⚘Dia⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Jika doaku kemarin memaksa Tuhan agar engkau kembali, namun tidak sekarang karena yang ku pinta adalah ikhlas. Puncak mencintai seseorang adalah mengikhlaskan.~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Kiran  membuka tirai jendela balkon. Entah mengapa ada ketakutan tersendiri ketika harus menyambut pergantian hari. Ia sangat takut jika nantinya ada makhluk kecil yang tumbuh dalam tubuhnya. Ini sudah seminggu sejak kejadian itu.

"Astaghfirullah," ucapnya sambil kembali menitikkan air mata. 

"Apakah masih ada kata ampunan untuk makhluk seperti hamba-Mu ini, Ya Allah? Aku sudah hina ditambah pula harus berbohong pada Umi dan Abi. Jika tidak ada Hafidz, entah sanggup atau tidak menjalani kedepannya sendiri?

Hafidz? Ia kembali teringat laki-laki itu, terakhir ketemu saat di saung, setelah itu tak lagi bertemu karena sudah pergi ke Solo.

Kiran sengaja mengalah untuk menghubungi nomor tersebut? Sayangnya baru kali ini nomor Hafidz tidak aktif. Kiran semakin gusar dan khawatir takut terjadi sesuatu dengan calon suaminya. Apalagi sempat berbicara jika kemarin akan melakukan penyergapan? Apakah dia sekarang baik-baik saja? Semoga saja tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apalagi jatuh ke pelukan perempuan lain karena dalam waktu dekat polisi itu akan menjadi milik Kiran.

Kiran menemukan secarik kertas di atas meja dekat tangga di balkon. Ia mengira jika itu adalah tulisan tangan Hafidz untuk dirinya tetapi ternyata hanya sebuah undangan kajian di masjid kompleks sini.

Ketika melihat waktu yang tertera, tiba-tiba hati perempuan itu tergugah untuk datang ke sana. Hatinya yang kosong butuh siraman rohani setelah tenggelam dalam penyesalan yang tak berujung.

Suasana masjid lumayan ramai karena banyak yang datang, mungkin saja tema yang diusung menarik. Kiran duduk di pojok belakang karena memang acara sudah dimulai, sayup-sayup penceramah juga sudah mulai mengisi acara.


"Benarkah jodoh atau pasangan hidup kita merupakan cerminan diri kita, sebagaimana yang pernah dituangkan dalam firman Allah SWT sebagai berikut:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Artinya; Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS. An-Nur; 26)


"Jadi jodoh itu tidak jauh dari tempat di mana kamu menghabiskan waktu. Bisa di tempat kerja atau kuliah, main atau hobi. Itulah mengapa kita harus pilih-pilih tempat bergaul dan hijrah dari tempat yang kurang tepat."

"Kalau kita sering ke tempat yang positif, seperti kajian atau masjid, insyaallah Allah akan memilihkan pendamping yang baik pula. Namun, kalau kita bergaul dengan orang yang tidak baik seperti preman atau penjahat, bisa jadi jodoh juga berasal dari orang-orang tersebut. Naudzubillah. "

Pipi Kiran seakan tertampar mendengar ucapan penceramah barusan. Ia tak kuasa membendung air matanya, menutup wajah untuk menyembunyikan isak tangis. Untung saja ia duduk di pojok belakang sehingga orang tak mengetahui jika ia menangis. Tangannya meremas kuat sebuah tasbih pemberian seseorang yang selalu ia simpan.

⚘⚘⚘⚘


Kereta Argo Dwipangga membawa seseorang menuju suatu tempat yang sudah direncanakan matang-matang. Setelah hidupnya terombang ambing tak menentu akhirnya dengan tekad bulat memberanikan ke tempat yang nantinya akan mengutuk kehadirannya.

Ada rasa berat ketika harus meninggalkan seseorang di sana berjuang sendirian tetapi ini terpaksa dilakukan untuk menggapai masa depannya.

Di gerbong kereta ini, sengaja ia membeli dua kursi sekaligus, ia tak menginginkan ada orang lain yang menempati kursi di sampingnya. Biarkan kosong sama saja dengan isi hatinya yang kosong.

Sengaja memilih waktu siang untuk berangkat,  sehingga bisa sampai tujuan sekitar sehabis asar.   Selama perjalanan merenungi setiap detik yang pernah terjadi, manusia hanya bisa berjalan seiring waktu tapi tak bisa mengembalikan waktu sedetik pun yang telah ia lewati.

Suara hiruk pikuk penumpang yang akan turun di Stasiun Balapan membangunkan seseorang yang terlelap dalam tidur selama perjalanan.  Tas ransel favorit ia letakkan di pundak, tak lupa menurunkan topi hitam ciri khasnya untuk menutupi sebagian wajahnya.

Angin kota Solo menyapu wajah yang terus menunduk, sedikit menyegarkan tetapi selebihnya sangat menyesakkan hati karena jantung yang tiba-tiba berdetak semakin cepat.

"Hap."

Satu lompatan kaki dari atas gerbong menuju lantai di stasiun. Ia merasakan  perubahan yang sangat besar di kakinya yang sakit. Setelah pertikaian dengan polisi itu yang sengaja menginjak kakinya dengan keras malah membuat kaki bisa berjalan normal walaupun masih ada sedikit rasa sakit di sana.

Ia membuka gawai dan membaca pesan di sana.

"Masjid Laweyan," ucapnya lirih. Ia akan bertemu dengan seseorang yang sengaja mengajaknya bertemu di Masjid itu.

Menghampiri tukang ojek yang sudah menanti penumpang kereta di jalan keluar dari stasiun.

"Masjid Laweyan, Bang!"

Tukang ojek itu tersenyum ramah sambil menyerahkan helm kepada penumpang laki-laki yang mendekatinya.

"Monggo, helmnya dipakai."

Ia sengaja memilih naik ojek agar kedua matanya tak menyiakan kesempatan melihat kota-kota di daerah Laweyan yang terkenal dengan bangunan kuno peninggalan penjajah. Namun, sebagian besar bangunan itu sudah mengalami perombakan sedikit modern sehingga tak berkesan seperti kota tua.

Butuh waktu kurang lebih seperempat jam untuk sampai di depan Masjid Laweyan yang identik dengan warna hijau.

"Ambil saja kembaliannya!"

Mata tukang ojek berbinar-binar melihat uang yang diterima seraya membungkukkan badannya.

"Maturnuwun, Mas. Semoga rejekinya lancar."

Laki-laki itu hanya mengangguk sambil berlalu menapaki tangga yang ada di Masjid. Menunggu seseorang yang tadi sempat mengirim pesan jika ia melakukan salat terlebih dahulu di masjid.

Di balik topinya, ia masih bisa mengamati jika bangunan masjid ini juga bangunannya juga unik. Dulunya bangunan ini adalah Pura Hindu.

"Hey, maaf menunggu lama ya?" sahut seseorang sambil mengambil topi yang dipakai temannya.

Mata laki-laki yang duduk di tangga membulat karena benda favoritnya tak berada di atas kepalanya.

"Kembalikan!" serunya karena kesal.

Tawa gelak laki-laki yang masih memakai peci langsung menyerahkan topi pada pemiliknya.

"Kamu masih seperti dulu saja."

"Tidak akan yang bisa mengubahku."

"Termasuk Arya?" sindir Bayu pada temannya.

"Jangan bawa nama orang itu. Muak aku mendengar nama atau mengingatnya," sahutnya semakin kesal.

"Yakin kamu mau di sini lama?" tebak Bayu semakin tak paham jalan pikiran orang yang duduk di samping.

"Ya, sampai semua masalah di sini selesai."

"Apa kamu yakin sudah memikirkan baik-baik? Keputusan yang kamu ambil itu berat. Tidak semua orang akan menyetujuinya, apalagi orang tua kamu pasti akan menentang."

"Aku sudah memikirkan matang-matang untuk menebus kesalahan aku."

"Jangan kamu mengambil pilihan hanya untuk menebus kesalahan itu saja, tapi niatkan benar-benar dalam hati jika kamu ingin berubah."

Adit merenung kata-kata temannya, selama ini ia yang selalu menyesali kesalahan terbesar yang telah ia perbuat sedangkan niat dari dalam hati belum terucap dari bibirnya.

"Temani aku melewati ini semua ya, cuma kamu yang tulus berteman dengan aku," bujuk Adit sambil membenarkan topi karena angin di Laweyan lumayan kencang.

Bayu tersenyum kemudian tertawa.

"Memang kenapa dengan teman-teman kamu? Mereka mendekati kamu karena ada maunya? Secara bos muda yang banyak uang seperti kamu, Dit."

"Aish, apaan sih."

"Sok merendah, sudah  berapa bengkel dan sorum mobil yang kamu buka?"

"Ada lumayan, banyak harta seperti ini kalau hatiku kosong tak ada tujuan sama saja, Bay. Ibarat layangan putus dari benangnya."

"Tenang saja, aku akan bantu kamu semaksimal mungkin."

Suara azan terdengar jelas membuat dua laki-laki itu langsung  bergeming. Bayu menggulung kemeja panjangnya karena ia akan mengambil wudu. Sedangkan Adit terus menikmati lantunan azan tersebut yang terasa mengena di hatinya. Sebelumnya ia juga pernah dalam situasi seperti ini saat ia menemani Kiran menjalankan kewajibannya.

"Melamun? Mau ikutan salat ke dalam?" goda Bayu yang sudah berdiri bersiap masuk ke dalam.

"Aish, apaan sih. Aku tunggu di sini saja," ucap Adit dengan kesal.

"Kirain mau mualaf sekarang."

"Heh," sahut Adit memalingkan wajahnya menatap senja yang akan berganti malam. Tak sengaja tatapannya tertuju pada beberapa orang yang berjalan buru-buru menapaki tangga yang ia duduki saat ini.

Mungkin sebagian orang melihat keanehan pada dirinya karena bukannya ikut masuk ke dalam menunaikan salat tetapi masih bertahan di luar seperti ini.

"Yuk, cabut!" perintah Bayu selesai salat yang sekarang sudah memakai jaket seperti yang Adit kenakan.

"Pulang ke rumah kamu?"

"Sayang amat kota Solo malam hari cuaca terang begini dilewatkan begitu saja."

Adit menerima helm yang diberikan Bayu.

"Mau ke mana kita?"

"Jalan-jalan ke HIK."

"HIK tempat apaan itu?"

Bayu melajukan motornya sambil menengok ke belakang sekejap.

"Nanti juga tahu."

Tak ada lima menit mereka sudah sampai tempat yang dituju. Suasana amat ramai karena di dominasi anak muda yang menikmati makanan  di bawah tenda terpal.

"HIK itu singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung. Sepanjang trotoar ini, angkringan menyediakan makanan khas sini. Ayo kita ke sana saja yang gak terlalu ramai."

Adit mengikuti Bayu menuju tenda paling ujung, di sana sudah ada pedagang seorang bapak tua yang sedang membuat minuman.

"Wedang ronde dua, Pak!" seru Bayu pada Bapak tua.

Adit memilih nasi kucing lengkap dengan sate jeroan ayam dan beberapa gorengan lainnya.

"Rame ya?"

"Kalau terang lumayan ramai, apalagi kalau malam minggu lebih ramai lagi."

"Harus adaptasi dengan kota ini, siapa tahu bakal dapat putri Solo," sindir Bayu. Sedangkan Adit hanya membalas dengan deheman lirih. Lagi-lagi ia teringat putri Pak Kyai yang sudah ia sakit lahir dan batin karena ulahnya.

"Serius kamu besok mau ke sana?" tanya Bayu yang entah sudah berapa kali bertanya dengan kalimat itu bolak-balik sehingga telinga Adit panas.

"Harus."

"Sudah siap dengan resikonya?"

Adit diam, jujur ia masih belum bisa berpikir sejauh ini.

"Orang yang kamu hadapi ini bukan orang biasa loh, Dit. Orang nomor satu di pesantren. Kamu jangan menganggap sepele. Beliau orang yang sangat terpandang."

"Beliau bisa bakal marah besar atas ulah kamu pada putrinya.  Apalagi aku tidak bisa membayangkan jika beliau tahu kalau kalian berbeda," sambung Bayu dengan seringai ketakutan.

"Bantu aku, Bay. Entah pada siapa aku harus meminta tolong."

"Tapi aku tidak bisa janji bantu kamu sepenuhnya. Masalah kamu sungguh berat."

Nyali Adit semakin menciut, apa yang dikatakan Bayu banyak benarnya.

"Lagian kamu gak tanggung-tanggung sekalinya dekat sama anak Kyai."

"Kalau tahu sebelumnya aku gak bakal berani deketin. Ayo pulang!" perintah Adit sambil memukul pundak temannya.

"Mau aku antarkan ke hotel?"

"Heh, aku mau menginap di rumah kamu."

Mata Bayu terbelalak kaget dan syok.

"Dit, rumah aku kecil, enggak bagus. Tidur aja di atas tikar. Enggak mungkin bos kaya kamu tidur di tempat aku?"

"Aish, aku tidur di emperan supermarket saja pernah."

"Dasar orang kaya sok pura-pura miskin," sindir Bayu telak.


⚘⚘⚘⚘


Pagi menjelang siang, motor Bayu mengantarkan Adit pada tujuan utamanya. Adit masih terpukau saat motor melintasi gang kecil yang bernama Ndalan Cilik. Bangunan dengan dinding warna-warni dengan beberapa ornamen hiasan batik yang menghiasi sepanjang gang. Kota Laweyan terkenal dengan batiknya.

Sebenarnya pagi buta, Adit sudah bersiap untuk pergi tetapi rasa canggung yang bercampur khawatir membuat ia terus mengulur waktunya.

Sekarang, ia sudah berdiri di depan gerbang pondok pesantren yang berdiri dengan megah siap menyambut laki-laki yang sudah panik dan panas dingin.

"Aku harus gimana?"

Bayu terus mengamati wajah temannya yang sudah panas dingin. Ia cuma mengangkat bahu karena tidak tahu apa yang harus ia bantu untuk temannya.

Dengan langkah gontai dan detak jantung yang semakin cepat, ia mendekati masjid ukuran besar. Kebetulan untuk masuk ke sana tak perlu melewati gerbang pesantren karena ada pintu di samping dekat jalan raya yang bisa ia masuki. Beberapa santri yang mondok sudah berdatangan hendak melakukan salat.

Tampak seorang laki-laki paruh baya dengan berpenampilan serba putih tengah mendekat ke arah Adit. Beberapa santri laki-laki tampak berebut mencium tangan sebagai rasa hormat pada Kyai.

Perasaan Adit semakin tak menentu karena sekarang ia berdampingan dengan Pak Kyai yang tak lain adalah Abah Kiran. Sosok yang sebagai panutan itu tersenyum hangat ke arahnya.

"Ndak, ikutan salat?"

Laki-laki yang identik dengan topi itu berdiri kaku,  entah apa yang harus ia lakukan. Berterus terang jika mereka berbeda atau langsung memohon ampun atas yang pernah ia lakukan pada putri Kyai tersebut.

Selamat Hari Raya Iduladha
Mohon maaf lahir dan batin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro