4. Membuka Kisah Lama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Sapa bapaknya Kembar, Ni?]

Agni semakin kalut. Kenapa Bara menanyakan lagi tentang ayah Kembar? Apa Bara tidak puas jawabannya? Lalu kenapa Bara repot sekali menanyakannya ketika selama ini Bara tak pernah peduli dengannya?

Agni tak menjawab. Ia sengaja mematikan gawainya saat gawainya berdering dan menunjukkan nama kontak Borokokok.

"Opo-opoan seh wong iki? Tujuh tahun ngilang, moro-moro datang terus kepo! Mbencekno tenan!" Agni menghentakkan kakinya ke lantai dengan kasar. Ia kesal sekali karena Bara menganggap ia murahan dan bisa mempunyai anak dari orang lain.

Tak ingin berlama-lama, Agni lantas meloncat turun dari kasur dan mendapati kedua anaknya masih di depan televisi sambil menikmati penganan oleh-oleh dari Bara.

"Kakak, Adek, buruan mandi. Nanti malam mau diajak Om Cakra makan malam." Agni keluar dari kamar dengan daster kebesarannya sambil mencepol rambutnya ke atas.

"Daddy ngajak makan malam?" tanya Raina dengan mata membulat dengan senyum lebar yang selalu mengingatkan Agni pada senyum mahal Bara.

"Om Cakra, Sayang." Agni membetulkan. Sejak Si Kembar tak memperoleh jawaban atas pertanyaan siapa papi mereka, Cakra memang secara tak langsung menjadi figur ayah bagi mereka dan anak-anak entah sejak kapan memanggil dengan sebutan 'Daddy'. Parahnya, Cakra tak pernah keberatan dengan sebutan itu.

"Daddy!" Raina mulai merajuk dengan bibir memberengut.

"Lah, Om Cakra kan bukan papi kalian," ujar Agni sembari mengambil bungkusan camilan kerupuk ikan yang ada di sofa.

"Lalu siapa papi kami?" sahut Raditya.

Pertanyaan anak laki-lakinya membuat Agni kalah telak. Raganya serasa membeku. Susah payah ia menelan ludahnya sendiri. Apakah sudah saatnya ia menceritakan siapa ayah Kembar?

Agni lantas duduk di tengah-tengah antara Raditya dan Raina. "Kalian punya Papi." Ia merangkul kedua anaknya.

"Siapa, Mi?" tanya Raina penuh harap.

"Namanya ... Bara. Bara Wisanggeni. Makanya kalian Mami kasih nama Raditya dan Raina yang artinya matahari, dari suku kata terakhir nama Papi." Suara Agni bergetar.

"Kami mau lihat mukanya." Raditya kembali menimpali.

"Kan sudah dibilang kalau foto-fotonya kebakar." Agni memang tak berbohong. Dulu, ia meninggalkan semua foto pernikahannya di rumah Yangkung. Dan, ketika ada suara wanita yang sangat ia kenal mengangkat telepon saat ia ingin memberi kabar kehamilannya pasca perceraian, Agni membakar semua foto pernikahan yang ada di rumah orangtuanya. Ia begitu marah karena semudah itu Bara berpaling setelah bercerai dengan meninggalkan benih yang sudah tumbuh menjadi janin di rahimnya.

"Terus Om tadi siapa, Mi?" Pertanyaan Raina yang selalu tak terduga terlontar dari mulut mungilnya.

Lidah Agni kaku. Matanya bergulir ke kanan kiri, resah. Tangan yang menjangkau keripik di dalam bungkus seolah berusaha meraup jawaban yang tepat atas pertanyaan anak perempuannya.

"Bentar, bentar. Kakak sepertinya pernah lihat Om tadi." Anak laki-laki berambut berombak berantakan itu mengernyit. "Di mana, ya?" Raditya mengetuk bibirnya dengan telunjuk berkuku hitam yang langsung diturunkan Agni.

Baru saja Agni akan membuka mulut mengalihkan topik ke kuku hitam Raditya agar segera dipotong, anak laki-lakinya itu sudah membuka suara lebih dulu. "Ah, iya! Om tadi persis yang ada di foto lama Mami ya?" Raditya sang pemerhati tiba-tiba menyeletuk.

"Foto lama?" Alis Agni mengernyit. Suaranya serak dihentak keterkejutan. Seingat Agni, tak ada lagi jejak-jejak kenangannya dengan Bara, mengingat Bara tak suka berfoto sejak dulu.

Raditya lalu meloncat turun dari sofa dan mengambil album foto masa kecil Agni di antara barisan album foto lainnya di rak buku. Setelah duduk lagi di sebelah kiri Agni, Radit membuka album itu dan menemukan satu foto Bara yang berusia tujuh belas tahun dan dirinya yang berusia tujuh tahun terselip di tengah. Saat itu, Mama sengaja memberikan kejutan berupa kue ulang tahun buatan sendiri untuk Bara.

"Yang ini." Raditya menunjuk di atas muka Bara yang masih terlihat kurus.

Agni meringis, melupakan album foto yang berjejer rapi di rak buku. Ternyata masih ada jejak Bara di rumah ini yang ia simpan. Ia benar-benar melupakan momen pesta kecil-kecilan yang dibuat Mama untuk Bara dalam rangka memperingati ulang tahun ketujuh belas diabadikan oleh Mama.

"Eh, Kak. Ini tulisannya di kue 'Bara Misanggeni' bukan?" Raina memekik, salah membaca huruf 'W' dan 'M'. "Jangan-jangan, Om tadi Papi!"

Jantung Agni seolah berhenti. Analisa kedua anaknya itu sangat di luar nalar. Bagaimana bisa mereka dengan tepat menyimpulkan? Anak berusia enam tahun itu berhasil menebak hanya dengan tiga petunjuk : wajah tamu asing, nama yang disebutkan Agni, dan foto lama yanh bahkan lama tak Agni jamah.

Agni berdecak, menyesal sudah menyebut nama Bara di depan Kembar. Ia yakin kedua anak itu akan merekamnya di dalam otak mereka.

"Apa iya?" Raditya sangsi. "Tapi, tadi pas Kakak main sepeda di ujung gang, Kakak kan digangguin sama anak-anak gang sebelah, dibilang anak ndak punya bapak, eh, Om itu datangin Kakak."

Telinga Agni berdenging. Dadanya semakin bergemuruh. "Datangin gimana?"

"Ya, marahin anak-anak yang bully Kakak. Trus Om itu nanya, kok anak-anak bilang gitu. Ya udah, Kakak bilang kami ndak tahu siapa papi kami." Raditya bercerita dengan santainya tanpa dosa. "Pas Kakak tanya Om tadi siapanya Mami, dia diem, terus jalan gitu masuk ke mobil."

Agni mengusap dahinya yang seketika berkeringat dingin. Ia lalu bangkit dan memutar badan menghadapi Raditya. "Kak, Mami kan udah pesen jangan ngomong sama orang asing!" seru Agni hingga wajahnya memerah.

"Kakak ngajak ngobrol karena Om tadi udah bantuin Kakak, Mi." Raditya memberi alibi. "Berarti dia baik. Trus katanya temennya Mami."

Napas Agni kembang kempis, tak bisa membantah alasan masuk akal putranya. Ia berkacak pinggang sambil menjambak rambutnya kesal. Pantas saja Bara mengirim pesan seperti itu!

"Kakak tanya namanya?" Agni bertanya dengan was-was.

Raditya menggeleng. "Ndak. Cuma tiba-tiba ingat pernah lihat di mana gitu waktu lihat wajahnya dalam jarak dekat. Terus barusan ingat kalau ada di foto ini."

"Berarti ini Papi?" tanya Raina lagi penuh harap.

Agni menoleh. Pikirannya kacau. Benar kata pepatah, sepandai-pandainya menutupi bangkai, baunya akan tercium juga. Dan, kebohongan yang ingin sekali Agni tutupi, pada akhirnya terbongkar bersamaan dengan kedatangan Bara tadi siang.

Pada akhirnya Agni mengalah. Ia memejamkan mata seraya mengangguk pelan. Melihat bahasa tubuh Agni, Raina memekik kencang. "Itu Papi, Kak! Tadi itu Papi! Papi kita ganteng banget ternyata!" Raina menghambur memeluk kembarannya.

"Beneran tadi itu Papi, Mi?" tanya Raditya masih tak percaya. Ia melepas rangkulan tangan Raina.

"Iya, Kak. Mami barusan ngangguk. Mukanya persis yang ada di foto ini. Trus namanya juga Bara!" Raina justru yang menjawab, meyakinkan Raditya yang masih melongo.

Raditya mengerjap. "Kita punya Papi? Om yang tadi? Tapi ... kok Mami malah nyuruh pergi? Trus kok Papi ndak kenal kita?"

Agni mengatur napasnya sekali lagi, menghadapi serentetan pertanyaan kritis anaknya yang sebentar lagi akan lulus TK. Ia berada di posisi antara kagum dan juga heran. Kagum dengan analisa yang tepat untuk anak sekecil itu, tapi juga heran apakah anak kecil yang lain juga sekritis itu.

"Itu ... " Agni buru-buru bangkit, mencegah pertanyaan yang sulit ia jawab. Tak mungkin ia memberitahu permasalahannya dengan Bara pada anak-anak yang masih kecil itu. "Ayo, mandi. Siap-siap. Mami mau keluar, ada acara." Ia memutuskan untuk menyudahi percakapan dan kemudian berbalik. Tapi saat akan mengayunkan langkah, wanita itu kembali menoleh ke belakang. "Kalian ... jangan cerita-cerita tentang Papi ke Om Cakra ya?"

"Kenapa?" tanya Raina yang hobi mempertanyakan alasan.

"Ya, karena ... ini rahasia. Ngerti?" ujar Agni sekenanya.

"Kenapa rahasia? Daddy kan teman kita." Raditya menimpali.

Agni mengembuskan udara kasar dari mulutnya. "Karena ... karena ...." Agni tak bisa mendapatkan alibi yang tepat dan akhirnya menyerah. "Ya pokoknya ga boleh cerita. Titik."

***

Pukul 18.30, Agni baru memarkirkan motor maticnya di parkiran hotel yang disebutkan Bara siang tadi. Ia tak lantas buru-buru karena memang sebenarnya ia enggan menemui Bara. Tapi karena sudah terlanjur berjanji, mau tak mau Agni berangkat juga.

Wanita itu membungkus badannya dengan blus putih tulang. Celana jeans ketat membalut kaki langsingnya. Tak lupa ia memakai sneakers pink kesukaannya yang ia beli dari hasil gaji pertamanya sebagai ASN lima tahun lalu. Ia berpikir tak perlu tampil berlebihan di depan Bara karena hanya Bara satu-satunya laki-laki yang tak pernah mengagumi kecantikannya.

Begitu kakinya menginjak lobi, embusan udara dingin menyapa kulit. Tapi bukan kesejukan yang Agni rasakan, melainkan wanita itu semakin gerah karena harus berhadapan kembali dengan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.

"Ni!" Panggilan itu menggema di salah satu ujung lobi.

Agni menoleh dan melihat Bara melambaikan tangannya. Tak ada senyum di wajah laki-laki itu dan Agni pun sudah terbiasa dengan wajah sepolos dinding.

Ayunan kaki Agni terasa berat. Seolah ia menginjak lumpur hisap yang akan menyedotnya kuat ke dalam pusaran kenestapaan baru. Bila bisa memilih, Agni ingin melarikan diri bersama anak-anaknya. Tapi, ia bukanlah Agni yang labil seperti dulu. Ia adalah wanita dewasa yang telah menjadi ibu. Apapun risikonya, ia akan menghadapi sendiri ayah dari anak-anaknya.

Pada akhirnya Agni berdiri di depan Bara yang masih duduk bersandar dengan wajah datar. Tangan laki-laki itu bersedekap, dengan tatapan tajam mengikuti gerak-gerik Agni.

"Duduk!" Tanpa basa-basi, Bara menggerakkan dagunya, menyuruh Agni duduk di kursi di depan Bara dengan dibatasi meja kaca bulat.

Maksud hati, Agni ingin menyalami Bara dulu sebagai bagian dari kesopanan, tapi niatnya ia urungkan mendapati reaksi Bara yang menyebalkan. Agni pun duduk dengan kasar di bangku plastik putih. Wajahnya yang sudah kusut semakin merengut. Ia mengangkat paha kanannya dan menumpukan di paha kirinya.

"Jadi, siapa bapak anak-anak itu?" Bara langsung menyela keheningan begitu Agni menempatkan diri di tempat duduknya.

Agni mendengkus. Rupanya keingintahuan Bara tak bisa lagi dibendung. "Menurut Mas?"

"Jawab, Ni! Tadi, anakmu di-bully sama anak-anak yang lebih gede dan kamu tahu jawabannya?"

Agni mengerjap. Kepalanya menggeleng. Raditya tak bercerita detail yang lain soal kejadian itu.

"Aku punya ayah! Papi kerja di Inggris!" Bara mendesis sembari mendekatkan tubuhnya dan mengetuk-ketukkan jari ke permukaan meja hingga sendok teh yang terbenam di cangkir berdenting. "Dan, kamu tahu, waktu anak-anak itu membalas bilang, 'bohong, mamamu ga duwe (punya) suami dan kamu ga duwe bapak', anak laki-lakimu dorong mereka sambil teriak, 'jangan ejek Mami'!"

Mata Agni terasa panas. Ia menunduk menyembunyikan kepedihannya. Raditya memang anak yang agresif. Bila ada yang menyinggung Raditya, apalagi yang berhubungan dengan Raina atau Agni, anak itu berani melawan habis-habisan.

Tangan Agni bertaut gelisah. Ia ingin menggigit kuku jempolnya. Tapi, ia tak ingin melakukannya di depan Bara.

"Akhirnya, aku samperi mereka dan aku marahi anak-anak pengganggu itu." Bara melanjutkan ceritanya. "Aku lalu tanya ke Radit, kenapa bisa diganggu anak-anak itu. Dan dia menceritakan kalau mereka sebenarnya ga ngerti siapa bapak mereka." Bara mengambil napas panjang. "Yang mereka tahu, bapak mereka kerja di Inggris dan ga pernah balik."

Bara menjeda ucapannya. Keheningan menyergap dan membuat telinga Agni riuh dengan dengingan. Walau suara-suara musik gamelan yang terdengar lirih menguasai ruangan, tapi Agni tak bisa menangkap suara apapun.

"Parahnya ...." Suara Bara tiba-tiba menabuh gendang telinga Agni, memecah denging yang memekakkan. "pas aku tahu siapa Daddy, ternyata ... Om Cakra!"

Agni merutuk dalam hati, mendengar Raditya menyebut nama Cakra. Namun, ia berusaha menguasai diri dan mengangkat wajahnya. "Jadi, apa mau Mas?" tanya Agni datar.

"Kembar anakku?" tanya Bara lagi dengan nada datar.

Agni berdecak dengan senyuman miring kesal. "Siapa bapaknya Kembar itu bukan urusan Mas!"

"Ni!" Geraman Bara terdengar mengancam.

"Mas, kita sudah cerai!" Agni mengingatkan.

"Tapi aku berhak tahu!" Mata Bara membeliak. "Lagian kita belum anulasi!"

Agni berdecak. Alasan itu membuatnya tak berkutik. "Apa Mas bakal percaya? Aku yakin Mas ga bakal percaya kalau aku bilang mereka anak Mas."

Bara mengacungkan telunjuknya sambil berayun naik turun. "Ya, aku ga gampang percaya dengan orang lain. Dan, aku paling percaya dengan penglihatanku sendiri. Jadi, kita tes DNA. Sampai hasilnya mereka adalah anakku, aku bakal ambil mereka!"

Agni menggeleng. Ada terselip nyeri di hatinya. Jujur ia kecewa karena Bara bahkan masih tak mempercayai Kembar adalah darah dagingnya. Kata-kata Bara sengaja menyindir kejadian malam itu. Malam di mana Bara mendapati ia dan Cakra di ranjang ruang tidur pribadi mereka. "Mas, please ... jangan gini! Mereka anakku! Aku ga iso urip tanpa mereka!"

"Kita tunggu hasilnya saja," ujar Bara dingin.

"Kok bisa sih Mas jadi sejahat ini? Mas Bara yang aku kenal dari kecil ...." Suara Agni perlahan serak dan bergetar. Ia mendongak demi supaya air matanya tidak menetes. "bahkan dari aku lahir ... walau memang ga pernah perhatian sama aku, tapi ga pernah suka lihat aku nangis. Walau Mas Bara suka bentak-bentak, tapi aku ngerti Mas Bara selalu baik." Bahu Agni bergetar. Susah payah ia mengatur napas supaya tidak menangis.

"Kenapa kamu salahin aku? Kamu harusnya intropeksi dengan kelakuanmu. Apakah pantas seorang istri berduaan di kamar ketika ga ada orang di rumah?" Bara mendesis. "Perempuan berbaring pasrah di ranjang, yang lakik duduk membungkuk siap menerkam. Apa itu bukan selingkuh namanya, Ni?"

💕Dee_ane💕

Hulla, Agni, Kembar, dan bapaknya datang lagi. Semoga selalu sehat yak ... Belum aku update di KK karena mau tamatin dulu Asmaraloka di sana. Cerita ini lagi woles updatenya jadi sabar aja.

Kasih jejak yak😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro