⚘Temu untuk Luka⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Aku tak bisa berkata lain jika takdir mengharuskan perpisahan, setidaknya kamu sudah mengajarkan aku tentang banyak hal. Apa itu tentang sabar, cinta dan sakitnya perpisahan~

***
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

"Maaf sudah membuatmu seperti ini."

Laki-laki yang belum mengganti seragamnya hanya bisa tersenyum yang dipaksakan karena  perasaan yang sangat kecewa. Ia bolak-balik melihat arloji di pergelangan tangannya.

"Sial. Kereta sebentar lagi berangkat!" serunya dalam hati. Mungkin saja tiket kereta akan berakhir sia-sia seperti sebelumnya.

"Eh, maaf. Apa kakak mau berangkat dinas atau pergi?"  tanya perempuan itu dengan khawatir.

"Tidak apa-apa. Kita cari lensa untuk kamera  saja dulu karena penting untuk kamu kerja."

"Tidak perlu, Kak. Di rumah masih ada satu kok."

"Tidak apa-apa. Aku sudah menghancurkan benda itu."

"Kan tidak sengaja?" sahut perempuan itu sambil tersenyum manis melangkah cepat dan menghalangi langkah Hafidz sehingga polisi itu langsung menghentikan langkahnya daripada harus menubruk wartawati itu.

"Tetap aku yang salah. Ayo cepat kita cari!" seru Hafidz memilih  ke samping untuk meneruskan langkahnya yang terhambat oleh gadis yang bernama Azkia seperti yang tertulis di ID Card yang tertempel di bajunya.

Hafidz sangat lega, ternyata mencari lensa yang sepadan dengan kamera Azkia  membutuhkan waktu yang tidak lama.

"Oke, terima kasih, Kak. Semoga kita bertemu lagi di aksi selanjutnya ," pamit Azkia dengan senyum termanisnya.

Buru-buru Hafidz beristighfar, pesona perempuan barusan hampir membius dirinya dan hampir melupakan jika dirinya sudah mempunyai calon istri.

Ia merogoh saku celana untuk mengeluarkan gawainya. Perjalanan yang ia tunda semoga saja bisa mengantarkan  untuk bertemu lagi dengan Kiran karena ia lupa menyerahkan sesuatu saat di saung.

Baru saja hendak menghubungi Kiran, tiba-tiba sudah ada panggilan dari atasan yang mengharuskan ia ke kantor saat ini.

"Sial, selalu seperti ini. Sudah berapa kali tiket terbuang sia-sia," gerutunya dengan kesal.


⚘⚘⚘⚘

Setelah menyelesaikan administrasi di kampus, Kiran lebih memilih untuk pulang saat ini juga. Memang keputusan ini ia ambil secara mendadak , tahu seperti ini kemarin ikut pulang sama abah.

Ifah sudah berumah tangga, otomatis waktu dia tak seperti dulu lagi saat lajang. Sedangkan Hafidz sendiri mungkin sudah sampai Solo, ponselnya tumben tidak aktif. Ada rasa takut berdesir di hati Kiran, apa mungkin laki-laki itu membatalkannya dan tak dapat restu dari orang tuanya setelah mengetahui Kiran perempuan seperti apa.

Stasiun Purwokerto tak seperti biasanya. Hari ini cukup lengang sehingga bisa mengamati penumpang yang sama seperti dirinya berdiri di samping peron menunggu ular besi itu tiba.

Penglihatan Kiran terbelalak kaget ketika tak sengaja melihat seorang laki-laki yang tengah terburu-buru ikut berdiri di sampingnya, sayangnya ia tak mengetahui siapa yang tak jauh darinya.

"Mas?" sapa Kiran masih dengan rasa terkejutnya.

Tubuh tinggi atletis dengan wajah tampan langsung menatap samping. Ia sama terkejutnya dengan Kiran. Namun, laki-laki itu lebih panik dan salah tingkah.

"Ka-kamu?" tanyanya dengan tak percaya. Ia mengira tak akan bertemu di sini. Kepalanya langsung melihat sekitar barangkali menemukan seseorang yang mengikutinya.

Kiran mengangguk sambil terus melihat wajah di samping  yang terlihat syok, sepertinya memang ada yang disembunyikan.

"Bukankah mas seharusnya sudah sampai Solo?"
Kiran semakin bingung.

"Ak-aku kemarin ada tugas mendadak, jadi baru bisa pulang sekarang."

Kiran terus mengamati wajah yang sepertinya terlihat gugup terlihat dari bola matanya yang terus bergerak.

Perempuan itu hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.

"Kamu mau ke mana?"

"Loh bukannya aku sudah kirim pesan sama Mas Hafidz jika hari ini aku pulang ke Solo karena urusan di kampus sudah selesai?"

Hafidz terlonjak kaget, ia langsung meraba saku celana dan jaketnya untuk menemukan sesuatu. Sayang, benda itu sudah tak menyala dari kemarin.

"KAKAK!!!" seru seseorang dari arah  belakang mereka berdua.

Kiran dan Hafidz tertuju pada seorang perempuan tengah melambai ke arah mereka. Sayangnya, Kiran tak mengenali sosok tersebut.

"Sia—"

Perempuan itu berlari menuju peron, tepatnya menuju seseorang di samping Kiran.

"Kunci mobil simpan saja sama kakak, saya pulang sama teman. Kebetulan ada teman yang ada tugas liputan daerah sini."

"Eh, iya. Terima kasih, " sahut Hafidz dengan gugup tambah salah tingkah. Ia melirik ke arah samping yang sekarang membuang muka dan pura-pura melihat kereta yang datang.

"Oke, kak. Aku mau ada tugas lagi, sampai ketemu lusa," pamitnya sambil melambaikan tangan.

Kiran sendiri enggan memperhatikan kedekatan dua orang itu, ia melangkah menaiki anak tangga sambil menelan kekecewaan.

Dengan langkah gontai melihat nomor kursi yang akan ia duduki. Setelah menemukan, buru-buru ia duduk karena dadanya sesak hendak menitikkan air mata.

"Siapa perempuan itu? Kenapa mereka bisa bersama dalam satu mobil?  Kenapa perempuan itu hadir di saat ia selangkah lagi hidup bersama dengan laki-laki itu?"

"Ternyata kita satu gerbong ya?"

Kiran langsung menghapus setitik air mata yang hampir lolos di depan Hafidz.

"Iya."

Hafidz langsung duduk di samping Kiran yang masih kosong. Mungkin saja di stasiun berikutnya akan terisi. Apalagi kereta sudah mulai berjalan dengan irama roda yang kadang memekakkan telinga.

"Perempuan tadi?" tebak Hafidz mengetahui perubahan raut wajah Kiran yang terus menatap pemandangan di luar dibandingkan menatap ke depan atau ke arah Hafidz.

Kiran menatap sekilas kemudian lebih memilih menatap pemandangan luar lagi.

"Kita sering bertemu untuk urusan kerja. Kebetulan dia wartawan yang selalu meliput saat terjadi aksi penggerebekan atau lainnya."

Kiran sama sekali bergeming, entah mengapa hatinya sedikit sakit melihat kedekatan saat mereka tadi di stasiun.

"Kemarin saat penggerebekan Haris, tak sengaja aku menyenggol tas milik Azkia menyebabkan lensa kamera dia pecah."

Kiran langsung menatap ke samping,  bukan alasan yang hafidz paparkan tetapi satu nama yang membuat dirinya syok setengah mati.

"Ha-Haris?"

"Ya, dia tertangkap di rumah orang tua Adit—pemilik kampus tempat kamu kuliah."

"Terus sekarang gimana?"

"Haris sudah mendekam di penjara, dan Pak Arya juga ikut terseret karena dia secara tidak langsung ikut di dalamnya."

"APA? PAK ARYA?" pekik Kiran saking terkejutnya. Ia menyandarkan tubuhnya lada senderan bangku di kereta. Tak menyangka jika ada orang lain terlibat di dalamnya.

"Ya, Pak Arya juga secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan pacar Adit yang  bernama Dita."

Kiran semakin tak paham atas apa yang terjadi, pantas saja Adit sangat membenci ayahnya.

"Kemarin aku menemani dia membeli lensa kamera. Kebetulan hari ini kita bareng ke stasiun karena dia juga ada tugas di sini. Kamu percaya kan jika aku tak ada hubungan apapun dengan Azkia. Kita cuma sebatas rekan kerja saja,  tak lebih," terang Hafidz menyakinkan pada calon istrinya agar tidak berpikiran negatif. Sayangnya, Kiran sekarang kembali membisu.

"Oke, aku berikan kamu waktu untuk berpikir, sepertinya kamu belum percaya sepenuhnya. Kalau butuh apa-apa telepon saja.  Aku duduk bangku kedua dari depan."

Kiran menatap punggung laki-laki yang berjalan ke depan. Ia ragu apa harus sepenuhnya percaya pada Hafidz, melihat tatapan berseri pada  perempuan tadi mengisyaratkan jika ada cerita di balik semua ini yang tak ia ketahui.

"Ya Allah, aku paling takut jika dia berubah karena sejujurnya sudah nyaman bersama dia. Aku juga takut kalau dia pergi meninggalkanku seperti laki-laki sebelumnya. Aku sudah lelah harus kembali mengenal orang baru. Jadikan dia orang terakhir yang pernah aku miliki."


⚘⚘⚘⚘


Laki-laki yang masih memeluk tas ransel tetap berdiri dengan gelisah di serambi masjid, sengaja membawa semua pakaian dan tak meninggalkan selembar pun di rumah Bayu. Semoga saja setelah pengakuan ini, dirinya masih bisa melihat kembali matahari terbit di Solo.

Bayu sepuluh menit yang lalu pergi karena harus mengirimkan batik pesanan pelanggan. Adit sendiri sudah panas dingin dan nyali menciut.

"Loh, belum salat juga?" tegur Pak Kyai sambil mendekati Adit yang sudah gugup setengah mati.

Adit hanya menggeleng, sepertinya ini lebih baik sebelum mengungkap jati dirinya dan mengakui kesalahannya terlebih dahulu.

"Apa mau jenguk santri? Tapi hari ini belum waktunya bertemu karena waktu sudah di atur oleh pihak pesantren."

Adit kembali menggeleng.

"Baiklah, saya tinggal dulu ke dalam. Mau ada tamu datang ke rumah. Assalamualaikum," pamit Kyai sambil membalikkan badan. Ia sedikit terkejut karena pemuda itu belum membalas salamnya.

Adit menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan oksigen dan tenaga untuk menyatakan pengakuan yang sangat mencengangkan.

"Saya ada perlu dengan Pak Kyai."

Bukan jawaban salam yang ia dengar tetapi panggilan yang menyuruh lelaki paruh baya itu berhenti dan menatap kembali ke arah pemuda itu.

"Saya?" tanya Abah semakin bingung. Biasanya tamu yang mencari ke pesantren tak seperti sekarang ini.

"Iya, Pak Kyai. Ada sesuatu yang sangat penting yang ingin saya sampaikan."

Mata Abah terus mengamati pemuda di depan dari atas sampai bawah dengan perasaan tidak enak tiba-tiba muncul.

"Baiklah, seperempat jam lagi saya mau ada tamu. Mari ikut dengan saya."

Abah kembali berjalan dan Adit mengikutinya dari belakang. Mereka  berjalan  menapaki jalan setapak kecil yang kanan kirinya terdapat kolam kecil tapi memanjang. Mereka juga bertemu dengan santri yang berpapasan, tak jarang mereka mengangguk atau mencium tangan Abah.

Adit berpikir kembali, apa pantas jika ia berterus terang sekarang? Apa jadinya jika beliau tahu apa yang telah terjadi. Sosok yang sekarang menjadi panutan para santri akan tercoreng namanya.

Adit memasuki sebuah ruangan dengan dinding kaca,  di halaman tampak pohon rindang yang menaungi atap ruangan ini sehingga suasana tak begitu panas oleh sinar matahari.

Netra Adit melihat sosok laki-laki yang usianya di atas dirinya tengah duduk dan sedang membaca kitab suci. Murotal lirih juga mengalun dari gawai laki-laki itu.

Adit sendiri sudah paham siapa dia karena sudah pernah melihat di rumah sakit.

"Abah," sahut laki-laki itu sambil meraih tangan Abah.

"Sudah salat?" tanya abah dengan suara yang terdengar sangat wibawa.

"Sampun, Alif salat di ruangan ini karena tadi ketinggalan jamaah di masjid."

Abah melihat pojok ruangan yang masih terdapat sajadah terhampar di sana.

"Siapa  tamu itu, Abah?" selidik Alif sambil memicingkan mata sambil mengingat karena sepertinya Alif pernah melihat pemuda itu tetapi ia lupa di mana dan kapan tepatnya.

"Sampai lupa, silakan duduk," ucap Abah dengan lembut.

Adit duduk dengan perasaan semakin tak karuan, ia berdoa agar dijauhkan hal-hal buruk wlaaupun semua itu sepertinya tidak mungkin.

"Siapa nama antum?"

Abah duduk sambil terus memperhatikan wajah yang tak berani menatapnya. Alif sendiri masih menerka-nerka siapa tahu itu sebenarnya.

"Maksud Pak Kyai, nama saya?" tanya Adit dengan bingung tetapi masih memilih menunduk.

"Iya, siapa nama kamu dan ada hal penting apa yang akan kamu sampaikan."

"Na-ma saya Adit lengkapnya Aditya."

Abah manggut-manggut, tetapi tidak dengan Alif. Ia sudah paham siapa yang datang, hendak memberitahukan abah tetapi sepertinya bukan saat yang tepat.  Alif hanya memilih diam sambil mengontrol emosinya agar tidak meledak.

"Mak-maksud kedatangan saya untuk...."

Adit tak kuasa melanjutkan ucapannya, apalagi debaran jantung sudah sangat cepat seperti tinggal menunggu waktu eksekusi.

"Untuk apa?" pancing Abah semakin penasaran.

"Meminta maaf sama Pak Kyai."

Alif tambah geregetan, ia semakin penasaran karena pemuda itu berbicara hanya sepotong saja. Namun, abah malah tertawa.

"Kamu itu minta maaf kenapa? Memang punya salah? Kita itu baru ketemu sekarang loh?"

Adit meletakkan ras ransel dan meletakkan di samping, dengan gerakan cepat ia langsung bersedeku di depan Abah. Laki-laki paruh baya itu sangat kaget.

"Bangun, Nak?"

Abah menyuruh Adit untuk bangkit tetapi tak berhasil.

"Maafkan saya, saya sudah berbuat yang tidak baik, bahkan sudah menghancurkan masa depan putri Pak Kyai dan mencoreng nama baik pesantren."

Alif seketika langsung berdiri siap menonjok laki-laki itu. Abah malah tertawa seraya berucap, " Putri saya yang mana? Anak saya itu kuliah di Purwokerto."

"Saya sudah menghancurkan masa depan Kiran, Pak Kyai."

Abah seketika langsung mematung karena syok dengan apa yang ia dengar. Tangan kanan langsung meraba dada bagian kiri yang terasa sakit.

"APA YANG KAMU LAKUKAN DENGAN ADIK SAYA!" gertak Alif merasa tak terima.

"Alif tahan emosi kamu!"

"Adit, segera salat, minta ampun sama Allah!" perintah Abah sambil terus memegang dadanya.

"Bagaimana saya salat, Pak Kyai. Saya sendiri non muslim."

Pak Kyai kembali dibuat sangat terkejut.

"Astaghfirullah," lirihnya sambil mencoba bangkit berpegangan pada kursi. Dengan langkah tertatih dan mata berkaca-kaca melewati pemuda itu yang masih meratapi penyesalannya.

Di ujung pintu, ia menatap lagi ke belakang dengan penuh kecewa. Saat kembali menatap ke depan, tiba-tiba sudah dikejutkan oleh putrinya yang sedang berdiri di depannya.

"Assalamualaikum,  Ab—"

Sekarang gadis yang baru datang ikutan terkejut melihat siapa yang duduk di atas karpet. Mata membulat seakan tak percaya.

"Nduk, temui Umi sekarang di belakang," perintah  Abah melarang putrinya memasuki ruangan yang ada di depannya.



"Mohon maaf group ditutup dulu, peminatnya lumayan. Insyaallah kapan kapan dibuka lagi🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro