Part 6: Spark of Destiny

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum turun dari mobil, aku memastikan lagi kalau aku berada diluar gedung apartement yang tepat. Aku melihat alamat yang tertera di kartu undangan pesta simple khas para remaja C.D.I The Luxury Apartment's Penthouse. 90nd floor, lalu mendongak ke arah papan nama elegant di dekat pintu utamanya. Sebenarnya aku nggak yakin Lizzie diundang ke pesta di apartement mewah dan elite begini.

kata-kata Auntie Charlene terngiang kembali: Kalau malam ini kau tidak bisa membawa sepupumu yang gila pesta itu pulang, aku terpaksa harus memulangkanmu lagi ke ibumu agar tidak terpengaruh dengan tabiat pergaulannya yang jelek. Ancaman dipulangkan adalah ancaman paling mengerikan nomor satu bagiku. Aku tidak ingin kembali ke rumah itu untuk suatu alasan yang kuat.

Akhirnya aku membuka pintu mobil dan keluar, memberikan kunci mobil pada petugas Vallet service. Aku mencoba melihat pakaianku sendiri. Flare dress simple selutut dan sepatu berhak model suede pumps. Kau baik-baik saja Isabelle, batinku meyakinkan diri. Kuharap bajuku tidak terlihat seperti baju tidur diantara baju orang-orang yang berseliweran didalam sana.

Beberapa saat kemudian, aku sudah melenggang mengarungi lobby besar yang mewah. Parfum elegan dan segar langsung melingkupi. Aku berusaha berjalan dengan percaya diri saat beberapa tante-tante modis melirik kearahku. Bahkan, si pegawai resepsionis gatal ingin mengamatiku dari ujung kepala sampai kaki.

"Aku ingin menghadiri pesta ini. Bisa tolong tunjukkan arah menuju penthouse?" tanyaku sambil menyodorkan undangan pesta Lizzie yang tertinggal. 

Ha! Sesaat tadi aku merasa menang ketika menemukan Lizzie meninggalkan undangannya, tiket masukku di pesta asing ini.

"Penthouse?" resepsionis itu tampak sedikit ragu-ragu. "Well, memang ada pesta disana. Security dibalik pos itu akan menunjukkan jalannya padamu," lanjutnya lagi, seolah berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Aku mengerutkan kening bingung melihat ekspresinya. Apa yang ia takutkan?

Sekali lagi, si security mengecek keaslian undanganku, mengamatiku lekat-lekat dengan pandangan mata khas security aku-galak-jadi-jangan-macam-macam, berusaha melihat apakah kira-kira aku memiliki kecenderungan akan melakukan kriminalitas atau tidak. Tampaknya pesta ini sangat private.

"Nama?" tanyanya, masih dengan pandangan mata yang sama. O-oh ini gawat. Otakku segera melakukan spekulasi. Kalau aku menyebutkan namaku, dan ia melakukan cross check, aku akan ketahuan. Bad ending. Tapi, jika aku menyebutkan nama Lizzie─dengan taruhan berbahaya ia belum mendaftarkan namanya, maka aku bisa lolos karena nama Lizzie memang sudah ada di list undangan. Hmm..better?

Sambil finger cross dibalik punggung, aku menyebutkan nama Lizzie. "Ehm, Elizabeth─Oh maksudku Natasha Whitfield." Jantungku berdebar-debar. Hampir saja melakukan kesalahan. "Elizabeth adalah nama tengah yang jarang kupakai," kataku sambil memaksakan senyum manis, berusaha meredakan tatapan curiganya.

Aku lupa kalau Lizzie tidak biasa menggunakan nama tengahnya─Elizabeth, dalam urusan sehari-hari. Ia membiarkan hanya keluarganya saja yang memanggilnya Elizabeth, dan khusus aku, Lizzie. Si security memandangku sambil memicingkan mata sekarang, lalu kembali ke papan jepit yang ia pegang.

"Ok, namamu terdaftar disini," katanya. Jadi, dari tadi ia tidak men-checklist siapa yang sudah hadir? Dalam hati aku merosot lega.

Setelah mendengar instruksi menuju penthouse, aku berterima kasih sesopan mungkin dan langsung menyingkir. Mengikuti arahan security tadi, aku sampai di lorong buntu dan berbentuk U. Aku menuju lift tengah diujung lorong yang tampak dibuat berbeda dari yang lain. Kesimpulanku, siapapun pemilik penthouse itu, ia pasti anak konglomerat kota New York.

Begitu aku menekan tombol 'up', pintu lift langsung terbuka tanpa menunggu. Aku mengingatkan diriku kalau ini lift khusus, akses pribadi menuju penthouse. Aku menekan satu-satunya nomor yang ada, nomor 90, lantai paling atas. Hanya dalam beberapa detik saja, aku langsung terpesona dengan lift ini, tidak seperti lift lain dalam gedung ini yang pernah kuingat, lift khusus tersebut memiliki dinding yang sepenuhnya kaca, jadi membawa efek seolah lift ini hanya terdiri dari atap dan lantai. Bagi orang yang takut ketinggian, kujamin akan langsung mual dan pusing begitu masuk didalam lift seperti ini. Tapi aku sebaliknya. Aku cinta ketinggian.

Seiring lift naik dengan sangat mulus, aku menikmati pemandangan ribuan lampu di gedung-gedung pencakar langit yang berhamburan di Manhattan, serta Hudson River yang semakin mengecil. Kacanya benar-benar dipoles bersih hingga membuat kesan seolah tak berdinding.

Lift berhenti dengan mulus dengan berdenting pelan. Aku mengira begitu pintu lift terbuka di sebuah foyer private, namun aku salah besar. Begitu pintu lift bergeser membuka, aku melangkah keluar dan mendapati sedang berada dalam lorong berdinding kaca dan beratap kaca dengan lantai marmer yang berkilau, bernuansa temaram dan modern. Beberapa dari dinding kaca itu merupakan jendela, jadi sewaktu-waktu bisa dibuka. Tapi saat ini semuanya ditutup untuk menghalau angin malam yang kencang, sebagi gantinya ada aliran udara dingin dari pendingin ruangan di dalam sini.

Lorong kaca itu terletak dihamparan taman rooftop yang dipenuhi lampu-lampu elegan dan kolam yang airnya tampak setenang kaca. Lorong ini memanjang, lalu berbelok kekanan, berakhir tepat di depan pintu masuk ke sebuah bangunan besar mirip mansion. Sebenarnya, bangunan itu lebih mirip disebut mansion modern yang dibangun diatas apartment termewah New York daripada disebut penthouse.

Saat aku menyusuri lorong kaca itu, rasanya seperti melewati lorong air SeaWorld dengan taburan bintang di atasnya, alih-alih air dan ikan. Pintu masuk penthouse ini sangat simple. Pintu kaca otomatis itu segera terbuka begitu aku mendekat.

Ada semacam resepsionis kecil didekat pintu masuk. Harum pewangi ruangan yang soft dan segar segera menghambur disekelilingku. 2 orang satpam berdiri sediam patung di samping kanan kiri pintu, bahkan tidak menoleh ke arahku. Siapa sih yang tinggal disini? Sekilas, saat aku melewati pintu utama, ada plat aclyric yang terpasang disamping pintu. Castrum.de.Inferno. Nama yang menarik untuk sebuah penthouse, pikirku mengartikan kata-kata dalam bahasa latin itu sambil mengangkat alis.

Setelah melewati foyer yang mewah, Aku sedikit ragu untuk melangkah lebih jauh. Sepi sekali, pikirku. Aku mengerutkan kening. Aku nggak nyasar kan?  Tangga putih dari pualam tanpa pegangan, menyambutku. Anak tangganya seolah melayang. Begitu aku menginjak anak tangga pertama, lampu-lampu dibawahnya menyala otomatis. Great! Tangganya menyabang ke kanan dan kiri. Lampu-lampu otomatis itu terus menyala hingga ke anak tangga paling atas. Jadi, kanan atau kiri? Keduanya tampak mengarah ke lorong yang identik. Apa aku seharusnya bertanya pada si satpam patung tadi? Entah ia bisa mendengar dan berbicara atau tidak. Ketakutan mulai merayapiku. Apa aku benar-benar berada di tempat yang tepat?

Akhirnya aku memilih untuk naik ke arah kiri.

Lagi-lagi, ruangan luas ini tampak sepi. Ada lorong sempit pendek dengan lampu-lampu kuning kecil yang menyorot keatas, sebelum membuka ke ruang duduk luas dengan langit-langit tinggi dan pemandangan malam New York City yang mengagumkan.

Ruang duduk itu remang-remang. Kilauan lampu-lampu di luar memancar masuk dari jendela kaca besar yang dipasang dari langit-langit hingga kelantai. Oke, aku mulai merasa seperti maling yang mengendap-endap di rumah orang. Untuk sesaat aku memutuskan untuk berhenti dan mengirim chat ke Lizzie. Kau dimana?! Aku sudah ada ditempat pestamu. (rasanya sih, aku tidak terlalu yakin sekarang) langsung hubungi aku begitu kau mendapat pesan ini. ASAP! aku tidak berani melanjutkan ke arah ruangan setelah ruang duduk berdinding kaca ini. Ada beberapa pintu dikejauhan, entah menuju kemana. Lebih baik diam disini sambil menunggu kabar dari Lizzie. Feeling kesasarku semakin menguat. Benar-benar terlalu sepi untuk tempat pesta dan terlalu remang-remang.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara pintu dibuka. Gawat! Secara otomatis, insting menyuruhku bersembunyi. Aku melihat meja hiasan tinggi yang dirapatkan ke tembok, tanpa pikir panjang, aku menjadikan meja itu sebagai penghalang antara aku dan siapapun penghuni penthouse ini.

Begitu aku berjongkok meringkuk di samping meja, aku langsung menyadari tindakanku ini benar-benar seperti maling. Apa yang sebenarnya kau lakukan Isabelle!? Mengutuki diri sendiri. Sekarang, aku yakin seratus persen aku kesasar! Akumeringkuk sambil berdoa dalam hati semoga si siluet kembali masuk ke ruangannya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. O-Oh! Tamatlah riwayatku.

***

Tangan Will terhenti saat air sudah mengisi gelasnya separuh penuh. Ia menelengkan kepala sambil berkonsentrasi. Rasanya ia mendengar suara seseorang menarik nafas dengan tajam. Sudah cukup buruk bahwa peredam suara di ballroom tidak bisa menahan suara music hingga tidak terdengar oleh telinganya yang berkemampuan diatas normal. Sekarang, apa salah satu tamu Kyle menyusup ke kawasan tempat tinggal privatenya?

Will meletakkan kembali gelasnya yang separuh penuh di meja kitchen island, lalu ia berjalan menuju ruang duduk dikejauhan. Ia hanya menyalakan beberapa lampu kecil dan lampu meja di ruang duduk. Bahkan di pantry ini ia hanya menyalakan satu lampu yang berada tepat diatas kitchen island. Tapi itu sudah cukup terang baginya. Bahkan dalam keadaan tanpa lampu pun, ia masih bisa melihat. Ia mulai melangkah ke ruang duduk sambil memperluas pendengarannya.

Tiba-tiba, matanya tertuju ke lorong sempit yang mengarah ke tangga. Si penyelundup pasti bersembunyi disana, pikir Will sambil tersenyum puas. Ia akan segera membereskan tamu yang sedang salah arah ini. Sambil berjalan ke arah lorong, Will meraup remote kecil yang berfungsi menyalakan lampu-lampu.

"Aku tahu kau bersembunyi di sisi lain meja itu," kata Will. Pelan-pelan, gadis itu berdiri sekitar 2 meter darinya. Ia menutupi wajahnya dengan tas, dan diam-diam mencuri pandang kearahnya. Will menyipitkan mata berusaha melihat wajahnya, beberapa saat kemudian seorang lagi muncul dari balik meja itu juga. Raut penasaran Will berubah menjadi senyum masam. Ia menyandar ke meja sambil bersedekap, menekan tombol untuk menyalakan semua lampu diruangan ini.

"Bernard, sebaiknya kau mengajak Natasha berpacaran di tempat lain. Jangan mengganggu kediaman privateku. Kurasa aku sudah menekankan point ini dengan baik," kata Will.

"Sorry, tapi tempat pesta sudah terlalu berisik," kata Natasha sambil meringis.

"Itu bukan urusanku," kata Will sambil mengangkat bahu dengan tampang tak bersalah. "Well, Bernard?" Will berkata lagi penuh penekanan. Ia mengangkat alis seolah berarti: kenapa kau masih diam disini?

"Oke, oke, aku mengerti," kata Bernard akhirnya. Menyerah. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia mendegar suara jeritan tertahan.

"Kau membawa tamu tambahan?" tuntut Will

"Tidak. Sungguh," kata Bernard sambil mengangkat kedua tangannya, tanda tidak bersalah. Will mengerutkan kening dan menoleh ke lorong seberang yang hampir identik. 

  ***  

"Hmph!" Aku menjerit tertahan saat seseorang tiba-tiba membekap mulutku dari belakang.

"Aku tidak ingat pernah mengundangmu," bisik seorang cowok dibelakangku, tanpa menoleh aku tahu ia sedang tersenyum jahil. "Apa kau mengendap-endap disini untuk berduaan denganku? Kalau kau tetap diam, Will tidak─Auw!" Spontan, aku menyodok perutnya dengan siku ku, rasanya seperti menghantam karet keras. Aku melonjak berdiri memandang si pelaku, seorang pemuda yang terlihat ramping dan atletis berdiri disana sambil mengulas senyum miring. Dalam sekali lihat aku tahu ia adalah tipe cowok playboy tampan dan keren yang membuat cewek-cewek di sekolahnya tergila-gila.

"Ternyata kau cantik juga," sahutnya.

"Kau─!" teriakku, tanpa sadar ada 3 pasang mata yang telah memperhatikan di seberang sana.

"Isabelle?" Seru seseorang diseberang, membuatku langsung berpaling. Lizzie berdiri disana bersama seorang cowok disebelahnya. Seorang lagi berdiri sedikit dibelakang mereka, entah hanya perasaanku atau bukan, seolah mengamatiku lekat-lekat. "Apa yang kau lakukan dengan Kyle?" tanyanya lagi, bergantian menatapku dan cowok tadi dengan bingung.

"Apa?" seruku sama bingungnya. "Tunggu, situasinya tidak seperti yang kau bayangkan," jawabku, akhirnya menyadari situasi ini jadi sangat aneh. Semua menatap kearahku, menunggu jawaban. Aku mendengar cowok tadi─Kyle, tertawa pelan lalu berjalan kearah mereka.

"Aku menemukannya mengendap-endap dan bersembunyi dibalik meja. Will, jangan salahkan aku, dia bukan tamuku," jelas Kyle, tidak memperbaiki situasi aneh ini. "Jadi, kau yang mengajaknya kemari?" tanyanya pada Lizzie.

"Tidak," Lizzie memandangku lagi.

"Begini, aku kesini untuk menjemputmu pulang," kataku sambil berjalan kearah mereka.

"Ini bahkan belum jam─"

"Kau harus pulang sekarang atau aku yang akan dipulangkan oleh ibumu," ujarku, dengan tatapan memaksa dan memohon sekaligus. "Dan, karena kau tidak menjawab ponselmu, aku mengira aku tersesat dan inilah yang terjadi," jelasku.

"Aku tidak peduli apa alasanmu, tapi kau sudah masuk kesini tanpa diundang," sela cowok yang sejak tadi berdiri mengamati di belakang, akhirnya ia melangkah maju, berhenti tepat dihadapanku. 

Aku menyadari tinggiku tidak lebih dari telinganya, perawakannya hampir sama dengan si playboy─Kyle, ramping dan atletis. Tepat seperti cowok yang akan kau temukan saat melihat model dari merk berkelas. Dan yang paling menyita perhatian adalah wajah tampannya yang terkesan cuek. Tipe yang akan membuatmu mematung terpesona.

Tatapan matanya yang berwarna gelap memindaiku seolah bisa menembus melihat isi pikiranku. Apakah irisnya berwarna abu-abu gelap hampir hitam dengan semburat merah..?─Tunggu, merah?! Hal itu akhirnya membuatku tersentak dan menyadari aku belum menanggapi perkataannya.

"Aku hanya berniat membawa sepupuku pulang, tidak mengganggumu sama sekali. Lagipula, satpam mu didepan tidak melarangku masuk," kataku, masih tak bisa lepas memandangnya. Auranya seolah bisa menarik orang lain hingga terjerumus. Ia mengangkat alisnya setelah mendengar perkataanku, telihat heran.

"Satpam..?" gumamnya.

"Will punya satpam disini..?" tanya cowok yang berdiri disamping Lizzie. Jadi, si tuan rumah ini namanya Will.

"Ehm, mungkin maksudnya security gedung," sahut Kyle.

"Bagaimanapun, aku sudah menemukan sepupuku, jadi aku akan pulang sekarang. Maaf, kalau kau merasa terganggu, aku nggak bermaksud mengacau," ujarku cepat-cepat menyambar tangan Lizzie, tak peduli sepupuku itu meminta tambahan waktu setengah jam bahkan 5 menit sekalipun. Akhirnya ia menyerah dan berpamitan.

Sesampainya di mobil, aku menarik nafas dalam-dalam menenangkan diriku. Sudahlah, lupakan kejadian tadi, lagipula aku nggak akan ketemu mereka lagi, batinku.

"Apa-apaan itu tadi? Kau benar-benar kesini untuk menjemputku? Atau jangan-jangan kamu dan Kyle backstreet?" cecar Lizzie.

"Aku bahkan baru mendengar namanya tadi." Aku memutar bola mata. "Itu tadi pacamu?" tanyaku balik

"Bernard? Yah, kami baru jadian," jawab Lizzie malu-malu. "Jangan bilang Mom!" ancamnya.

"Ya,ya," jawabku asal.

"Aku akan mengenalkanmu pada Bernard besok," kata Lizzie sambil memasang seat-belt.

"Kita mau kemana besok?"

"Di sekolah, Isabelle. Besok adalah hari pertama kau pindah ke sekolahku, ingat? Kau akan sering bertemu mereka, karena mereka teman-teman Bernard. Kau sudah kenal Kyle, sepertinya. Yang tinggal di penthouse itu Will, ia sedikit cuek jadi aku tidak terlalu dekat dengannya...." Lizzie masih terus berceloteh tentang mereka, sementara aku merasa baru dihempas dari ketinggian oleh rasa shock. Astaga, aku akan bertemu mereka lagi.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro