23. Keributan Carissa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Liora membasuh wajahnya dengan air dingin. Amarah memenuhi dadanya meski seharusnya ia sudah melenyapkan semua jenis emosi itu dari hatinya. Semua antara dirinya dan Daniel tak perlu melibatkan perasaan.

Butuh beberapa kali mengembuskan napas untuk mengembalikan ketenangan hatinya. Sebelum melangkah keluar dari kamar mandi dan bergabung bersama Jerome dan Jenna. Axel, Alexa, dan Xiu waktunya istirahat dan makan siang. Jerome jelas berperan aktif mengurus kebutuhan ketiga bayi mereka, sementara Jenna mulai terlihat kelelahan. Wajah adiknya tampak pucat.

"Ada apa?" tanya Liora ketika melihat adiknya yang baru keluar dari kamar mandi di samping area dapur. Menyusap bibir yang masih basah.

Jenna hanya menggeleng. Menghela napas kemudian membanting tubuhnya di sofa. "Akhir-akhir ini badanku lebih cepat lemas. Sepertinya terlalu banyak pikiran."

"Kau sudah melewatkan haidmu?"

Jenna seketika terdiam, tampak menghitung dan matanya melebar. "M-mungkinkah?"

"Ck, kau bahkan tidak memakai kontrasepsi apa pun. Aku yakin Jerome juga. Pria hanya tahu kesenangan saja. Seharusnya kau sudah memperkirakan hal semacam ini, Jenna."

Mata Jenna terpejam. "Sekarang benar-benar bukan saat yang tepat untuk hamil."

"Siapa yang hamil?" Jerome melangkah masuk ke dalam ruang santai. Matanya langsung mengarah pada Jenna dengan kecurigaan yang dalam. "Kau?"

Tubuh Jenna seketika menegang, melirik ke arah Liora untuk meminta bantuan.

"Tidak ada. Kami hanya bicara saja." Liora mengambil alih jawaban. Tak sepenuhnya berbohong. Belum pasti juga Jenna hamil meski haid adiknya belum dalam bulan ini. Bisa saja pengaruh stress dan kelelahan.

"Kau yakin?" Jerome duduk di samping Jenna, merangkulkan lengannya di pundak sang istri.

Jenna mengangguk. "Kenapa aku harus menyembunyikan hal sebesar ini darimu?" Suaranya keluar seperti yang diharapkannya.

Jerome mengangguk singkat dan mendaratkan kecupan singkat di kening sang istri. Sementara Ljora menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Wajah Jenna tampak pucat, meski ia memiliki kecurigaan tersebut, sepertinya adiknya sedang memiliki masalah lainnya. Tampaknya Jennifer dan Monica semakin gencar mengganggu sang adik. Ck, dasar wanita-wanita licik.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam ketika mobil Jerome berhenti di depan teras gedung apartemen. Xiu sudah terlelap dalam gendongan Daniel, sementara Liora mengambil tas bepergian di bagasi.

"Berikan padaku." Daniel mengambil tas tersebut dari tangan Liora. Kemudian berbalik dan melangkah ke dalam pintu lobi lebih dulu.

"Ck, dia terlihat seperti suami yang penuh perhatian," decak Jenna kesal. "Pergilah. Sebelum Xiu dibawa lari. Siapa yang tahu kelicikannya, kan?"

Liora terkekeh. "Aku tak tahu kau bisa bercanda, Jenna."

"Aku tidak bercanda," delik Jenna. "Dia dan Jerome sama berengseknya. Hanya saja, Jerome lebih setia."

Liora memutar mata dengan jengah. Tak bisa membantah dan sekaligus lega setidaknya Jerome lah yang menjadi pasangan Jenna. "Aku pergi dulu," ucapnya kemudian memeluk sang adik dan bergegas menyusul Daniel, yang ternyata menunggunya di depan lift.

"Merencanakan sesuatu dengan adikmu?" dengus Daniel begitu pintu lift tertutup dan membawa mereka ke lantai paling atas gedung.

Liora tak menjawab, hanya membuang muka dan mempertahankan keheningan hingga sampai di dalam apartemen. Daniel membawa Xiu ke kamar bayi dan Liora membawa tas ke ruang cuci. Ingin melihat putrinya sejenak, tetapi segera menunda keinginannya karena tak ingin bertatap muka dengan Daniel. Ia pun langsung ke kamar dan membersihkan diri di kamar mandi.

Lima belas menit kemudian ia keluar dan terperanjat melihat Daniel yang berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam.

"Bangun, Daniel." Liora menggoyang kaki Daniel yang menjuntai ke lantai. "Kau harus pulang."

Daniel masih enggan membuka matanya. Membuat Liora semakin kuat menggoyang kaki pria itu. Kali ini Daniel terbangun, tapi langsung menangkap tangan Liora dan menarik tubuh wanita itu hingga jatuh di atas tubuhnya.

Liora menjerit, wajahnya membentur dada Daniel dan segera menarik tubuhnya. Namun kedua lengannya ditahan oleh pria itu. "Lepaskan, Daniel."

Daniel menyeringai sambil membuka matanya. "Kenapa? Kau tidak merindukan momen ini?"

Wajah Liora mengeras. Semakin kuat menarik tubuhnya dari atas Daniel.

"Kau tahu aku bisa melakukan apa pun padamu, Liora. Aku berhak atas dirimu. Jadi jangan tampakkan penolakanmu begitu jelas. Membuatku semakin ingin melakukan apa pun yang kuinginkan darimu."

"Kau tidak berhak."

"Kau istriku."

"Itu tak lebih dari status di atas kertas."

"Kau berjalan sejauh ini karena Xiu kan? Kenapa hanya sebatas ini? Kenapa pengorbananmu hanya setengah-setengah?"

Wajah Liora semakin mengeras. Kedua lenganya meronta lebih keras. Tetapi kekuatannya jelas tak sebanding dengan kekuatan pria milik Daniel. Dan sialan, pria itu bersikeras menahan tubuh mereka tetap saling menempel. "Kau benar-benar egois yang serakah, Daniel. Berapa banyak lagi yang kau inginkan dariku?"

"Semuanya." Tak ada keraguan sedikit pun di kedua mata Daniel.

Bibir Liora menipis,

"Kenapa? Kau merasa ragu untuk dirimu sendiri?"

"Apakah ini tujuanmu datang kembali?"

Tatapan Daniel lebih dalam dan tajam saat menjawab, "Ya."

Liora menggigit bibir bagian dalamnya. Tubuhnya dibanting ke samping dan Daniel merangkak naik ke atas tubuhnya. Menangkap bibirnya dan melumatnya. Hatinya terasa terperas merasakan ciuman pria itu. Marah, kecewa, dan muak.

Daniel bisa merasakan kelembutan bibir Liora yang begitu dirindukannya. Sentuhan itu tak pernah cukup dan ia semakin dibuat frustrasi dengan sikap Liora yang sama sekali tak membalas ciumannya. Sama sekali tak bereaksi dan diam membeku seperti boneka.

Menggeram marah, Daniel mendorong tubuhnya menjauh dari Liora. Dan dengan napas terengah oleh gairahnya yang sudah terlanjur terpancing tapi tak bisa terpuaskan. Menatap tubuh Liora yang masih membeku di tempat tidur. Sama sekali tak bergerak meski tatapannya mengarah lurus padanya. Wanita itu tahu benar cara mengusik egonya sebagai seorang pria. Ya, tak bisa dipungkiri, Liora tahu bagaimana mempermainkan tubuhnya. Pikiran juga perasaannya.

Liora masih bergeming, kemarahan yang tersirat dari wajah Daniel tentu sama besarnya dengan apa yang ia rasakan. Kedua saling pandang dalam ketegangan yang maksimal. Ia sudah berpikir Daniel akan tetap menyentuhnya dengan paksa demi mengembalikan ego pria itu yang berhasil ia gores. Ia tak peduli. Biarkan pria itu menghancurkan dirinya. Hingga menjadi serpihan tak berbentuk yang diterjang ombak. Namun, tiba-tiba pria itu bergerak turun dan berjalan ke arah kamar mandi.

Liora berdecih dalam hati. Rupanya pria itu masih memiliki sedikit nurani. Pikiran itu hanya bertahan sampai Daniel keluar. Dan memang tak seharusnya ia berharap lebih banyak. Ketika Daniel keluar, pria itu memutuskan tidur di apartemen ini. Di tempat tidur ini.

"Kenapa? Karena aku masih mempengaruhimu? Sehingga begitu mengganggu jika aku tidur di tempat tidur yang sama denganmu?" ucap pria itu saat Liora beranjak menuju pintu dan berniat tidur di sofa di kamar Xiu.

Wajah Liora memias. Ya, bayangan ketika Carissa dan Daniel berbagi tempat tidur yang sama, sebelum kemudian pria itu naik ke tempat tidurnya tentu saja membuat perasaannya terganggu. Lebih dari itu, semua itu mengingatkannya akan pengkhianat Daniel yang berdampak lebih besar di hatinya lebih besar dari yang ia perkirakan.

"Tidurlah. Atau aku yang akan menidurimu di tempat tidur ini. Dengan atau tanpa kerelaanmu, kau tahu aku bisa mendapatkannya darimu, kan? Jangan menguji kesabaranku lebih banyak dari ini."

Genggaman tangan Liora yang hendak memutar gagang pintu tertahan. Ia bisa merasakan kemarahan yang teredam di balik suara dingin Daniel. Tahu bukan pilihan yang tepat untuk menyinggung ego pria itu lebih banyak lagi meski dorongan itu terasa lebih kuat.

Liora pun melepaskan gagang pintu dan mendekati tempat tidur. Berbaring miring memunggungi posisi Daniel yang di sisi lain ranjang.

Sedangkan Daniel berbaring telentang setelah mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur, menatap langit-langit kamar dengan helaan napas panjang dan rendah. Menoleh ke samping dan menjadikan punggung Liora sebagai pemandangan pengantar tidur.

Wanita itu sudah kembali ke ranjangnya. Miliknya. Berada dalam pandangannya. Semua seolah telah kembali ke tempat seharusnya.

***

Suara ribut-ribut dari arah luar kamar membangunkan Liora. Mata wanita itu bergerak-gerak perlahan dan sepenuhnya terbangun.

"Di mana kamar wanita itu? Katakan padaku!" Kening Liora berkerut, mempertajam pendengarannya dan seketika melompat berdiri mengenali itu ada suara Carissa. Ia memutar kepalanya ke sisi ranjang, tak ada Daniel dan pintu kamar mandi tertutup. Juga suara gemericik air dari dalam menunjukkan posisi pria itu.

"Di mana?" Suara heels yang beradu dengan lantai terdengar semakin dekat. "Di sini?"

Liora melompat berdiri dan setengah berlari ke arah pintu. Membuka pintu tepat ketika Carissa hendak menyentuh gagang pintu. "Apa yang kau lakukan di sini, Carissa?" kesal Liora. Bukan cemas karena memergoki Daniel di tempat ini, tetapi lebih takut jika keributan ini sampai membangunkan Xiu. "Apa kau sudah gila?"

Carissa mendengus dengan keras. "Kau yang sudah gila!" Suaranya lebih keras dari suara Liora. Dengan kedua mata yang melotot penuh amarah. "Apa Daniel ada di sini? Di dalam kamar?"

"Urusanmu dengan Daniel. Kita berdua sama sekali tak memiliki urusan. Jadi jangan meluapkan amarahmu padaku untuk hal-hal yang dilakukan Daniel."

"Masih bisa kau berkata seperti itu? Kau mencuri suamiku."

Kedua mata Liora menajam. "Jangan mengatakan soal siapa mencuri milik siapa, Carissa. Terutama denganku. Kita berdua tahu kenapa harus ada hubungan sialan ini."

Carissa terdiam, tak sepatah kata pun berhasil keluar dari balasan Liora yang telak.

"Jika sekali lagi kau membuat keributan di tempat ini dan membangunkan putriku, percayalah aku bisa membuat rambut yang kau rawat sepenuh hati itu berhamburan di lantai."

"Kau mengancamku?" desis Carissa tak mau kalah.

"Ya, memang. Rupanya otakmu masih berpikir dengan baik."

Wajah Carissa semakin merah padam.

"Kau begitu kesal Daniel tidur di sini, tampaknya kau masih belum menyadari posisi kita berdua ya?"

"Aku istri pertamanya."

"Kau pikir aku peduli?"

"Kau tak lebih dari istri simpanannya, Liora. Kau yang tak menyadari posisimu."

Kata-kata Carissa berhasil mengena tepat di dada Liora, tetapi mustahil ia akan membiarkan Carissa mengetahui itu dan besar kepala. "Apa pun itu, kau pikir aku lebih peduli?"

Carissa semakin dongkol karena tak berhasil membuat Liora lebih emosi dibandingkan dirinya.

"Keluar!" Liora menunjuk ke arah pintu.

"Kau tak berhak mengusirku. Ini adalah apartemen Daniel. Kau yang menumpang …"

"Apa yang kau lakukan di sini, Carissa?" Desisan tajam Daniel dari arah belakang Liora membuat Carissa seketika membeku sekaligus memucat menangkap kegelapan di wajah pria itu.

Liora memutar tubuh ke arah Daniel dan berkata datar. "Apa pun masalah di antara kalian berdua, aku tak akan pernah ikut campur dan memang itu bukan urusanku. Hanya saja, bisakah kau menyelesaikannya di tempat lain? Di sini ada Xiu, dan kupikir ini bukan hal yang baik melihat kemarahan istri pertamamu yang meluap-luap."

Wajah Carissa semakin memucat karena kata-kata Liora berhasil membuat wajah Daniel semakin merah padam.

Liora pun meninggalkan keduanya menuju kamar Xiu. Memastikan putri kecilnya tidak terbangun karena keributan sialan ini.

Sementara Daniel menangkap lengan Carissa dan menyeret wanita itu ke arah pintu dengan kasar.

"S-sakit, Daniel," rengek Carissa, tak hanya pegangan Daniel yang menguat, tetapi juga langkah besar-besar pria itu yang membuatnya kesulitan menyesuaikan dan mempertahankan keseimbangan tubuhnya di atas heels 8 cmnya. Hampir terjerembab ke lantai ketika Daniel berhenti dan mendorong tubuhnya ke arah luar pintu apartemen.

"Kau hampir mematahkan lenganku, Daniel." Carissa mengelus lengannya yang memerah. "Kau benar-benar keterlaluan, Daniel."

"Lalu apa yang kau lakukan di sini?"

Carissa berhenti mengelus. Mengangkat wajah dan berhadapan dengan kemarahan Daniel. Tapi ia punya pembelaan diri. "Kau meninggalkanku di Maldives sendirian. Kau pikir aku tak berhak kesal padamu, hah?"

Daniel mendesah kesal. "Kau yang bilang tak ingin pulang lebih awal, kan?"

"Bukan berarti kau bisa pergi sendirian."

"Lalu? Kenapa kau datang ke tempat ini dan membuat keributan ini?"

Carissa mengerjapkan matanya.

"Urusanmu hanya denganku, Carissa." Sekali lagi memperingatkan peraturan dasar dalam hubungan mereka. "Jika kau menginjakkan kakimu di tempat ini ah tidak. Di gedung ini untuk hal sepeleh seperti ini dan mengganggu ketenangan anakku, sebaiknya kau tahu posisimu, Carissa."

"Aku istrimu."

"Bukan hanya kau," tandas Daniel mengoreksi. "Posisimu tak lebih tinggi dari Liora. Apa kau mengerti?"

Carissa tak membantah. Memaksa menutup mulut meski ingin membantah bahwa posisinya tak sama dengan Liora. Ia tak bisa disamakan dengan wanita murahan itu.

"Sebaiknya kau pergi."

Carissa semakin kesal. Tapi kemudian teringat sesuatu dan menahan lengan Daniel yang hendak masuk ke dalam apartemen. "Kakek tahu kalau kita sudah pulang."

Daniel menoleh.

"Dia ingin kita makan siang bersama. Hari ini."

Daniel terdiam. Jika sudah kakeknya yang disangkutkan, tentu ia tak punya pilihan untuk menolak kan. "Kau atur saja."

Carissa melepaskan pegangannya pada lengan pria itu. Menatap pintu yang dibanting di depannya. Merasa terhina sekaligus senang karena lagi-lagi bisa menggunakan nama sang kakek untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Ia merogoh ponselnya. Menghubungi panggilan nomor duanya. Tak butuh menunggu lama dan panggilannya langsung dijawab.

"Hallo, Kakek." Kekesalannya segera berubah menjadi senyum semringah.

"..."

"Ya, kami sudah pulang. Daniel ada urusan yang mendadak dan harus pulang."

"..."

"Apakah siang ini kakek ada acara? Kami ingin mengajak kakek makan siang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro