Part 45: A World Without You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Surprise! :D enjoy reading

[To PatriciaTirtaputri  : karakter mu jadi cameo di part ini :p ]

Musim panas telah tiba. Aku duduk berselonjor di balkon menikmati sinar matahari yang hangat. Will seolah menghapus jejaknya di dunia ini, bahkan tidak ada nisan bertuliskan namanya. Hanya ada kenangan tentang dirinya dalam benakku. Setiap kali aku merindukan Will, aku akan datang ke rumah ini.

Kyle menginformasikan Caleum telah menghukum Moorson tanpa membunuh penyihir tersebut. Memastikan Moorson menebus semua dosanya, karena kematian terlalu mudah untuknya. Pembicaraan itu membuatku teringat aksi Kyle yang menembakkan peluru untuk melumpuhkan Moorson. Saat aku bertanya, Kyle hanya menjawab 'Itu kemampuan yang kupelajari di masa depan', sambil tersenyum misterius.

Pada akhirnya Caleum menerima Aurielle kembali, mengangkatnya menjadi Dewan Tetua. Malaikat itu telah belajar banyak selama ratusan ribu tahun. Seseorang yang pernah membuat kesalahan besar dan berhasil memperbaiki segalanya akan memahami kehidupan lebih baik. Daripada seseorang yang hanya melakukan kebaikan sepanjang hidupnya.

Hari itu, setelah bertemu Dad walaupun hanya untuk waktu yang singkat, aku merasa lega. Aku mengungkapkan rasa menyesal dan segalanya, hingga mengucapkan selamat tinggal secara pantas.

'Walaupun aku dan Will tidak ada lagi didunia ini, kami selalu hidup dalam ingatan dan hatimu.' Itu yang dikatakan Dad sambil tersenyum dan memelukku terakhir kali sebelum pergi. Dad telah membantuku mendapat kekuatan menapaki kehidupan ini lagi. Dan semua itu berkat permohonan Will.

Tanpa sadar aku terus memainkan kertas yang ada dalam genggamanku. Hadiah kecil dari Mrs. Johnson berambut rose gold. Aku mulai curiga ia bukan wanita sembarangan.

Aku baru menyadari isi pesannya sungguh aneh. Dan tulisan inilah yang mengembalikan ingatanku. Sekali lagi, aku membacanya.

Ingatlah.

Semua ingatan adalah harta. Semua ingatan adalah jalan.

Seperti setapak untuk meniti dalam gerbang waktu.

Hanya dengan memahami dan menguraikan benang-benang masalahnya, ikatan takdir ini akan terputus

DDC (EK 529)

Well, mungkin hanya kata-kata yang tak lebih dari sekedar petuah. Aku tidak tahu. Kode aneh yang tertera juga tidak bisa kuartikan. Awalnya aku mengira DDC berarti jenis sistem pengkodean buku di perpustakaan. Namun kode selanjutnya tidak cocok.

Sepanjang aku membongkar koleksi di New York Public Library waktu itu—masa-masa mencari informasi tentang mitos malaikat iblis, tidak ada kode semacam ini. Walaupun terlihat tidak berguna, aku tetap menyimpan kertas ini. Mungkin seiring waktu berlalu, akan mengungkapkan sesuatu atau terbukti hanya kiasan biasa yang kutanggapi berlebihan.

****



Musim gugur...




Musim dingin..







Musim semi...








Satu tahun...






Dua tahun...







Tiga tahun...








Empat tahun...









Lima tahun kemudian...

N E W   Y O R K. T H E    V E R M I L L I O N - V I P  B A R   B Y   M I L T O N   G R O U P  

Hiruk pikuk fifth Avenue tak akan berubah sampai kapanpun. Aku masuk ke sebuah hotel mewah milik group Milton, tempat Bar tujuanku berada. The Vermillion. Sudah jadwal rutin, satu bulan sekali aku dan teman-teman SMA ku bertemu disini.

Sambil menunggu lift, ponselku bergetar. Ternyata Mom. Aku tersenyum saat Mom menasihati jangan pulang pagi, walaupun aku sudah tinggal di apartment pribadi.

"Mom, aku sudah dua puluh tiga tahun, bukan remaja lagi," ujarku disela tawa, seraya menekan nomor lantai yang kutuju. Sampai kapanpun, aku selalu dianggap putri kecilnya.

Sambil berbicara dengan Mom, aku merapikan dress navy selututku sambil menatap pantulan cermin di dalam lift. Bagian atas rambutku terkepang menjalin menjadi satu, sementara sisanya tergerai mengikal lembut.

Akhirnya aku menutup sambungan ketika memasuki Bar mewah bernuansa emas dan hitam temaram. Dengan langkah pasti menuju spot biasanya. Sofa berbentuk letter 'C'. Bernard, Kyle, Nick dan Jessa sudah berada disana.

Lima tahun, waktu yang cukup lama untuk merubah banyak hal. Tahun ini, The Vermillion telah resmi berada di bawah nama Bernard Milton. Penampilan mereka pun tampak berbeda, sudah berganti mengenakan kemeja, dasi, dan yang paling rapi Nick mengenakan blazer.

Bernard tetap berotot seperti para aktor superman dan sekarang bercambang tipis, sementara Nick terlihat lebih manly dan tenang. Jessa tampak lebih anggun dan kalem. Rambut pirang pucatnya yang panjang, ditata curly dan dikesampingkan. Sementara Kyle, yah, semakin menjadi pujaan wanita. Hanya aku yang tahu pekerjaan asli Kyle sebagai detektif The Nox. Ia hanya mengaku bekerja di kantor swasta biasa, walaupun mobil-mobil sportnya sangat mencurigakan.

"Akhirnya kau datang, Isabelle!" sambut Jessa dengan senyum lebar. "Aku ingin mengumumkan sesuatu." Jessa langsung menggenggam tangan Nick dan menunjukkan cincin dijari rampingnya. "We're engaged!"

Senyum Nick pada Jessa terlihat jelas memuja wanita itu.

"Wow!" Aku langsung memeluk dan mengucapkan selamat pada keduanya. Ok, hampir saja terlewatkan. Beberapa tahun lalu Nick dan Jessa akhirnya kembali bersama. Adelyn dengan ikhlas memutuskan pertunangan bisnisnya dengan Nick, karena ia akhirnya bisa hidup mandiri tanpa pernikahan dengan Nick. Pada akhirnya mereka sadar tidak ada cinta diantara mereka.

Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu Adelyn. Dan baru-baru ini nama Adelyn Moore mulai naik daun sebagai editor salah satu majalah wanita terkenal. Dibalik pembawaan Adelyn yang seperti putri es, ia telah menjadi wanita yang mandiri.

"Sudah, sudah, Jess jangan bercerita so sweet terus. Kasihan dua makhluk jomblo ini." Bernard cekikikan. Maksudnya aku dan Kyle. Aku menatap tajam kearahnya.

"Sialan kau!" Kyle pura-pura memiting leher Bernard. Well, tampaknya sifat kekanakan mereka tak pernah hilang.

"By the way, Kyle." Tiba-tiba aku ingat hal pertama yang ingin kulakukan pada Kyle. "Kau apakan Samantha, ha?" Memukul bahunya menggunakan clutchku dengan gemas.

"Aw! Siapa Samantha—? Aduh!" Ia bertanya dengan tampang tak berdosa.

"Setelah kau selesai mengencani seseorang, kau melupakan namanya ya?" Gara-gara si playboy ini, salah satu pemain Cello group orkestraku tidak jadi tampil karena menangis. Membuat konser tertunda sekitar satu jam karena insiden di belakang panggung.

Setelah lulus kuliah di Julliard, aku terus menekuni musik harpa dan insiden kemarin hampir merusak konser internasional pertamaku.

"Oh, temanmu yang berambut merah itu." Kyle nyengir dengan polosnya, membuatku melotot. Satu hal tentang Kyle, sifatnya tidak berubah.

Seorang pria paruh baya yang tiba-tiba menghampiri kami, menyelamatkannya dari clutchku yang siap menghantam lagi.

"Mr. Milton," sapa Kyle. Walaupun sering kemari, ini pertama kalinya aku bertemu ayah Bernard.

Mr. Zachary Milton mengingatkanku pada Brad Pitt—idola Auntie Charlene, yang menua seperti wine. Tetap menawan dimata ibu-ibu. Pembawaan Mr. Milton terlihat lebih cocok jadi ayah Kyle ketimbang Bernard.

"Dimana calon menantuku?" Mr. Milton bertanya blak-blakkan, membuatku hampir tersedak.

"Natasha, sedang keluar kota, Dad. Menjadi presenter di sebuah acara televisi." Bernard menjelaskan. Lizzie sudah berikrar untuk menjelajah dunia entertainment, sesuai passionnya, sebelum menikah dan menjadi nyonya Milton. Karena menjadi istri konglomerat tidak akan bisa bertindak bebas. "Oh ya, Isabelle ini calon sepupu iparku." Bernard tersenyum miring kearahku.

"Senang mengenalmu, calon ipar." Mr. Milton tersenyum lebar padaku. Ia juga menyelamati Jessa dan Nick yang baru bertunangan. Ayah Bernard cukup gaul. Bernard menggoda Kyle, meminta ayahnya mencarikan calon yang serius.

"Putri temanku di London sangat cantik, terakhir kudengar ia seorang model, seperti tipemu," timpal Mr. Milton, dengan mudah menebak selera Kyle, membuatnya nyengir. Namun, Mr. Milton melirik gelas champagne ditangan Kyle, lalu mengernyit, "Tapi kurasa kau tipe-tipe yang dieliminasi pertama kali oleh ayahnya."

"Ayahnya akan menyesal menolak menantu sepertiku." Kyle tersenyum percaya diri.

"Uncle Zac!" Tiba-tiba seorang pemuda tampan berambut pirang menyapa Mr. Milton dari jauh, menyela tawa kami. Perawakannya tinggi dan rapi. Ia terlihat lebih tua dari kami sekitar satu atau dua tahun. Begitu melihat Kyle, pemuda tadi langsung menepuk bahunya dengan akrab. "Kenapa aku tidak kaget bertemu denganmu di bar."

"Hi, Bro!" Kyle tertawa. Ternyata dulu mereka satu kampus dan memiliki hobby yang sama, menjelajah Bar tiap malam. Ia serupa dengan Kyle dalam hal menguarkan aura mempesona. "Ini Newton Arden." Kyle memperkenalkan kepada kami.

"Isabelle Cleveland." Aku tersenyum.

"Panggil Newt saja." Ia menjabat tanganku. Mata cokelat hangatnya menatapku lebih lama, sebelum beralih menggandeng wanita berambut pirang sepundak seusia Mr. Milton—ibunya, yang baru saja masuk. Wajahnya terlihat ramah. Bernard berkata itu teman dekat ayahnya dari London.

"Ingatlah namamu bukan Pearl Straid lagi, tapi sudah menjadi Mrs. Arden. Dan umurmu sudah hampir setengah abad Pearl!" Mr. Milton berusaha menghentikan Mrs.Arden yang tersenyum menepuk pipi Kyle seperti anaknya. Berulang kali memuji ketampanan Kyle.

"Tidak baik membahas umur wanita, Zac!" Mrs. Arden memutar bola mata.

"Anda masih tetap cantik, Mrs. Pearl." Kyle tersenyum, membuat Mrs. Arden kembali tersipu. Ya ampun, bahkan ibu-ibu terpesona padanya.

"Kau menggantikan Newt saja bagaimana?" Ia bercanda.

"Mom." protes Newt, menggeleng melihat sikap ibunya.

Akhirnya Mr. Milton pamit untuk menjamu Newt dan Mrs. Arden. Kami kembali mengobrol hingga beberapa jam kemudian memutuskan untuk pulang. Bernard bergabung dengan ayahnya setelah kami berpamitan.

Aku dan Kyle berjalan ke arah pintu keluar dibelakang Nick dan Jessa.

"Dia belum punya pacar." Kyle tersenyum miring, mengedik ke arah Newt di kejauhan. "Meskipun masih dua puluh lima tahun, ia sudah menjadi CEO perusahaan Wine."

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum samar. "Aku tidak akan mencintai siapapun lagi, selain Will."

"Come on, Isabelle!" Kyle memutar bola mata. "Kau tidak tahu—!"

"Oh my God!" Aku berseru. Kami sama-sama terperanjat, menatap kejadian didepanku.

Seorang gadis modis memakai kaca mata hitam, baru saja membanting seorang pemuda ke lantai. Sepertinya pemuda berusia tiga puluhan itu baru saja menggoda cewek lain dengan tidak senonoh.

"Jangan macam-macam hanya karena dia tidak bisa melawan, dasar mesum!" Lengannya mengunci leher korbannya di lantai. Dibalik pakaian mahal dan penampilan feminim itu, ilmu bela dirinya cukup bagus. Petugas security langsung membantu meyingkirkan pemuda tadi.

Kyle mengangkat alis, takjub. Mengamati gadis itu dari kepala hingga kaki—definisi takjub yang berbeda denganku yang mengagumi aksi heroiknya barusan. Kuakui gadis itu benar-benar cantik, meski wajahnya tertutup kaca mata hitam. Rambut coklat panjang bergelombang, tubuh tinggi semampai dibalut midi dress putih dan heels stiletto—menciutkan cewek lain disekitarnya. Aku tidak kaget kalau dia ternyata Victoria Secret Angel yang sedang menyembunyikan identitasnya. Kalau tidak, mana ada cewek normal yang memakai kacamata hitam malam-malam begini—kecuali sakit mata.

Kyle dengan sigap bersikap gentleman, menawarkan uluran tangan untuk membantunya berdiri. "Kau baik-baik saja?" Ia tersenyum mempesona.

"Tentu. Aku tidak akan bertindak kalau menyebabkanku tidak baik-baik saja." Gadis itu menyunggingkan senyum manis, menolak modus Kyle dengan telak. "Aku bisa berdiri sendiri." Dengan anggun ia melompat berdiri, lalu mengeluyur pergi. Sementara Kyle berdiri terpana sekaligus syok. Perutku sudah sakit menahan tawa.

"Akhirnya ada cewek yang menolak pesonamu."

"Mungkin kacamata hitam itu mengaburkan inderanya." Kyle tersenyum masam. "Sayang sekali. Cantik dan berduri, bukankah sangat menakjubkan?"

"Tunggu sampai kau dibanting karena selingkuh." Aku tersenyum mengejek. Kyle hanya nyengir, dan berlalu pergi.

Karena penasaran, sebelum keluar aku mengamati ternyata Mrs. Arden menyambut gadis tadi. "Katie!"

"Auntie Pearl," balas cewek berkacamata hitam tersebut, membalas pelukan akrab Mrs. Arden. Aku mengangkat alis. Dunia memang sempit.

Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di mobilku, melaju pulang. Aku menghela nafas lelah. Seperti inilah hari-hariku. Aku berusaha bersosialisasi sewajar mungkin, seolah memberitahu dunia aku baik-baik saja. Tidak ada yang tahu, walaupun lima tahun telah berlalu, tidak ada seharipun aku tak memikirkan Will.

***

N E W  Y O R K.   5 3 r d    S T R E E T   L I B R A R Y  -  N E W   Y O R K   P U B L I C   L I B R A R Y


Dengan langkah tergesa-gesa aku memasuki pintu utama New York Public Library di 53th Street, menuju counter peminjaman dan servis.

"Mrs. Finley." Aku menyapa singkat wanita berambut abu-abu yang tergelung rapi. Usianya di pertengahan tujuh puluhan. Ia kepala pustakawan disini.

"Isabelle, kalau kau ingin berlari sebaiknya gunakan flat shoes." Mrs. Finley mengernyit kearah pump heels ku. Wajahnya terlihat tegas, namun hatinya selembut seorang nenek.

Aku hanya meringis sambil mengatur nafasku. Ini hari sabtu. Setelah dari sini aku akan langsung makan siang dengan Mom.

Mrs. Finley membongkar kotak berisi name tag dengan cekatan. "Cepatlah. Anak-anak sudah menunggumu." Ia mengalungkan tanda pengenalku. "Mereka sangat menyukai buku cerita karanganmu. Kau mengarangnya dari pengalaman pribadi ya?" selidik Mrs. Finley.

Aku tersenyum misterius.

"Mereka sampai menanti-nanti hari sabtu pagi untuk mendengarmu membacakannya langsung." Mrs. Finley menggeleng tak percaya.

"Sepertinya sebentar lagi aku menjadi pegawai story teller tetapmu, Mrs. Finley" Aku tertawa, bergegas pergi.

Perpustakaan bernuansa abu-abu concrete dan modern ini dibangun ke bawah, berbagi gedung dengan salah satu hotel mewah di New York. Pintu masuk dan meja servis sejajar dengan jalan raya. Sambil menjaga langkahku tidak terlalu berisik, aku menuruni tangga lebar dan terus turun menuju zona anak-anak di lantai dasar.


"Isabelle!" Sekitar dua puluh anak dengan kisaran umur empat sampai tujuh tahun berteriak senang. Beberapa orang tua tersenyum padaku.

"Morning kids!" Aku menyapa dan berkenalan dengan beberapa anak baru di klub. Mereka duduk melingkar di sekitarku.

Seorang anak perempuan bernama Genevieve, berambut cokelat dengan bibir semerah ceri, menyerahkan sebuah buku cerita bergambar. Judulnya terpampang besar ditengah cover bergambar taburan bintang cerah.

Aeon.

Dibawahnya, tertera namaku, Isabelle C.

"Apa arti Aeon?" Mata cokelatnya membulat penasaran.

Aku tersenyum. "Jangka waktu yang sangaaat lama, Genevieve. Lebih dari ribuan tahun."

"Berabad-abad!"

"Keabadian!" sahut beberapa anak lainnya.

"Kalian semua benar." Senyumku melebar. "Nah, sekarang duduk yang manis, aku akan mulai bercerita." Aku menatap mereka dengan lembut. Anak-anak itu menurut dan menangguk semangat.

"Pada jaman dahulu kala, hidup seorang malaikat bernama Seraphine. Ia sangat cantik, namun bibirnya selalu cemberut ketika bertemu seorang iblis bernama Will. Ia juga begitu rupawan seperti pangeran." Para anak perempuan mulai berbinar. "Sayangnya hatinya penuh sifat buruk. Seraphine mengira Will tidak akan pernah berubah, karena itu Seraphine tidak suka padanya."

Aku terus bercerita hingga sampai dibagian tengah cerita.

"Hingga suatu saat Will menyelamatkan Seraphine. Walaupun Will harus berkorban, ia tidak peduli, karena Will mencintai Seraphine. Saat itulah Seraphine menyadari tidak selamanya seseorang berbuat buruk. Suatu saat cinta pasti bisa merubah seseorang. Seraphine pun mulai menerima dan mencintai Will. Mereka bersama-sama memohon tanpa lelah untuk menjadi manusia."

"Kenapa mereka ingin jadi manusia? Kan enak bisa terbang." Seorang anak laki-laki, bertanya heran. Beberapa teman lainnya mengangguk setuju. Aku tersenyum geli.

"Kalian harus mensyukuri menjadi manusia. Karena manusia memiliki keunikan sendiri. Malaikat dan iblis ada di dalam diri manusia. Namun, seorang manusia memiliki kekuatan cinta untuk merubah diri mereka menjadi orang yang baik."

"Isabelle, jadi bagaimana Will dan Seraphine?" Seorang anak perempuan lain dengan bibir mengerucut lucu, bertanya penasaran, gara-gara anak laki-laki tadi menyela cerita.

"Tentu saja mereka berakhir bahagia selamanya. Seorang peri baik mendengar dan mengabulkan permohonan mereka. Will berlutut dan melamar Seraphine didepan rumah masa depan mereka di dunia manusia. Mereka menikah, memiliki anak-anak baik seperti kalian. Setelah meninggal, mereka kembali terlahir sebagai manusia untuk bertemu dan jatuh cinta kembali." Tanpa sadar mataku berkaca-kaca. "Karena cinta adalah ikatan kuat yang selalu mempertemukan kembali, tak peduli di kehidupan manapun. Hingga berabad-abad selanjutnya, Will dan Seraphine selalu hidup berbahagia."

Perasaan hangat mengalir di dadaku saat melihat anak-anak itu bersorak senang seperti mendapat hujan permen.

"Karena ini adalah fairytale. The End." Aku tersenyum lembut.

Setelah satu persatu anak-anak pulang dengan orang tua mereka, aku menatap kembali buku di pangkuanku. Tersenyum melihat ilustrasi seorang gadis berambut pirang dan pemuda berambut ash-brown dengan mata abu-abu. Mereka saling menatap dan menautkan tangan.

And they live happily ever after. Hanya kalimat itu yang ada di halaman terakhir.

Namun, kenyataan di dunia ini tidak semua hal berakhir bahagia. Ada kehilangan, ada kematian dan perpisahan. Tidak ada ibu peri yang memberikan kehidupan bahagia selama-lamanya. Fairytale hanya untuk memberikan harapan pada anak-anak di tengah dunia yang kelam ini.

Seperti aku membuat fairytale ini untuk memberi harapan pada diriku sendiri. Bahwa suatu saat nanti akan ada mentari yang muncul ditengah awan gelap.

Hari terus berganti sejak terakhir kali kita berpisah.

Matahari terbit dan tenggelam seolah tak ada yang berubah.

Begitu pula langit biru yang terlihat tenang.

Dunia masih terlihat sama, namun kau tak lagi ada didalamnya, Will.

Selama matahari masih terbit, perasaan cintaku padamu akan selalu sama.


Author's note: Kira-kira part selanjutnya epilog atau masih lanjut? ;;) 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro