupakanku."      

Author's note: Maafkan update yang molor-molor hehehe lagi sibuk mengurus dunia nyata. Dan nulis part menjelang akhir ternyata membutuhkan usaha lebih. Part ini panjang dan sengaja gak aku bagi, biar puas bacanya ;)

AEON bakalan end kurang dari sepuluh part lagi. Keep support with vote and comment ya, thank you ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro