⚘Lelaki pengganti⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Lagi-lagi bukan siapa yang lama bertahan dengan kita melainkan siapa yang dikirim tuhan untuk kita~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading, jangan lupa vote

"Me-nikah?" tanya perempuan itu terbelalak kaget. Hampir saja ia mengubah posisi tidurnya menjadi duduk tetapi laki-laki di samping menyuruhnya untuk tetap berbaring.

"Iya, kita akan menikah. Mungkin jalan satu-satunya itu untuk keluar dari masalah ini," sahutnya dengan mantap dan mata yang berbinar tetapi hati yang masih sakit tetapi ia bisa menyembunyikan rapat-rapat.

"Tidak. Kita tidak bisa menikah."

Wajah Hafidz langsung berubah murung dengan tatapan mata yang terus tertuju pada mata yang terus menghindar.

"Kenapa? Apa kamu malu menikah dengan aku?"

Kiran dengan berat hati menatap laki-laki yang sudah rela  berkorban untuk dirinya.

"Aku kotor, Fidz.  Tak pantas laki-laki seperti kamu menikahi perempuan kotor seperti aku."

Mata Hafidz membeliak marah sambil berucap, "Jangan sekali-kali kamu berkata seperti itu lagi. Di mata dan hadapan aku, kamu tetaplah perempuan yang terhormat.  Tetap putri Kyai yang memiliki derajat tinggi dibandingkan yang lain."

Lagi-lagi air mata itu menetes. Apa kabar Abah? Bagaimana jika beliau mengetahui masalah yang menimpa putrinya? Bagaimana nantinya menyembunyikan wajah  beliau di hadapan para santri jika kalangan pesantren tahu aib seperti ini.

"Fidz, cari perempuan lain yang pantas kamu nikahi, bukan aku. Aku tak layak mendampingi laki-laki sebaik kamu."

Hafidz tetap menggelengkan kepalanya.

"Sebelum dan sesudah kejadian ini, dari pertama tekadku sudah bulat yaitu menikah dengan kamu. Sudah itu saja dan tidak dapat diganggu gugat."

"Bukankah akan sulit jika polisi menikah dengan  perempuan yang sudah tidak—"

"Aku rela melepaskan jabatan asal kita bisa hidup bersama," sahut Hafidz dengan mantap.

Kiran mendengkus  kesal. Laki-laki ini seperti dia, kalau sudah mempunyai kemauan harus secepatnya dituruti.

Pikiran Kiran langsung tertuju pada dia? Apa kabar sekarang? Berada di mana? Apakah sedang  larut dalam kebahagiaan karena sudah menghancurkan masa depan atau sedang meratapi penyesalan seperti aku saat ini? Kenapa sampai detik ini tak menampakkan dan meminta maaf atas apa yang diperbuat? Atau sudah lupa caranya meminta maaf?

Kiran buru-buru menghapus air matanya, ia sudah berjanji tak akan lagi air mata yang keluar. Penyesalan apapun atau seberapa banyak air mata tidak akan mengembalikan apa yang sudah ia miliki dan jaga seutuhnya.

"Apa kamu mau menikah dengan aku? Kita akan hadapi ini semua bersama-sama. Kita tidak akan menyakiti hati Abah,  biarkan kejadian kemarin kita kubur dalam-dalam dan selanjutnya  fokus pada masa depan."

Bibir Kiran bergetar karena ia kembali menangis terisak. Janji pada diri sendiri untuk tak lagi menitikkan  air mata ternyata hanya terucap di bibir. Hatinya sangat sakit. Seharusnya bukan Hafidz yang berkata seperti itu, melainkan dia yang sudah pergi menghilang.

Dengan terpaksa, Kiran mengangguk lemah dengan senyum yang ikut dipaksakan.

Mata Hafidz berbinar laksana mendapatkan apa yang ia impikan dan nantikan selama ini. Ya, ia sudah jatuh hati pada anak Kyai saat dia mondok beberapa tahun yang lalu.

"Serius? Kamu mau menikah dengan aku? Mau menerima laki-laki seperti aku?" tanya Hafidz tak percaya .

"Seharusnya aku yang  berkata seperti itu. Maukah menerima perempuan sekotor aku ini?"

Mata Hafidz kembali lagi membeliak marah.

"Jangan katakan seperti itu lagi!"

Keduanya langsung terdiam dalam pikiran masing-masih. Suara hiruk pikuk pasien di kamar sebelah terdengar jelas sampai ke ruangan ini.

"Ada yang ingin aku sampaikan," tutur Kiran dengan wajah yang sangat serius. Ia baru ingat sesuatu yang sangat serius.

"Apa? Katakanlah."

"Setelah wisuda aku harus pergi."

Baru saja kebahagian melingkupi Hafidz tetapi perempuan itu sudah mengubah wajah itu menjadi murung lagi.

"Pergi? Pergi ke mana?"

Kiran menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Aku mau kuliah lagi."

Tawa kecil dari bibir Hafidz terdengar lirih.

"Ya ampun, kamu mau kuliah lagi? Kirain apa?"

Polisi itu masih tertawa, ia sudah mengira akan ditolak lagi entah yang sudah kesekian kalinya.

"Apa kamu yakin akan mengijinkan aku kuliah lagi? Takutnya nanti kita akan berselisih karena masalah ini."

"Tentu saja,  aku tidak keberatan. Masa aku akan menghalangi istri aku untuk meneruskan pendidikannya," sahut Hafidz dengan mata berbinar.

"Walaupun kuliah di luar negeri?" bisik Kiran lirih.

Mata hitam di depan terbelalak sangat kaget bahkan posisinya sekarang langsung berdiri. Ia berjalan melangkah menuju jendela rumah sakit,  menyibakkan tirai dan menatap orang-orang di luar. Jujur tumit terasa lemas mendengar ucapan barusan. Ia mengira setelah menikah akan hidup bersama, nyatanya tidak.

"Luar negeri?" tanya Hafidz bimbang. Padahal Kiran bisa saja melanjutkan pendidikan di daerah ini, atau bisa saja Semarang atau Jakarta yang masih bisa ditempuh ketika rindu sudah tak terbendung. Bukan luar negeri.

"Ya. Aku sudah membicarakan bersama Abah sejak lama."

Hafidz langsung berjalan dan mendekati calon istrinya yang tengah meminta persetujuan darinya.

"Apa yang terbaik untuk kamu, aku pasti selalu mendukung," ucapnya pura-pura tegar, pada kenyataanya tidak.

"Serius? Terima kasih," jawab Kiran dengan mata berbinar-binar. Tak sengaja ia memegang punggung tangan laki-laki itu.  Menyadari kekhilafannya buru-buru, ia menarik tangannya untuk disembunyikan lagi pada bawah selimut.

Hafidz menahan senyum, perlahan hati di depan sedikit mencair.

"Lusa aku akan datang ke pesantren."

"Lu-lusa? Untuk apa datang ke sana?"

Kiran sangat kaget.

"Melamar kamu."

Tubuhnya mati rasa. Tak percaya akan terburu-buru seperti ini.

"Kenapa harus lusa? Apa tidak terlalu cepat?"

Kiran berusaha membujuk Hafidz untuk mengulur acara lamaran. Sebenarnya hanya untuk memantapkan pilihannya jika yang akan menjadi suaminya adalah Hafidz bukan dia.

"Lebih cepat lebih baik," jawabnya tegas.

"Kenapa harus lebih cepat?"

Ada rasa getir ketika Hafidz akan bersuara. Hatinya seakan tertambat pada beban yang sangat berat.

"Aku takut kamu hamil dan nanti semuanya akan curiga."

Laki-laki itu bersuara sangat lirih dengan wajah yang menunduk.  Kiran menggigit bibirnya sambil melempar pandangan ke arah samping sambil menahan air matanya yang sudah menari  di pelupuk matanya.

"Aku menurut saja," jawab Kiran pasrah.

"Setelah itu kita langsung menikah dan tak bisa ditunda lagi."

Kiran kembali teringat sesuatu yang sangat penting, ia kembali memohon pada Hafidz.

"Ditunda beberapa hari dulu. Lusa Ifah menikah setelah itu aku juga harus wisuda."

Hafidz tersenyum karena tiba-tiba ide terlintas begitu saja.

"Berarti saat wisuda Pak Kyai dan Bu Nyai akan kemari?"

Jantung Kiran seakan berhenti berdetak. Ya, ia harus bertemu dengan orang taunya yang akan menyaksikan dirinya menyandang gelar sarjana. Namun, dia yang sudah pergi begitu saja juga pernah berjanji akan hadir saat wisuda.

Perempuan itu mengangguk lemah tetapi tidak dengan Hafidz yang wajahnya semakin berbinar.

"Aku akan melamar kamu  setelah wisuda. Setelah itu aku akan mempersiapkan pernikahan dalam waktu dekat."

"Secepat itu?"

Tubuh Kiran syok sangat tegang. Ia tak menyangka jika dalam waktu dekat akan menjadi istri polisi itu.

"Iya. Aku akan mengurus semuanya yang berhubungan dengan pernikahan. Pernikahan seperti apa yang kamu inginkan? Semoga saja aku bisa mewujudkannya."

Kiran memejamkan matanya sekejap, membayangkan impian pernikahannya seperti yang ia tulis dalam novel miliknya. Sayangnya yang datang dalam pikirannya adalah dia bukan laki-laki di samping.

"Aku tidak meminta sesuatu yang berlebihan. Kamu mau menerima wanita yang tak sempurna sepertiku saja aku sudah bersyukur."

Hafidz tersenyum lega, ia memang tidak salah memilih. Kiran dan keluarganya memang suka suka merendah padahal berasal dari lingkungan pesantren.

"Sekarang gantian aku meminta sesuatu," ujar Kiran dengan mata penuh harap untuk dikabulkan.

"Untuk kamu pasti akan aku kabulkan."

Mata Kiran berbinar seraya berucap, "Aku ingin pulang."

Laki-laki itu tidak kaget, ia sudah menduga sebelumnya.

"Nanti aku tanyakan dulu sama dokter, kebetulan aku mengenalnya."

Dengan wajah datar, Hafidz beranjak dari tempat duduknya. Netra Kiran terus mengamati punggung yang sudah melangkah menjauh. Di bahu laki-laki itu terdapat beban yang sangat berat. Berani bertanggungjawab atas apa yang bukan dilakukannya demi kehormatan dirinya dan lingkungan pesantren.

Tak terasa bulir bening itu menetes dan Kiran buru-buru menghapusnya.

"Apa kabarmu di sana? Tak takutkah atas dosa yang telah diperbuat?"

⚘⚘⚘

"Mau langsung pulang atau mau mampir makan dulu?" tanyanya dengan lembut.

Kiran termenung, dalam benaknya terlintas masih ada keinginan untuk mencari dan  bertemu dengan dia.

"Aku mau ke supermarket dulu mencari kado untuk Ifah karena besok akan menikah."

Mobil langsung melesat menuju tempat yang diinginkan Kiran. Sebenarnya Hafidz sendiri paham jika gadis di sampingnya ada maksud tertentu menuju tempat itu.

Butuh waktu seperempat jam untuk menuju ke sana, jantung Kiran langsung berdegup kencang ketika mobil sudah memasuki tempat parkir di sana. Dengan perasaan takut ia dapat melihat sosok laki-laki yang tengah mengatur sepeda motor di sana agar terbaris rapi.

Dengan langkah seribu, Kiran langsung berlalu masuk begitu saja ke dalam tanpa mencari lagi sosok yang mungkin berada di tempat itu. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan langsung membayar di kasir. Ia baru tersadar jika ternyata Hafidz tak ikut masuk.

Kiran mendapati sendiri ketika Hafidz tengah berada di area parkir bersama seseorang. Dengan perasaan takut dan kaki gemetar, ia segera bergabung ke arah mereka berdua. Ketika hendak beberapa langkah lagi ternyata Hafidz berlalu sambil memegang ponsel yang menyala sehingga menyisakan Kiran bersama dengan Anton.

"Cari Adit?" tebak laki-laki yang sering memanggilnya dengan sebutan kuntilanak.

"Tidak," jawab Kiran sambil mengalihkan pandangannya karena mata yang sudah kembali basah.

"Polisi itu juga barusan menanyakan Adit."

Jantung Kiran semakin berdetak. Hafidz masih peduli tentang masalah ini, mengesampingkan perasaannya yang mungkin sudah hancur berkeping-keping.

Kiran langsung berlalu menuju mobil yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Adit pergi jauh. Aku juga tidak tahu dia pergi ke mana. Dia sangat  ketakutan saat aku mengantarkan pergi ke stasiun."

Pertahanan air mata yang hanya terbendung di balik bulu mata akhirnya tumpah ruah juga tetapi Kiran tak berani menatap belakang.

"Aku baru pernah melihat sosok dia yang ketakutan setengah mati. Berusaha mengorek apa yang menyebabkan dia seperti itu tetapi dia terus menjawab jika harus pergi jauh. Sebenarnya apa yang terjadi?" desak Anton pada Kiran, siapa tahu orang yang paling dekat dengan Adit tahu apa yang terjadi.

"Aku tidak tahu," jawab Kiran ketus sambil masuk ke dalam mobil.

Keesokan harinya, Kiran menatap wajahnya di depan cermin. Harusnya ia bisa mendampingi sahabatnya melepas masa lajangnya, tetapi ia masih  bertahan di rumah Hafidz. Memoles tipis bedak untuk menyamarkan lingkaran di bawah mata. Mengoles lipstik warna orange untuk menyamarkan bibir pucatnya. Selama ini Hafidz tidak tahu jika makanan yang disiapkan berakhir sia-sia di tempat sampah.

"Sudah siap?" tanya Hafidz yang sudah muncul di balik pintu yang memang tak tertutup rapat.

Perempuan itu mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum menatap calon suaminya yang sudah rapi memakai kemeja batik panjang.

Tempat yang akan ia hadiri bukan gedung pernikahan yang mewah tetapi balai pertemuan yang biasa digunakan warga untuk mengadakan rapat.

Hari ini sahabatnya tampak cantik dengan balutan kebaya putih panjang dengan kerudung warna silver yang menutup dada. Hiasan bunga melati tetap dominan di atas kerudung.

"Kiran?" panggil Ifah sambil memeluk sahabatnya yang sudah berada di depannya.

Mereka berpelukan sangat erat, apalagi untuk Kiran yang sangat membutuhkan seorang sahabat pada situasi seperti ini.

"Kirain bakal datang sama Adit," bisik mempelai perempuan sambil melirik pada polisi yang tengah gagah berdiri tak jauh dari Kiran.

"Nama itu lagi. Seandainya saja kamu tahu apa yang terjadi," jerit Kiran sambil  berusaha tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

Ifah berpamitan karena ia dipanggil Bang Iqbal yang sekarang menjadi suami. Jujur Kiran sangat iri pada Ifah, mendapatkan seseorang yang ia cintai sebagai suami. Tidak seperti dengan dirinya.

"Bentar lagi kita akan menyusul mereka," bisik Hafidz dekat telinga Kiran karena suara musik mengalun keras di ruangan ini.

"Mereka yang menikah terlebih dahulu tetapi bisa jadi aku yang menimang bayi terlebih dahulu."


Best komen Sonya_0406

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro