5. Family Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selepas pertemuannya dengan Agni yang justru membuat keruh suasana hati, Bara mengajak Jeremy untuk nongkrong di hik di dekat hotel. Dengan suguhan sate kerang, sate usus, dan jadah bakar ditemani segelas es teh manis mondo (setengah manis) dengan sensasi rasa yang pas di lidah Bara, dua sahabat itu bercakap tentang bisnis Jeremy dalam suasana santai.

"Kamu kok jadi tertarik bikin bisnis di sini?" tanya Jeremy menangkap gelagat Bara.

"Ya, karena ceritamu tadi." Bara menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya berjaga-jaga saja kalau semisal Kembar adalah anaknya, ia mungkin akan sering ke sini sembari mengurus hak asuh.

Senyum lebar Jeremy terurai. "Nah, begitu dong. Kamu tenang saja. Aku bakal bantu, seperti kamu sering bantu aku pas kuliah." Jeremy menepuk punggung Bara.

Bara tersenyum miring, mengunyah sate ususnya. "Aku ga nagih balas budimu loh. Cuma aku tertarik ae denger ceritamu."

"Tenang saja. Kebetulan akhir tahun begini, beberapa rekanan pemerintahan udah booking. Aku sudah overload ngurus proyek konstruksi rumah sakit dan beberapa dinas. Jadi, kalau kamu mau, kamu bisa ambil proyek ini." kata Jeremy, mengambil tahu isi dan lombok lalap. "Daripada aku kasih ke yang lain to?"

"Proyek apa yang kamu tolak?"

"Pembangunan pagar dan rehap gedung rawat inap puskesmas. Katanya mau akreditasi, jadi awal tahun besok sudah harus eksekusi." Jeremy mengunyah tahunya dan menggigit ujung kecil cabai hijau itu. "Dokter William itu langganan tetap. Mau dia pindah jadi kepala di puskesmas manapun, tetap saja beliau selalu kontak perusahaanku buat jadi rekanan."

"Memang dia mau kalau dialihkan ke orang lain gitu?" Bara melirik Jeremy saat ia menyeruput es teh.

"Beliau mau, asal aku yang merekomendasikan. Nanti PT-nya sementara pakai punyaku dulu, sambil kamu urus izin usaha kamu sendiri kalau memang mau nyoba usaha di sini." Jeremy mulai berkeringat kepedasan. "Paling kamu siapin modal tiga ratus jutaan."

"Pembayarane piye? Kalau urusan pemerintah kan ribet ini itu." Bara pernah mengurusi proyek pemerintahan di Surabaya sebelum bekerja di London dan pembayaran sering tak bisa tepat waktu.

"Yang jelas pasti dibayar. Kamu tenang saja. Untuk urusan administrasi bisa dibantuin staf adminku. Trus aku juga bisa sediain tukang dan mandor yang bagus." Jeremy meneguk es susu jahenya hingga tersisa seperempat.

Bara mengangguk-angguk, mendengar penjelasan Jeremy. Ia sangat tahu, Jeremy bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Eh, tapi, aku masih heran kamu tiba-tiba mau buka usaha di sini." Jeremy sepertinya masih penasaran motif Bara.

Bara mendengkus pelan. "Kalau denger dari ceritamu, sepertinya mayan juga. Untuk sementara aku cari gambaran dulu. Besok mungkin aku ada urusan bentar sebelum ikutan survey proyek-proyekmu."

"Urusan apa?"

Bara menyeruput es tehmya. "Nanti. Kalau sudah selesai aku ceritain."

Bara akhirnya kembali ke hotel pada pukul sebelas malam. Ia tak langsung tidur dan memilih mengirimkan pesan pendek pada Agni.

[Besok kita tes DNA. Aku tunggu di Rumah Sakit Kasih Bunda. Pagi. Jam 07.00]
23.15

Tak ada balasan dari Agni, walau beberapa detik kemudian pesannya telah terbaca. Ia tak berusaha menghubungi Agni lagi karena menganggap Agni sudah tahu dan Bara tinggal menunggu respon wanita itu besok.

Apakah datang, atau justru menghilang ....

Bara mengembuskan napas panjang dalam kesunyian kamar hotel. Kerinduan yang sempat menyeruak, seketika tenggelam dalam sakit hati. Nama Cakra yang terlontar dari mulut mungil anak laki-laki bermata bulat itu, seperti menyiram garam di luka menganga.

Cakra ....

Apakah ada Cakra yang lain dalam hidup Agni? Atau nama yang disebut itu sama dengan laki-laki yang ada di kamar tidurnya dengan Agni tujuh tahun lalu?

Bara menggeleng berulang, mengusir bayangan kenangan menyakitkan yang membuat kepercayaannya pada Agni luntur seketika. Ia kemudian mengambrukkan punggungnya di atas kasur empuk. Pandangannya menerawang ke langit-langit, mengingat kembali pertemuannya dengan Agni siang dan sore tadi.

"Apa mereka anakku?" Bara memejamkan mata, membayangkan tubuh sekecil Agni mengandung dua bayi.
Di sisi lain, ia juga takut berharap karena tak mau dikecewakan Agni lagi. Bagaimanapun Om Arkan telah menitipkan Agni padanya. Mau mereka bercerai, Bara masih mempunyai beban moral menjaga Agni selama ia masih bisa bernapas walau pada akhirnya nanti Agni memilih tambatan hatinya sendiri.

***

Keesokan harinya, Bara sudah tiba di lobi rumah sakit lebih awal. Ia sudah tidak sabar menanti hasilnya. Sepuluh menit menanti, tepat pada pukul tujuh pagi, Agni datang dengan menggandeng kedua anaknya.

Bara tersenyum tipis, tak menyangka Agni yang tak merespon pesan singkatnya akan benar-benar datang. Namun, ia tak menunjukkan sepercik suka citanya dan bersikap biasa menyambut kedatangan Agni.

Melihat penampakan Bara, Kembar berlari dan memeluknya sambil berseru, "Papi!"

Bara melongo, menunduk menatap dua makhluk kecil yang memeluk pinggangnya erat. Ia menatap Agni yang berdiri di depannya. "Papi?" Kedua alis Bara terangkat. Ia tak nyaman dipanggil seperti itu karena belum pasti dua anak itu anaknya. Apa Agni mengajari anak kembar itu memanggil laki-laki manapun dengan sebutan yang berarti 'ayah'.

Agni mengangkat bahu, tak membuka mulut. Tatapannya dingin sedingin embusan AC ruangan yang masih belum terlalu padat dipenuhi manusia.

Bara lalu berjongkok dengan tumitnya, menyetarakan tinggi dengan dua manusia mungil yang menggemaskan itu. "Kenapa kok sekarang panggil Papi?"

"Mami cerita nama papi kami itu Bara Pisanggeni." Raina mulai berceloteh.

"Wisangbeni, Adek." Raditya membetulkan walau masih salah.

"Iya. Pisangbeni."

Bara melongo, dan spontan terkekeh. Ia melirik Agni yang melipat bibir. "Wisanggeni. Nathanael Bara Wisanggeni."

"Iya. Itu." Raina menggaruk kepalanya hingga kepangannya mulai berantakan.

"Trus kok tahu nama Papi itu Bara?" Bara bergidik menyebut dirinya 'Papi'. Padahal ia tahu tes DNA belum dijalani dan bisa saja dua anak itu bukan darah dagingnya. Namun, melihat kelucuan Si Kembar, siapa yang bisa mengelak pesona mereka?

"Ada di album foto Mami. Waktu itu, Papi niup kue ulang tahun yang ada namanya Bara." Raditya menangkup pipi tirus Bara. "Papi masih kurus di foto. Masih muda. Ga ada kumis dan jenggotnya, kaya sekarang."

"Tapi tetep ganteng, Kak." Raina mengelus dagu yang ditumbuhi bulu halus. "Daddy kalah."

"Dek, inget kata Mami. Ndak boleh panggil Daddy lagi." Raditya mengingatkan.

Raina memberengut. "Kasihan ... kemarin Dad ... eh, Om Cakra sedih loh, Kak."

Bara mengembuskan napas, mengelus lembut kepala gadis cilik berkepang dua itu. "Sekarang ada Papi." Batin Bara berdesir. Ia tak suka gadis cilik itu menyebut Cakra.

Bara kemudian mengajak Agni dan anak-anaknya mendaftar untuk melakukan pemeriksaan DNA. Selama mengantri dan menyerahkan sampel, anak-anak itu tak berhenti berceloteh riang, bergantian mengajak bercerita Agni dan Bara dengan tingkah masing-masing. Raditya sudah menguasai gawai Bara dan mulai memasang gim permainan di sana, sementara Raina duduk di pangkuan Bara sambil mengelus-elus pipi pria itu.

"Dek, jangan." Agni melarang Raina dengan menurunkan tangannya.

"Biar." Bara menahan tangan Agni. "Raina persis seperti kamu dulu." Bara yang biasanya kesal sekali kalau ada yang mengelus pipinya, kini justru menikmati elusan manja Raina. Tak dimungkiri, gadis kecil itu seratus persen anak Agni karena kebiasaan mengelus pipinya itu seperti kebiasaan Agni kecil yang suka mengelus pipi papanya.

"Kenapa Papi ndak pernah pulang?" Tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari bibir Raina.

Tenggorokan Bara tercekat. Ia pernah pulang sekali, tapi ia tak sempat menanyakan keberadaan Agni karena waktu itu ia hanya datang untuk mengurus Yangkung yang sakit.

"Papi sibuk, Sayang." Agni menyahut.

"Tapi kenapa ndak pernah telepon atau video call?" Giliran Raditya yang bertanya. "Ini Papi punya hp bagus banget. Bisa dilipet. Lebih canggih dari punya Mami."

"Mahal biaya teleponnya." Kembali Agni yang menjawab.

"Sssttt ...." Raina mendesis sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir mungilnya. "Mami, Adek sama Kakak nanya sama Papi! Papi punya mulut. Punya otak. Bisa berpikir. Jadi bisa jawab sendiri. Ndak usah Mami yang jawab."

Bara terkekeh melirik reaksi Agni yang membeliak.

"Mami, Mami ...." Raditya kembali fokus ke gimnya sambil menggeleng-geleng dengan ekspresi prihatin.

Melihat tingkah Raina, sangat berkebalikan dengan Agni sewaktu kecil. Agni tipe anak yang susah bersosialisasi dan tidak mudah akrab dengan orang lain. Semua pengasuh tidak bisa mengambil hatinya sehingga Tante Mirta sengaja mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk fokus mengasuh Agni. Setelah Om Arkan sakit dan harus bolak-balik ke rumah sakit, Agni hanya mau dititipkan ke rumah Yangkung dan di sana Agni hanya lengket Bara, kecuali saat mandi, pipis, dan buang air, Agni baru mau diurus Mbok Sri.

"Papi, habis ini kita ke mana?" tanya Raina dengan suara manja menggemaskan.

"Ehm, Adek mau ke mana?" tanya Bara balik.

"Solo Safari, Pi!" Raditya dan Raina serempak menjawab.

"Kembar! Papi sibuk!" Agni memelotot lebar.

"Siapa bilang? Ayo, kita ke sana. Nanti pas liburan Natal, kita ke Surabaya. Jenguk Buyut." Bara mencubit gemas pipi Raina. "Kita bisa jalan-jalan juga ke Prigen atau Malang."

Saat Agni akan protes, suara panggilan pemeriksaan di lab membuat Agni terpaksa membungkam mulutnya lagi. Mereka pun masuk untuk diambil sampel dari dinding pipi Bara, Raditya, dan Raina.

Selepas menyelesaikan administrasi, sesuai rencana dadakan beberapa waktu lalu, Bara mengajak Agni dan anak-anak ke Solo Safari. Dalam perjalanan menggunakan taksi online, Agni sama sekali tak bersuara. Hanya riuh celotehan anak-anak saja yang terdengar. Namun, Bara tak memedulikannya. Ia terlanjur jatuh cinta pada anak-anak Agni. Bahkan Bara berpikir, walau dua anak ini bukanlah anaknya, ia akan memperlakukan mereka seperti anak sendiri karena bagaimana pun Kembar adalah anak Agni.

***
Yang disebut Solo Safari oleh dua anak dampit itu ternyata adalah bekas Taman Jurug. Berbeda dengan kebun binatang yang dulu, ruang dan tempat-tempat di area wisata itu sudah berubah drastis. Sekarang hewan-hewannya lebih terawat dan jalan yang dilalui pengunjung pun lebih aman, terutama anak-anak.

Walau mereka sudah berjalan beberapa saat sejak memasuki tempat itu, tak ada percakapan renyah di antara Bara dan Agni. Kini keduanya hanya membisu memperhatikan anak kembar yang aktif berlari ke sana kemari. Walau biasanya Bara lebih nyaman menjadi pemerhati, tapi kecanggungan kali ini mulai mengganggunya. Padahal biasanya Agni lebih banyak yang melempar topik bahasan dan berceloteh dengan riangnya. Sementara Bara hanya menanggapi dengan dehaman atau sekali-kali dengan jawaban pendek. Kini kebisuan Agni justru membuat batinnya sesak. Dia bukan tipe laki-laki cerewet dan humoris yang bisa mengambil hati perempuan. Dalam hidup Bara, tak ada kamus berkata-kata romantis di otaknya. Bahkan Agni sempat menyeletuk, kalau Bara kaku seperti kanebo kering.

Akhirnya Bara pasrah. Ia membiarkan saja Agni dengan diamnya. Pria itu berpikir, Agni mungkin kepanasan karena memang udara siang itu sangat terik walau sudah memasuki bulan Desember. Dalam kebisuan, mereka berjalan mengitari beberapa kandang. Untuk mengisi kekosongan, Bara memilih mengabadikan gerak-gerik kedua anak itu melalui bidikan kamera gawainya. Sesekali itu menjepret diam-diam Agni yang wajahnya kusut. Biasanya kalau Agni sampai tahu dipotret diam-diam, gadis itu akan marah dan menggigitnya bila hasilnya tidak sesuai.

Di saat Bara sibuk menemani Raditya dan Raina melihat kuda poni, dering gawai berbunyi. Agni mengambil gawainya, dan Bara sempat melirik nama yang memanggil.

Cakra? gumam Bara dalam hati.

Hati Bara yang sudah gerah disengat matahari siang ini bertambah panas ketika mengetahui Agni mundur dan menarik diri. Tak ingin diabaikan, Bara menghampiri Agni dan merebut gawainya tanpa permisi.

Agni tak sempat menghindar. Bara mengangkat lengannya dan melihat nama Cakra betul-betul tertera di layar gawai keluaran tiga tahun lalu, lengkap dengan foto laki-laki yang sangat ia kenal menggendong Kembar. Buru-buru ia menerima panggilan dan menyalakan speakernya sehingga suara 'hallo hallo' berulang terdengar cukup keras.

"Maaf, kami sekeluarga sedang family time. Tolong jangan ganggu!" seru Bara lancang lalu mematikan begitu saja panggilan itu sepihak.

Alih-alih mengembalikan pada Agni, Bara memasukkan gawai yang sudah jadul itu ke dalam tas kulit cokelat merek ternama yang menyilang di dada.

"Apa-apaan ini, Mas?" Bola mata Agni bergulir ke kanan kiri. Rahangnya mengerat, menahan suaranya yang bergetar.

"Selama ada aku, jangan ada Cakra! Ingat, kita belum anulasi. Secara gereja, kamu masih istriku!" tandas Bara lalu berbalik menghampiri anak-anaknya. Alis Bara menekuk hingga membentuk guratan di pangkal hidungnya. Namun, wajah garang Bara seketika luntur ketika melihat Raditya dan Raina tersenyum ke arahnya.

Agni mengejar Bara dan menarik lengan kekarnya. "Kalau gitu, ayo kita urus anulasi. Selanjutnya, jangan pernah ganggu aku dan anak-anak lagi seperti ini!"

Dada Bara berdentum. Amarahnya hampir saja meletup. Untungnya ia sadar mereka ada di tempat umum. Sejenak ia memejamkan mata untuk mengatur emosi yang menggelegak sambil mengatur napas. Lalu setelah tenang, ia menatap lurus bola mata hitam Agni, "Jangan harap kamu menguasai anak-anak kalau mereka terbukti anak-anakku, Ni!"

💕Dee_ane💕

Kembar dan ortunya datang lagi🥰
Di cerita ini, kebiasaan Raina aku ambil dari kebiasaan anak bungsuku yang suka elus pipi bapaknya trus dicium ga peduli mukanya berminyak habis berkebun. Malah semakin berminyak, semakin enak baunya🤪
Apa anak-anak Bunda di sini juga ada yang punya kebiasaan unik?

Jangan lupa jejaknya ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro