⚘Terpuruk⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Pada kenangan yang sangat menghimpit dada, ingin aku berteriak karena luka ini sangat menyakitkan~

***
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote dan komen

Adit duduk di tepi ranjang sambil meremas rambut dengan sangat erat. Sakit, sama seperti hatinya. Perlahan dan pasti air mata di wajahnya turun membasahi pipi, dibarengi  tubuhnya yang merosot ke bawah dan bersandar pada tepi ranjang.

Sinar lampu di luar tak mampu menembus gelapnya ruangan kamarnya. Semuanya terasa bertambah gelap apalagi saat kepergian perempuan itu.

Isak tangis perempuan itu masih terekam jelas seakan terus terngiang di telinganya. Dengan bodohnya, ia tak menahan dia pergi bahkan menenangkannya pun tidak. Ia hanya diam membeku karena tak percaya dengan apa yang telah dilakukannya.

Lantas harus apa yang dilakukan? Diam? Membisu? Memberontak? Membunuh Haris  itupun percuma karena tak mampu membuat semuanya kembali sedia kala.

Perjuangan ia selama ini sia-sia, sejak pertama mengenal perempuan itu  selalu menjaga jarak diantara mereka. Jangankan bersentuhan, menatap matanya saja tak berani takut terbius oleh bisikan setan.

Sekarang dengan gagahnya, ia telah menorehkan luka yang terdalam pada Kiran. Menghancurkan masa depan dan semua impian gadis itu. Meruntuhkan perbedaan yang selama ini mengekang mereka berdua.

Entah jalan mana yang harus ditempuh karena Kiran pasti mulai saat ini akan membenci ulahnya.

Di tempat yang lain, seorang perempuan tengah membenamkan tubuhnya pada bathtub, sudah beberapa jam ia berada di tempat itu. Menggosok tubuhnya dengan sangat keras berusaha menghilangkan bau parfum laki-laki itu sambil menangis terisak. Namun, percuma saja karena dosa tetap melekat pada dirinya. Yang ada tubuhnya memerah bahkan luka lecet karena gosokan semakin keras.

Mata itu ia pejamkan rapat-rapat, berharap ini adalah mimpi buruknya. Namun sayang,  tetes air mata tetap menerobos bulu matanya.

Hatinya semakin sakit ketika otaknya lagi-lagi harus mengingat-ingat tragedi yang sudah terjadi. Tangan langsung menyambar sampo dan sabun cair, melemparkan benda itu satu persatu mengenai pintu kamar mandi mengiringi isak tangisnya yang semakin menjadi.

⚘⚘⚘⚘


Hafidz memilih pulang secepatnya karena tiba-tiba firasat buruk tentang Kiran terus berkelebat dalam pikirannya. Tak tanggung-tanggung, ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, yang paling penting adalah keselamatan Kiran.

Ketika sampai halaman,  ia buru-buru naik ke atas. Hampir saja berpapasan dengan bibi di anak tangga paling bawah.

"Kebetulan bapak datang, dari kemarin mbak Kiran sama sekali tak turun,"sahut perempuan paruh baya tersebut dengan wajah panik. Kedua tangannya memegang nampan makanan yang masih utuh.

"Makanan tadi sore masih utuh. Saya meletakkan di depan pintu karena mbak Kiran tidak mau membukakan pintu...."

Hafidz langsung berlari menapaki anak tangga sebelum mendengarkan penjelasan asisten rumah tangganya menyelesaikan penjelasannya.

Benar saja apa yang dikatakan bibi, pintu masih tertutup dan sebuah nampan berisi makanan masih hangat diletakkan di atas meja kecil dekat pintu kamar Kiran.

Hafidz langsung mengetuk pintu dengan keras sambil memanggil nama gadis itu. Berulang kali memanggil tetapi belum ada jawaban sama sekali dari dalam.  Ia lalu berinisiatif mengambil kunci cadangan di kamar sebelah.

"Ceklek."

Suara anak kunci berputar dilanjutkan derit pintu terbuka pelan. Buru-buru Hafidz menoleh melihat siapa di sana.

Tubuh Hafidz melemas melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Ia seakan tak mengenali siapa di sana. Perempuan dengan mata bengkak, pipi memerah dan rambut basah terjuntai panjang dengan air yang masih menetes di ujung rambut mengenai baju baby doll yang dikenakan gadis itu.

"Kiran?"sapa Hafidz tak percaya.  Jujur ini pertama kali melihat gadis itu tanpa sehelai benang yang menutupi rambut di kepala.

Hafidz sendiri berharap jika yang  berdiri di depan bukan gadis tambatan hatinya tetapi sayangnya benar- benar Kiran di sana.

"Kiran, apa yang terjadi?"

Gadis itu menggeleng sambil berkata lirih jika ia tidak apa-apa.

"Bohong. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan kamu."

Hafidz tak menyerah begitu saja, ia menyelinap masuk ke dalam kamar. Bahu mereka bersenggolan karena Kiran menghalangi langkahnya.

Mata polisi itu terkejut,  suasana di dalam kamar sangat berantakan. Bed cover yang tergeletak di atas lantai,  belum semua kosmetik yang berceceran di atas karpet. Botol parfum kaca juga pecah di pojok ruangan.

"Tolong keluar, aku mau mandi?" ujar Kiran mengusir laki-laki itu pergi dari kamarnya.

Hafidz berjingkat kaget mendengar ucapan barusan. Bagaimana izin minta mandi lagi? Rambut saja masih basah,  ditambah aroma sabun cair juga masih melekat pada tubuh Kiran.

"Mandi?"

Hafidz mengulangi kata-kata Kiran.

"Ya. Aku mau mandi, tubuhku kotor," sahut Kiran dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Kamu barusan mandi, Kiran."

Polisi itu lalu berlari menuju kamar mandi. Kondisi kamar mandi sama saja buruknya dengan di dalam kamar. Kran air yang masih terbuka sehingga air tumpah membasahi lantai kamar mandi.

"Katakan apa yang terjadi sama kamu!"

Hafidz berbicara dengan nada yang tinggi, ia menggoyangkan bahu gadis itu agar berterus terang. Namun, Kiran menggeleng dan masih membisu.

"KATAKAN!!!"

Hafidz sudah hilang kesabaran sampai tak bisa mengontrol emosinya.

Gadis itu merosot jatuh ke atas karpet. Air mata kembali berlinang di wajah pucatnya. Kedua tangan langsung menutupi wajahnya untuk menyembunyikan kesedihannya.

Hafidz ikut menyamakan tubuhnya dan duduk di depan Kiran.

"Katakan siapa yang  berani menyakiti kamu?"

Hafidz bertanya dengan suara yang sudah normal kembali. Ternyata membentak yang ada membuat perasaan  Kiran semakin jatuh dan terpuruk terlihat jelas dari kedua mata sembab itu.

"La... Laki-laki itu berani menyentuh ak-aku."

Hati Hafidz bagai dihujani puluhan pisau yang  bersarang di dadanya.

"Laki-laki siapa?"

Nada suara Hafidz kembali meninggi. Semakin tak paham arah pembicaraan Kiran, mengingat suara yang keluar dari bibir pucat itu sangat lirih.

Bukannya menjawab yang ada terdengar suara isak tangis yang semakin menjadi membuat Hafidz semakin tak sabar menunggu jawaban siapa yang membuat Kiran seperti ini.

"Haris?"

Dada polisi itu bergemuruh hebat ketika menyebutkan nama penjahat itu.

Kiran menggeleng lemah sambil terus menutupi wajahnya.

"Terus siapa?"

Suara Hafidz kembali meninggi, ia semakin gusar dan penasaran. Bolak balik berdiri sambil terus mengacak rambut dengan kasar.

"A-adit."

Tubuh Hafidz langsung merosot ke atas karpet. Ia sangat syok atas apa yang barusan ia dengar.

"Adit?" tanya laki-laki semakin tak percaya. Laki-laki yang sudah ia percaya untuk menjaga Kiran malah menyakiti dan merenggut masa depan gadis yang ia cintai.

"Tidak mungkin!" seru  Hafidz, ia berharap ini adalah kebohongan atau mimpi belaka. Tangan kanan mengepal dan meninju tubuhnya sendiri. Sakit. Ternyata ini adalah kenyataan bukan halusinasi.

Mata Hafidz memerah, entah harus menangis atau marah. Kenapa harus laki-laki itu yang membuat keadaan semakin kacau. Jika memang Adit ingin bersama dengan Kiran, mengapa harus pakai cara-cara seperti ini?

Polisi itu berusaha bangkit dengan harapan yang sudah pupus. Ia melangkah pergi begitu saja tanpa memedulikan perempuan yang masih menangis di hadapannya.

"Kamu mau ke mana?"

Mata sembab itu mengikuti gerakan Hafidz yang hendak keluar dari kamar ini.

"Aku akan memberi pelajaran pada preman itu!"

Hafidz kembali mengumpulkan tenaganya terlihat dari otot di jarinya hendak memberikan pukulan  bagi orang yang sudah menyakiti Kiran.

Mata Kiran terbelalak, ia ikut berdiri dan segera mengusap air matanya.

"Ja-jangan, aku mohon," pinta Kiran sambil memegang lengan Hafidz agar membatalkan keinginan untuk menghabisi Adit.

Mata itu membeliak marah, ia memejamkan  matanya sekejap dengan hati yang semakin sakit.  Cinta dapat mengubah segalanya,  rasa salah sebesar apapun preman itu masih saja tetap dibela oleh Kiran.

Hafidz menghempaskan tangan Kiran di lengannya dengan kasar agar cengkeraman tangan itu terlepas.

"Aku cuma memberikan pelajaran dan meminta dia tanggung jawab atas apa yang dilakukannya.  Tenang saja, aku tidak akan membunuhnya."

Hafidz kembali berjalan menuruni tangga. Panggilan Kiran tetap ia abaikan. Tragedi ini tak hanya membuat Kiran saja yang terluka, ia sendiri jauh lebih terluka karena impian untuk meminang putri Kyai kandas sudah.

Polisi itu memilih memakai motor untuk segera menemui preman itu. Tak peduli kecepatan yang ia tempuh di atas rata-rata karena tujuannya satu menghabisi Adit dengan tangannya.

⚘⚘⚘⚘

Seorang laki-laki yang sudah berjam-jam termenung di dalam kamarnya terlihat bangkit dari ranjang. Ia sudah memikirkan masak-masak untuk masalah yang ia hadapi. Jalan satu-satunya adalah pergi ke tempat yang jauh.

Dengan kaki terseok, menghampiri lemari bajunya. Mengambil beberapa pakaian dan segera memasukkan ke dalam ransel miliknya.

Adit mengambil napas dalam-adalah saat mengunci rumah ini. Rumah yang ia persiapkan untuk Kiran saat mereka nanti ditakdirkan  bersama tetapi ia sendiri menyakiti Kiran,  di rumah ini juga.

"Aku minta maaf, terpaksa aku harus pergi," bisiknya lirih sambil memasukkan kunci ke dalam saku celana jeans.

"TIDAK ADA KATA MAAF LAGI UNTUK KAMU!!" pekik seseorang  di belakang Adit sambil memberikan pukulan yang kuat pada laki-laki pincang itu.

Tubuh Adit terhuyung ke samping karena pukulan dari orang itu membuat tubuhnya jatuh mengenai tembok teras rumah.

Ia meraba kepalanya yang sangat nyeri, belum dagunya basah karena darah keluar dari sana. Buru-buru ia melihat ke depan, laki-laki itu tengah menggulung kemejanya sambil bersiap-siap memberikan pukulan lagi.

"Bang?" sapa Adit sambil menutup kembali wajahnya. Sayangnya telat, Hafidz sudah memukul secara membabi buta tanpa ampun.

Tubuh Adit tergeletak lemah di atas keramik sambil memegang perutnya yang terasa nyeri.

"APA YANG KAMU LAKUKAN SAMA KIRAN?"

Adit berusaha duduk sambil memegang kakinya yang sangat sakit.

"Saya bisa jelaskan, Bang," sahut Adit sambil terus menyeka dagunya.

"Kamu mau menjelaskan seperti apa? Tidak akan mengembalikan semua yang sudah terjadi!" pekik Hafidz membeliak marah.

"Saya dijebak oleh Haris sehingga melakukan seperti itu."

"BOHONG. KAMU MEMANG SENGAJA MELAKUKAN HAL SEHINA SEPERTI ITU KARENA INGIN MEMILIKI KIRAN SEUTUHNYA KAN?"

Mata Adit menatap mata yang sudah tersulut emosi.

"Demi Tuhan, aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Apalagi melakukan hal sehina seperti kemarin."

"Tidak usah banyak alasan!"

"Aku tidak akan  berani berjanji apalagi mengatasnamakan Tuhan. Kejadian kemarin aku lakukan di luar kesadaran."

Hafidz menatap mata Adit,  mencari kejujuran atas ucapan  preman  itu.

"Haris menjebak aku, entah obat apa yang ia masukkan ke dalam minuman. Saat itu aku juga tidak tahu entah mengapa Kiran tiba-tiba datang ke rumah ini padahal aku tidak memanggilnya."

Hafidz sangat bingung, entah pada siapa ia harus percaya.

"TETAP SAJA KAMU SALAH!" pekik Hafidz sambil melihat Adit dan barang di sampingnya. Sebuah ransel yang tergeletak tak jauh dari mereka.

"Mau mencoba kabur?" sindir Hafidz sambil mengawasi geliat Adit yang sekarang tampak panik.

"Ak-aku—"

Belum juga Adit meneruskan ucapannya,  Hafidz kembali memukul kembali Adit bertubi-tubi. Emosi kembali menguasai laki-laki itu. Entah setan mana yang merasuki Hafidz, ia menginjak kaki Adit dengan sangat keras, apalagi kaki itu yang selama ini menghambat langkah Adit.

Jeritan keras melengking dari bibir Adit karena rasa nyeri yang luar biasa di kakinya. Untung saja dering gawai milik Hafidz menghentikan aksi laki-laki itu.

Wajah Hafidz sangat panik mendengar siapa yang menelepon, ia lalu berlari menuju motor karena sesuatu telah terjadi di rumahnya.

Adit berusaha bangkit sambil berpegangan pada tembok, ia kembali meringis menahan nyeri di kakinya. Untung saja seseorang datang menolongnya.

"Dit, apa yang terjadi?" pekik sahabatnya berusaha menolong Adit.

"Aku tidak apa-apa. Tolong antarkan aku pergi ke stasiun , aku harus pergi jauh," pinta Adit panik sambil meraih ranselnya.

"Pergi? Pergi ke mana?" tanya Anton dengan bingung.

"Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan. Lebih baik sekarang, antarkan aku pergi!"

⚘⚘⚘⚘


Hafidz masih setia menemani perempuan yang masih memejamkam matanya dan terbaring lemah di rumah sakit. Untung saja hari ini ia kebagian piket malam, setidaknya ada waktu menunggu mata di depan terbuka.

Tragedi yang menimpa putri Kyai membuat Hafidz semakin  bersalah,  ia kembali lalai sehingga perempuan ini kembali terluka. Sayangnya luka sekarang tak dapat diobati.

Ia tak berani menelepon sahabatnya karena nantinya keadaan semakin rumit. Ia melihat bulir bening mengalir lagi dari bulu mata Kiran. Hafidz menduga jika perempuan itu sudah tersadar.

"Kiran?" panggil Hafidz lembut.

Perlahan Kiran membuka matanya dan segera mengusap air matanya.

"Kapan terakhir kamu makan? Sekarang makanlah daripada asam lambung kamu bertambah parah."

"Kamu tidak memanggil Abah kemari kan?" tanyanya ketakutan.

"Tidak, aku juga tidak memberitahukan masalah ini sama kakak kamu."

Helaan napas lega keluar dari hidung Kiran tetapi ia lebih suka menatap ke depan dibandingkan  melihat laki-laki yang tengah memperhatikannya.

"Ada sesuatu yang penting akan aku sampaikan."

Kiran terpaksa menatap wajah Hafidz yang sekarang terlihat serius dan sangat tegang."

"Apa?"

Sebelum bersuara, laki-laki itu tampak memejamkan matanya sekejap.

"Aku akan segera menikahi kamu."


Komen the best dari Berlian_cahaya semoga sukses selalu🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro