🌷 Kejutan Spesial🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf baru update karena kemarin si kecil sakit. Ditambah harus pack buku Unperfect wedding sendirian. Buku sebagian ada yang udah diterima dan masih di perjalanan. Insyaallah semuanya akan secepatnya peluk Alya sama Zein. Sekali lagi terima kasih sedalam-dalamnya yang sudah antusias membeli novel saya. Adakah yang masih minat? Bisa Wapri 089680710616, insyaallah author bisa bantu yang udah kepengin banget buku Unperfect wedding tetapi terkendala ongkir.



🌷🌷🌷🌷

~Pernah terlintas jika aku hanyalah satu-satunya hujan itu, namun sayang aku hanyalah rintik kecil di antara derasnya air yang turun dan bagimu aku bukanlah apa-apa~

***
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

"Adit?" panggil Kiran sekali lagi dengan menaikkan suaranya karena laki-laki yang identik dengan topi gelap itu tetap saja berjalan jauh di depannya.

Adit menahan napas, ia paling benci suara yang selalu mengkhawatirkan tentang dirinya. Laki-laki itu berbalik, mencengkeram tongkat besi dengan sangat erat. Namun, ia berusaha semaksimal mungkin menahan gejolak di dadanya. Tak ada bukti yang kuat jika ia harus menumpahkan emosi pada gadis itu sekarang.

"Ya."

"Kenapa kamu pergi?" tanya Kiran dengan suara parau hampir menangis. Setelah kejadian yang membuat laki-laki itu tak bisa berjalan normal kembali, tak ada waktu lagi untuk mereka. Paling dipertemukan sesaat saja dengan suasana yang tak mendukung. Jujur, Kiran merindukan saat-saat kebersamaan mereka.

Adit bingung, ia pura-pura melihat sekitar mencari alasan yang tepat agar ia bisa pergi tanpa menyakiti perasaan perempuan itu.

"Yang menjemputmu sudah datang," sahut Adit dengan mata yang tertuju pada mobil milik Hafidz yang sekarang berhenti di depan mereka.

"Baiklah. Sebelumnya terima kasih."

Adit mengangguk dan melanjutkan lagi langkahnya yang tersendat. Mobil itu pergi begitu saja melintas di sampingnya. Sungguh ironi karena kakinya yang belum sempurna lagi untuk berjalan terpaksa membiarkan gadis itu pergi bersama yang lain.

Jalan di trotoar ia tapaki dengan pelan, jujur langkahnya terlalu berat karena bebannya semakin banyak. Hubungannya dengan Anton belum membaik ditambah berita tak jelas tentang tulisan Kiran.

"Besok pagi aku harus ke toko buku itu, mencari kebenaran apa yang barusan aku dengar."

🌷🌷🌷🌷


Suasana di dalam mobil kembali dingin, padahal suasana di luar matahari bersinar sangat terik. Sama seperti tadi, Kiran lagi-lagi memilih tempat duduk di bagian tengah. Ia terus menatap bunga yang ia pegang.

Gerak gerik Kiran tak luput dari sesekali tatapan laki-laki di depannya yang tak fokus mengendarai mobil.

"Bukankah ini bukan jalan pulang?"
Kiran baru menyadari jika ini bukan jalan yang mengarah ke perumahan milik Hafidz.

Laki-laki yang ditanya ternyata sama sekali belum membuka suaranya sejak tadi pagi. Kiran bisa menyadari jika tak ada senyuman yang tersungging di bibir yang tak mencicipi rokok tak seperti Adit.

Gadis itu kembali mengingat kata-kata semalam, barangkali ada kata yang menyakiti hati Hafidz sehingga sekarang berubah drastis seperti ini. Seingat dia hanya mengucapkan maaf dan tidak bisa. Itu saja dan tak lebih.

Mobil berhenti di sebuah resto ternama di kota ini. Sebuah saung dengan atap jerami padi didesain modern dengan tambahan kolam kecil yang mengelilingi area ini dan juga gemericik air seperti di daerah persawahan.

"Kita mau ngapain?" tanya kembali Kiran ketika mereka sudah turun dari mobil.

"Ketemu seseorang," jawab laki-laki itu dengan suara yang masih dingin dan langsung pergi ke dalam tanpa mengajak perempuan yang masih kebingungan.

Dengan malas dan terpaksa, Kiran mengikuti laki-laki itu yang sudah berjalan menuju saung kecil paling pojok yang sudah ramai ditempati banyak orang.

"Fidz eh Mas, mak-maksudnya ini apa?" tanya Kiran tak percaya melihat siapa yang ada di sana. Ada Iffah bersama pasangannya dan sepasang paruh baya juga ikut di sana tengah duduk melihat ke arah Kiran dan Hafidz yang baru datang.

Kiran syok ketika melihat laki-laki yang dari tadi seperti kutub es tengah tersenyum ke arahnya seperti biasa.

"Syukuran kecil untuk kamu."

Ada rasa bahagia sendiri melihat kejutan seperti ini. Ia tak menyangka jika tahun ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Biasanya ia hanya mentraktir Iffah bersama teman dekatnya.

"Serius?" tanya Kiran masih belum percaya.

"Kapan aku pernah bohong sama kamu. Urusan hati saja aku sudah jujur sama kamu," bisik Hafidz dekat kerudung Kiran.

Tubuh Kiran menegang, kata-kata yang ia dengar barusan  mengingatkan seseorang yang pernah mengucapkan kata-kata yang sama.

"Melamun? Ditunggu sama mereka. Kasihan orang tuaku sudah menunggu kamu hampir satu jam."

Niat hati mau melangkah, lagi-lagi Kiran dikejutkan lagi dengan sesuatu yang diluar pikirannya.

"Apa? Orang tua kamu?" bisik Kiran dengan hati-hati. Ia lalu menatap laki-laki dan perempuan paruh baya tengah tersenyum kepadanya.

Hafidz mengangguk dan tersenyum tanpa bersalah.

"Tap—" protes Kiran tetapi percuma karena Hafidz sudah  bergabung dengan orang-orang di saung.

Dengan gugup dan salah tingkah, Kiran ikut bergabung. Ia mencium tangan punggung Mamahnya Hafidz sedangkan dengan Ayahnya Hafidz, Kiran hanya menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Perayaan syukuran ini hanya diisi makan-makan saja. Tidak ada roti ulang tahun ataupun acara tiup lilin. Hidangan yang mereka makan nasi liwet dengan lauk gurameh bakar beserta lalap. Selama makan, Kiran lebih memilih diam karena pura-pura tak mendengar percakapan antara ibu dan anak yang sekali-kali menatap ke arahnya.

Kiran bernapas lega karena semua sudah pergi, sekarang tinggal Kiran dan Hafidz yang masih bertahan di tempat itu sambil memandangi aliran kolam kecil.

"Terima kasih," ucap Kiran dengan mata tak pernah lepas dari ikan yang berenang di sana.

"Untuk apa?" tanya balik Hafidz pura-pura tak paham. Padahal sedari tadi ia hanya menahan senyum karena ia sering kali menangkap Kiran salah tingkah ketika harus bertemu dengan orang tuanya.

"Kejutan hari ini."

Kiran tersipu malu, bahkan tangan kanan memegang ujung kerudung untuk menutupi wajahnya yang sudah merah.

"Cuma kejutan biasa."

"Tidak kok, aku tak menyangka jika akan ada acara seperti ini. Apalagi sahabat aku ikut berada di tempat ini. Kok bisa orang tua kamu ikut berada di sini?" tanyanya penasaran.

"Mereka lagi berada di sini jadi aku sekalian ajak kemari. Kenapa? Keberatan?" seloroh Khafidz mencuri pandang perempuan di samping.

"Eh, tidak. Aku cuma merasa tidak enak saja, takutnya mereka salah paham tentang kedekatan kita," sahut Kiran lirih.

"Tidak. Aku sudah menjelaskan semua jika kamu adik Alif, dulu kan kakak kamu sering main ke rumah."

Kiran manggut-manggut tanda percaya tetapi hatinya kesal karena ia menangkap jika kakaknya sudah merencanakan mendekatkan dirinya dengan Hafidz sejak lama.

"Eh, maaf untuk jawaban yang semalam."

"Maaf untuk apa?" tanya Hafidz pura-pura bodoh.

"Yang di atas balkon."

Laki-laki itu menatap perempuan yang tengah memandanginya namun mata Hafidz langsung memilih menatap kolam depan karena takut terbius lagi ke dalam perasaan yang sama.

"Sudahlah, anggap saja tidak terjadi apa-apa."

Hafidz langsung buru-buru pergi sambil mengingat kejadian semalam yang sangat memalukan dalam hidupnya. Baru pertama kali mengutarakan perasaan pada perempuan dan seketika langsung ditolak.

Kiran buru-buru mengikuti sosok di depan yang sudah masuk ke dalam mobil. Ia sama sekali tak menyadari jika ada sosok lain yang berdiri di balik pohon.

🌷🌷🌷🌷

Kemarin Kiran bisa melewati hari spesial bersama Hafidz dengan hubungan yang sudah membaik seperti sedia kala. Melupakan kejadian malam hari di atas balkon. Sekarang, Kiran menunggu dengan gelisah. Seharusnya laki-laki itu sudah datang setengah jam yang lalu, namun sampai detik sekarang belum juga kelihatan mobil milik dia.

Kiran lebih memilih duduk di taman, bawah pohon yang rindang. Asyik dengan gawai, ia tak menyadari jika ada seseorang yang sudah berdiri di hadapannya.

"Ka-kamu?" sapa Kiran dengan gugup. Ia baru sadar jika cahaya matahari yang tadi menyinari tempat ia duduk tiba-tiba sudah terhalang oleh seseorang.

Laki-laki di depan tampangnya tak biasa, rahang yang keras dan mata yang sudah memerah seperti sebelumnya.

"A-ada apa? Apa ada masalah?" tanya Kiran dengan gugup setengah mati karena pertanyaannya tak dijawab oleh laki-laki itu. Kiran berusaha mencari jawaban dari kebingungannya tetapi laki-laki itu masih berdiri sama sekali tak ada gerakan.

"Ada masalah ap...."

Ucapan Kiran hanya berhenti di bibir merahnya ketika melihat sesuatu di tangan yang berada di depannya.

"Ka-kamu?" tanya Kiran sambil menunjuk sesuatu yang digenggam  bahkan sebagian sudah tak rapi karena genggaman laki-laki itu sangat erat.

"Ya. Aku beli ini."

Ucapnya sambil menunjukkan sebuah novel milik penulis yang sekarang berdiri di depan tengah ketakutan. Adit menghempaskan buku itu jatuh ke tanah tepat di depan Kiran.

"Ak-aku bisa jelaskan, Dit."

Suara Kiran terdengar datar, jujur ia sangat kecewa dengan perlakuan laki-laki itu yang tak menghargai buah karyanya.

Adit menggeleng dengan mata yang sudah sangat memerah dan penuh kebencian.

"Kamu tega melakukan ini? Mendekati aku hanya untuk kepentingan kamu sendiri seperti ini!"

"Bu-bukan seperti itu? Ka-kamu salah paham," elak  Kiran membela diri tetapi sepertinya percuma karena Adit sudah kepalang emosi.

"Tega kamu!" bentak Adit sangat keras, untung saja mahasiswa sudah pada pulang jadi tak ada yang mendengar pertengkaran mereka.

"Dit, tolong dengarkan penjelasan dulu. Aku akui aku salah tetapi tak bermaksud menjelekkan nama kamu," sesal Kiran yang sudah berlinang air mata.

"ARGHHH!!"

Adit membenturkan tangan ke batang pohon besar itu sebagai pelampiasan atas kemarahan dan kekesalannya. Kiran terkejut dan hanya bisa menutup matanya. Sempat mengira jika pukulan itu akan mengenai dirinya ternyata salah.

Dengan mata mengerjap ketakutan, ia melihat ke samping. Tangan Adit masih menempel di batang pohon itu, sayangnya di sana sudah ada luka dan darah.

"Gue benci sama lo. Gue kira lo beda sama perempuan lain, tetapi ternyata sama saja!"

Mata Adit terus tertuju pada Kiran yang masih terisak dan ketakutan. Baru kali ia marah besar pada perempuan itu.

"Luka kamu," sahut Kiran menatap darah yang masih menetes di punggung tangan laki-laki itu.

"Luka ini belum seberapa dibandingkan hati gue yang udah kamu khianati." Adit terus memukul dadanya dengan sangat keras.

Ia hanya mengusap kasar darah di punggung tangannya, walaupun terasa sangat perih tapi tak sebanding dengan hatinya.


"Dia tidak salah. Tema sudah ditentukan dari sana."

Tiba-tiba terdengar suara datang ke arah mereka yang sedang bersitegang. Adit menatap liar laki-laki yang sudah seperti musuhnya. Entah sudah berapa kali ia membenci dia karena selalu saja datang mencampuri urusan pribadinya.

Adit memilih pergi walaupun sebenarnya ia belum puas memaki perempuan yang sudah berkaca-kaca karena rasa penyesalannya.

"Dit!"

Panggil Kiran sekali lagi tetapi sayang ia sudah pergi menjauh, sekarang ia berdiri bersama orang tua laki-laki itu. Tatapan mata mereka bertemu sesaat. Sebelum pergi ia sempat berkata, " Dia laki-laki yang sangat egois. Selalu mementingkan egonya sendiri tanpa mendengarkan pendapat orang lain. Saya sudah lelah menasehati dia."

Kiran termenung, ada benarnya juga omongan Papah Adit. Preman itu selalu saja mengandalkan emosi di atas segalanya.

"Saya sendiri heran, perempuan seperti kamu bisa jatuh cinta sama anak badung seperti itu."

Papah Adit berlalu pergi menuju mobil dengan sopir yang sudah membuka pintu untuk majikannya. Kiran mencermati kata-kata Papah Adit  barusan. Ada benarnya juga, kenapa ia bisa menaruh hati pada laki-laki seperti itu. Adit adalah laki-laki dari keluarga broken home, kehidupan yang bertolak belakang dengan dirinya, belum mereka tak seiman. Jelas-jelas di depannya sekarang ada sosok yang sedang tersenyum dan selalu menjaganya.

"Heh, melamun!" pekiknya sambil melambaikan tangan di depan wajah Kiran.

"Eh, kamu," sahut Kiran tersipu malu ketahuan sedang melamun. Ia buru-buru mengambil buku yang sudah sedikit kotor dan memasukkannya ke dalam tas.

"Pulang sekarang? Aku mau berangkat dinas siang."

Kiran mengangguk pura-pura tersenyum sambil menyembunyikan beban perasaan di hatinya.

🌷🌷🌷🌷

Tongkat yang selalu menemaninya ia letakkan di samping pusara. Berjongkok dan meletakkan setangkai mawar di atas pusara gadis yang sudah mendahuluinya. Tak terasa mata laki-laki itu berkaca-kaca sambil memainkan tanah di depannya.

"Semuanya saja saja seperti yang lain, mereka mendekatiku hanya untuk kepentingan pribadi mereka sendiri. Tidak hanya Anton, Kiran juga. Kamu cuma satu-satunya orang yang mau menerima aku apa adanya tanpa ada maksud lain," bisik Adit sambil mengusap batu nisan dengan nama yang sudah hampir pudar.

"Adit."

Laki-laki yang dari tadi terlarut dalam kesedihan dan kekecewaan menatap tajam sosok yang datang.

"Kamu? Untuk apa kemari!"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro