PP V | Karsa Bahari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karsa Bahari by Hilda Rosida

||

Kini bagiku, yang kumiliki tidak lebih penting daripada siapa yang berada dalam hidupku.

||

Selamat membaca, Fams!

Saat larut dalam sedih
Tak berhenti putari ini bumi
Saat gentar hela napas
Tak berhenti cepatkan laju masa

//

Aku lelah menangis semalaman. Air mataku pun sepertinya sudah capai untuk ke luar. Sampai suara dari kerongkongan saja tak terdengar sama sekali. Serak pun tidak.

Entah dorongan darimana, tanganku menggapai nakas di samping tempat tidur dan menarik laci kecil. Kelima pasukan kecil di tangan kanan mereba-raba dalam laci hendak mengambil sesuatu.

Dapat!

Lempengan besi persegi panjang kecil yang kedua sisinya masih tajam dan mengkilap. Ya, silet. Aku tidak ingat kapan terakhir kali menyimpan benda itu.

Pantatku kembali ke tempat semula. Duduk di lantai dengan punggung bersandar di pinggiran ranjang.

Aku menggoreskan silet tadi perlahan-lahan ke tangan kiri. Sedikit darah ke luar mengubah warna kulitku.

Tak sedikit pun aku merasakan apa-apa. Mungkin Indra perasaku sudah benar-benar mati.

Kembali kugoreskan lebih dalam untuk merasakan sakit di tangan. Namun, lagi-lagi tak ada yang kurasa.

Semakin dalam silet itu menembus kulitku. Semakin jelas pula gambaran pertengkaran orangtuaku beberapa hari lalu.

Waktu itu, sesampainya di rumah orangtuaku. Aku hendak memasuki kamar Mamah untuk menceritakan kesedihanku karena gagal lolos SBMPTN yang kedua kali.

Aku ingin menangis sejadinya saat mendapat pengumuman SBMPTN kala itu.

Celah pintu kamar mamahku terbuka sedikit. Belum juga aku melebarkannya, teriakan Papah memenuhi isi kamar mereka.

"MANA?! KAMU BILANG KALI INI DIA AKAN LOLOS. BUKTINYA?! HANYA OMONG KOSONG!"

Benda mati di sekitar Mamah menyaksikan cairan bening yang ke luar dari matanya.

"Pah ...."

Napas Papah masih memburu, terlihat jelas meski aku berada di belakang pintu. "Apa?! Mau membela anakmu itu lagi. Cukup, Mel! Aku muak."

"Pah, Kahwa sudah berusaha. Dia belajar selama ini. Dia mengeluarkan semua kemampuannya, dia menyempatkan untuk belajar di tengah kesibukannya bekerja. Dia sudah berusaha." Mamah terduduk lelah di ranjangnya. Ya, sepertinya.

Aku tidak dapat melihat jelas wajah Papah sekarang, karena posisinya membelakangiku—dan pintu kamar.

"Bodoh! Anak lain saja bisa dengan mudah lolos SNMPTN dan SBMPTN. Kenapa anak itu tidak? Dia sudah satu kali melewati SNM dan dua kali SBM. Seharusnya, ini mudah untuknya lolos.

"Ini juga gara-gara kamu, Mel. Seharusnya, kamu tidak membiarkan dia bekerja dan tinggal di sebuah indekos sendiri. Pasti dia tidak pernah benar-benar belajar. Omong kosong seseorang yang sudah bekerja mau belajar lagi. Sia-sia aku keluarkan uang banyak untuk biaya pendaftaran ini-itu tapi, ujungnya tidak ada yang lolos satu pun. Sepertinya dia sudah terlalu nyaman bekerja sebagai barista. Apa enaknya? Gaji kecil, banyak diremehkan orang-orang. Memalukan."

"Kamu tidak mengenal Kahwa lebih dekat. Seharusnya kamu memberikan dukungan kepada dia, bukan malah meremehkan anakmu sendir—"

"Kamu pikir, uang yang aku keluarkan bukan dukungan untuk dia, begitu?"

"Kenapa kamu selalu menjadikan uang sebagai tameng?! Tidak semuanya harus diukur dengan uang! Ti—"

"Tidak semuanya katamu? Sudah jelas semuanya mesti pakai uang! Uang yang kukeluarkan puluhan juta berakhir sia-sia di tangan Kahwa. Semua hanya berujung pada kegagalan. Dan sekarang, anak itu malah membuatku malu di hadapan rekan kerja. Lebih parahnya lagi, dia bekerja sebagai barista di kedai kopi bawahanku. Mau diletakan di mana mukaku?"

"Cukup! Kamu—"

Entah dari mana Papah mengetahui semua itu. Padahal, tak pernah sekali pun aku bercerita.

Aku sudah tidak kuat lagi. Kakiku berlari kencang menjauhi tempat ini. Salahku berada di sini. Seharusnya aku tidak ke sini dan mendengar semuanya. Bodoh!

Ya, aku memang bodoh. Sama seperti apa yang Papah ucapkan tadi. Semua benar.

Pandanganku buram. Dingin. Darah itu terus mengalir. Gelap. Silet itu terlepas dari tanganku. Sunyi. Tak ada suara apapun lagi.

—P e k a n  P e r t a m a—

Cahaya terang menusuk indra penglihatanku. Mengerjap-ngerjap, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.

Bau obat. Itu yang pertama kali tercium saat kesadaranku kembali.

"Lo udah siuman?"

Siapa itu? Asing.

Mataku kembali terpejam, kala benda bulat dingin menyentuh dadaku. Perempuan berjas putih yang meletakkannya di sana, kemudian berpindah ke tempat lain. Kesadaranku menghilang, lagi.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Aku pikir, setalah bangun akan berada di dunia lain. Nyatanya, masih di dunia yang sama. Huft.

Aku baru benar-benar sadar saat beberapa perawat mondar-mandir untuk memeriksa sekitar dua pasien yang ada di sebelah kiriku. Ini pasti rumah sakit.

Laki-laki asing tadi. Mataku terus memperhatikan gerak langkahnya, ia ke sini. "Gimana keadaan lo?"

Lo siapa?

Sial! Kenapa mulutku tidak terbuka?

"Nggak usah maksain kalau keadaan lo belum baik-baik aja. Lo istirahat aja dulu."

Dahinya mengernyit. "Lo heran sama gue? Atau merasa asing?"

Iya. Kepalaku mengangguk.

"Gue Karsa Bahari. Panggil aja Karsa. Gue nggak sengaja liat kamar lo yang gelap banget pas magrib kemarin, terus pintu kamar lo juga ngebuka. Gue penasaran, ya masuk aja. Bu Tika—ibu kos—ngijinin gue buat masuk juga. Terus kami kaget waktu nyalain lampu, taunya lo udah ngga sadarkan diri. Gue bawa ke rumah sakit, deh. Ditemenin Bu Tika."

Kenapa berhenti cerita? Ish, kenapa mulutku tak ingin terbuka, sih.

Jadi, dia yang menyelamatkanku. Oh, Tuhan. Kenapa Engkau malah mengirimkan malaikat baik hati ini saat aku tengah berkhianat pada-Mu?

Bodoh, Kahwa!

Dia tersenyum. "Gue nggak tau apa masalah yang sekarang lo hadepin. Tapi, gue yakin lo udah berusaha buat hadapain masalah lo itu dengan baik. Lo kecapaian, lebih baik istirahat dulu aja.

"Lo tahu kupu-kupu? Dia dulu harus lewati beberapa rintangan untuk menjadi dirinya sebelum 'dilihat' oleh manusia." Dia menyentuh punggung lenganku sebelum melanjutkan ucapannya.

"Lo, bisa lebih dari kupu-kupu itu. Percayalah. Enyahkan semua sedih lo. Lo pantas buat tersenyum and to be happier." Senyuman menutup kalimatnya.

Tangannya menyerahkan sebuah benda tipis. Itu ponselku, dia memasang earphone di sana dan menempelkan sebelah alat pendengar musik itu ke telingaku.

Hentikan tangismu
Berbinar matamu
Waktumu sangat terbatas

Hentikan tangismu
Hargai napasmu
Waktumu sangat terbatas

Aku belum pernah mendengar lagu ini. Namun, suara itu begitu kukenal. Tulus. Penyanyi favorit mamahku.

Beberapa lagunya tentang percintaan itu membuatku bosan. Akan tetapi, saat mendengar lagu ini, seperti ada gairah yang muncul dalam diriku.

Yang dicinta datang pergi
Tak terhindari tekanan hati
Lirih ajarkan kau bahagia
Waktu-waktu kian terasa berharga

Bibirku berkembang. Rasanya, jiwaku tenang mendengar suara penyanyi laki-laki bertubuh kekar ini.

Karsa mengeluarkan sesuatu dalam tasnya. Ia menyerahkan sebuah kotak yang ... lumayan berat.

"Jangan dibuka. Bukanya saat lo udah sembuh aja."

Waktu enggan menunggumu
Dunia terlalu ramai untuk manjakanmu
Lenyaplah semua sedihmu
Kau layak untuk terus... terus tersenyum

—P e k a n  P e r t a m a—


Luka yang kuciptakan sendiri di tangan kiri mulai mengering. Aku teringat Karsa.

Laki-laki itu ternyata seorang pegawai mini market di ujung gang indekos ini. Rumahnya jauh, makanya memutuskan untuk menyewa salah satu kamar di sini. Tepatnya, di depan kamarku.

Ah, semenjak Karsa menyelamatkan hidupku. Semua jadi berubah. Aku jadi lebih berani buat bicara sama Papah dan tidak memendam semuanya.

Aku berkata jujur pada Papah perihal tempatku bekerja, tempat les yang aku ikuti, tes SBM sampai tes Ujian Mandiri, dan lainnya.

Aku berhasil kuliah!

Itu baru satu.

Papah mengijinkanku bekerja sebagai barista!

Itu yang kedua.

Papah berjanji akan membuatkanku sebuah kedai kopi kecil.

And then, masih banyak lagi!

Kembali kulihat luka sayatan di tanganku. Aku membuka nakas dan mengambil sesuatu. Tidak, bukan silet kali ini.

Kotak berwarna cokelat kehitaman. Aku membuka kotak itu dan mengeluarkan beberapa spidol warna-warni. Ya, kotak itu pemberian Karsa.

Aku mengambil spidol merah muda, tangan kananku menggambar seekor kupu-kupu di tangan sebelahnya. Warna hijau untuk menggambar daun-daun. Biru untuk bunga-bunga. Ungu untuk kupu-kupu lagi. Dan beberapa warna lain yang memenuhi tanganku sampai bekas luka itu tak terlihat jelas.

Aku pernah melewati masa-masa tersulit dalam hidupku. Menyakiti diriku sendiri. Kemudian, seseorang datang menyadarkanku.

Tuhan mengirimkan malaikat penyelamat untukku, berwujud Karsa. Hanya rasa syukur yang bisa kuucap saat itu. Mungkin, kalau dia tidak hadir. Hari ini tidak akan pernah ada.

Karya Tulus bertajuk Lekas menjadi lagu kesukaanku dan sebagai pengingat, bahwa Tuhan pernah mengirimkan malaikat baik hati padaku. Karsa Bahari.

Hentikan tangismu berbinar matamu
Waktumu sangat terbatas
Hentikan tangismu hargai napasmu
Waktumu sangat terbatas

Deru mesin terdengar di lantai bawah indekos. Itu motor butut kesayangan Karsa! Aku berlari ke luar kamar dengan tangan yang masih memegang spidol.

Tap! Tap! Tap! Kakiku berhasil seimbang menuruni anak tangga.

Sesampainya di depan pintu, aku menyambut Karsa.

"Karsa!" Ia terkejut tapi, setelahnya tersenyum dan mendekat padaku.

"Hai! Baru balik? Gimana orang tua lo?"

Aku membalas senyumnya. "Ya, begitulah. Lihat ini,"—aku menunjukkan tangan kiri—"makasih spidolnya, aku buat sebagai pengganti silet. Hehe."

Dia mengusap kepalaku. "Kalau mau lagi, tinggal bilang aja."

Aku bertepuk tangan. "Yeay! Kamu bakal kasih lagi?"

Dia mengangguk dan melewatiku untuk memasuki indekos. "Ya, tapi bayar."

"Ish!" Dia terbahak.

"Karsa."

"Ya?" Dia berbalik dan mengangkat alis saat menatapku. Kaki kirinya berada di anak tangga kesatu.

"Aku lihat kamu murung." Aku menghampirinya setelah menutup pintu.

"Hm, gue sedih."

Kami berjalan beriringan menaiki anak tangga.

"Memangnya malaikat bisa sedih?"

"Uh?"

"Eh, maksudku. Kenapa kamu bersedih? Mau bercerita?"

"Ya. Jadi, gadis yang gue suka ... bohongin gue."

"Oh, ya? Membohongi soal apa memangnya?"

"Gue, minta nomor telepon dia dulu. Tapi, gue nggak berani hubungi dia waktu itu. Akhirnya cuma gue simpan dulu."

"Terus?" Kami berhenti di pintu kamar masing-masing.

"Terus. Tadi gue nyobain nomor itu. Tau pas gue coba telepon?"—aku menggeleng—"Yang angkat malah tukang sedot WC!"

"Ppfft." Jangan ketawa!

Lihat, dia melihatku sinis. Aduh, benar-benar kasihan sekali dia. "Sorry, sorry. Udah jangan sedih. Nih, dengerin lagu ini." Aku mengeraskan volume di handphone-ku agar dia mendengar lantunan merdu dari Tulus.

Lekas, lekas, lekas

Hentikan tangismu hargai napasmu
Waktumu sangat terbatas

Kini bagiku, yang kumiliki tidak lebih penting daripada siapa yang berada dalam hidupku. Aku selalu ingat kutipan ini. "It's not about what we have in life, but who we have it's all that matters"

Last but not least, Karsa Bahari adalah orang yang terpenting dalam hidupku sekarang dan sampai selamanya.

[]

—P e k a n  P e r t a m a—

Jangan lupa beri kritik dan saran, Fams~

Terima kasih.

Salam,
Idiot Watty Fams 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro