Part 44: Ashes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cause I've been shaking, I've been bending backward till I'm broke. Watching all these dreams go up in smoke.

Karena aku telah terguncang, aku telah menyerah pasrah hingga hancur. Melihat semua mimpi ini lenyap menjadi asap.

Kegelapan dalam batin Will saling bertumbukkan mengoyak dirinya dari dalam. Segel yang dipasang Caleum untuk menahan kekuatannya sudah retak.

Will beranjak berdiri. Untuk terakhir kali mencium kening Isabelle. Seluruh kepedihan yang sengaja ia tahan sejak tadi, meluruh lewat tetesan air mata dari pelupuknya. Hal terberat dari mencintai seseorang adalah melepasnya pergi. Namun karena cinta juga, muncul kekuatan untuk melepaskan, demi kebahagiaan orang yang kita cintai.

Termasuk merelakan Isabelle melupakan kenangan mereka.

"Maafkan aku," gumam Will. Isabelle tidak sadar, Will mengubur dan mengubah ingatan gadis itu lewat kata-kata terakhirnya. Hanya dengan cara tersebut, Isabelle bisa menemukan kebahagiaannya kembali.

Tidak ada lagi ingatan masa lalu tentang Angels dan Demons, jati diri mereka sesungguhnya dan segala takdir yang begitu kejam. Hanya pertemuan normal mereka di sekolah sebagai pasangan kekasih remaja yang memutuskan untuk berpisah baik-baik demi mengejar impian masing-masing.

Will menghubungi satu-satunya orang yang selalu ada saat ia atau Isabelle membutuhkan. Jika seorang sahabat adalah seseorang yang selalu ada tanpa diminta saat suka duka, maka Kyle lah orangnya. Dan Will belum melakukan apapun untuk membalas semua itu.

"Aku terharu kau selalu menghubungiku pertama kali, Will." Kyle nyengir.

"Selain Isabelle, hanya nomormu dan panggilan darurat yang tersisa." Will memutar bola mata. Apa saraf serius makhluk satu ini sudah putus?

Namun, syukurlah Isabelle memiliki sahabat yang bisa melupakan semua kesedihan. Will memberitahu Kyle ia telah membuat kesepakatan dengan Caleum untuk menghapus dan merubah ingatan semua orang yang mengenalnya dan teman-teman manusianya. Seperti yang ia lakukan pada Isabelle

Diluar dugaan, Kyle menolak dengan alasan setidaknya ada satu orang yang mengingat semuanya. Will tidak bisa mendebat, tidak ada pengaruhnya Kyle ingat atau tidak.

"Tenanglah, aku sudah menelfon Natasha dan yang lain. Besok, saat terbangun, Isabelle akan menganggap ini liburan akhir pekan bersama." Kyle berkata.

Will mengangguk. Ia berterima kasih untuk segalanya. Dan bersyukur rumah ini tak akan menjadi kenangan buruk Isabelle.

"Jadi inilah akhirnya." Kyle menghela panjang, tersenyum samar. "Sayang sekali, kita seharusnya bisa menjadi partner in crime terbaik dan sahabat paling dipuja wanita."

"Kau benar-benar luar biasa bisa bercanda di saat seperti ini," timpal Will.

"Setidaknya ada seseorang yang mencegah agar kita tidak menangis. Dua pria yang menangis akan terlihat menjijikkan." Kyle pura-pura bergidik. Will mendengus tak percaya. Namun, keduanya terdiam sesaat. Kesedihan perpisahan yang tak kasat mata menguar di udara.

Hingga akhirnya, Will mengulurkan tangan, seperti saat mereka mengakhiri perjanjian─awal mula persahabatan aneh ini.

Sambil tersenyum miring, Will berkata, "Well, senang menjadi sahabatmu, Riverton."

Kyle tersenyum menyadari hal yang sama, menyambut uluran itu. "Begitu juga denganmu, Blanford."

***

Hamparan batu hitam seolah tak terbatas. Tebing-tebing batu runcing menjulang dimana-mana. Tak ada angin yang berhembus di dasar Underworld, namun udara menusuk ke tulang-tulang. Will berlutut, merasakan dinginnya batuan hitam merambat naik dari kakinya.

Berderet-deret barikade malaikat iblis telah siaga, jika situasi sampai lepas kendali. Jauh di depan sana, lava Tartarus ikut bergejolak seperti gunung yang akan meletus. Seolah menyambut untuk memangsa korban.

Dewan Tetua telah mengeluarkan White Fire dari dalam kotak kaca. Menaikkan api tersebut ke atas kepala Will, siap melepaskan.

Bahkan disaat terakhirnya, hanya momen kebersamaannya dengan Isabelle yang ada dibenaknya Will. Membuatnya teringat satu hal yang sangat diinginkan gadis itu.

"Ada satu hal terakhir yang kuminta. Ini demi Isabelle," sela Will. Tangan sang Dewan Tetua terhenti.

Setelah mendengarkan permintaan Will, Dewan Tetua mengangguk setuju. "Aku akan mengabulkannya, kalau sampai Isabelle mendapat kembali semua ingatannya."

"Terima kasih." Senyum lega terulas dibibir Will. Ini pertama sekaligus terakhir kalinya ia berterima kasih pada Caleum.

"Kuharap kau menemukan kedamaianmu." Sang Dewan Tetua berkata tulus.

Tanpa beban apapun, Will memejamkan mata menyambut kematiannya. Segala tentang Isabelle menjadi hal terakhir yang muncul di benaknya. Binar mata turquoise seperti laut di siang hari itu, senyumnya, tawa bahagianya. Suara yang menembus kedalam jiwa Will saat berkata 'Aku mencintaimu, Will.' Mengalihkan Will dari panasnya api putih yang membakar seluruh tubuhnya dengan cepat. Melahap habis segala kekuatan gelap yang meronta-ronta.

Api putih berkobar semakin menyilaukan hingga mencapai puncak dan pada akhirnya padam. Jiwa Will lenyap bersama sisa abu yang membubung naik.

Semua malaikat iblis menunduk, hanya Dewan Tetua yang menyaksikan abu membuyar diudara. Pada akhirnya sang Raja Underworld pun tak bisa mengelak dari kematian.

***

Cahaya pagi menyorot tepat didepan kelopak mataku. Membuatku terbangun dengan perasaan lesu. Sepertinya aku bermimpi buruk semalam. Samar-samar ada bekas air mata di wajahku.

Aku mengerjap menatap kamar bernuansa putih dan abu-abu pastel ini.

Ini bukan kamarku, batinku

Benakku terasa sangat lamban. Butuh waktu beberapa detik untuk memunculkan informasi, rumah ini adalah salah satu properti Mom yang yang dihadiahkan padaku, namun tak pernah kukunjungi. Tapi bagaimana aku bisa ada disini?

Aku mengernyit saat turun dari kasur, entah kenapa energiku terkuras seperti habis lari marathon. Sejenak pikiranku terasa blank. Apa yang kulakukan kemarin malam?

"Oh astaga!" Pantulan di cermin menampakkan mataku yang bengkak.

Pintu kamarku menjeblak terbuka. "Wakey, wakey sleepyhead!" Lizzie membawa nampan berisi semangkuk sereal dan jus.

Aku melemparkan semua pertanyaanku padanya. Sambil berdecak, Lizzie menceritakan kalau kami kemari untuk refreshing singkat. Sekarang hari minggu. Seharusnya kami kemari seusai pesta ulang tahun pernikahan Auntie Charlene dan Uncle Dave kemarin. Namun aku dan Kyle lebih cepat meninggalkan acara menuju bar. Akhirnya Lizzie dan teman-temannya yang lain, menyusul kemari pagi ini.

"Aku? Mabuk?!" seruku, langsung batuk-batuk tersedak sereal. Menatap Lizzie horror. Aku dibawah umur dan aku anak baik-baik.

Entah kenapa jauh didalam hatiku, aku merasa ada yang salah. Aku mencoba percaya cerita Lizzie. "Kenapa aku mengajak Kyle pergi ke bar?"

"Entahlah. Kau masih berusaha move on dari Will?" sahut Lizzie ringan, mengangkat bahu.

Mendengar nama itu, seolah menemukan lubang di perasaanku. Seharusnya ada sesuatu, namun sudah tercongkel hilang. "Nggak, aku sudah mengakhiri perasaanku." Aku menjawab begitu saja, terasa hambar.

Di halaman belakang yang luas, Kyle, Bernard, Jessa, Nick dan Adelyn bersenda gurau. Adelyn yang sedingin es mulai lebih banyak tersenyum. Semua terlihat normal, namun entah kenapa ada sesuatu yang terasa janggal. Kyle bercanda mata bengkakku adalah akibat meratapi nasib burukku yang banyak sekali.

Jessa menyuruhku menganggap ini adalah pesta melepas patah hatiku karena kepergian Will yang mendadak. Aku hanya tertawa, namun aku baru menyadari sesuatu. Aku tak ingat merasa patah hati. Walaupun melepas dengan senyum, bagaimanapun kami tadinya sepasang kekasih. Mungkinkah semudah itu?

***

Dua bulan telah berlalu. Hampir setiap akhir pekan aku dan teman-temanku mengunjungi rumah colonial bernuansa putih ini. Halaman belakang yang luas menjadi nilai tambah khusus untuk menikmati musim semi yang telah mencapai puncaknya. Entah kenapa aku merasa nyamam, padahal sebelumnya aku tak pernah memakai tempat ini.

Matahari telah menghilang, menampakkan taburan bintang diangkasa. Aku berselonjor di atas alas piknik, menatap langit.

Dikejauhan, Adelyn memilih membaca buku, sementara Lizzie, Bernard dan Nick berebut posisi koki Barbeque Party malam ini. Jessa dengan tenang bersenandung menyiapkan minuman.

Kyle bergabung berselonjor denganku.

"Mau?" Ia tersenyum bangga, menawarkan beberapa tusuk daging panggang hasil curiannya tanpa sepengetahuan Bernard.

Aku tersenyum sambil menggeleng, menolak makanan haram itu.

Lagi-lagi aku merasa terisolasi dari keseruan ini. Ada bagian diriku yang terasa hilang. Teman-temanku juga merasakannya. Aku bersumpah pada Lizzie, ini bukan gara-gara kepergian Will. Aku tidak bersedih sama sekali—yang justru terasa aneh bagiku.

Beberapa hari yang lalu, teman satu tim basket Bernard dan Kyle itu menyatakan cintanya saat mengajakku pergi berdua. Sebulan terakhir, aku cukup dekat dengan pemuda bermata hazel, berambut cokelat tersebut. Jensen lebih dewasa dibanding Kyle dan Bernard—yang mulai tertular virus hura-hura Kyle. Selain tatapan memujanya yang kadang membuatku canggung, Jensen baik dan pengertian.

Namun, pada akhirnya hatiku menolak, walaupun pikiranku mengatakan tidak ada salahnya mencoba hubungan serius dengan Jensen.

"Kau memandangi langit sambil menyesal telah menolak pernyataan cinta Jensen Wade?" Kyle nyengir. Ia mulai mempromosikan Jensen hingga akhirnya, "Meskipun aku tahu aku lebih tampan."

"Kyle." Aku memutar bola mata.

"Aku hanya membayangkan betapa menyenangkan melayang diantara taburan bintang." Pandanganku beralih kembali ke langit. "Aku bahkan memimpikannya semalam. Mungkin seorang malaikat yang mengetahui impianku mengabulkannya diam-diam?" Aku tertawa—ok, novel fantasi mulai meracuniku.

Kyle tidak ikut tertawa, malah membelalak menatapku.

"Kau kenapa?" Aku mengangkat alis heran.

Sedetik kemudian ia batuk-batuk hebat. "Tersedak." Berusaha mengatasi daging yang tersangkut di tenggorokannya. Karma selalu memiliki cara untuk berbuah.

"Lebih baik kau mensyukuri sahabat mu yang sudah setampan malaikat ini." Kyle menimpali dengan pesona selangitnya. "Atau cepat-cepat cari pacar sana. Imajinasi yang menggila adalah tanda awal kegilaan karena ditinggal mantan."

Nyatanya ada sesuatu yang menahanku menaruh hati pada cowok lain. Dan beberapa hari ini aku memikirkan segalanya hingga menyadari ganjalan tersebut.

Aku ingin mendengar kabar tentang Will.

Namun, semakin aku mencari tahu semakin aku menyadari tak ada jejak apapun yang tersisa. Semua pesan yang kukirim tidak ada yang dibalas dan akhirnya aku mengetahui nomornya sudah tidak aktif. Bukannya merasa kehilangan, aku hanya ingin tahu kabarnya sekarang.

"Bukankah kalian sepakat tidak akan menghubungi sementara waktu?" Kyle mengerutkan kening, mendengar niatku.

"Aku hanya ingin mengetahui ia baik-baik saja." Aku tersenyum tipis. "Dan ternyata Will tidak begitu. Antara ia sangat berkomitmen atau ia tidak peduli padaku sama sekali."

"Will membuat kesepakatan itu agar kau bisa memulai awal yang baru tanpa memikirkannya." Kyle menanggapi, senyumnya memudar. Entah kenapa aku merasa Kyle tahu lebih dari itu.

Tiba-tiba suara melengking Lizzie menyedot seluruh perhatian. Bukan hal heboh saat sepupuku itu tertimpa insiden seperti menyentuh gagang panggangan tanpa sarung tangan akibat gegabah. Aku langsung menuju kamar dan membongkar isi tasku mencari obat.

Sebuah benda menggelinding jatuh ke lantai saat aku menumpahkan seluruh isi tas tangannku. Aku memungut kotak besi berukir seukuran genggaman tangan tersebut sambil mengerutkan kening.

Akhirnya sebuah peristiwa terbersit dibenakku. Malam kompetisi antar sekolah setelah tim orchestra berhasil menyabet juara. Bagaimana bisa aku melupakan si Mrs. Johnson berambut rose gold itu.

Setelah menyerahkan obat pada Lizzie, aku kembali ke kamar. Seingatku terakhir kali aku mencoba, kotak besi ini tidak bisa dibuka. Namun, sekarang penutupnya terbuka begitu saja. Seperti menemukan harta karun, aku mengeluarkan isinya.

Sebuah kertas kecil yang digulung, tidak lebih besar dari rokok.

Apa-apaan?! Aku memicing, kecewa berat. Tante nyentrik itu benar-benar mengerjaiku. Saat membuka kertasnya, aku sudah siap menemukan tulisan 'Maaf anda belum beruntung'. Namun, membaca bait pertama membuat tanganku gemetar.

Ingatlah.

Semua ingatan adalah harta. Semua ingatan adalah jalan.

Seperti setapak untuk meniti dalam gerbang waktu.—

Aku tak lagi mempedulikan tulisan selanjutnya di baris kedua. Entah apa yang terjadi, namun serbuan emosi dan ingatan-ingatan yang tak kukenal menghantamku. Seolah bendungan raksasa yang menahan tsunami telah runtuh.

Gambaran dunia masa lalu yang penuh malaikat dan sebuah nama, Seraphine. Diriku.

Diikuti kilasan bertubi-tubi penuh emosi pengkhianatan, kehancuran, kebohongan dan cinta. Underworld dan Caleum. Dadaku begitu sesak. Tanpa sadar aku melangkah mundur, menabrak meja nakas. Membuat beberapa benda jatuh, pecah berkeping-keping.

Pertemuan kembali di masa sekarang. Dan tanpa sadar, sekali lagi mencintai orang yang sama.

"Will," bisikku, tak kuat lagi menahan air mata.

Semuanya kembali begitu cepat hingga sampai pada ingatan-ingatan terakhir.

Tanganku yang berada di punggung Will menemukan sebuah belati tertancap disana. Aku memastikan dengan ngeri. Orcus. "Tidak!"—

"Aku juga mencintaimu, Isabelle. The one and only you." Will mengecup air mata yang menuruni pipiku, lalu mencium keningku.—

"Suatu saat kau akan menemukan kebahagiaan dalam hidupmu, Isabelle. Saat itulah kau akan benar-benar melupakanku—Selamat tinggal, Isabelle."

Will memendam semua ingatan itu.

Sekarang aku menyadari, kata-kata terakhirnya yang begitu menghipnotis ternyata telah mengubah ingatanku. Tubuhku merosot ke lantai. Akhirnya aku menemukan bagian yang tercongkel, yaitu bagian perasaanku yang hancur berkeping-keping.

Perasaan hampa dan kehilangan aneh yang kurasakan akhirnya terjawab. Ingatan bisa terhapus dengan mudah, namun perasaaan tak akan pernah lupa.

Semua usaha sia-sia untuk mencari Will menjadi bukti ia tidak ada lagi di dunia ini. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak sanggup membayangkan ketika The White Fire hanya menyisakan abu yang membuyar. Perasaan kehilangan yang terpendam selama dua bulan, membeludak begitu saja.

Tubuhku bergetar dan seluruh kekuatanku runtuh. Semua impianku meluruh seperti asap. Will benar-benar meninggalkanku selamanya.

***

Bunyi sesuatu yang pecah berkeping-keping, membuat Kyle berhenti tertawa seketika. Begitu juga Nick dan Natasha. Mereka berpandangan shock.

"Isabelle." Kyle menyadari dari mana asalnya. Mereka bertiga berlari dari ruang keluarga menuju kamar gadis itu.

Isabelle sudah terpuruk dilantai, menangis memeluk lututnya. Pecahan gelas dan teko semburat di lantai kayu. Natasha langsung memeluknya. Kyle menghela pasrah. Ia sudah menduga ingatan Isabelle akan kembali suatu saat, namun tidak secepat ini.

Sementara Nick membuang semua pecahan tadi dan Natasha keluar untuk mengambilkan segelas air, Kyle duduk dilantai disamping Isabelle. Setiap candaan yang terpikir rasanya tak sanggup meluruhkan kesedihan sehebat ini.

"Saat aku melupakan semuanya, kau tetap mengingatnya?"

Kyle mengangguk. Tidak ada gunanya berpura-pura lagi.

"Aku setuju dengan Will. Kalau kau mengingatnya saat itu, entah seperti apa perasaanmu keesokan harinya saat menyadari Will sudah tiada." Kyle hanya bisa menepuk punggung Isabelle untuk menenangkannya. "Semuanya akan berlalu, Isabelle."

Mereka berdiam seperti itu untuk beberapa saat. Walaupun tak pernah mengatakannya, kepergian Will membuat Kyle kehilangan seorang sahabat.

Malam berlalu sangat lama. Rencana Barbeque Party setelahnya terasa hambar dan canggung, karena Isabelle memilih untuk tidur. Bahkan saat matahari terbit keesokan harinya, suasana suram ini belum terangkat.

Natasha inisiatif membawakan sarapan ke kamar Isabelle, karena gadis tidak mau keluar dan tidak ingin ditemani siapapun.

Ditengah sarapan yang tergolong hening, Kyle mendengar ketukan samar di pintu depan. Awalnya ia membiarkan yang lain untuk membukakan, namun tak ada seorang pun yang beranjak. Seolah tak mendengar apapun.

"Kalian tidak mendengar seseorang mengetuk pintu?" tanya Kyle, mengerutkan kening. Semua temannya menatapnya heran.

"Tidak." Natasha membelalak was-was. Mereka semua tahu rumor Kyle yang indigo, entah mereka percaya atau tidak. "Kau jangan menakut-nakutiku Greyson Kyle."

Ya ampun. Kyle mendesah. "Aku serius, Natasha."

"Kapan terakhir kali kau serius?" sindir Bernard. Nick dan yang lain tertawa kecil, menganggap Kyle mengerjai mereka.

Separah itukah imagenya? Akhirnya Kyle menyerah dan menghampiri pintu depan. Mungkin benar yang mengetuk adalah makhluk selain manusia.

Butuh beberapa detik bagi Kyle untuk memastikan siapa yang berdiri di teras. Tamu ini memang bukan manusia.

"Syukurlah kau bisa melihatku." Ia tersenyum lega pada Kyle. "Aku ingin bertemu Isabelle."

***

Sarapan yang dibawakan Lizzie masih tidak tersentuh di meja nakas. Walaupun kepergian Will telah berlalu dua bulan, hal itu tak merubah apapun. Sudah dari tadi aku hanya duduk dikasur sambil memeluk lutut.

"Isabelle." Kyle mengetuk pintu kamarku. "Seseorang ingin bertemu denganmu."

"Aku ingin sendiri, Kyle." Aku berseru sambil mengusap air mataku.

Aku terkejut saat Kyle tetap membuka pintu kamarku. "Sudah kubilang aku—"

Kalimatku menggantung diudara saat melihat siapa yang berjalan masuk dari belakang Kyle. Seseorang yang sangat kukenal. Aku mengerjap tak percaya, apa ini mimpi?

"Isabelle," sapanya, tersenyum tenang.

"Dad." Air mataku menetes seiring sapaan yang kurindukan itu meluncur dari bibirku. Mata coklat hangat yang selalu kurindukan. Rambut pirang Dad masih tertata rapi seperti terakhir kali aku mengingatnya. Dad bahkan mengenakan Polo shirt biru muda dan celana khaki favouritnya di rumah. 

"Dad!" Aku langsung meloncat turun dari kasur dan memeluknya. Seperti yang kulakukan setiap kali Dad pulang dari business trip dan membawakanku oleh-oleh.

Dad langsung mendekapku. "Aku merindukanmu, little princess."

Tawa kecil lolos disela isakanku. Sudah begitu lama aku tidak pernah mendengar panggilan itu.

Samar-samar aku melihat Kyle tersenyum melihat kami, lalu keluar seraya menutup pintu.

"Aku sangat merindukanmu, Dad. Aku begitu kesal saat Mom dan Dad mengirimku ke London, tanpa tau alasan sebenarnya. Aku menyesal tidak pernah menghubungimu selama bertahun-tahun. Seandainya aku tahu saat Dad mengantarku ke London adalah terakhir kali aku melihatmu." Aku menumpahkan semua penyesalan, tanpa jeda. "Saat aku pulang ke rumah lagi, itu adalah hari pemakamanmu. Maafkan aku, Dad. Gara-gara Dad ingin bertemu denganku, Mr.Moorson—"

Aku tidak bisa melanjutkan karena tangisku akhirnya pecah.

Dad hanya mengusap punggungku dengan sabar "Jangan meminta maaf. Aku dan Alyson tidak pernah menyalahkanmu."

"Orang-orang yang kucintai selalu pergi gara-gara aku." Aku terisak.

Dad mengurai pelukannya, menatapku tegas. Menguarkan aura pemimpin yang kukenal. "Niat membawamu pulang dari London, adalah murni keputusanku dan Dad yakin pengorbanan Will adalah keputusannya sendiri. Karena kami berdua mencintaimu lebih dari apapun, Isabelle."

Aku terenyuh mendengarnya. "Dad... mengenal Will?"

Dad kembali tersenyum lembut, mata cokelatnya meleleh. "Menurutmu karena siapa aku bisa berada disini sekarang?"

Secara singkat, Dad menjelaskan para malaikat memberinya kesempatan memijak bumi hanya untuk menjengukku.

"Disaat terakhirnya Will memohon untuk mengabulkan satu keinginanmu yang tidak sanggup ia penuhi selama ini. Keinginan yang kau coret dari daftar, karena terlalu mustahil." Dad berkata.

Aku mengernyit tak mengerti, hingga sebuah ingatan menyeruak dibenakku.

Buku kecil berisi keinginan terakhirku, tepatnya keinginan terbesar yang kucoret: Aku benar-benar merindukan Dad, semoga aku bisa melihatnya di saat terakhirku.

Aku tercekat. Will membacanya. Itulah yang menjelaskan kenapa waktu itu ia seolah bisa membaca pikiranku.

Sebuah peristiwa lain muncul dalam ingatanku. Beberapa waktu yang lalu, di depan restaurant tempat Dad selalu mengajakku setiap ulang tahun.

"Kau merindukan ayahmu?" Will bertanya.

Aku mengangguk. "Jika aku diberi kesempatan untuk membuat harapan kedua, aku akan meminta untuk bertemu dengannya lagi, tak peduli meski hanya untuk mengucapkan selamat tinggal."

"Sayangnya aku tak bisa mengabulkan hal itu. Ayahmu pasti menjadi tanggung jawab Caleum." Will menggenggam tanganku.

Tanpa kusadari, air mataku telah mengucur deras.

"Kau tahu apa yang membuat malaikat itu mengabulkannya?" Dad tersenyum, ini pertama kalinya aku melihat Dad berkaca-kaca. "Will berkata, 'seorang gadis yang terpuruk membutuhkan seorang ayah untuk memapahnya berdiri lagi'."

Aku menangis sejadi-jadinya, terharu oleh semua ini. Dibalik kecuekannya, Will tak pernah berhenti memikirkan segalanya untukku.

Dad meraih tanganku. "So here I am. Siap mendengarkan semua curahan putriku dan mengembalikan dunianya yang hancur."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro