⚘Lamaran Sesungguhnya⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Jika yang tulus tak mampu mencairkan hati yang beku, entah mengapa yang menyakitkan mampu membuat bertahan dan terus berjuang~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Kata-kata Hafidz selalu saja terngiang, Kiran harus bahagia atau sedih. Sampai detik ini selalu saja bayang-bayang dia masih menari di pikirannya. Ternyata melupakan sama saja beratnya menahan rindu. Sayangnya rindu dan cinta Kiran terlalu berlebihan sehingga jatuh di tempat yang tidak tepat.

Hari yang dinanti telah tiba, perjuangan selama kuliah di sini dan harus meninggalkan orang tua akhirnya terbayarkan dengan wisuda. Kiran menatap wajahnya di cermin, pagi-pagi buta Hafidz sudah memaksa Kiran untuk segera ke salon. Tentunya tidak sendirian ke sana karena Hafidz pasti akan menemani.

Sekarang dalam balutan kebaya modern warna pink dan kerudung merah yang divariasikan dengan beberapa asesoris menghiasi kepalanya. Mata Kiran melirik Hafidz yang tengah menunggu di kursi, hampir satu jam laki-laki itu sama sekali tak meninggalkannya.

"Sudah selesai?"

Mata Hafidz terus menatap perempuan yang akan menjadi calon istrinya sesaat lagi. Kiran mengangguk dan menyembunyikan raut wajahnya karena laki-laki itu terus menatap dirinya.

"Cantik."

Satu kata keceplosan dari bibir Hafidz, baru kali ini ia memuji perempuan langsung di depannya.

"Bisa berangkat sekarang, Abah sama Umi sebentar lagi sampai di kampus," tukas Kiran menghentikan laki-laki itu agar tak memandangnya seperti itu.

"Eh, bisa," jawab Hafidz salah tingkah kedapatan mencuri pandang perempuan yang masih sebagai calonnya.

Kiran berjalan pelan, maklum kain di bawah membuat langkahnya tak seperti biasa. Sedangkan Hafidz sendiri berjalan di belakang sambil menenteng tas milik Kiran. Membukakan pintu depan untuk Kiran agar duduk di samping Hafidz.

"Ada sesuatu yang ketinggalan atau kebutuhan yang perlu dibeli untuk acara wisuda?"

Kiran menggeleng sambil tersenyum. Hafidz sendiri berpikir keras karena ia sepertinya melewatkan membeli sesuatu tetapi entah apa, ia sendiri tak ingat.

Jalanan menuju aula yang digunakan untuk acara sudah sangat padat merayap oleh kendaraan keluarga mahasiswa yang akan melaksanakan wisuda hari ini.

Mata Kiran langsung mencari mobil milik abah yang lima menit lalu mengabarkan jika sudah sampai di tempat ini.

"Itu Pak Kyai!" seru Hafidz sambil menunjukan laki-laki paruh baya memakai baju putih lengkap dengan kain sarung ciri khasnya. Di samping juga terdapat Umi dengan khimar panjang berwarna putih.

Kiran langsung membuka dan keluar dari mobil, berjalan lebih cepat menemui orang tuanya yang sedang berdiri di depan gerbang.

"Abah? Umi?" sambut Kiran sambil mencium tangan orang tuanya. Tak luput, anak perempuan itu memeluk ibunya dengan sangat erat. Hampir saja ia menitikkan air matanya kembali mengingat kejadian yang menimpanya.

"Hafidz?" sapa Abah pada laki-laki yang sekarang bergabung dengan mereka bertiga. Sama dengan halnya dengan Kiran, dengan tangan gemetar laki-laki itu mencium tangan Pak Kyai dan tersenyum pada Bu Nyai.

Nyali Hafidz sedikit menciut, apa pantas jika dirinya bisa bergabung di lingkungan pesantren dan menjadi menantu orang nomor satu di pesantren.

Hafidz menyuruh Pak Kyai dan Bu Nyai untuk masuk ke dalam karena di luar matahari lukayan bersinar terik.

Baru beberapa langkah, ada seseorang yang memanggil nama Kiran. Jantung perempuan itu berdetak ketika jelas yang memanggil adalah seorang laki-laki.

"Apa dia benar-benar akan datang?"

Dengan perasaan takut dan gemetar tetapi pandangan yang terus tertuju pada bawah karena tak berani menatap ke depan. Walaupun pada akhirnya ia harus melihat siapa yang memanggilnya.

Laki-laki memakai kemeja panjang, mungkin umurnya sepantaran dirinya tengah membawa bunga dengan ukuran lumayan besar.

"Ada titipan seseorang untuk Mbak Kiran," sahut laki-laki itu sambil memberikan bunga.


Kiran menerima dengan ragu sambil terus mengamati laki-laki yang sama sekali tak ia kenal.

"Dari seseorang tetapi saya tak berani menyebutkannya. Mungkin kartu ucapan di situ bisa mewakili rasa keingintahuan Mbak."

Dengan gerakan cepat, Kiran mencari sebuah kertas di sela-sela bunga itu. Kartu warna merah jambu terlipat dalam amplop warna senada.

"Saya permisi dulu, Mbak," pamit laki-laki itu undur diri tetapi sengaja tak pergi jauh, hanya melangkah beberapa meter dan sibuk dengan ponselnya.

Dengan perasaan yang sudah tak menentu, Kiran membuka lipatan kertas tersebut. Matanya langsung berkaca-kaca melihat satu nama di sana.

Mata itu langsung melihat ke arah kanan kiri, berharap dia ada di sini. Sayangnya tak ada, memang tak lebih dari lelaki pengecut. Tangan itu langsung meremas kertas tersebut dan membiarkan jatuh ke atas tanah. Mungkin dalam beberapa detik lagi akan terinjak orang yang akan memasuki gedung utama.

Pandangan Kiran langsung tertuju pada benda berwarna hijau di sampingnya. Ia lalu melihat apa yang ia pegang dan kemudian membuangnya tanpa rasa salah dan segera bergabung ke dalam bersama orang tuanya.

Laki-laki pengantar bunga langsung pergi sambil menelepon seseorang.

"Bunganya dibuang begitu saja."

Lain dengan Hafidz yang tadi menyelinap keluar sebentar setelah mengantarkan orang tua Kiran untuk menunggu ke dalam. Ia baru sadar ketika mahasiswa yang wisuda banyak yang memegang buket bunga, pantas saja ia seperti melewatkan sesuatu.

Namun, langkahnya terhenti ketika dari jauh melihat seseorang seperti kurir tengah memberikan bunga kepada calon istrinya. Dari balik pohon, Hafidz ingin tahu apa reaksi Kiran. Di luar dugaan, depan mata Hafidz sendiri ternyata Kiran membuangnya.

Setelah Kiran masuk ke dalam, ia baru sadar siapa yang mengirimkan bunga melalui secarik kertas yang sudah tak rapi lagi.

⚘⚘⚘⚘

Waktu yang ditungu-tunggu telah tiba setelah acara wisuda. Hafidz membawa Kiran dan orang tuanya menuju saung yang pernah mereka datangi saat acara syukuran bertambah umurnya Kiran.

Tidak hanya Hafidz, Kiran sendiri gugup setengah mati ketika badannya sudah panas dingin tak menentu. Laki-laki itu juga terlihat sangat gugup dan lebih memilih menunduk ke bawah.

"Nduk, mau pulang bareng ke Solo sekarang atau masih ada perlu lagi di sini?" tanya Umi dengan lembut.

Kiran langsung menatap Hafidz yang juga sedang memandang ke arahnya. Sementara abah sudah asyik menikmati makanan di saung ini.

"Pulang nanti saja, Um. Masih ada lagi yang harus diselesaikan," jawab Kiran gugup.

Raut wajah umi terlihat sedikit kecewa, ia mengambil gelas yang berisi teh manis hangat dan meminumnya. Kiran langsung melirik lagi ke arah Hafidz yang tubuhnya tegak efek tegang. Ia menunggu sampai Pak Kyai menyudahi santapan siangnya.

"Sebelumnya saya minta maaf, Pak Kyai. Ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan," tutur Hafidz dengan gugup.

"Katakanlah," jawab Abah sambil memandang laki-laki yang sudah menjaga putrinya sejak tragedi penculikan.

Wajah Hafidz semakin gugup, terlihat dari gerakan tubuhnya yang banyak gerak.

"Bismillahirohmanirrohim, sebelumnya saya minta maaf karena sudah lancang. Saya ingin...."

Hafidz menarik napas dalam-dalam. Pak Kyai semakin seksama mendengarkan murid yang pernah belajar di pesantren.

"Saya ingin mengkhitbah putri Kyai-Kiran."

Tubuh abah dan umi sedikit terlonjak efek terkejut. Sekarang wajah Abah terlihat sedang berpikir keras sambil sesekali menatap istrinya. Kiran sendiri semakin menunduk sambil memainkan ujung kebayanya untuk mengurangi efek gugup.

"Kiran?" panggil Abah lembut.

"Dalem, Abah."

"Anak muda, apa kamu yakin dan sudah memantapkan keinginan kamu? Pikirkan lagi baik-baik. Khitbah itu tidak sembarangan karena masih ada proses lagi kedepannya yang lebih penting."

Dua anak muda itu saling menatap sekejap, lebih-lebih Kiran yang lututnya sudah lemas. Ia tak menyangka jika abah akan menolak keinginan mereka berdua. Lantas apa yang harus ia lakukan ke depannya? Apa yang akan terjadi jika nantinya ada janin di dalam rahimnya?

"Saya sudah memikirkan masak-masak, saya sudah jatuh cinta sama putri Kyai saat masih mondok."

Tawa kecil terdengar dari mulut Abah sambil bolak-balik beristighfar karena sudah kelepasan dalam tawanya.

"Kiran itu masih seperti anak kecil, sedikit tomboy dan tidak seperti Ning pada umumnya. Abah takut kamu nanti akan menyesal pada akhirnya."

"Tidak, saya tidak akan menyesal. Manusia tidak ada yang sempurna, sebaliknya saya juga masih banyak kekurangan. Insyaallah kami bisa melengkapi kekurangan masing-masing."

Abah manggut-manggut, ini adalah sudah ke berapa kalinya anak muda melamar putrinya.

"Apa kamu sudah tahu jika nanti Kiran akan menempuh pendidikan lagi?"

Suara serak abah menandakan perasaan belum rela jika nanti ada seorang ikhwan yang akan mengambil putrinya. Di mata abah umi, Kiran tetap menjadi gadis kecilnya yang masih butuh kasih sayang. Selama ini Alif-putra pertamanya yang paling semangat menjodohkan Kiran dengan sahabat Alif.

"Saya sudah tahu, Kyai. Kiran pernah menceritakannya."

"Kiran akan kuliah di luar negeri loh? Bukan di sini."

"Saya paham, Kyai. Oleh sebab itu saya ingin langsung melaksanakan akad secepatnya."

Suasana menjadi tegang, Abah bolak balik menatap umi yang lagi-lagi sangat terkejut.

"Pikirkan lagi baik-baik!" nasihat Abah.

"Tapi saya sudah mantap ingin menikah dengan Kiran."

Suara Hafidz sangat tegas tak seperti sebelumnya yang sedikit gugup. Keinginannya sudah bulat tak bisa digoyahkan. Kiran sedikit berkaca-kaca melihat perjuangan Hafidz yang ingin menyelamatkan nama baik dirinya dan pesantren.

"Abah serahkan semuanya pada Kiran yang akan menjalaninya," sahut laki-laki tua itu dengan wibawa menatap putrinya.

Suasana kembali hening. Untung saja masih terdengar suara gemericik kolam di saung sedikit menjadi hiburan situasi saat seperti ini.

Sebelum mengatakan sesuatu, Kiran menatap umi dengan wajah yang penuh harap sambil tersenyum dan mengangguk pada putrinya.

"Bismillah, saya menerima pinangan dari Mas Hafidz."

Antara lega dan gugup, akhirnya Hafidz dapat tersenyum dengan puas. Bagaimana tidak penantiannya selama ini terbayar di sini walaupun tidak disaksikan kedua orang tuanya. Yang membuat lucu dan aneh adalah ketika perempuan itu memanggil dengan sapaan mas bukan seperti biasa hanya memanggil nama saja.

"Besok saya akan ke Solo untuk memberitahukan pada bapak ibu perihal ini sekaligus mempersiapkan acara pernikahan. Sebelumnya saya juga harus mempersiapkan sidang pernikahan terlebih dahulu di kantor."

"Secepat itu?" tanya Umi mulai bersuara.

"Bukankah tidak baik menunda perihal kebaikan yang membawa pahala, Bu Nyai?"

Umi mengangguk, ia sudah mengenal laki-laki yang bakal menjadi calon menantunya.

"Coba mulai saat ini panggil umi saja, jangan Bu Nyai!" perintah Umi pada Hafidz.

"Nggih, Umi," jawab Hafidz dengan sedikit janggal penyebutan kata itu.

"Apa nanti ke Solo bareng sama kita saja?" tawar abah yang sudah melunak.

"Mboten, saya masih ada dinas malam."

Baru saja berkata seperti itu, gawai milik Hafidz berdering. Setelah melihat layar, raut wajah polisi itu langsung berubah.

"Maaf, Pak Kyai. Saya ada kerjaan mendadak di kantor. Insyaallah akan memberi kabar secepatnya masalah pernikahan kami."

"Silakan."

Hafidz berpamitan dan undur diri. Pikirannya tertuju pada masalah berat yang akan ia hadapi nantinya.

"Mas?"

Hafidz terperanjat kaget, ia melupakan sesuatu begitu saja. Laki-laki itu menatap belakang dan melihat Kiran tengah berdiri mengikutinya sampai tempat parkir.

"Astaghfirullah, aku lupa. Nanti kamu pulang dianterin Abah atau mau naik taksi?"

"Dianter sama abah saja. Mas mau ke mana?"

Kiran belajar keras untuk mengganti panggilan kepada calon suaminya karena selalu memanggilnya nama saja.

Wajah Hafidz langsung kembali tegang.

"Ada kasus yang belum selesai, sepertinya polisi berhasil mengintai keberadaan pelaku kejahatan . Aku harus memimpin penyergapan ini."

Ada rasa takut dalam diri Kiran, calon suaminya kapan saja, bisa diperintahkan untuk bertugas tanpa mengenal waktu.

"Hati-hati."

Hafidz sedikit tenang, perhatian sedikit saja seperti ini sudah membuat rasa takut tiba-tiba hilang. Semoga saja cinta bisa hadir pada hati Kiran untuknya seorang.

"Sepertinya aku juga nanti langsung ke Solo. Kamu juga harus hati-hati!"

Kiran mengangguk, ternyata belajar membuka hati lebih baik dibandingkan harus menyesali masa lalunya yang kelam.


⚘⚘⚘⚘

Wanita paruh baya dengan wajah sedih karena telah kehilangan keberadaan putranya, tengah memasuki pintu gerbang rumahnya. Ia sangat terkejut ketika melihat keberadaan mobil hitam terparkir di sana. Dengan hati-hati ia bersembunyi di balik pintu sambil terus memegang ponselnya.

"Kenapa kamu ke mari? Kamu bisa ditangkap?" seru Arya melihat laki-laki tengah duduk di sofa tanpa rasa salah.

"Tidak apa-apa masuk penjara. Asal aku sudah bisa menghancurkan Adit."

Arya meradang, ia mendekat seraya berkacak pinggang.

"Kamu apakan Adit, hah!"

"Menghancurkan bukan melenyapkan. Ternyata lebih gampang menghancurkan dengan bantuan pacarnya dibandingkan dengan kekerasan," sahutnya disertai gelak tawa keras.

"Awas kalau terjadi sesuatu dengan Adit!"

Haris berdiri dengan wajah garang sambil menunjuk telunjuknya ke arah Arya.

"Bukankah itu tujuan utama Om untuk menyingkirkan Adit?"

Arya meradang.

"Bukan menghancurkan, cuma memberi efek jera saja agar dia kembali ke tempat ini," sanggah Arya yang sudah khawatir.

"Cihh, omong kosong. Mau sampai kapan Om menyembunyikan semuanya. Adit berhak tau jika dia bukan -"

"PLAK!!!"

Suara tamparan yang sangat keras mengenai pipi Haris.

"Sampai kapanpun Adit tetap anak saya!"

Kedua orang itu bersitegang tanpa menyadari kawanan polisi yang sudah mengepung tempat ini.

"ANGKAT TANGAN. KALIAN SUDAH DIKEPUNG DAN TAK BISA BERGERAK!" seru Hafidz memimpin penyergapan ini. Ia berjalan paling depan sambil memegang senjata diarahkan pada orang di sana yang sudah bertekuk lutut pasrah.

Haris tak bisa berkutik, apa yang diucapkan Arya akhirnya terkabul juga. Setelah ini, hidupnya akan berakhir di bui.

Setelah bawahannya membawa Haris dan Arya ke mobil, Hafidz ikut keluar untuk segera ke kantor memberikan laporan atas kejadian barusan.

"BRUKK!"

Sebuah tas kamera jatuh karena ia tak hati-hati dan menabrak seseorang. Perempuan sama yang selalu meliput kejadian kriminal ketika ia meringkus aksi kejahatan.


Jangan lupa follow instagram author @Galuch Fema atau yang mau chat di WA silakan ke nomor 089680710616

Best komen WardahAlGhifari

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro