🌷Jebakan🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Aku mengikhlaskan kamu seperti  air hujan  yang menghilang diserap tanah, sampai kering, sampai tak tersisa setetes pun di sana~

***
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Mata Adit meradang, satu pukulan sudah membuat laki-laki di depan jatuh tersungkur ke atas tanah di halaman rumahnya.

"PERGI! JANGAN TAMPAKKAN LAGI WAJAH KAMU.  KALAU TIDAK, AKAN AKU LAPORKAN KE POLISI!" pekik Adit dengan sangat keras.

Ia lalu membalikkan tubuhnya masuk ke dalam dengan kaki yang masih seret. Siapa lagi kalau bukan orang itu yang menyebabkan kakinya seperti ini.

Debuman suara dibanting terasa sangat nyaring memekakkan telinga. Laki-laki yang sudah dipukul bertubi-tubi tampak geram melihat barang yang ia bawa dan  persiapkan matang-matang sudah tumpah berceceran di teras rumah ini.

"Sialan!" geramnya sambil berjalan menuju mobil. Sebelum masuk, ia mengambil plastik kecil di sakunya dan tersenyum licik.

"Untung  masih dua butir."


🌷🌷🌷🌷


Hafidz masuk ke dalam supermarket dengan tergesa-gesa, ia telah melanggar waktu yang ia janjikan pada Kiran. Urusan yang berbelit telah menahannya hampir dua jam di tempat kerja.

Laki-laki itu terus berjalan tiap lorong di supermarket tetapi tak menemukan tambatan hatinya. Ponselnya pun sedari tadi tidak aktif padahal Hafidz sudah bolak-balik menghubungi.

Keringat Hafidz sudah bercucuran, padahal pendingin di dalam supermarket tak bisa mendinginkan hatinya yang sedang panik dan gugup.

"Cari Kiran?" tanya seseorang yang sekarang sedang berdiri di depan polisi yang sering mengejarnya.

"Iya. Kamu lihat?"

"Sudah pulang naik taksi."

"Yakin dia beneran naik taksi?" tanya Hafidz tak percaya.

"Ya, Bang. Saya sendiri yang mengantarkan sampai masuk ke dalam taksi."

Tanpa kata-kata lagi, Hafidz langsung menuju mobilnya dan melajukan dengan cepat. Dalam hati ia berdoa semoga saja dia langsung pulang ke rumah.

Kedua lutut Hafidz sangat lemas, lampu di balkon masih gelap. Biasanya Kiran paling anti jika lampu tidak dinyalakan dengan alasan takut kegelapan.

"Bibi?" pekik Hafidz berlari masuk ke dalam rumah. Ia berpapasan dengan perempuan paruh baya yang aroma minyak angin melekat di tubuh perempuan itu.

"Kiran?"

Perempuan itu sepertinya paham tentang yang sedang dihadapi majikannya.

"Bukankah tadi pergi sama Bapak?"

Hafidz semakin panik mendapati yang ia cari belum sampai di rumah. Ia lalu buru-buru berbalik menuju mobil yang ia parkir di depan rumah. Menggulung lengan kemeja yang terasa menyulitkan untuk bergerak bebas.

"Aku di sini."

Jantung Hafidz seketika berhenti berdetak mendengar suara  di pojok taman kecil halaman rumah. Mata sedikit terkejut melihat perempuan yang tengah memegang ponselnya dengan layar yang masih menyala.

Hafidz merutuki kebodohannya ketika tadi masuk ke rumah sama sekali tak melihat sosok siapa yang datang.

🌷🌷🌷🌷

"Kamu sudah benar-benar mencintai laki-laki itu," sahut Iffah sambil memandang sahabatnya yang raut wajahnya masih terlihat sedih.

"Ya, jatuh cinta sama orang yang salah."

"Baru kali ini kamu dekat dengan laki-laki seperti Adit, padahal selama kamu kuliah di sini jarang sekali membicarakan seorang laki-laki."

Kiran hanya berdehem lirih sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Menghirup udara sebanyak-banyaknya agar dadanya sedikit tenang tanpa memikirkan Adit yang barusan minum alkohol.

"Kamu juga salah tentang tulisan kamu itu," tambah Iffah sehingga Kiran semakin terpojok dan bersalah.

"Hemm, pada akhirnya kita kembali ke awal dan tidak saling mengenal satu sama lain. Namun, yang membedakan sekarang dia sangat membenci aku."

"Sudah minta maaf?"

"Bagaimana mau meminta maaf jika melihat aku sudah muak begitu."

"Terus apa yang akan kamu lakukan?"

"Entahlah. Aku pulang sekarang."

Kiran sudah berdiri bersiap untuk pergi.

"Sebentar, aku telepon Bang Iqbal untuk mengantarkan kamu pulang," sahut perempuan hitam manis sambil mengambil gawai di saku rok panjangnya.

"Tidak perlu. Aku naik taksi saja."

"Yakin. Kamu tidak apa-apa? Jangan terlalu banyak pikiran. Sebentar lagi kita wisuda dan menyandang gelar yang kita tunggu selama ini."

Senyum mulai mengembang di bibir Kiran. Ya, masa depannya masih panjang dan ia tak mungkin terpaku pada preman itu.

"Kamu jadi pergi setelah wisuda?"

"Insyaallah."

"Aku bakal akan kehilangan kamu," ucap Iffah sambil memeluk sahabatnya.

"Kamu kan bakal ada Bang Iqbal yang akan menggantikan aku."

Keduanya saling berpelukan erat satu sama lain. Mencari satu sahabat yang mau mengerti semua kekurangan kita, bukan perkara yang mudah.

🌷🌷🌷🌷

"Yasmin," ucap laki-laki itu dengan tubuh kaku dan menegang. Ia sangat syok melihat siapa yang berdiri di depannya.

"Iya. Aku kembali," sahutnya sambil tersenyum.

Yasmin adalah putri atasan Hafidz yang diketahui selama ini terus mengejar anak buah Papahnya. Selama ini ia kuliah di luar negeri. Entah angin apa yang membuat perempuan itu kembali berdiri dan menyapa Hafidz di rumah ini.

"Bukankah—"

"Aku kembali untukmu."

Suara langkah sepatu terus mendekat ke samping laki-laki yang masih mengontrol detak jantungnya yang seperti berlarian hendak lepas.

"Libur kuliah?"

Perempuan itu menggeleng dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibir merahnya. Hafidz sendiri bergerak mundur menghindari lengan mereka yang saling bersentuhan.

"Aku datang kemari untuk memperjelas hubungan kita."

"Hub-hubungan apa? Bukankah kita tak ada hubungan apapun?"

Jantung Hafidz berdetak lebih cepat. Ia sudah curiga kehadiran seperti ini.

"Tapi aku tidak? Aku sangat mencintai kamu? Papah juga mengharapkan kamu sebagai menantunya?"

Laki-laki itu menelan ludahnya, lagi-lagi dia selalu membawa Papahnya untuk memuluskan rencana pendekatan dengan dirinya.

"Maaf, aku tidak bisa."

Suara tawa kecil terdengar di samping membuat perempuan itu semakin cantik. Apalagi sekarang gayanya sangat anggun. Siapa yang tak terpikat kecuali laki-laki ini yang sudah menambatkan hatinya pada adik sahabatnya.

"Selalu kamu bilang begitu. Sudah sepuluh kali ini kamu menolak. Aku mengira kamu akan mengabulkan permintaan aku selama ini. Padahal keinginanku tak muluk-muluk. Kita menikah dan hidup bersama."

Perempuan itu mendekati dan memeluk lengan kekar laki-laki itu bersamaan dengan seorang perempuan lagi yang turun dari taksi dan berjalan ke arah mereka.

"Maaf mengganggu," ucap Kiran langsung berlari menuju ke dalam rumah.

"Kiran?" panggil Hafidz gugup karena kepergok sedang berduaan dengan Yasmin. Apalagi tangan Yasmin masih melekat di lengan dan kepala bersandar di bahunya. Hafidz merutuki kebodohan, bisa-bisanya ia terbius pesona perempuan ini sampai-sampai tak menyadari kedatangan Kiran. Bukankah ia yang salah karena telah meninggalkan perempuan itu sendiri di Supermarket dan bukannya mencari malah sekarang seperti ini.

Buru-buru Hafidz melepaskan pegangan tangan di lengannya.

"Maaf aku tak bisa," ucapnya dengan sangat ketus.

Tawa kecil Yasmin terdengar lagi.

"Sebelas kalinya kamu menolak aku. Karena perempuan itu?" tuduh Yasmin sambil melirik ke arah dalam rumah.

Hafidz mengangguk.

"Dia adiknya Alif."

"Alif anak pemilik pesantren? Teman kita dulu saat masih sekolah?"

Mata Yasmin terbelalak kaget mendengar siapa kakak perempuan yang barusan masuk ke dalam rumah.

Hafidz lagi-lagi mengangguk diiringi desah napas berat perempuan itu yang terus menerus karena selalu ditolak.

"Baiklah, hati memang tak bisa dipaksakan."

Keduanya terdiam dalam suasana yang kaku dan canggung.

"Bisa antarkan aku pulang karena ingin bertemu dengan Papah. Besok aku harus berangkat lagi."

"Tapi...."

Hafidz melirik lagi ke arah dalam. Ada satu permasalahan lagi yang harus ia selesaikan bersama Kiran.

"Aku cuma minta antarkan pulang saja, tak lebih."

Hafidz melirik perempuan yang wajahnya sekarang berubah sedih tak seperti saat tadi datang dengan mata yang berbinar-binar ketika bertemu dengan dirinya setelah beberapa tahun mereka terpisah.

"Baiklah," sahut Hafidz dengan suara yang sangat berat karena merasa terpaksa.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju mobil. Sepasang mata melihat kepergian mereka berdua dari atas balkon. Perempuan itu mengunci rapat-rapat dan memilih bersembunyi di balik selimutnya, tempat membagi kesedihannya.

Hafidz semakin tak menentu perasaannya, setelah mengantarkan Yasmin bukannya hati merasa lega tetapi yang ada semakin berat. Bagaimana tidak, Papah Yasmin sekaligus atasannya mengajak untuk keluar kota menemani tugas dinasnya.

Mobil Hafidz buru-buru berhenti ketika melihat seseorang tengah berjalan di atas trotoar. Dengan buru-buru membuka pintu mobil dan menghampiri laki-laki itu.

"Dit?"

"Bang, kebetulan kita ketemu di sini."

Wajah Adit tampak panik dan napasnya terlihat terengah-engah. Keringat juga sudah bercucuran membasahi kaos yang dikenakannya.

"Ada apa? Kenapa kamu panik begitu?" tanya Hafidz penasaran. Pikirannya langsung tertuju pada Kiran yang sudah berada di rumahnya, sepertinya ia  baik-baik saja.

"Haris."

Satu kata yang keluar dari mulut Adit membuat tubuh Hafidz menegang dan kaku.

"Ada apa dengan Haris?" tanya Hafidz yang sekarang wajahnya sudah ikut panik.

"Barusan menemui aku di rumah."

Mata polisi itu terbelalak sangat kaget, penjahat yang selama ini menjadi buronan berani menampakkan diri.

"Kenapa kau tidak tangkap dan menyerahkan ke kantor polisi? Atau menelepon aku?" Rentetan pertanyaan menghujani Adit bertubi-tubi.

"Aku tak mau dia ditangkap dengan tanganku. Biar polisi saja yang menangkapnya."

Lagi-lagi Hafidz terbelalak kaget, Adit yang dikenal seperti seekor serigala berubah menjadi seekor kucing Anggora.

"Heh, kenapa bisa begitu?" gertak Hafidz merasa tak terima. Penjahat seperti Haris sudah berani mencelakai Kiran.

"Aku menduga selama ini Arya selalu melindungi Haris. Aku tak mau melakukan itu karena Mamah sekarang bersama mereka."

"Siapa Arya?" tanya Hafidz semakin tak paham.

"Ayah aku," jawab Adit lirih. Baru kali ini ia mengakui ayahnya setelah pertikaian sengit yang membuat ia hengkang dari rumahnya.

Hafidz mengacak rambutnya kasar. Satu lagi beban menghampiri dirinya. Bagiamana tidak, besok ia harus pergi tetapi buronan itu sudah berani muncul lagi.

"Besok aku dinas di luar kota selama dua hari. Jaga Kiran sebaik mungkin, takut penjahat itu mencelakai lagi."

Adit mengembuskan napas beratnya, permintaan yang sangat berat.

"Tapi, Bang?" tolak Adit merasa tak enak hati.

"Kenapa?"

"Aku sedang ada masalah dengan Kiran," ungkap Adit secara jujur dan kepala tertunduk.

"Masih mempertahankan ego dibandingkan keselamatan dia?" sanggah Hafidz sambil melangkah pergi begitu saja kembali masuk ke dalam mobil.


🌷🌷🌷🌷

Hujan siang ini mengingatkan sama seperti dulu, saat pertemuan pertama kali. Membekas dan berkesan sampai relung hati. Halte ini yang pernah mempertemukan Kiran bersama preman itu.

Kiran terpaksa memarkir dan berlindung di halte. Ia diam-diam mengambil kunci motor yang disembunyikan oleh Hafidz. Ia kembali teringat jika laki-laki tadi mengetuk pintu kamar tetapi ia sendiri masih memilih bertahan di kamarnya.

Ketika menatap ke ujung, pandangannya tertuju pada seseorang di sana yang sama seperti dirinya bertahan menghindari rintik hujan. Dengan gugup dan mengatur denyut jantung yang bergejolak hebat.

"Tidakkah kamu membaca kisah di buku itu? Bagaimana perjuangan perempuan itu menahan rasa ingin memiliki di saat perbedaan jelas-jelas terpampang di depan mereka," sahut Kiran dengan ucapan yang pasti terdengar jelas oleh laki-laki itu.
Ia lalu memilih pergi karena deras hujan sudah berganti dengan rintik yang kecil.

Adit memikirkan kembali ucapan gadis itu yang ada benarnya. Tanpa membaca sampai akhir, ia sudah menuduh dia yang bukan-bukan.

Sesampai di rumah, pikiran masih fokus pada Kiran yang pulang sendirian. Ia telah mengingkari perintah Hafidz untuk menjaga Kiran selama polisi itu dinas luar kota.

Suara pintu terbuka lebar karena ada yang membukanya kembali. Adit kembali meradang melihat siapa yang datang. Tanpa hitungan detik, Adit kembali meninju wajah dan tubuh itu sampai babak belur. Keringat Adit kembali bercucuran mengingat ia berdiri sendiri cukup susah.

Tubuh Haris tergeletak di dekat pintu depan dengan wajah lebam dan tak sedikit darah yang keluar dari hidungnya.

"UNTUK APA KAMU KEMARI LAGI? TAK PUAS KAMU SUDAH MENYAKITI AKU SAMA KIRAN?"

Tubuh yang sudah lemas itu langsung terbangun dan memegang kedua lutut Adit.

"Aku minta maaf."

"Cihh, sekarang baru minta maaf? Kemana selama ini? Mending kamu menyerahkan diri ke kantor polisi."

"Aku benar-benar menyesal telah berbuat salah. Kalau perlu aku mencium kaki untuk menebus kesalahanku, setelah ini aku akan menyerahkan diri ke kantor polisi."

Adit masih terengah-engah sambil mengatur napasnya dengan masih tak percaya apa yang sedang dihadapinya.

"Percayalah, aku sudah membuat diriku tak tenang karena lelah bersembunyi. Minumlah!" perintah Haris menyodorkan segelas minuman yang ia bawa pada Adit. Dengan ragu, Adit meminum untuk menghilangkan rasa letihnya.

"Aku ke kantor polisi dulu."

Adit membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Pandangan tetap tertuju pada sosok yang sudah menghilang di balik pintu.  Tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Entah mengapa pikiran-pikiran negatif dan kotor terus bermunculan di otaknya.

Ternyata Haris tak pergi, ia bersembunyi di balik pintu. Barusan ia menghubungi seseorang untuk datang kemari. Tak berlangsung lama, apa yang ia tunggu datang. Perempuan  berkerudung itu datang terburu-buru dengan raut wajah yang sangat panik memasuki rumah ini.

Adit tak menyangka siapa yang datang apalagi pikiran kotor terus merasuki akal sehatnya.

"Dit, kamu sakit apa? Terus siapa yang tadi menelepon? Anton apa Sony yang mengharuskan aku datang ke sini?"

Adit semakin tak mengerti, tubuhnya sudah panas dingin tak karuan. Ia lalu memaksa perempuan itu masuk ke dalam kamar. Efek pengaruh obat yang ada di minuman membuat Adit melakukan hal yang diluar dugaannya.

Sementara itu, Haris di luar tersenyum lebar karena rencananya berhasil.

"Ternyata melumpuhkan kamu sangat mudah. Cuma perempuan itu yang membuat kamu semakin hancur dan terpuruk."

Selamat kepada komentar terbaik JokoVivo123
Semoga rezeki lancar dan selalu diberi kesehatan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro