PP VI | Primordial Jenjam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Primordial Jenjam by Silvia Aurel

||

Jejak-jejak itu menjadi quasi
Mengitari tiap satuan edarnya
Mengais langkah demi asa yang tak pasti
Bertanya, kian apa yang ditempa

||

Selamat membaca, Fams!

Pola pikir mungkin adalah salah satu hal yang paling sulit diubah. Paradigma muncul sebab kebiasaan yang kadang tak dapat masuk ke nalar. Acap kali paradigma itu akan merugikan satu atau beberapa pihak yang terlibat. Tak jarang pula nurani terbutakan oleh paradigma umum di masyarakat.

Shaenette mengusap pangkal hidungnya ketika membaca jurnal-jurnal referensi untuk penelitiannya. Mengisi ruang hampa ini dengan suara mouse yang ia tekan berulang kali. Tenggat waktunya sebentar lagi, tapi karya tulis miliknya belum mencapai bagian penutup. Masih ada kesalahan pada latar belakang dan bagian isi. Shae merasa frustrasi dengan penelitiannya ini. Apa sekiranya sampai pola pikir itu belum dapat—bahkan terkesan mustahil—untuk diubah?

Pukul sudah lewat dari tengah malam, tapi tubuh ringkih itu masih bergelung dengan benda elektronik yang mungkin saja di suatu waktu nanti dapat memperpendek usianya. Pagelaran lomba karya tulis tinggal tiga minggu lagi batas maksimal untuk pengumpulan karya. Yang membuat Shae begitu rajinnya menarikan jemari di antara kotak-kotak hitam itu.

Segelas kopi lagi-lagi ia seduh beberapa saat lalu, asapnya sudah tak tampak lagi di muka. Suhu panasnya kini berpindah ke dalam otak Shae yang penat berpikir itu. Coretan dan lembaran kertas gagal muat tersebut memenuhi ruang kosong di meja belajarnya. Tempelan notes mulai dari perencanaan hingga penutup ia susun sampai ke dinding kamarnya.

Shae mengacak rambutnya lalu dengan begitu saja menegak kopi setelah sebelumnya ia pastikan bahwa kopi tersebut telah dingin. Tubuhnya dibanting ke atas kasur, lalu matanya terpejam dengan keadaan kamar yang tak manusiawi itu. Dengung kipas angin mengiringi mimpi kilat Shae.

—P e k a n  P e r t a m a—

Pagi datang lebih awal, begitu pula dengan mentari yang sudah tiba sinarnya sebelum pukul tujuh pagi. Berkas sinar menyela di antara kusen-kusen yang telah lapuk dimakan usia. Tak jauh berbeda dengan pagi, Shae terlihat lebih semangat daripada semalam yang terlihat seperti mayat hidup. Itu dikarenakan  hari ini Shae berencana untuk meminta tolong revisi dari guru bahasa Indonesia.

Sesampainya di sekolah Shae langsung menuju meja piket untuk meminta dispensasi sampai istirahat pertama nanti. Tak seperti biasanya, guru hari ini tidak mengizinkan Shae untuk menerima dispensasi.

"Tapi, Bu, saya biasanya langsung dikasih kok. Toh, penelitian saya ini juga nanti nanti sekolah 'kan?" Shae berkeras untuk tetap izin.

"Memangnya kamu meneliti apa?"

"Paradigma masyrakat yang salah."

Guru itu tersenyum, "Kamu saja mencerminkan sikap seperti itu, mau meneliti? Lebih baik kamu memperbaiki sikapmu dahulu."

"Tapi, Bu—"

"Masuk kelas atau saya panggil wali kelas kamu?!"

Shae dengan mau tak mau harus masuk kelas. Ia menjadi lesu, pikirannya selalu menghitung hari terakhir pengumpulan karya tulis. Sebelum masuk kelas, ia berpapasan dengan seorang perempuan yang menjadi rivalnya untuk paralel jurusan.

"Lesu banget, Shae!"

Shae mengabaikan ejekan yang dilempar oleh Fania tersebut. Ia memilih berjalan menuju kelasnya dan memasrahkan diri untuk revisi sehabis jam pelajaran usai.

Entah kebetulan atau apa, hari ini Shae baru mengingat bahwa kelasnya ada jam bahasa Indonesia. Ketika gurunya masuk, Shae langsung menghampiri sambil membawa setumpuk coretan hasil penelitiannya.

"Kamu meneliti paradigma masyarakat juga, Shae?" Itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan ketika membuka judul penelitian Shae. Shae mengernyit, merasa heran dengan kata "juga" yang diikutsertakan itu.

"Maksudnya, Bu?"

"Begini Shae, seminggu lalu Fania juga datang menghadap ke Ibu meminta perbaikan dengan judul penelitian yang sama seperti kamu."

Bagai disambar petir, badan Shae menegang, ia tersenyum miris, "Ini sedang bercanda ya?"

Guru Shae itu menunjukkan wajah tersinggung, "Bercanda bagaimana maksud kamu? Memang benar Fania yang lebih dahulu datang ke Ibu. Sekarang Ibu tanya, bagaimana bisa satu sekolah mengirim dua karya yang tidak jauh berbeda?"

Shae tertunduk, air di pelupuk matanya telah menggenang. Ia merasa dikhianati eh sseluruh waktu, tenaga, dan batin yang selama ini telah ia korbankan. Lalu, dengan begitu saja penelitian Shae ditutup oleh guru bahasa Indonesianya. Tanpa kompromi, tanpa negosiasi lanjut, Shae dipaksa mengikhlaskan semua jerih payahnya. Ia tertohok, berpikir bagaimana bisa karya tulis mereka sama? Ia yang berjuang keras mencari ide, tidak mungkin dapat sama seperti itu.

"Udah Shae, yang sabar. Mungkin aja LIPI ini bukan jalan lu."

Shae meringis mendengar perkataan sahabatnya itu.

"Sesak Grit, masa iya ide penelitian gue sama Fania bisa sama persis? Mustahil, dua anak kembar juga belum tentu punya pikiran yang sama, apalagi kami?"

Shae menatap langit sore yang cerah itu, hatinya kosong, merasa ia telah melakukan hal yang sia-sia.

"Penelitian lu berakhir, bukan berarti lomba KTI yang lain juga berakhir 'kan? Ayo semangat! Berhenti di sini bukan berarti bumi ini berhenti berputar untuk lu, Shae!"

"Gue udah nyerah, Grit."

Shae menatap kosong hamparan kapas putih itu, matanya mengerjap dan menangis dalam diam. Begini rasanya hancur? Melihat lawan kita menang di atas kita. Begini rasanya nestapa? Lebih sakit dari digores pisau.

"Shae, itu harusnya semakin kuat. Pantang menyerah, kalau lu nyerah, Fania semakin bahagia. Seperti lagi Tulus, berhenti nangis, lekas, karena waktu lu terbatas. Shae, seperti kata gue tadi, lu berhenti di sini bukan berarti bumi berhenti berputar untuk lu. Entah itu ide kalian yang kebetulan sama, atau Fania yang benar menyadur ide lu, lupakan sekarang! Karena, hal yang sudah lewat biarlah lewat, seperti motto gue kalau lagi ulangan. Pikirkan, kerjakan, lupakan! Lu juga harus gitu Shae, walau terdengar berat, lu harus hajar lagi untuk pengganti LIPI. Mungkin emang belum rezeki lu di sini, tapi siapa tahu ada di tempat lain, 'kan?"

Shaenette tersenyum, kembali menatap kumparan awan di langit, "Makasih, Grit," ucapnya sambil berbisik. Hatinya lebih lega, mungkin memang semua rasa sakit itu mengajarkan ia untuk lebih bahagia lagi, lebih mensyukuri hidup ini. Karena mau bagaimana pula, dunia ini masih berputar untuknya. Karena ia layak untuk mendapatkan senyum ini setiap hari.

Ternyata primordial jenjam dapat diraih setelah nestapa.

—P e k a n  P e r t a m a—


Primordial /pri·mor·di·al/ a 1 Bio termasuk dalam bentuk atau tingkatan yang paling awal; 2 paling dasar

Jenjam /jen·jam/ a tenang; aman (hati)

[]

Jangan lupa beri kritik dan saran, Fams~

Terima kasih.

Salam,
Idiot Watty Fams 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro